webnovel

Dandelion (Found You)

“Areeeeeee…..” “kakaaaaaaaaaaaaaa..k….” DOOOOORRRRRRRRRRRRRR!!!! *** Aku akan terus mengingatmu, aku akan mengingatmu. Aku harus menemukanmu kembali bagaimanapun caranya. Aku tidak akan melepaskanmu lagi. Tidak apa jika kamu sudah melupakanku. Aku akan mengingatkanmu kembali. Mengingatkanmu akan janji kita, hanya antara kita.

Alwayssunrise · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
9 Chs

"Kamu menakutiku"

Suara alarm membangunkan Shifani. Ia menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Kenapa ia harus terbangun sepagi ini. Ia sudah merasakan suasana hati yang buruk.

"Princess, kau harus bangun jika tidak ingin menjadi panda." Teriak Kevin dari luar kamarnya. Pria itu sedang menyiapkan sarapan untuk kedua temannya yang tinggal di apartemen berlantai dua puluh itu.

"Kenapa panda?" Callie yang duduk di kursi tinggi dapur bertanya dengan heran.

"Dia tidak tidur semalaman, tentu saja kompleksi nya parah. Dia akan memiliki mata yang hitam seperti panda."

Callie mengangguk-angguk. Lingkaran mata Shifani memang mudah nampak jika ia kelelahan.

"Cepat gunakan masker dan timunmu atau kau tidak akan bisa bekerja nanti sore." Kevin kembali berteriak lantang. Dia memiliki jiwa seperti seorang pejuang.

"kamu lebih cocok untuk menjadi managernya." Timpal Callie.

"Aku tidak mau meski kau membayar ku."

Callie tersenyum.

"Kau terdengar seperti ibuku." Shifani keluar dari kamarnya dan menuju kulkas untuk mengambil air minum.

"Beruntung aku bukan ibumu, kalau iya aku akan menjewer telingamu untuk membangunkanmu."

"Kau berani?" tunjuk Shifani sementara tangan lainnya memegang selesai menuang air.

"Kenapa tidak berani?" balas Kevin. Callie tertawa. Mereka selalu saja bertengkar sejak pertama kali mereka menempati apartemen ini.

Shifani dan Callie bertemu Kevin di lokasi syuting. Kevin Revano, pembawa acara idaman para gadis dengan hidung mancung dan kulit putih yang sebenarnya seorang pria yang memiliki sikap cerewet dan suka mengatur. Tidak bisa dibayangkan bagaimana reaksi para penggemarnya apa bila melihat Kevin yang tak mau kalah dengan wanita, dengan apron warna peach dan alat masak di tangannya.

"Sebenarnya kau sudah selesai belum?" Shifani masih berteriak.

"Kau yang tidak pernah selesai. Aku tahu kau iri dengan kemolekanku."

"Apaaaa?"

Callie tertawa lagi. Mereka tidak pernah kehilangan topik pertengkaran. Mereka adalah segalanya, mereka adalah keluarga.

"Lupakan, aku benar-benar dalam suasana hati yang buruk saat ini." Shifani menenggelamkan kepalanya di meja.

"Tentu saja. Beraninya kamu menolak makan malam dengan lelaki kaya itu. Kau tidak tahu seberapa berpengaruhnya orang itu...agh, aku bahkan tidak berani memasuki lorong VVIP di dalam galeri itu." Kevin meletakkan omelette di hadapan Shifani.

"Tapi dia sangat angkuh...dia fans ku tapi dia bersikap seolah aku yang membutuhkankannya. Dia memanggilku lalu menyuruhku pergi begitu saja, tidak ada yang pernah bersikap seperti itu kepadaku. Ah...aku sangat membencinya."

"Tapi dia tipemu."

Shifani melirik Kevin dengan tatapan benci. Tapi Kevin berkata benar. Dia tidak akan menemukan lagi tipe pria yang sangat sempurna.

Callie beranjak dari tempat duduknya kemudian meraih tas tangan di meja.

"Kalian lanjutkan saja, aku berangkat dulu..."

