webnovel

dua

Melihat Harry yang terlalu lama berpikir, membuat Kiki semakin merasa was-was. Dia menjadi ragu dan terpaksa berlipat-lipat mempertimbangkan banyak hal untuk mempersilakan Harry bertemu dengan suaminya. Kiki melirik jam dinding, "Sebentar lagi."

"Aku boleh duduk di sini sambil berdiam diri selagi kita menunggu Pendeta?" nadanya terdengar sangat takzim.

Kiki memperhatikan pergelangan tangan yang kaku itu dan dengan segera mengiyakan kalau berdiam diri bukanlah sesuatu keputusan yang buruk. Lalu, kuriositasnya muncul dan mengganggunya lagi. "Baiklah. Tapi satu pertanyaan terakhir." Kiki menatap buku yang berisi daftar pertanyaan itu, seolah-olah di situ tertera dengan jelas suatu pertanyaan yang wajib dijawab. "Berapa lama kau berada di penjara?"

"Setengah hidupku," jawab Harry dengan tegas. Seolah-olah dia telah melatih untuk mengucapkan kalimat itu sepuluh kali sehari.

Kiki menulis sesuatu, sedetik kemudian papan ketik komputer itu lantas menarik perhatiannya. Kemudian secara sigap dia mengetik membabi-buta seperti seorang karyawan yang sedang menghadapi tenggat waktu yang mepet. Email-nya kepada Ivan terurai; "Ada seorang narapidana di sini yang sedang mencari dan ingin segera menemuimu. Dia tidak mau pergi dari sini sebelum nampak batang hidungmu. Tapi dia terlihat cukup ramah. Aku buatkan dia teh sembari dia menunggumu. Aku tidak mau terlalu banyak berbicara dengannya, cepat selesaikan konsultasimu."

Lima belas menit kemudian, pintu ruangan Pendeta terbuka lebar dan seorang perempuan keluar dengan hentak langkah kaki yang keras sambil mengusap mata. Di belakang perempuan itu, menyusul mantan tunangannya yang mampu membuat kerutan di dahi sekaligus senyum tipis di bibir pada saat bersamaan. Tidak satu pun dari mereka yang menyapa Kiki atau sekadar melihat Harry dengan tongkat di atas pahanya. Mereka langsung melengos dan lenyap.

Ketika suasana sudah senyap dan yang tersisa adalah deru-deru angin yang tanggal di sekitar ruangan, Kiki berkata pada Harry; "Sebentar, tunggu di sini." Setelah itu, Kiki bergegas masuk ke dalam ruang kerja suaminya untuk memberinya penjelasan singkat.

Ivan Stefanus, Pendeta berusia tiga puluh tujuh tahun, dia menikah dengan Kiki yang usia pernikahannya telah berjalan selama delapan tahun sekarang. Dia sekaligus seorang ayah dari dua anak laki-laki yang masing-masing lahir sendiri-sendiri berjarak sekitar enam bulan. Sudah selama tiga tahun ini, Ivan telah menjabat sebagai pendeta senior di Gereja Bethany. Sebelumnya dia menjadi Pendeta aktif di sebuah gereja di salah satu kawasan Kanto. Ayahnya merupakan pensiunan dari pendeta Lutheran, dan Ivan tidak pernah berkeinginan untuk menjadi yang lainnya. Dia dibesarkan di sebuah daerah kecil di Kanto, dididik di sekolah yang tak jauh dari gereja, kecuali untuk acara darmawisata sekolah ke Osaka dan bulan madunya di Tokyo. Secara umum, dia merupakan Pendeta yang cukup dikagumi oleh para jemaatnya; meskipun beberapa persoalan pernah terjadi pada dirinya. Perselisihan pernah terjadi ketika dia membuka ruang bawah tanah di gereja untuk menampun para gelandangan selama badai salju di musim dingin yang lalu. Setelah badai salju reda dan mulai meleleh, sebagian dari gelandangan itu tidak mau pergi. Pihak Pemerintah Kota mengeluarkan disclaimer tentang penggunaan barang yang tidak pada tempatnya; dan ada berita yang sedikit tidak mengenakkan di media masa. Sementara itu, topik khotbahnya di hari Munggu lalu yaitu tentang memaafkan; kondisi agung Tuhan yang tidak mengenal batas dan legawa untuk memaafkan segala kesalahan manusia; tidak peduli seberapa besar dosa-dosa itu.

