webnovel

CHANCE (WMMAP FANFIC)

*HANYA SEBUAH FANFICTION* Seorang gadis bereinkarnasi dalam dunia novel yang ia baca. Namun bukannya senang, ia malah sedih karena bereinkarnasi menjadi seorang tokoh yang akan mati di usia delapan belas tahun. Menurut novel tersebut, dia akan dibunuh oleh ayahnya sendiri dalam dunia tersebut dengan cara digantung. Dengan kesungguhan hati yang kuat, dia mencoba mengubah takdirnya seorang diri. Namun, bantuan datang seiring berjalannya waktu dari orang-orang terdekat. Hingga suatu hari, bantuan juga datang dari Sang Ayah yang ditakdirkan membunuhnya. Bisakah gadis itu merubah takdirnya bersama orang-orang yang dia sayangi? Ataukah takdir berkehendak lain dan menginginkannya mengikuti alur ceritanya? Ikuti kisah gadis tersebut di fanfiction ini. *Fanfiction novel dan webtoon Who Made Me a Princess* Disclaimer: Plutus - novel WMMAP Spoon - webtoon WMMAP

lol_hoshi · Book&Literature
Not enough ratings
28 Chs

Pintar

Lusa siang harinya

"Felix! Lily!"

"Iya, Tuan Putri?" mereka menjawab bersamaan, serasi sekali.

"Ayo temani Athy menggambar!"

Mereka mengangguk dan mengikuti ku. Aku mengambil krayon dan kertas kemudian tiduran di atas tikar. Aku mulai menggambar sampai Felix bertanya.

"Siapa itu Tuan Putri?"

"Kau tidak tahu siapa wanita cantik ini?" Aku mengambil krayon warna cokelat dan biru.

"Ah, itu pasti Nona York!"

"Jadi Felix berpikir kalau Lily itu cantik, ya?"

Usil sedikit tidak apa kan? Lihatlah, sekarang kedua orang ini bersemu merah. Maafkan aku ya Lily, Felix. Aku melanjutkan gambar ku dan akhirnya dua lukisan karya ku pun jadi.

"Ini untuk Felix."

"Terima kasih, Tuan Putri. Akan saya simpan sebagai harta berharga milik saya." Aku mengangguk-angguk membalas ucapan Felix.

"Yang ini untuk Lily."

"Terima kasih, Tuan Putri."

Lily mencium pipi ku. Aku suka setiap kali Lily melakukannya. Aku jadi berpikir, apakah papa juga akan menyukainya? Mungkin bisa dicoba?

Aku mengemasi krayon dan kertas-kertas ku kemudian meletakkannya di atas meja. Aku menghampiri Felix yang masih duduk kemudian memeluk lehernya dari belakang.

"Felix, gendong aku. Kita temui papa sekarang."

Felix mengangguk mantap dengan wajah ceria, sedang Lily terkekeh geli melihat tingkah kami berdua.

"Hati-hati di jalan, ya."

"Dadah, Lily!" aku melambaikan tangan.

Kami berdua turun dan pergi dari Istana Emerald. Ini pertama kalinya aku digendong Felix di belakang, sangat menyenangkan. Aku menyisir pandangan ke sekeliling kemudian teringat sesuatu.

"Felix. Apakah di istana ada danau?"

"Oh, tentu ada Tuan Putri. Anda bisa mengunjunginya dengan Yang Mulia kalau mau."

Aku diam tidak menyahut setelahnya. Gila, ha? Dia belum tentu sayang pada ku, nanti kalau aku jatuh bagaimana? Aku diberi kesempatan hidup lebih baik ku jaga dengan benar. Aku tidak ingin ambil resiko.

Tanpa ku sadari, kami sudah ada di depan pintu ruang belajar papa. Aku segera turun, Felix membantu membukakan pintu. Aku hanya mengintip dari pintu, Felix yang melihat ku memilih untuk diam.

"Apa papa sibuk?"

Papa melirik ku dari balik dokumennya, meletakkan pena celup nya. Aku mencium bau tinta. Menurut ku itu sangat pantas untuk papa.

"Tidak juga." Aku masuk dengan Felix kemudian menghampiri nya.