"Kamu tidak pernah berniat menghabiskan omelette mu." Kevin murung.

Callie menepuk bahu Kevin, "omelette mu sangat enak. Hanya saja aku yang sedang tidak berselera." Ia beralih pada Shifani, "ingat, kamu harus sampai di lokasi pemotretan pukul dua. Tidak boleh telat. Aku pergi dulu." Callie pergi setelah menerima anggukan lemas dari Shifani.

Kevin melihat pintu.

"Wanita itu selalu merawat kita," ia menghela napas berat. Ia melirik Shifani yang kembali tidur di meja makan.

"Dan yang ini wanita tidak berguna, aku tidak akan membuatkanmu sarapan...huh."

***

"satu americano," seorang pria berjas berdiri didepan counter.

Sementara di salah satu meja cafe, Kevin duduk sambil terus memandangi karyawati pembuat kopi sepanjang siang. Seorang wanita yang berusia tiga tahun lebih tua darinya.

"Kalau kau tidak berbicara dengannya aku yang akan mendekatinya."

"Berhenti bicara dan minum kopimu." Kevin tidak melihat lawan bicaranya.

"Ini kopi ketiga yang kupesan. Aku bisa terkena asam lambung."

Pandangan wanita itu dan Kevin bertemu, Kevin segera memalingkan pandangan. Teman Kevin berdecak kesal,

"ck, pecundang!"

Satu Americano siap, pria itu menerima pesanannya dengan satu tangan. Sementara tangan lainnya memegang ponsel. Ia menganggukkan kepala berterimakasih kemudian berbalik pergi melalui pintu utama cafe.

"Says sudah hampir sampai di kompleks apartemen, iya...sekitar sepuluh menit lagi." Pria itu melihat jam di tangan kirinya. "Ricky sedang mengisi bahan bakar mobil. Aku yakin bisa membujuknya, anda tenang saja!"

Pria dalam balutan jas mewah dan rambut yang disisir rapi itu melangkah panjang meninggalkan cafe.

*

Isfan berjalan menyusuri trotoar dengan gelas kopi ditangannya. Tak lama sebuah mobil hitam menyusulnya dari belakang. Mobil itu berhenti tepat di sampingnya. Isfan menoleh.

"Ah, andai saja kau seorang wanita." Si pengemudi mobil kecewa.

"Kau masih ingin bermain?" Isfan membuka pintu belakang kemudian masuk ke dalam mobil.

"Hei, kau kira aku sopir? Gunakan kursi di depan."

"Tutup mulutmu dan jalankan saja mobilnya! Kepalaku sangat pusing."

Ricky mengangkat bahu dan mulai menjalankan mobilnya. "Apa tuan muda tidak tidur lagi semalam?" Ricky melihat kebelakang melalui kaca spion, Isfan sudah memejamkan mata. Sepertinya ia menebak dengan tepat. "Apa yang dikerjakan tuan muda itu, kenapa ia berusaha sangat keras? Dia bisa membayar para jenius untuk melakukan bisnis, kenapa dia harus terjun langsung. Hidupnya juga selalu dalam bahaya. Kenapa dia tidak bersikap memberontak seperti anak miliarder pada umumnya..." Ricky masih mengoceh hingga mereka sampai di depan apartemen. Ricky dan Isfan bergegas masuk setelah setelah berhasil memarkir mobilnya.

Tidak butuh waktu lama hingga mereka tiba di depan pintu apartemen Shifani. Mereka masuk setelah wanita itu membuka kan pintu untuk mereka.

"Apa yang tuan muda kalian inginkan? Aku sudah mengatakan aku tidak akan makan malam dengannya." Shifani duduk di sofa depan televisi. Ricky hampir ikut duduk ketika Shifani menatapnya tajam.

"Aku tidak menyuruh mu duduk!" hardiknya dengan nada ketus.

"Ada sesuatu yang ingin tuan muda sampaikan nanti malam,"Isfan menengahi, "dia sangat ingin bertemu dengan anda."

"Apa ini sikap seorang pria yang ingin bertemu dengan wanita? Dengan menyuruh pelayan dan sopirnya?"

