webnovel

Kehidupan Baru

Akademi Pengabdian Kemiliteran. Itu adalah nama resmi dari sekolah yang kududuki. Aku mendapatkan pengakuan dari beberapa guru, tentu Ana juga karena kami berdua telah menyelesaikan suatu misi yang mereka anggap seperti merangkak di Neraka, ya meski sebenarnya itu rasanya seperti dilebih-lebihkan saja. Berkat pertempuran itu, orang-orang yang merundungku jadi lebih sedikit. Aku yakin kalau sebelumnya mereka yakin, yakin kalau diriku ini mati di pertempuran itu. Selain itu, aku juga harus membawa benda yang menurutku sedikit merepotkan, sebuah lencana berbentuk pedang berwarna perak yang harus kupakai setiap pergi ke sekolah. Aku harus menempelkannya pada lengan seragam sekolahku.

Pembelajaran dimulai seperti biasanya. Semuanya normal, anak laki-laki yang aku lupa namanya itu tetap berulah. Padahal aku sudah berharap dia lah yang paling bungkam setelah aku pulang dari pertempuran. Ketua kelas ini sekarang tidak merundungku, bahkan dia mencoba mendekatiku. Ketua kelas, perempuan dari class Knight, Chika. Tapi aku masih belum bisa percaya padanya. Tepatnya aku tak mau percaya, aku ingat hari itu. Ketika Chika merundungku, aku tak bisa melupakannya.

"Terimakasih perhatiannya, segera pulang ke rumah dan asrama masing-masing, jangan lupa, tugasnya dikerjakan, paham?" guru itu merapikan buku materinya. Mengingatkan siswa untuk mengerjakan tugas rumah yang diberikan, dan tentu minggu depan akan ia periksa. Tapi kebanyakan siswa takkan mengindahkannya, ada juga yang mengerjakannya, namun hasil contekan di hari yang sama dengan hari pengumpulan. Apapun itu, ini adalah waktunya pulang, jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Sepertinya lebih baik aku pergi ke tempat bersantai terlebih dahulu untuk menenangkan diri, "Ana mau ikut?" tanyaku pada Ana yang tengah merapikan isi tasnya. "Ikut?" "Rika berencana untuk pergi berkeliling kota, ingin mencari hal-hal yang membuat Rika tenang." Lanjutku dengan senyuman yang sepertinya masih bisa dilihat kalau senyuman ini adalah senyuman palsu. Aku payah dalam berekspresi. "Boleh, aku juga tak ada yang perlu dikerjakan sekarang." Yah maksudnya adalah misi dari atasan.

Membicarakan misi, aku jadi teringat penjelasan Guru Hana yang dulu. Katanya kami akan diberi misi oleh Klien lah, ternyata yang dimaksud Klien kami adalah atasan kami sendiri. Kukira, Klien ini adalah orang-orang random yang ada di luar sana. Ternyata atasan. Dia tidak menjelaskannya dengan benar, Guru Hana orangnya sangat berbelit dan membuatku hampir berpikir salah mengenai Pembunuh Bayaran ini. dari namanya, pembunuh bayaran, kukira aku akan mendapatkan uang dari membunuh. Ternyata tidak sepenuhnya benar karena meski tak membunuh, Agen rahasia dengan kode Assassin akan tetap mendapatkan uang bulanan dari pemerintahan pusat untuk menunjang hidup kami. Tentu saja aku dan Ana diprioritaskan karena kami masih berada di bawah umur dan pasti sangat membutuhkan uang untuk biaya sekolah dan biaya lainnya. "Kalau begitu bagaimana kalau kita kunjungi rumah baru Nikki?" usulnya, aku tak setuju. Tak mau karena apa manfaatnya mengunjungi tempat orang lain. Itu akan mengganggu orang.

"Bukan begitu, tidak baik kalau kita tidak berkunjung ke rumah teman, bukan? Apakah kamu mau tiba-tiba memutuskan hubungan pertemanan dan hanya menjadi teman di medan tempur saja?" tanya Ana lagi, ah skakmat, aku tak bisa menjawabnya. Baiklah untuk sekarang aku akan mengalah, tapi setelah itu aku ingin pergi ke taman untuk membeli eskrim. "Tentu saja!"

