webnovel

Bree: The Jewel of The Heal

Brianna Sincerity Reinhart, putri seorang Duke yang mengepalai Provinsi Heal di Negeri Savior. Suatu hari, Bree menyelamatkan seorang wanita yang berasal dari negeri Siheyuan, sebuah negeri yang merupakan negara sahabat kerajaan Savior. Bree membawa wanita tersebut ke kediaman keluarga Reinhart dan malangnya wanita itu mengalami amnesia dan hanya mengingat kalau dia biasa dipanggil Han-Han. Ternyata wanita tersebut memiliki kemampuan pengobatan tradisional yang sangat mumpuni, sehingga Duke Reinhart memintanya untuk menjadi tabib muda di Kastil Heal. Sejak kehadiran Han-Han Bree mulai semangat menekuni dunia obat-obatan dan menjadi lebih terarah. Bree menjadi rajin untuk memperbaiki diri karena ingin mendapatkan keanggunan seperti Han-Han. Di saat Kaisar Abraham, pimpinan negara Savior, mengadakan kerjasama dengan Siheyuan, mereka menerima delegasi yang dikirimkan. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuan Muda Lacey, seorang jenderal perang yang masih muda, tampan, tangguh namun minim ekspresi. Bree langsung menyukai pria tersebut saat pertama kali mencuri pandang pada Tuan Muda Lacey tersebut. Bree yang mempunyai perangai terbuka dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Yue Lacey namun penolakan adalah yang menjadi santapannya. Puncaknya adalah saat Yue Lacey bertemu si anggun dan cerdas Han-Han. Tuan Muda tersebut tidak menutupi ketertarikannya dan itu membuat Bree sangat tersakiti. Haruskah Bree mengalah demi Han-Han yang menjadi sumber inspirasinya? Haruskah dia melepaskan pria idamannya, Yue Lacey? Kisah berawal di provinsi Heal. Apakah nama provinsi ini akan sesuai dengan pengharapannya, penyembuh. Ini kisah lika-liku Bree dalam mencari peraduan cintanya. Kisah ini bukan hanya mengajarkan mengenai mengejar dan mempertahankan cinta karena tingkat tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Siapakah yang akan mengikhlaskan, Bree atau Han-Han?

Pena_Bulat · Lịch sử
Không đủ số lượng người đọc
48 Chs

Farewell now, Bree!

"Ya ampun! Semoga Yang Maha Kuasa mengampuniku." Naena terus berdecak kesal dan menggelegkan kepalanya, gemas.

Bukan tanpa alasan Naena bertingkah seperti saat ini. Aku baru saha menceritakan padanya mengenai apa yang Azlan katakan padaku tadi siang.

"Nona Brianna Sincerity Reinhart, putri sulung gubernur provinsi Heal, Duke Abraham Reinhart, apakah Anda benar-benar tidak menyadarinya atau pura-pura bodoh?" Aku memilih diam dan membiarkan Naena melanjutkan ceramahnya.

"Anak kecil pun tau. Semua murid kelas ramuan pun sudah mengetahui dengan jelas kalau Pangeran Azlan menyukai Nona." Naena mendudukan dirinya di sebelahku. "Pangeran Azlan yang senantiasa perhatian pada Nona. Dia yang selalu meluangkan waktu untuk Nona. Dan dia yang dengan jelas mengatakan apakah Nona akan merasa kehilangan atau tidak saat dia tidak di sini."

"Kami sahabat sejak kecil, Naena. Dan dia sudah memiliki seseorang yang disukainya saat kami di Provinsi Spirit dulu. Kami berdua sama-sama menemukan sosok yang kami kagumi di sana."

"Baru kagum, kan?" Naena menatap tajam ke arahku. "Nona Bree juga memiliki kekaguman pada Nona Han-Han."

"Itu kekaguman yang berbeda."

"Nah, itu maksud Naena. Rasa kagum bukan berarti rasa sayang atau pun cinta. Dan..." Naena menjeda setelah memberi penekanan pada tiap ucapan terakhirnya, "apa yang Pangeran Azlan tunjukan pada Nona selama ini adalah sebuah ketulusan yang membungkus kata cinta. Nona sendiri tadi merasa bahwa ekspresi Pangeran Azlan berubah saat Nona menganggapnya hanya sebagai sepupu. Pangeran Azlan meminta Nona untuk menemuinya kalau ada sesuatu yang ingin Nona sampaikan padanya."

