Zidan terpaku, awalnya ia hendak merapikan bunga bunga sambil dengan sengaja memunculkan bunyi aktifitas dan tidak masalah jika Bunga menganggapnya Ilham tapi apa yang sedang Bunga ucapkan menarik perhatiannya. Zidan terlutut di hadapan Bunga, mendengarkan dengan seksama setiap kata yang gadis buta ini ucapkan.
"Tapi aku sudah ikhlas kok seperti ini, dan lagi dokter itu bilang operasi sekali lagi pun masih memiliki 30% kemungkinan gagal. Aku sudah terlalu banyak merepotkan ayah dan ibu, kamu tau itu. Sejak kecelakaan itu, aku buta karena banyak syaraf dan otot di bagian mataku yang rusak. Ayah dan Ibu sudah dua kali mengumpulkan uang lima puluh juta dan bahkan harus menjual tanah kami yang ada di kampung tapi..."
Zidan menelan ludah dalam dalam tanpa sadar ia mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Bunga dan Bunga membalasnya erat pasti karena Bunga mengira ini genggaman Ilham.
"Aku bahagia Ilham, walaupun buta." Kata Bunga dibalut senyum lebar.
Zidan memandang wajah Bunga lekat, lalu ia perhatikan genggaman Bunga yang erat pada tangannya. Hatinya berkecamuk, tapi ia mendapatkan jawabannya. Oma benar, mungkin ini yang disebut jatuh cinta. Perasaan sakit dan bahagia yang terasa bersamaan. Perasaan ingin memiliki dan melindungi yang saling adu kuat.
Zidan tidak berkata apa-apa tapi jelas dia tau apa yang harus dia lakukan. Zidan menarik tangannya perlahan, mengusaikan genggaman Bunga walau ia sangat menyukai genggaman itu.
"Aku tau kamu masih marah, hati hati ya kerjanya." kata Bunga.
Zidan kembali ke mobilnya, berlalu pergi kembali ke rumah megahnya. Oma sudah berdiri di depan teras. Memang sudah terlalu lama Zidan meninggalkan rumah.
"Zidan kamu dari mana? Sejak tadi Papamu menelfon," kata Oma saat Zidan keluar dari mobil.
"Oma, ayo... Ayo ikut Zidan." Pinta Zidan layaknya anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan. Oma tidak menolak saat cucu bungsunya ini memapahnya masuk ke dalam mobil. Tidak butuh waktu lama Zidan sudah kembali ke tempat Bunga. Dia bukakan pintu untuk Oma dan memapahnya mendekati Bunga, seakan tak ingin kelewatan sedetikpun ia sampai menutup pintu mobil dengan ujung sepatunya.
Zidan tak bersuara, tapi Oma tau apa yang harus dia lakukan. Oma berlagak ingin membeli bunga, kemudian percakapan kecil terjadi. Senyum lebar tersungging di wajah Zidan sambil bersedekap saat Oma melempar pandangan pada Zidan dengan menunjukkan jari jempol dan telunjuk yang menyatu sementara tiga jari lainnya tetap tegak menjadi isyarat OK.
"Oma sangat menyukai bunga, dan sepertinya karena penjelasan kamu Oma jadi makin menyukai bunga." Kata Oma lalu terkekeh.
"Oh iya besok akan ada perayaan kecil kecilan ulang tahun Oma, apa kamu mau datang untuk membantu Oma merangkai bunga bunga?"
Senyum Bunga berhenti kaku, "Tapi Oma, saya kan..."
"Saya janji tidak akan terjadi apa apa di rumah," sambar Zidan tak sengaja mengutarakan keberadaannya.
"Tuan Zidan?" Bunga terperangah saat mengenali suara itu.
"Zidan cucu Oma, Bunga. Bunga yang kemarin Zidan beli, Oma berfikir jika perayaan sederhana di rumah akan lebih indah jika dihiasi banyak bunga untuk itu Oma meminta Zidan mengantar Oma ke penjualnya."
Pada akhirnya Bunga mengangguk singkat dengan senyum tipis, anggukan setuju. Zidan senang bukan kepalang, ia langsung memeluk Omanya erat bahkan kalau tidak diingatkan Omanya, Zidan ingin mengangkat Omanya tinggi-tinggi. Oma kembali ke dalam mobil meninggalkan Zidan dan Bunga berdua.
"Maaf ya tuan," pinta Bunga.
"Untuk apa?" Tanya Zidan.
"Karena saya sempat berfikiran buruk soal Tuan kemarin. Saya pikir, Tuan membeli semua bunga saya karena alasan kasihan." Ujar Bunga.
Zidan memandang lekat wajah itu, wajah ayu yang selalu betah ia pandangi berapapun lamanya. "Kasihan? Kamu sadar gak kalau kamu sangat sangat beruntung Bunga..." Balas Zidan.
