"Hamba adalah Lysias Vardhein. Hamba menguji kemampuan dan pemahaman ketatanegaraan Tuan Putri Athanasia. Dari tes yang diberikan, saya kecewa dengan hasilnya, Yang Mulia. Tuan Putri Athanasia hanya bisa menjawab satu dari seratus pertanyaan."
Pengajar yang lain terkesiap, begitu pula aku. Aku tidak tahu apa yang para pengajar itu hebohkan, tapi aku kaget karena ucapan Tuan Vardhein. Ucapnya terdengar menghina. Bukankah itu tidak masalah karena anak usia lima tahun hanya bisa menjawab satu pertanyaan? Bukankah sudah bagus? Yang kita bicarakan adalah anak lima tahun, apalagi seorang Tuan Putri!
"Tuan Vardhein. Bukankah itu kelewatan untuk memberi seratus pertanyaan pada seorang anak lima tahun?" tanya Tuan Frannquez.
"Seharusnya Anda memberikan pertanyaan mendasar saja, Tuan Vardhein," Nyonya Lazzer memberi usulan.
Aku setuju dengan Tuan Frannquez dan Nyonya Lazzer, tapi bukan itu masalah utamanya. Seseorang baru saja menjelekkan seorang putri raja di hadapan raja. Tidakkah kalian menyadari nya? Atau hanya aku saja yang sadar? Aku saat itu tidak sadar kalau ada hawa dingin menatap ke arah para pengajar tersebut dengan hina.
"Pelajaran di bidang ketatanegaraan bahkan tidak cukup untuk dipelajari dalam seratus pertanyaan, Tuan dan Nyonya. Bagi saya, seratus pertanyaan adalah jumlah yang sedikit untuk memahami ketatanegaraan."
Dengan angkuhnya, Tuan Vardhein berkata demikian. Wajah ku memerah karena menahan amarah. Kita semua tahu bahwa ketatanegaraan adalah bidang yang susah. Saking susahnya hanya beberapa kaum yang diwajibkan untuk mempelajarinya, seperti keluarga kerajaan dan penasihat kerajaan.
Tapi berpikirlah sedikit! Yang kau uji kemampuannya itu anak usia lima tahun, bukan pewaris tahta yang sebentar lagi akan dilantik!
"Baiklah kalau memang begitu. Tapi bolehkah saya tanya, kenapa Anda bilang bahwa kemampuan Tuan Putri mengecewakan?" Nyonya Derious bertanya dengan nada serius.
"Bukankah saya sudah bilang? Itu karena beliau hanya bisa menjawab satu dari seratus pertanyaan yang saya berikan."
"Kalau begitu kemampuan Anda yang mengecewakan," Nyonya Derious menjeda kalimatnya, "ketatanegaraan adalah bidang pelajaran yang tidak wajib dipelajari oleh umum bukan? Dengan begitu bidang pelajaran ketatanegaraan tidak bisa dipelajari lewat buku karena tidak dicetak menjadi sebuah buku. Kita di sini sedang membicarakan kemampuan Tuan Putri Athanasia dalam memahami apa yang sudah beliau baca. Maka hal yang lumrah kalau beliau tidak paham."
Semua orang diam mendengarkan ucapan Nyonya Derious. Nampak semua orang di ruangan ini kecuali Tuan Vardhein setuju dengan ucapan Nyonya Derious. Tepat saat Tuan Vardhein ingin berbicara, Nyonya Derious segera melanjutkan ucapannya.
"Tuan Putri Athanasia tidak membaca buku tentang ketatanegaraan karena memang tidak ada. Lantas dari manakah beliau bisa menjawab satu pertanyaan Anda dengan benar, Tuan Vardhein? Bukankah kemampuan beliau luar biasa?"
Sekakmat. Aku terkagum-kagum dengan Nyonya Derious. Meskipun penampilannya sederhana, pribadi orangnya luar biasa. Pepatah 'jangan menilai sebuah buku dari sampulnya' sangat pas untuk Nyonya Derious. Oh, lihatlah. Tuan Vardhein mati kutu di tempatnya.
"Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia," Nyonya Derious menunduk dalam-dalam.
Aku melirik ke arah Yang Mulia yang masih diam. Aku penasaran apa yang ada di pikirannya saat ini.
"Felix."
"Iya, Yang Mulia," aku berdiri di sampingnya.
"Jawab pertanyaan Nyonya Derious."
"Eh?" aku menatap bingung ke arah Yang Mulia yang hanya dibalas tatapan datar.
Aku memandang kelima pengajar di hadapan ku kemudian berkata, "Menurut saya. Tuan Putri Athanasia mendapatkan sedikit pelajaran ketatanegaraan dari Yang Mulia."