Aku mulai meresapi setiap perkataan Naena. Aku bukan tidak menyadari perasaan Azlan untukku. Aku hanya tak ingin dikecewakan, sebab itu tadi, Azlan memiliki satu sosok yang sangat sulit dilupakannya saat kami sama-sana di Spirit. Aku yakin tingkahnya waktu itu bukan sekedar untuk membuatku cemburu. Terlebih lagi, aku juga menemukan sosok seseorang yang kukagumi di sana.

Satu hal bodoh memang, kami berdua tidak mengetahui siapa orang yang kami kagumi itu. Kami hanya mengetahui sebatas mereka orang Siheyuan. Itu saja.

Apakah aku akan merasa kehilangan Azlan saat dia tidak bersamaku lagi? Perasaan apa yang sebenarnya kumiliki untuk Azlan?

"Menemukan sesuatu?" Suara Naena memutus lamunanku.

"Entahlah. Sebaiknya aku istirahat lebih awal. Besok kelas bersama Kak Han-Han akan dimulai."

"Ngomong-ngomong tentang Nona Han-Han, Nyonya dan Tuan Duke sepertinya sependapat dengan Nona Bree. Mereka juga yakin kalau Nona Han-Han sebelumnya adalah perempuan bersuami. Tabib Will juga nampaknya menerima pendapat Duke Rein."

"Syukurlah. Aku sangat mencemaskan kalau-kalau Kak Han-Han akan disudutkan gara-gara kondisinya yang hamil."

"Nyonya merasa yakin kalau Nona Han-Han menjalani kebiasaan sebagai wanita Siheyuan saat Nyonya memberikan beberapa gaun Savior dan Nona Han-Han tidak menginginkannya. Katanya dia merasa sangat nyaman dengan mengenakan Hanfu."

"Tidak ada masalah lagi mengenai keberadaan Kak Han-Han, itu artinya aku akan bisa belajar banyak ramuan padanya."

"Nona Bree sangat bersemangat untuk kelas ramuan sekarang. Biasanya juga melarikan diri."

"Kehadiran Kak Han-Han sepertinya membawa dampak baik untukku, Naena."

"Itu juga yang Nyonya katakan pada Duke Rein."

"Leon, mana Azlan?"

Seperti perkataan Naena semalam, hari ini Kak Han-Han memulai kelas ramuan bersama kami. Aku sungguh bersemangat untuk itu. Namun, tidak menemukan keberadaan Azlan bersama kami tanpa kabar, seperti ada sesuatu yang kurang.

"Kau sudah merindukannya?"

"Ckk! Aku serius bertanya bukan minta goda."

"Baiklah, baiklah. Kalian berdua bebas mau menyebutnya apa." Aku memeloti Leon. "Azlan sibuk berkemas. Keberangkatannya dimajukan malam ini."

Ada sudut hatiku yang merasa kebas saat mengetahui keberangkatan Azlan dipercepat dan dia tidak memberitahukanku.

"Bree, ada masalah?" Kak Han-Han berjalan mendekati mejaku dan Leon. Hanya kami berdua menempati meja kami hari ini. Selain Azlan, Naena juga tidak datang karena ada urusan bersama Mommy. Mereka menyiapkan berbagai kebutuhan untuj kedatangan delegasi apalah, aku juga kurang jelas. Padahal datangnya juga masih, tapi mereka sudah sangat heboh.

"Tidak, Kak. Ini juga baru mau mulai. Bagaimana kondisi Kak Han-Han?"

"Syukur pada Yang Kuasa, kami berdua sehat-sehat saja. Terima kasih untukmu, Bree. Saya dengar dari Tuan Leon bahwa Bree-lah yang meyakinkan orang-orang untuk menerima kondisi kehamilan saya.

"Bree hanya mengikuti apa kata hati Bree. Iya kan, Leon?" Aku menahan kedutan bibirku saat Leon dengan sikap salah tingkahnya saat Kak Han-Han menatap ke arahnya.

