webnovel

Tatapan Aneh

"Apa?"

Debi terkejut mendengar jawaban dari Doni. Rasanya Debi masih tidak percaya dengan yang dikatakan Doni barusan.

"Mas Doni tidak sedang bercanda kan?"

"He, apakah wajahku ini memperlihatkan kalau aku sedang bercanda?"

Debi menelisik wajah Doni yang terlihat serius. Tidak ada kebohongan yang ia temukan di sana.

"Tidak mungkin. Jelas-jelas Rafa itu teman kuliahku, bukan Pak Juna," bisiknya.

"Ngapain kamu masih bengong di sini? Ini, antarkan pesanan Pak Juna. Jangan biarkan beliau menunggu."

"Eh, iya Mas Doni."

Debi mengambil kopi yang sudah disajikan Doni. Dengan perasaan tak menentu. Debi melangkahkan kakinya mendekati Rafa.

Rafa yang saat itu menyadari kedatangan Debi pun tersenyum.

"Terima kasih ya?"

"Iya, sama-sama."

Setelah mengantarkan kopi untuk Rafa. Debi tak langsung beranjak dari tempatnya. Debi masih memperhatikan Rafa yang tengah menikmati kopinya.

"Masak iya sih, kalau Rafa itu ternyata Pak Juna? Kalau Rafa adalah Pak Juna. Kenapa dia masih terlihat sangat muda? Padahal kan kata karyawan lainnya kalau Pak Juna itu sudah berumur?" bisiknya.

Debi benar-benar dibuat bingung malam itu. Debi cemas jika Rafa yang dia anggap teman selama ini, adalah bosnya sendiri. Sangat memalukan bukan jika itu benar terjadi.

"Kenapa kamu melihat aku sampai kayak gitu?"

Mendengar ucapan Rafa. Debi langsung tersadar dari pikirannya.

"Eh, enggak kok."

"Kenapa? Aku tampan ya?"

"PD sekali sih kamu."

"Habisnya kamu ngelihatin aku sampai kayak gitu."

"Itu karena aku penasaran."

"Penasaran? Penasaran apa?"

"Emz, aku sih berharapnya kamu jawab yang jujur."

"Wah, sepertinya yang akan kamu tanyakan ini benar-benar penting?"

"Iya, karena itulah aku berharapnya kamu menjawabnya dengan jujur."

"Baiklah, aku akan menjawabnya dengan jujur. Kamu mau tanya apa?"

"Emz, itu. Apakah benar kalau kamu itu sebenarnya bukan Rafa, tapi Pak Juna, pemilik tempat ini?" balas Debi ragu sembari melihat sepasang mata Rafa.

Deg

Rafa sempat terkejut mendapatkan pertanyaan yang tidak ingin ia dengar dari Debi, tapi buru-buru Rafa menghilangkan keterkejutannya saat menyadari Debi memperhatikannya. Rafa pun tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa kamu tertawa?"

"Bagaimana aku tidak tertawa. Pertanyaan kamu itu sangat lucu."

"Lucunya di mana? Aku tanya serius."

Rafa menghentikan tawanya, dan menatap Debi dengan serius.

"Memangnya kamu percaya kalau aku pemilik tempat ini?"

"Enggak sih."

"Kalau kamu gak percaya. Kenapa kamu sampai serius itu bertanya?"

"Soalnya Mas Doni bilang kalau kamu pemilik tempat ini. Mas Doni kan tidak mungkin berbohong, tapi kalau kamu pemilik tempat ini. Itu juga tidak mungkin sih. Kata karyawan di sini, Pak Juna itu sudah berumur, sementara kamu kan masih terlihat sangat muda," balas Debi polos.

"Jadi teman kerja kamu yang bilang gitu?"

"Iya."

"Awas kamu Doni. Aku akan memberikan kamu pelajaran nanti," bisiknya.

"Tapi kamu beneran bukan Pak Juna kan?" kata Debi memastikan.

"Terserah kamu mau percaya atau tidak," balas Rafa tersenyum.

Debi masih diam di tempatnya.. Rasanya Debi benar-benar bingung malam itu.

Cklek

Marko melangkahkan kakinya turun dari dalam mobil. Saat itu juga, ketiga temannya juga ikut turun dari dalam mobil.

"Marko, kenapa kamu jadi rajin sekali ke sini?" tanya Bima penasaran. Pasalnya Marko tidak sesering ini ke bar milik omnya.

"Memangnya kalau aku ke sini harus ada alasannya?"

"Enggak juga sih, tapi kan aneh saja."

"Gak ada yang aneh, kamu saja yang terlalu memikirkannya. Ya sudahlah, ayo kita masuk."