"Papa! Apa Athy boleh membaca buku papa di sini?"

"Ke mana semua buku yang ku belikan untuk mu?"

"Sudah habis Athy baca."

Setelah insiden aku menangis, papa membelikan ku satu lemari penuh buku. Saking senangnya, aku membaca semua buku itu dalam tiga hari. Buku nya kebanyakan buku dongeng tipis, jadi cepat selesai.

"Tuan Putri sudah menyelesaikan semua buku itu?" Felix bertanya memastikan. Ada rasa kagum dan tidak percaya di nada bicaranya.

Aku mengangguk mantap. Kemampuan membaca ku sangat cepat. Buku tipis seperti itu bukanlah tandingan ku.

"Asal Kau tidak berisik aku tidak masalah."

"Yeay," aku lompat ke pangkuannya dan mencium pipinya, "terima kasih, papa."

Aku turun dan menghampiri rak buku papa. Ku lirik papa dari jauh. Oh, lihat wajah terkejutnya. Aku terkekeh pelan dan mengambil salah satu buku kemudian duduk di sofa. Baru saja aku akan membuka buku, papa berbicara.

"Felix. Ambilkan kursi dan taruh di depan ku."

"Baik, Yang Mulia."

Aku hanya melihat mereka dengan tanda tanya. Buat apa kursi itu?

"Athanasia."

"Iya?"

"Duduk di situ."

Papa menunjuk kursi di hadapannya. Oh, kursi itu untuk ku. HA? UNTUK KU? Apa aku mau dimarahi karena ciuman di pipi tadi? Aku minta maaf, itu hanya sebuah percobaan.

Dengan langkah patah-patah, aku berjalan mendekati kursi tersebut. Felix membantu ku untuk duduk. Aku menatap papa, dia tersenyum tipis. Ha? Kenapa tersenyum? Bukannya kau mau memarahi ku?

"Apa judulnya?"

"Eh?"

"Judul buku yang Kau pegang."

"Teori Sosiologi Volume 1. Eh, mirip seperti punya Athy."

Sontak papa dan Felix menatap ku tidak percaya. Apa aku salah bicara? Buku ini memang mirip dengan punya ku yang Seth belikan. Aku juga bingung kenapa Seth membelikan ku buku tentang teori sosiologi.

"Sudah Kau baca?"

"Sudah."

"Paham?"

"Paham."

Papa dan Felix saling pandang. Ada apa sih? Kenapa kalian seperti orang yang baru saja memenangkan undian? Kalian senang, tapi tidak percaya. Aku kan hanya membaca buku teori sosiologi, kalau paham isinya bukannya bagus?

"Tuan Putri, buku pelajaran apa saja yang sudah di baca?"

"Athy lupa. Athy sudah membaca banyak buku."

Lagi-lagi mereka menatap ku ngeri. Sungguh, aku ingin berteriak dan bertanya 'ada apa, sih?'

"Felix, besok panggil pengajaran untuk mengetes kemampuan Athanasia."

"Baik, Yang Mulia."

Ha? Apa tadi katanya? Mengetes kemampuan? Memangnya aku kurang pintar ya? Papa mengejek ku bodoh?

"Siapa yang mengajari mu tata krama?"

"Lily."

"Pantas saja kacau. Felix, besok panggil juga pengajar tata krama."

"Baik, Yang Mulia."

***

Seminggu kemudian

Felix POV

Sudah seminggu sejak Yang Mulia memanggil pengajar untuk mengetes kemampuan Tuan Putri Athanasia. Hari ini kabarnya hasilnya akan keluar. Aku berjalan di belakang Yang Mulia menuju ruang bicara.

Ruang bicara adalah ruang yang digunakan untuk membahas berbagai hal dengan para bangsawan. Di ruang tersebut, Yang Mulia biasanya mendengarkan keluhan dari para bangsawan. Meskipun dibilang mendengarkan, Yang Mulia sebenarnya cuek dengan hal seperti ini.

Bagi Yang Mulia, para bangsawan yang mengeluh tanpa henti sama seperti seekor anjing yang menggonggong. Jujur aku tidak setuju dengan Yang Mulia, tapi kalau beliau masih mau mendengarkan mereka ya sudahlah.