Isfan sedikit terkejut,

"Kau!!!" Ricky menunjuk Shifani, Isfan menahan tubuh Ricky yang ingin menyerang wanita itu. Shifani memalingkan wajah.

"Tuan muda kami sedang meeting saat ini. Dia memiliki banyak hal yang harus diperhatikan, harap nona jangan marah terlebih dahulu. Tapi sudah sejak lama dia ingin bertemu dengan anda."

Shifani berdiri dan tersenyum kecut.

"Kau bisa mengarang cerita sesuka mu, tapi aku tetap tidak ingin menemuinya. Suruh tuan muda yang sangat sibuk itu datang sendiri, atau lupakan saja keinginannya untuk makan malam dengan ku.

Isfan dan Ricky berpandangan.

***

"Senang bekerjasama dengan anda, Tuan muda. Saya harap hubungan kedua perusahaan kita akan berlangsung lancar"

Radley menyalami mitra kerjanya.

" Terimakasih, kami tidak akan mengecewakan anda."

Mitra kerja Radley meninggalkannya di depan lobi hotel. Ia melihat jam di tangannya, pukul dua siang. Ponsel Radley berdering,

"Katakan!"

"Nona Shifani bersikeras agar anda menemui nya sendiri."

Radley memijat keningnya. Dia benar-benar keras kepala. "Baiklah, kalian boleh kembali..."

"Baik, tuan..."

Klakkkk

Tut...Tut...Tut

Brakkkkk. Pria itu jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Namun sayup-sayup ia masih bisa mendengar derap high heels, resepsionis di meja lobi hotel tadi...ah sial, kenapa ia memperhatikan hal itu sekarang?

.

.

.

"Kamu suka sekali pingsan. Ini, makan saja rotiku." Seorang gadis kecil menyerahkan roti berkemasan plastik ditangan Radley yang terduduk di tempat tidur.

"Bagaimana dengan makan pagi mu?"

"Tenang saja, aku bisa makan yang lainnya." Gadis itu mengelus tangan Radley. "kamu tadi terjatuh, apa kau terluka? Apa sakit?"

Radley tersenyum tulus, "aku tidak ingat. Aku langsung pingsan dan tidak merasakan apa-apa."

"Tetap saja kita harus memeriksanya." Gadis itu membolak-balik lengan Radley, Radley tersenyum sekali lagi.

"Are!!"

.

.

.

GASPP

Suara ribut di luar ruangan membangunkan Radley. Apa yang terjadi? Ia menahan rasa pusing dan bangun. Ia melihat jarum infus terpasang di luar telapak tangannya.

Krekkk,

"Kau! Apa yang kau pikirkan?" seorang wanita berteriak.

Shifani?

Wanita itu masuk dan mendekati tempat tidur Radley. Pria itu mendongak menatap Shifani dengan bingung. Ia tidak bisa mengatakan apapun.

"Apa yang kamu lihat?" nada suara Shifani masih tinggi.

"Aku..."

"Kamu akan bersikap begini terus ha? Kamu bosnya? Kamu akan menyuruhku datang atau pergi, atau membuatku khawatir?" Mata Shifani berkaca-kaca, "Apa kamu hanya mempekerjakan orang-orang bodoh?" Radley mengangkat sebelah tangannya...namun sebelum ia mencapai wajah Shifani, wanita itu berhambur memeluknya.

"Kamu menakutiku," isaknya dalam bahu Radley. Wanita itu mulai menangis. Kedua tangan Radley masih terbentang, otaknya belum bisa bekerja sepenuhnya.

Ia masih bermimpi tentang masa lalu, kenangannya. Sudah sangat lama kenapa ia masih memimpikannya. Ia sudah bertemu dengan Shifani tetapi mengapa ia masih gelisah. Bola mata biru nya bergerak melihat pintu ruangan yang terbuka lebar. Ia melihat Ricky, Isfan, dan seorang wanita. Wanita yang langsung berpaling ketika pandangan Radley mengarah padanya. Apa kondisi tubuhnya seburuk itu? Kenapa wanita itu tidak sudi melihatnya? Apa dia tidak menyukai pasien?