Membicarakan dosa-dosa, yakni dosa-dosa Harry Kazuya begitu nista, kejam, tidak bisa dipercaya, dan bahkan luar biasa mengerikan sampai terlihat tidak bisa dimaafkan meskipun khotbah Ivan minggu lalu terdengar sangat lugas dan menyentuh hati para jemaatnya. Track Record kejahatannya terhadap sesama manusia sudah dimungkinkan akan membuat dirinya mendekam di neraka dan menderita selama-lamanya. Dalam situasi ini, dia merasa bahwa hidupnya sangat berantakan dan begitu mengenaskan, Harry mengira bahwa dirinya sendiri tidak akan pernah bisa dimaafkan; meskipun begitu, dia masih ada rasa penasaran.

"Ada beberapa orang dari rumah singgah yang juga pernah ke sini. Aku juga pernah beberapa kali mengadakan kebaktian di sana," kata Ivan. Mereka berdua berada di salah satu sudut ruang kerja khusus Pendeta, agak sedikit menjauh dengan meja tulis. Sosok teman baru yang duduk di lounge chair yang sandarannya agak melorot ke bawah itu sambil berbincang. Tidak jauh dari tempat mereka, gemercik petikan palsu kayu bakar berkobar di tengah perapian palsu.

"Tempat ini lumayan juga," sahut Harry. "Penjara yang selama ini kutempati, kalah jauh." Harry berfisik ringkih, polesan kulit pucat menyertai tubuhnya yang memang khas orang-orang yang usai lama mendekam di tempat-tempat gelap. Lutut-lututnya yang kurus dan setiap tulangnya terlihat menonjol itu saling menyentuh, dan tongkat putihnya yang lebih kuat daripada kedua kakinya menggeletak di atas pahanya.

"Di mana alamat penjara itu?" Ivan memulai dengan nada santai sambil memegang cangkir tehnya.

"Tidak tentu. Beberapa bulan di Yamaguchi, beberapa tahun kemudian di Kyoto, bebas dan dipenjara lagi di wilayah penjara Chiba, setelah itu aku dipindah dan ditampung di Lembaga Permasyarakatan Kanto. Sekarang aku seperti orang cacat yang harus dituntun ke sana ke mari, aku berada di bawah saran dan perintah pengurus lembaga."

"Kau dijatuhi hukuman sebab telah melakukan perbuatan apa?" tanya Ivan, tidak sabar untuk mengetahui lebih banyak perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh Harry Kazuya yang kiranya hal itu yang membuatnya bersikukuh untuk datang ke gereja. Perbuatan kriminal? Penyelundupan narkoba atau konsumennya? Genosida? Terosisme? Bisa jadi semuanya. Sementara di sisi lain, Harry adalah koruptor pajak. Tetai, dengan tubuh yang ringkih dan terlihat jelas tidak berdaya itu, dia tidak terlihat seperti seseorang yang mampu melukai orang lain. Mungkin dia adalah broker ilegal, atau orang yang hanya bekerja di balik layar.

"Jelasnya, banyak sekali perbuatan keji yang aku lakukan, Pendeta. Aku sama sekali tidak sanggup mengingatnya seluruhnya." Harry prefer untuk tidak membalas tatapan mata. Karpet di lantai menjadi pusat sorotan matanya. Ivan meneguk tehnya dan menatap kliennya itu dengan cermat. Sesekali berselang beberapa detik, Harry akan menundukkan kepala sedikit ke sebelah kanan. Hanya anggukan singkat, selepas itu diikuti sentakan lehernya yang membetulkan posisi kepalanya semula.

Setelah suara Harry itu berhenti, kemudian ruangan disulap menjadi senyap. "Apa lagi yang membuatmu menahan ucapanmu, Harry?"

"Aku menderita toksoplasmosis. Penyakit ganas yang menyerang otakku, sangat mematikan, tidak bisa diobati."

Ivan tercenung.

"Apabila aku punya banyak uang, aku mungkin bisa melawannya. Dengan perawatan rutin, kemoterapi, yang masih bisa memperpanjang umurku mungkin sampai beberapa bulan ke depan, bahkan memungkinkan untuk setahun. Tapi ini sudah akut. Aku sudah lama membiarkan penyakit ini mengganggku waktuku, tanpa penanganan sewajarnya. Aku tidak pernah merasakan diomeli dokter hanya karena tidak rutin minum obat, atau yang lain. Aku pasti mati beberapa bulan lagi." Harry mengerutkan dahinya dan badannya agak sedikit condong, lalu mengurut pelipisnya. Napasnya tersengal, terlihat berat. Seluruh tarikan-tarikan tubuhnya terlihat kesakitan.