"Maksud Tuan?" Bunga tak paham.
"Ada orang bisa melihat tapi tak memiliki hati. Bukankah lebih beruntung jika bisa menggunakan hati tanpa perlu melihatnya?"
Senyum tipis menghiasi bibir Bunga, ada kalimat pujian yang diam diam ia berikan pada Zidan, hanya ia tak berani mengucapkannya. "Aku akan kembali menjemput kamu jam tujuh malam, tepat setelah kamu selesai berjualan."
"Tapi aku harus berganti pakaian Tuan," sergah Bunga. "Ada hal yang lebih membuat cantik dari sekedar pakaian bagus. Senyuman kamu," kata Zidan sebelum pergi.
Bunga terpaku, dan mendengar suara mobil menyala kemudian berjalan menjauh saat itulah senyum lebar dan pipi merona terlukis jelas di wajah Bunga.
***
Zidan melihat ruang utama rumah sudah di hias banyak bunga mawar seperti bunga favorit Oma. Zidan juga sudah mengenakan kemeja, rapih dan hampir membuat pekerja yang sedang menghias rumah jadi bisik berbisik karena Zidan sering sekali berdiri di depan kaca untuk merapikan kemeja yang sudah rapih, atau untuk menyisir rambutnya yang sudah klimis. Zidan tau Oma hanya memberi alasan pada Bunga dengan memintanya menghias bunga di acaranya, padahal sudah ada orang orang khusus yang akan melakukannya. Tapi memang itu cara satu-satunya agar Bunga mau datang, dan pelukan erat Zidan berikan ketika Oma jujur menjelaskannya.
"Oh ya ada yang lupa," sergah Zidan berlari menaiki tangga masuk ke dalam kamarnya. Langkahnya terhenti di depan sebuah meja, sudut meja itu tergeletak sebuah amplop putih. Zidan meraihnya membuka isinya, salah satu lipatan kertasnya ia ambil dan ia buka, sebuah cek bertuliskan seratus juta rupiah.
"Untuk Bunga?" tanya Oma sudah berada di belakang Zidan. Zidan berbalik dan mengangguk, "Iya Oma. Bunga bisa melihat lagi setelah ini. Dan aku gak sabar melihat dia bisa melihat lagi, dia pasti bahagia sekali Oma" cerita Zidan semangat.
Oma menggigit bibirnya, memunculkan wajah cemas. Tapi ia coba tersenyum merespon kebahagiaan cucunya. "Sudah jemput Bunga sana, Oma sudah tidak sabar memakaikan gaun sewaktu Opa kamu melamar Oma dulu. Gaun kesayangan Oma... dan sekarang khusus untuk gadis yang cucu Oma paling sayangi," pinta Oma.
Oma melihat isi amplop yang ditinggalkan Zidan di meja. Sebuah cek, surat dengan tulisan tangan Zidan yang lebih mirip rumput bergoyang, Oma sempat tertawa tapi kemudian terdiam ketika membaca isi surat itu, dan sebuah foto Zidan berukuran 3×4 ada di dasar amplop. Oma memasukkan kembali cek, surat dan foto itu sambil menggeleng, "Kamu benar benar menyukai gadis itu ya..."
***
Ilham turun dari bajaj, dengan seragam pabrik berwarna abu-abu yang biasa dia pakai jika bekerja. Saat membayar tukang bajaj Ilham melihat jika Bunga sibuk beberes.
"Kamu mau kemana?" Tanya Ilham sambil membenarkan tas Selempangnya. "Aku, aku diminta menghias bunga di rumah tuan Zidan. Untungnya kamu sudah datang Ilham,"
"Ke rumah Zidan? Perayaan apa yang di adakan jam segini Bunga?!" Tanya Ilham marah. "Ulang tahun Oma-nya,"
Ilham meremas kedua tangannya geram. Saat hendak menumpuk keranjang, lengan Bunga ditarik oleh Ilham agar gadis itu berdiri menghadapnya.
"Ilham apa yang kamu lakuin, sakit!" Sergah Bunga sambil menarik tangannya.
"Kamu bilang ke Zidan kita cuma sahabat? Kamu sengaja kan bilang begitu? Supaya dia suka sama kamu, dan karena kamu juga punya perasaan suka itu ke dia!"
"Kamu bicara apa sih Ilham? Kenapa kamu jadi semarah ini? Memang benar kan kita hanya sahabat?! Atau... Atau selama ini kamu?" Bunga tak sanggup mengungkapkannya.
"Apa kamu gak bisa liat itu Bunga?! Apa kamu gak bisa liat perasaan aku selama ini ke kamu?!" Tanya Ilham dengan nada makin tinggi.
Sebuah tangan menggenggam jemari Bunga dan tanpa permisi Zidan berdiri di antara Bunga dan Ilham.