webnovel

satu

Penjaga di Gereja Bethany baru saja membersihkan salju setebal kira-kira delapan senti dari trotoar ketika pemuda berkacamata itu muncul. Matahari sudah gagah, tapi angin menderu ribut: suhu udara terjebak di titik beku. Pemuda itu hanya mengenakan celana jeans tipis, kemeja musim panas, sepasang sepatu bot usang, dan sehelai jaket yang nyaris tak mampu menahan dinginnya udara: dengan tangan terlipat di depan dada dan napas yang menggebu. Tapi, dia tak terlihat terburu-buru. Langkah kakinya teratur. Penjaga gereja bingung karena sapaannya hanya berakhir pada suaranya—tak ada balasan. Dekat kapel dan berhenti di depan pintu samping bertandakan kata "Kantor" dalam cat hijau usang. Pemuda itu tidak mengetuk dan pintu itu tidak terkunci. Dia melangkah masuk persis ketika hembusan angin kencang lain menerpanya dari belakang.

Ruangan itu adalah ruangan resepsionis yang penuh barang dan berdebu, persis seperti bayangan kita tentang kondisi sebuah gereja tua. Di tengah-tengah ruangan terdepat meja tulis dengan sekeping papan nama yang mengumumkan kehadiran Michele Joan yang duduk tak jauh di belakang namanya. Dia menyapa sambil tersenyum, "Selamat pagi."

"Selamat pagi," balas pemuda itu. Lengang sejenak. "Di luar dingin sekali."

"Benar sekali," sahut wanita itu, sambil menilai cepat tamunya. Masalah utamanya adalah dia tidak mempunyai mantel, dan kepala serta kedua tangannya tidak berpelindung.

"Kurasa kau adalah Ms. Michele Joan," katanya, sambil membaca tulisan di papan nama itu.

"Bukan, Ms. Joan tidak bisa datang hari ini karena pilek. Aku Kiki Stefanus, istri pendeta, menggantikan tempatnya. Ada yang bisa kami bantu?"

Ada satu kursi kosong dan pemuda itu memandang penuh harap ke sana. "Boleh aku duduk?"

"Boleh, silakan," sahut Kiki. Laki-laki itu duduk dengan berhati-hati, seolah-olah dengan wajah yang kelihatan tua itu dia harus melakukan segala sesuatu dengan matang-matang.

"Apakah pendeta ada di sini?" tanya laki-laki itu sambil memandang ke pintu yang tercium hawa sunyinya di pojok kiri.

"Pendeta ada di sini, tapi dia sedang ada rapat yang tidak bisa diganggu. Apakah ada sesuatu yang kamu perlukan?" Kiki seorang yang bertubuh mungil, mempunyai dada yang indah dan sehelai sweeter yang terlihat pas dengan tubuhnya.

Laki-laki itu tidak bisa melihat apapun di bawah pinggul wanita itu sebab terhalang oleh meja tulis. Dari dulu, dia menyukai perempuan-perempuan bertubuh mungil. Wajah yang manis dan menawan, sepasang bola mata berwarna cokelat, tulang pipi tinggi, seorang perempuan yang cantik dan terlihat segar; dia istri pendeta yang sempurna. Sudah sangat lama dia tidak menjumpai sensasi itu kembali.

"Aku ingin segera bertemu pendeta, Stefanus. Bisa?" katanya sembari menangkupkan tangannya seperti orang yang hendak berdoa. "Aku datang ke gereja dan mendengar khotabhnya kemarin. Sepertinya aku butuh sedikit bimbingan."

Kiki tersenyum dan memperlihatkan giginya; sungguh indah. "Jadwal dia padat sekali hari ini."

Laki-laki itu merespon dengan wajah memelas. "Aku sangat membutuhkannya sekarang. Agak mendesak."

Kiki telah menikah dengan Ivan Stefanus cukup lama dan mereka tidak mempunyai rekor untuk mengusir seorang jemaat dari kantor suaminya, entah yang sudah membuat perjanjian sebelumnya maupun yang tidak. Lagi pula, hari itu adalah hari senin yang beku dan Ivan juga tidak terlalu sibuk. Dering telepon begitu sering terdengar nyaring hari itu, salah satunya adalah konsultasi seorang pemuda dan pemudi yang tidak ingin menikah sedang berlangsung saat itu, kemudian kunjungan rutin ke beberapa rumah sakit.

Kemudian Kiki mencari-cari di sekitaran meja tulis, dan dia menemukan buku yang berisi beberapa daftar pertanyaan para kliennya. "Baiklah kalau begitu, aku perlu mencatat beberapa pertanyaan dasar lebih dulu dan setelah itu kita lihat apa yang bisa dilakukan." Kiki sudah mantap dengan bolpoin di tangan kirinya.