Kami berjalan keluar dari gedung sekolah. Rasanya panjang sekali, padahal baru beberapa bulan aku bersekolah di tempat ini. Lencana yang terpasang di masing-masing lengan tangan kami berkilauan terkena sinar matahari siang hari ini. cuacanya sangat panas, karena tentu saja ini adalah musim panas. Malam hari akan menjadi sangat panas karenanya. "Pertempurannya menurutku cukup menyenangkan, bisa meluapkan berbagai emosi di tempat itu, bagaimana menurutmu, Rika?" "Menurut Rika, pertempuran seperti itu sangat merepotkan, Rika tak mau lagi itu terjadi." Aku mengatakan apa yang kurasakan pada Ana, "Tapi tanpa pertempuran itu, kamu takkan mendapatkan pengakuan, dan kita takkan mendapatkan uang banyak lho?" "kalau masalah Uang sih Rika juga butuh, tapi kalau jalannya seperti itu, bukannya lebih baik semua negara bersatu? Bekerja sama dan tak perlu ada acara rebut merebut?"

"Yah aku juga berpendapat yang sama denganmu, tapi kenyataanya takkan sesuai dengan apa yang kita harapkan, kita masih belum mengerti apa-apa tentang dunia ini, tentang kehidupan ini, jadi masih wajar kalau kita berpikir seperti itu." Ana menarik nafasnya dalam-dalam, "Terkadang dibenakku, mengapa harus membunuh? Padahal kalau saling menyayangi itu lebih baik. Tapi mungkin, suatu saat nanti aku akan memahami apa itu peperangan yang sebenarnya, hanya masalah waktu saja." Untuk kali ini, aku baru pertama kalinya merasakan hawa kesedihan dari Ana. "Apakah ada yang membuat Ana sedih?"

"Ah kau menyadarinya, ayah dan ibuku terbunuh dalam peperangan, mereka menjadi pahlawan, namun menurutku, entah mengapa mereka malah terasa seperti mati konyol, padahal mereka memiliki anak kecil di rumah, malah pergi mati di peperangan, itu konyol sekali menurutku." Apa-apaan itu, perkataan Ana mengerikan.

Kami telah sampai. Di rumah sederhana, yang mana ini adalah sebuah apartemen. Nikki mencari pekerjaan yang cocok untuknya, dan dia malah berakhir di sebuah pabrik. Dan seharusnya sekarang dia sudah berada di rumah. Ana menekan bell yang ada di samping pintu, menunggu orang keluar dari dalam sana. "Maaf menunggu." Suara itu terdengar santai sekali, Nikki keluar dengan topi yang berwarna biru. "kamu baru pulang dari pabrikmu kah, Nikki?" tanya Ana, "Wah kalian berdua, masuklah!" wajahnya yang lesu langsung kembali bersemangat. "Ana, orang ini kayaknya bermasalah dengan kepalanya, bagaimana kalau kita pulang?" aku merasa tak betah dengannya. Dia seperti orang aneh yang memiliki niat buruk. "Ayolah.." Ana memelas, namun dia segera masuk.

Adik-adiknya tengah berada di rumah, mereka memakai seragam sekolah, yang satu bermain game di konsolnya dan yang satu tengah bermain dengan ponselnya. Mereka seperti calon pengurung diri yang menghabiskan waktu dengan bermain game. Lupakan. "Maaf kalau rumahnya berantakan, aku baru pulang dan mendapati bocah-bocah ini asyik dengan dunia mereka." Ujarnya, dia menuangkan jus buah ke dalam gelas dan menghidangkannya di depan kami. "Ini tidak beracun?" "Sikap mu tidak ada perubahan ya, omong-omong, bagaimana hari-hari kalian pasca pertempuran?"

"Kalau Rika sih biasa-biasa saja, selain perundungan yang berkurang, tak ada yang lebih spesial daripada itu, ah, mungkin Rika juga jadi lebih terbantu dengan adanya uang bulanan yang diberikan oleh Atasan." Jawabku, Ana tak menjawab, dia hanya menikmati jus buahnya dengan tenang. "Kami lebih santai akhir-akhir ini, bahkan setelah pertempuran, tak ada misi yang datang menghampiri."

"Begitulah, aku juga sama, bahkan saking luangnya, aku sampai mencari pekerjaan lain dengan syarat bisa cuti ketika ada tugas dari atasan, meski malah berakhir di sebuah pabrik makanan instan sih." "itu lebih baik daripada tak mendapatkan pekerjaan, bukan?" tanyaku.