*

Isfan menutup pintu kamar hotel it untuk membiarkan Radley dan Shifani berbicara berdua. Ia berbalik pergi untuk menerima panggilan.

"Kalian, wanita Amethyst memang aneh. Terutama supermodel itu, dia selalu bilang tidak tapi langsung menjadi gila ketika tuan muda tidak sadarkan diri." Ricky mulai menyuarakan isi pikiranya. Callie menoleh ke arahnya, Ricky balas melihatnya. Cukup lama mereka bertatapan hingga Callie berbalik meninggalkannya. Ricky mendecakkan lidah.

"Dan satu lagi wanita aneh, dia seperti mayat hidup. Tidak ada ekspresi sama sekali. Tidak punya rasa takut." Ricky uring-uringan. Ia tidak memperdulikan orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya.

Ada satu hal yang pasti, waktu tidak akan menghapus semua luka dari masa lalu. Tapi waktu akan membuat kita terbiasa dengan luka itu.

Seseorang bisa pergi meninggalkan luka, orang lain bisa datang dan memberi kehangatan yang baru. Antusias dan keceriaan bisa membawa senyum dan tawa. Sedangkan sunyi, hanya memberi sepi sekali lagi.

.

.

.

"Kamu sudah memberitahu Shifani? Lokasi pemotretan berpindah di hotel ini?"

Callie mengangguk, "Shifani akan sampai sekitar sepuluh menit lagi."

"Bagus, jangan sampai crew menunggu lebih lama."

"Bos, ballroom lantai atas sudah siap. Kami sudah selesai dengan dekorasi nya."

"Bawa aku ke sana." Pria paruh baya itu menoleh Callie sebelum pergi.

"Callie, pastikan anak itu siap empat puluh menit lagi."

Callie mengangguk. Ia melihat produser pelaksana meninggalkan lobi. Callie menempelkan ponsel pada telinganya dan berbalik...

Brakkkkkkk

"Ada yang jatuh..."

Wanita dari meja resepsionis berlari ke arah pria yang tersungkur di lantai.

"Bagaimana...?"

"Dia masih bernafas."

"Wanita yang memegang ponsel. Cepat panggil ambulance."

.

.

.

Callie tidak mengenali pria itu, tapi kenapa dadanya terasa sesak? Ia tidak bisa bernapas. Jantungnya berdenyut nyeri dan segalanya menjadi buram.

"Kenapa dia tidak bergerak,"

"Aku sedang memanggil ambulance," pria berseragam security menempelkan ponsel ditelinganya.

.

.

.

"berhenti disana."

Tak..

Isfan sedang memperhatikan cctv di ruang operator hotel itu. Ia memeriksa apa yang terjadi dengan Radley dua jam yang lalu. Memastikan keselamatan tuan muda juga adalah tugasnya. Ia tidak bisa lengah. Seharusnya ia tidak meninggalkan Radley walau pria itu berteriak menyuruhnya pergi.

"Apa ada tamu hotel dari Emerald yang datang selain kami?" tanya Isfan pada manager hotel. Ia masih menatap di antara kerumunan orang di cctv.

"Saya rasa tidak, kami jarang menerima tamu dari Emerald."

"Periksa kembali asal negara para tamu."

Manager itu mengangguk kemudian mengambil ponsel dari sakunya.

Isfan terus mengincar cctv. Ia melihat Callie yang berdiri dalam jarak satu meter dari tubuh Radley. Apa dia mengalami syok? Wanita itu tidak bergerak sama sekali. Radley hanya pingsan, apa yang mengejutkan tentang itu?

Ia mengalihkan pandangan ke kamera yang lain dan melihat beberapa pria berjas hitam dan berkacamata. Mereka tidak berusaha membantu tapi juga tidak menjauh dari tempat itu. Mereka masih mengamati Radley, mata Isfan membesar. Tidak mungkin. Isfan mengenali mereka.

Selamat membaca! :)

Alwayssunrisecreators' thoughts