Laki-laki itu bereaksi dengan membungkukkan badannya ke Kiki. "Terima kasih."

"Siapa namamu?" tanya Kiki dengan intonasi datar yang terkesan lugas.

"Harry Kazuya." Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Kiki. "Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan."

Kiki menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Harry menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. "Sudah, sebentar…" Kiki menahan. "Kali ini tentang alamat," Kiki masih sambil menulis. "Di mana tempat tinggalmu sekarang?"

"Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beberapa blok dari sini. Dan saat ini, aku sedang dalam proses pembebasan, seperti itulah istilah mereka. Beberapa bulan aku di rumah singgah di sini, di Kanto, aku diharapkan akan menjadi manusia merdeka sekali lagi, tanpa ada syarat lain yang diinginkan sebagai syarat pembebasanku."

Tangan Kiki menghentikan bolpoinnya, tapi sorot matanya masih menatap alat tulis itu lekat-lekat. Keinginannya untuk mencari informasi tentang laki-laki di depannya mendadak lenyap. Dia agak merasa skeptis untuk mencari tahu lebih tentang manusia di depannya. Namun, karena dirinya sendiri yang memulai interogasi itu, dia merasa kalau dia berkewajiban untuk melanjutkan. Lagi pula, apa ada sesuatu yang lain yang bisa mereka lakukan sepanjang menunggu pendeta selesai rapat?

"Kau mau teh?" tanya Kiki setelah dia memikirkan matang-matang kalau pertanyaannya itu tidak berbahaya.

Senyap sejenak, sedikit lebih lama, seolah-olah Harry tidak sanggung mengiyakan. "Ya, boleh. Gulanya sedikit saja."

Kiki lekas keluar ruangan untuk menuntaskan tawarannya. Harry memperhatikannya pergi, mengamati segala-galanya tentang Kiki, fokus dengan bokong bundarnya yang indah di balik balutan celana panjang yang ketat, kedua kaki rampingnya, pundak yang nampak kokoh, bahkan ekor kudanya. Sekitar seratus lima puluh senti, mungkin enam puluh, lima puluh delapan kilo maksimal.

Kiki secara sengaja berlama-lama di luar, dan ketika dia kembali untuk memastikan Harry Kazuya, dia masih duduk di sana seperti saat Kiki meninggalkannya tadi, masih duduk seperti jemaat yang berdoa, ujung jemari tangan kanannya perlahan mengetuk-ngetuk ujung jemari tangan kirinya, tongkat kayunya yang berwarna putih menggeletak di pangkuannya. Kepalanya dicukur plontos, terlihat kecil dan mengkilap, betul-betul bundar seperti lampu taman, dan ketika Kiki datang menyerahkan secangkir teh pada Harry, dia memperkirakan sendiri dengan gurauan, apakah Harry memang berkepala plontos sejak masih muda ataukah memang dia menyukai model kepala seperti itu. Terlihat sebuat tato yang menyeramkan terlukis di salah satu sisi lehernya.

Harry menerima cangkir teh itu dengan mantap. Dan setelah mengucapkan terima kasih, dia meletakkan cangkir tehnya di meja tulis. Kiki kembali ke tempat duduknya yang semula. Mereka berada terpisah di antara meja tulis.

"Kau seorang Lutheran?" kembali Kiki memegang bolpoin dengan buku yang berisi daftar pertanyaan di depannya.

"Itu perlu kau catat?"

"Ya," tegasnya.

"Kurasa bukan. Sebenarnya aku bukan siapa-siapa. Aku nggak pernah punya keinginan untuk pergi ke gereja sebelumnya."

Mendengar pernyataan Harry yang tidak pernah punya keinginan untuk pergi ke gereja, membuat Kiki merasa bingung. "Lalu kemarin dan sekarang kau kemari, mengapa?"

Harry Kazuya mengambil cangkir teh itu dengan kedua tangan berada tepat di bawah dagu, mirp seekor tikus yang sedang menangkup sekeping biskuit. Apabila pertanyaan sederhana tentang teh tadi membutuhkan waktu sekitar lima belas detik, mungkin pertanyaan tentang kehadirannya di gereja untuk kali ini membutuhkan waktu dua jam.

Harry mencium bau harum asap tehnya—dia berasumsi kalau bekas sentuhan Kiki masih menempal di sela-sela cangkir itu—kemudian dia meneguk sedikit dan mengecap bibirnya. "Butuh berapa lama lagi menurutmu aku harus menunggu untuk bertemu Pendeta?" tiba saatnya dia bersuara.