"Maaf karena saya lancang. Tapi mengapa bisa demikian, Tuan?" Tuan Vardhein bertanya.
Aku mendengus sebal dan menoleh ke arah Yang Mulia, meminta persetujuan untuk menjelaskan semuanya. Yang Mulia hanya mengangguk pelan dan bertopang dagu. 'Kebiasaannya bertopang dagu harus dikurangi' batinku dalam hati.
"Tuan Putri Athanasia sering mengunjungi Yang Mulia saat sedang bekerja di ruangannya. Di sana, Tuan Putri menemani Yang Mulia sambil membaca buku. Terkadang Tuan Putri akan bertanya tentang sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan Yang Mulia. Dari situlah Tuan Putri belajar tentang ketatanegaraan."
Para pengajar itu terdiam karena kagum kecuali Tuan Vardhein. Dia tidak bisa berkutik. Aku melirik Yang Mulia, beliau tersenyum mengejek. Firasat ku tidak enak.
"Felix. Lakukan."
"Baik, Yang Mulia."
Aku turun menjauh dari Yang Mulia dan berjalan mendekati Tuan Vardhein. Kalau Yang Mulia sudah bilang begitu, artinya seseorang bersalah di matanya. Ketika aku sudah berdiri di belakang Tuan Vardhein, ku jegal kaki nya hingga ia jatuh terduduk.
Keempat pengajar yang lain mundur teratur dengan perasaan takut. Mereka kaget dengan perbuatan ku. Segera setelah itu, aku mengeluarkan pedang dengan sihir dari tangan ku. Aku mengarah pedang itu ke leher Tuan Vardhein. Dapat ku lihat tubuh Tuan Vardhein bergetar hebat. Aku melirik Yang Mulia, beliau menatap tajam ke arah Tuan Vardhein.
"Kau tidak seharusnya berkata seperti itu tentang putri ku. Kau yang hanya menguasai teori ketatanegaraan sudah berlagak seperti itu. Kalau begitu, aku yang sudah menguasai baik itu teori atau prakteknya boleh berlagak lebih, bukan?" nada bicara Yang Mulia sangat dingin.
Suasana di ruang ini benar-benar mencekam. Tatapan Yang Mulia seorang lah yang mampu mengubah suasana dalam satu detik. Hebat tapi juga menakutkan.
"Kau perusak suasana, Lysias Vardhein. Seperti nama mu yang artinya perusak. Tidak ada hukuman yang lebih ringan untuk mu daripada mati," Yang Mulia tersenyum sinis, "Lakukan."
Aku mengangguk dan mengangkat tinggi-tinggi pedang ku. Namun, sebuah suara menginterupsi.
"Papa?"
Kami semua kecuali Yang Mulia, menoleh ke belakang. Tuan Putri Athanasia mengintip dari balik pintu. Oh, hanya Tuan Putri. Kami pun menoleh ke arah Yang Mulia lagi. Tunggu apa? TUAN PUTRI? Kami menoleh lagi ke belakang dengan serentak.
TUAN PUTRI SUNGGUHAN ADA DI SANA! Aku terdiam dengan posisi mengangkat pedang. Aku menoleh ke arah Yang Mulia. Yang Mulia tampak tercengang melihat Tuan Putri di sini.
"Papa. Kenapa Felix memegang pedang?"
Tuan Putri bertanya dengan polosnya.
Kami semua menatap ke arah Yang Mulia. Bingung harus bilang apa pada Tuan Putri.
Felix POV end
***
"Papa?" aku mengintip dari balik pintu.
Papa, Felix, dan kelima pengajar itu menoleh pada ku. Setelah tahu kalau itu aku, mereka ber-oh ria dan kembali menghadap papa. Ha? Cuma begitu? Kalian tidak kaget melihat ku? Kemudian aku terkejut karena mereka memandang ku lagi, ku pikir mereka akhirnya sadar.
Aku melirik tangan kanan Felix, ada pedang di tangannya. Di samping Felix, Tuan Vardhein bertekuk lutut. Tunggu dulu. Ini bukan eksekusi mati, kan? Harus dihentikan.
"Papa. Kenapa Felix memegang pedang?" aku bertanya pada papa.
Aku menyembunyikan rasa takut ku dengan wajah polos. Aku yakin papa akan membunuh Tuan Vardhein. Jujur aku juga tidak suka dengan sifat angkuh Tuan Vardhein, tapi tidak harus dibunuh juga, kan?
Semua membisu menatap ku kemudian menatap ke papa. Haduuuh. Kalian kenapa bingung, sih? Cukup jelaskan saja pada ku. Apa ini karena aku masih lima tahun? Karena umur ku lima tahun, kalian pikir aku masih naif dan suci? Salah besar, tapi aku tidak mungkin bilang begitu, kan?
"Athanasia, apa yang Kau lakukan di sini?"