Tiba-tiba Yang Mulia berhenti di depan pintu. Kalau saja aku tidak segera sadar dari lamunan ku, aku pasti sudah membentur Yang Mulia.

"Ada apa Yang Mulia?"

"Aku malas. Felix, Kau saja yang menemui mereka."

"Gah! Yang Mulia tidak boleh begitu! Pertemuan kali ini khusus tentang Tuan Putri Athanasia! Anda harus datang! Anda sendiri yang meminta saya memanggil pengajar untuk menguji kemampuan Tuan Putri! Anda yang seharusnya mendengarkan hasilnya, bukannya saya! "

Aku mengatur napas, lelah karena berbicara tanpa henti dengan nada agak tinggi. Kurang ajar memang, tapi kalau tidak begitu beliau tidak mau mendengarkan. Aku siap kalau habis ini kena tatapan tajam dan sindiran Yang Mulia.

"Baiklah."

Yang Mulia tidak marah? Ini sungguhan Yang Mulia, kan? Aku masih terbengong-bengong sampai Yang Mulia membuka pintu ruang bicara. Saat itu juga, para pengajar yang ingin berbicara dengan Yang Mulia terdiam dan membungkuk.

"Segala keagungan dan berkat pada matahari Obelia," ucap kelima pengajar secara bersama.

Yang Mulia duduk di singgasananya dan aku berdiri di belakangnya. Para pengajar itu berbaris dan menunggu tanda untuk bicara. Ketika Yang Mulia memberi tanda, seorang pengajar muda maju dan membuka suara.

"Yang Mulia, saya adalah Adon Pharthias. Saya menguji dalam bidang sejarah. Dari tes yang saya berikan, Tuan Putri Athanasia menjawab semua pertanyaan dengan benar. Beliau menguasai sejarah Kerajaan Obelia dan sihir dengan sangat baik."

Tuan Pharthias mundur dan menoleh ke arah pria tinggi di sebelahnya. Pria itu maju dan membungkuk.

"Saya Learco Frannquez. Saya menguji dalam bidang matematika. Tuan Putri Athanasia sangat mengesankan, Yang Mulia. Untuk anak seusianya, beliau sudah paham dasar-dasarnya. Beliau perlu mengasah kemampuannya dalam hal trigonometri dan logaritma."

Yang Mulia menganggukkan kepalanya. Kali ini giliran seorang wanita yang berbicara. Pakaiannya sederhana namun menampakkan keeleganan.

"Nama saya Berly Derious. Saya menguji kemampuan Tuan Putri di bidang bahasa. Meskipun kosakata nya masih sedikit, Tuan Putri bisa mempelajari yang baru dengan sangat mudah. Tuan Putri Athanasia sangat jenius."

Wah, Tuan Putri pintar sekali. Usianya baru lima tahun, tapi Tuan Putri sudah membuat kagum tiga orang guru. Aku yakin tiga sisanya juga pasti kagum.

"Saya adalah Eissa Lazzer. Saya menguji sosiologi. Saya tidak bisa memberi tanggapan, Yang Mulia. Tuan Putri menguasai volume pertama dari buku teori sosiologi. Tuan Putri Athanasia luar biasa."

Aku menahan tawa mendengar ucapan wanita paruh baya itu memuji Tuan Putri Athanasia habis-habisan. Untuk wanita seusianya, bersemangat saat membicarakan sesuatu tentu saja sangat jarang terjadi. Kecuali topik pembicaraannya adalah hal yang luar biasa untuknya.

Pengajar terakhir maju dan membungkuk. Aku yakin Yang Mulia menunggu hasil dari pengajar ini. Pria yang kini ada di hadapan Yang Mulia adalah penguji bidang ketatanegaraan. Tentu saja Yang Mulia menuju hasilnya, Tuan Putri Athanasia adalah pewaris tahta, bukan?

"Hamba adalah Lysias Vardhein. Hamba menguji kemampuan dan pemahaman ketatanegaraan Tuan Putri Athanasia. Dari tes yang diberikan, saya kecewa dengan hasilnya, Yang Mulia. Tuan Putri Athanasia hanya bisa menjawab satu dari seratus pertanyaan."

***