"Ah iya. Itu benar, Nona Han-Han." Kak Han-Han menanggapi dengan senyum mempesonanya sebelum kembali ke depan untuk melanjutkan kelas.

"Azlan! Inikah cara kau pergi?"

Aku langsung mendatangi paviliun Azlan setelah menyelesaikan kelas ramuanku. Aku mengabaikan jadwal makan siang. Hanya satu yang kupikirkan yaitu bertemu Azlan.

"Kau bahkan tak memberitahukanku kalau kau akan berangkat malam ini."

"Kenapa, merasa berat kutinggalkan?"

"Nggak lucu. Lagi pula, ini bukan saatnya bercanda."

"Aku tidak bercanda sama sekali. Aku memang benar-benar berharap kalau kau akan keberatan untuk membiarkanku kembali ke Savior." Tidak ada nada godaan dalam ucapan Azlan.

Aku memegang lengan pakaian Azlan dan pemuda itu menatap intens padaku.

"Azlan, aku sendiri tidak mengerti mengenai perasaanku padamu. Bukan aku tak menyadari segala bentuk perhatianmu, ucapanmu. Aku sadar arahnya ke mana. Tapi, entahlah aku sendiri bingung apa yang aku rasakan.

Saat mengingat bahwa kau akan meninggakanku, ada sisi diriku yang merasa akan sangat merindukan kehadiranmu. Namun, aku belum bisa memastikan rindu sebagai apa? Teman? Saudara? Atau sebagai seorang wanita dewasa?"

Aku beranjak menuju sebuah bangku taman. Azlan juga mengikutiku.

"Kau ingat saat kita di Spirit?" Azlan mengangguk. "Saat itu kita masing-masing mendapat sosok yang kita kagumi. Pancaran matamu saat menceritakan mengenai perempuan itu begitu berbeda. Dan itu yang membuatku berpikir bahwa selama ini perhatianmu untukku bukanlah sebagai seorang pria pada wanita." Azlan terdengar menghela napasnya mendengar penuturanku.

"Baiklah. Aku bisa menerima alasanmu kali ini. Tapi, jika dengan aku yang tak berada di sini lagi dan kau merasa sangat merindukanku, tolong beritahu aku. Aku akan sangat menantikan saat itu." Aku tersenyum kikuk mendengar ucapan Azlan.

"Lihatlah, Bree! Salju mulai turun. Kau ingat saat kita masih sama-sama di Savior?" Aku menoleh pada Azlan yang masih memandang ke arah langit. "Kita bertiga selalu antusias menantikan salju pertama turun. Leon yang selalu menggerutu karena selalu dipaksa Paman Will membawa minuman penghangat."

Aku terbayang saat usiaku lima tahun, aku yang paling muda dan Leon yang paling tua. Azlan setahun di atasku.

"Kita yang masih kanak-kanak akan duduk di gazebo taman. Duduk di sana dengan kaki menjuntai. Minuman penghangat yang dibawa Leon selalu menjadi peneman di saat cuaca yang semakin dingin."

"Mommy yang senantiasa akan memarahi kita bertiga karena tidak mengindahkan panggilannya yang meminta kita untuk segera masuk."

"Itu benar, Azlan. Mommy dengan segala keceriwisannya."

"Bagaimana pun beliau adalah satu-satunya Mommy untuk kita bertiga. Leon dan aku kehilangan ibu sejak kami kecil, jadi hanya Mommy yang selalu ada untuk kami."

Di sisa sore itu kami menghabiskan waktu dengan mengenang masa kecil kami. Aku dengan santainya menyandarkan kepalaku di bahu Azlan. Azlan sesekali mengelus kepalaku. Nyaman.

Puas bercerita, Azlan akhirnya mengantarkanku ke Paviliun Heal.

"Masuklah! Aku hanya mengantar sampai sini." Azlan membantuku turun dari kuda setelah tiba di gerbang kediaman kami.

Azlan terus menatap sendu padaku.

"Farewell now, Bree." Azlan mendekapku sekilas. Terasa hangat dan nyaman. "Let me know when you feel the same as I do."

Azlan menaiki kudanya lagi dan aku memasuki paviliun saat kudanya tak lagi terlihat.

"We'll see, Azlan."