Marko melangkahkan kakinya masuk ke dalam bar, begitu juga dengan ketiga temannya yang mengikutinya.

Sembari melangkahkan kakinya. Marko mengedarkan pandangannya. Marko datang ke bar bukan tanpa alasan, tapi Marko datang ke sana ingin bertemu dengan Debi. Meskipun tidak ngobrol, tapi melihatnya saja itu sudah lebih dari cukup.

"Marko, kamu datang ke sini hanya mau jalan-jalan, atau duduk dan menikmati suasana?"

"Mau duduk dan menikmati suasana lah Bima. Gitu saja harus ditanyakan."

"Terus kenapa dari tadi kamu jalan terus? Padahal kursi yang biasa kita duduki sudah kita lewati tadi."

Saat itu Marko langsung menghentikan langkahnya. Marko menoleh ke belakang, dan benar saja, saat itu Marko melihat tempat duduk yang biasa ia duduki bersama teman-temannya sudah terlewatkan. Huh, terlalu fokus mencari Debi. Marko sampai tidak menyadarinya.

"Mungkin Marko ke sini mau mencari Debi," sahut Bagas.

"Benar juga itu. Secara Debi kan kerja di tempat ini."

"Pantas saja kamu rajin datang ke sini Marko. Gak tahunya kamu mau ketemu sama Debi."

Bima dan yang lainnya pun tertawa, membuat Marko merasa malu bercampur kesal.

"Sialan kalian," kata Marko yang melangkahkan kakinya menuju kursi mereka.

"Bilang saja kalau kamu itu belum bisa move on dari Debi."

"Iya, benar itu."

Mereka masih terus tertawa sembari berjalan mengikuti Marko.

Marko mengedarkan pandangannya. Lagi-lagi saat itu Marko tidak melihat Debi.

"Kok dari tadi aku tidak melihat Debi ya? Dia kemana?" bisiknya.

Marko tidak menyerah dan terus mencari keberadaan Debi.

"Mungkin Debi sudah gak kerja di sini," kata Bima yang mengalihkan perhatian Marko.

"Apaan sih kamu. Berisik tahu gak."

"Marko, Marko, katanya gak suka sama Debi, tapi sampai sekarang gak bisa melupakan."

"Betul itu. Kalau aku jadi kamu, aku akan mengakui perasaanku. Daripada aku simpan, nanti Debi nya diambil sama orang," sahut Bagas.

"Sudahlah Bagas, percuma menasehati Marko. Perasaan gengsinya lebih besar daripada perasaan sukanya."

"Iya, benar itu Gilang. Nanti kalau Debi sudah menjadi milik orang lain, biar tahu rasa dia."

"Sialan kalian. Bukannya mendo'akan yang baik-baik, malah mendo'akan yang buruk."

"Habisnya kamu terlalu nurutin gengsi kamu sih."

"Terserah kalian mau bicara apa."

Huh, malam itu Marko benar-benar galau saat tidak melihat Debi sama sekali.

"Apa mungkin Debi sudah keluar dari sini setelah kejadian waktu itu ya?" bisiknya.

Tap tap tap

"Debi."

"Iya Kak, ada apa?"

"Dimana Doni?" tanya Renata saat mendapati Debi yang tengah duduk seorang diri di depan bartender.

"Gak tahu Kak, saat aku ke sini. Mas Doni sudah tidak ada."

"Aneh, tidak biasanya Doni menghilang dari tempatnya?"

"Mungkin Mas Doni ada keperluan Kak."

"Iya mungkin saja Debi, tapi kemana ya dia? Padahal pengunjung sedang ramai begini, tapi dia malah menghilang."

"Enggak tahu aku Kak."

"Kalian sedang membicarakan aku ya?"

Mendengar suara seseorang Debi dan juga Renata mengalihkan pandangan mereka. Ternyata itu Doni yang tiba-tiba kembali di tempatnya.

"Dari mana saja kamu Don?"

"Tadi aku sedang ada urusan."

"Urusan kemana? Lihat, ada banyak tamu yang belum diantarkan pesanan mereka."

"Iya, aku akan segera membuatkannya."

"Cepat. Jangan buat mereka menunggu lama."

"Iya, siap."

Doni melihat Debi sekilas, sebelum akhirnya Doni membuatkan pesanan yang sudah menumpuk.

Debi menyadari tatapan Doni tadi. Debi pun merasa tidak nyaman. Ada yang aneh dari tatapan Doni yang diberikan kepadanya.

"Kenapa Mas Doni melihat aku seperti itu ya? Sepertinya ada yang dia sembunyikan?" bisiknya.