"Jawab dulu pertanyaan, Athy!" aku memanyunkan bibir ku.
"Ck. Felix akan menghukum orang bodoh di sebelahnya itu."
Semua orang terbengong-bengong mendengar jawaban papa. Hei, lawan bicara mu itu anak kecil lho. Pikiran dulu sebelum bicara. Aku berjalan mendekati papa sampai ada di hadapannya.
"Tapi tidak harus dibunuh, kan?"
Kali ini semua orang kecuali papa, terbengong-bengong dengan ucapan ku. Mereka tidak percaya kalau aku paham dengan apa yang sedang mereka lakukan.
"Ck. Athanasia. Orang itu bodohnya sampai ke ubun-ubun. Dia menjengkelkan."
"Athy tahu kalau Tuan Vardhein memang menyebalkan sampai ke ubun-ubun."
Felix menahan tawa, begitu pula keempat pengajar yang lain. Lho, bukan salah ku. Aku mengatakan sebuah fakta kok, tidak bohong.
"Tapi, Tuan Vardhein tidak harus dibunuh, kan?" aku menjeda ucapan ku, "kalau Tuan Vardhein berpulang ke sang pencipta, jumlah pengajar ketatanegaraan berkurang."
"Suruh saja seseorang untuk belajar ketatanegaraan dan menjadi seorang pengajar."
Haduuuh. Ribet kalau begini terus. Aku menghela napas dan menggelengkan kepala. Felix dan yang lain hanya terdiam resah. Ketatanegaraan kan susah. Orang awam yang mau mempelajari itu saja patut diapresiasi. Nah, masak kita mau mengutus orang untuk belajar ketatanegaraan? Iya kalau orang itu mau, coba saja kalau tidak.
"Apa Tuan Vardhein menjelek-jelekan Athy di depan papa?"
"Hm," papa mengangguk pelan.
"Kalau begitu jangan didengarkan. Itu artinya Tuan Vardhein iri dengan Athy."
Papa membulat matanya, tidak percaya dengan ucapan ku. Berbeda dengan Felix dan yang lainnya yang memandang ku takjub.
"Kalau begitu, Kau mau aku melakukan apa, Athanasia?" papa bertopang dagu dengan malas.
"Usir jauh-jauh. Jangan diperbolehkan mengunjungi istana dan menghadap raja. Bagaimana?"
"Kau dengar itu, Lysias Vardhein? Bersyukurlah karena putri ku memberi ampunan."
Felix menurunkan pedangnya dan mengembalikannya dengan sihir. Keren. Aku harus meminta Felix menunjukkannya pada ku.
Tuan Vardhein diusir dari istana. Keempat pengajar yang lain berbaris lagi. Felix menggendong ku dan menghampiri papa. Saat itu juga papa mengangkat ku dari gendongan Felix dan memangku ku. Aku senang tapi malu karena keempat pengajar ku ada di sini sekarang.
Aku menunduk, tahta raja lebih tinggi dari tempat keempat pengajar ku berdiri. Aku melihat mereka yang tampak kecil dari sini. Keren sekali.
"Tuan Pharthias, Tuan Frannquez, Nyonya Lazzer, dan Nyonya Derious. Terima kasih karena sudah menjalankan tugas dengan baik."
"Suatu kehormatan bagi kami Yang Mulia," ucap mereka serempak.
"Setelah ini, Kalian akan menjadi pengajar tetap Athanasia saat usianya tujuh tahun. Saat itu juga kalian harus berhenti mengajar anak lain dan fokus pada Athanasia."
"Baik, Yang Mulia."
"Terakhir, jangan membicarakan kejeniusan putri ku di luar istana."
"Baik, Yang Mulia."
Wah, pengajar khusus untuk ku? Orang-orang hebat ini akan menjadi guru ku? Asyik! Aku sangat senang!
"Yeay! Terima kasih, papa!" aku mencium pipi kiri papa dan tersenyum.
Papa mulai terbiasa dengan itu. Felix dan keempat pengajar ku tersentuh dengan pemandangan itu. Papa yang merasa tidak nyaman dipandang begitu, mengusir pengajar ku.
"Salam berkat dan hormat untuk Obelia."
Setelah itu mereka semua pergi, menyisakan aku, papa, dan Felix. Kami diam sampai papa membuka suara.
"Kenapa Kau ada di sini?"
"Papa bilang ingin menemui Athy setelah makan siang. Karena Felix tidak datang-datang, akhirnya Athy dan Lily kemari."
"Dari mana Kau tahu aku di sini?"
"Dari Felix!" aku memekik girang.
Saat itulah aku menyesal sudah mengatakannya. Papa menatap tajam ke arah Felix. Aku minta maaf Felix! Seharusnya tidak ku katakan hal itu!
***