" Anak mana yang bisa menerima kenyataan kalau selama ini ia bukanlah bagian dari keluarga kecilnya." -Rembulan Cahyaningrum
Jleb!
Sebuah tamparan sekaligus kenyataan harus kuterima dengan hati yang rapuh dan penuh luka. Aku tidak pernah menduga ada hal yang lebih pahit dari masalah sekolah, yaitunya pengakuan dari Bapakku sendiri bahwa aku anak pungut. Selama ini Ibu dan Bapak membohongiku. Siapa sebenarnya orangtuaku? Kenapa aku dibuang oleh mereka? Apakah aku tidak pantas untuk hidup dengan layak?.
" jadi selama ini aku hanya anak pungut kalian ?" Tanyaku dengan penuh penasaran.
" Bukan begitu nak, kau bukan anak pungut.. kau adalah anak ibu dan bapak lan." balas ibu memelukku. Ya ibu begitu tahu saat ini tubuhku tidak mampu menopang kerapuhan hatiku. Aku hanya terpaku dengan pikiran yang masih tidak menyangka.
" sudahlah ! aku tidak ingin mengurus anak pungut ini lagi!. kau harus tahu Rembulan, kau adalah anak yang tidak tahu terima kasih. Seharusnya saat ini kau pun juga bekerja sambil sekolah, bukan berhenti!" hardik Bapak sambil menegakkan pinggangnya.
" Ulan tidak percaya bapak akan berkata seperti ini kepada Ulan, salah Ulan apa sama kalian? Ulan enggak minta bapak sama ibu untuk mengambil ulan ditong sampah waktu masih bayi kalau itu benar adanya. Kenapa enggak bapak biarkan Ulan tumbuh disana seorang diri. Kenapa pak!" protesku dengan airmata yang tidak dapat kubendung lagi. Ibu yang setia berada disampingku mengelus punggungku untuk meredakan emosiku.
" sudah nak,, sudah pak, malu dilihat tetangga." ucap ibu pelan sambil mata yang melirik ke arah yang lain.
" biarkan orang tahu anak yang tidak tahu terima kasih ini! Saya sudah capek membesarkannya. Mencari uang untuknya hanya agar ia bisa bersekolah yang layak bersama adiknya. Namun, apa yang kita dapat bu. Anak pungut ini hanya bisa mengeluh dan berhenti dari sekolah!" hardik Bapak padaku. Kemudian tanpa pamit bapak pergi dari hadapan kami berdua. Dengan jalan yang sudah tidak tegap lagi, bapak melangkah keluar dengan wajah yang masih panas serta hati yang gerah. Setelah itu, bayangan bapak hilang entah kemana.
" nak, ucapan bapak tadi jangan kamu masukkan ke hati yah.. bapak bicara seperti itu karena peduli denganmu. Ulan harus pikir ulang lagi ya soal berhenti disana." bujuk ibu dengan lembut dan penuh perhatian.
" ibu, kenapa enggak pernah cerita sama ulan soal kenyataan ini bu? Kenapa harus kalian tutupi selama ini dari Ulan? Ulan merasa dibodohi oleh orangtua sendiri." protesku. Bibirku mengerucut, bekas tamparan bapak masih terasa perihnya. Aku sudah tidak mempedulikan penampilanku saat ini. Kekecewaanku lebih besar dibanding apapun detik ini.
Ibu menghela napasnya dengan berat, ia tampak berpikir panjang untuk menjawab semua pertanyaanku. Ibu mengajakku duduk diatas alas yang terbuat dari anyaman bambu. Kemudian ibu menceritakan kisahku dikala itu....
Dimalam itu, hujan begitu deras. Ibu dan bapak berteduh disalah satu pos keamanan sebuah komplek mewah yang tak jauh dari pusat kota. Jalan raya tampak lengang, hanya ibu dan bapak yang berada disana. Entah apa yang ibu lakukan, seperti ibu sudah punya firasat ada yang tidak beres di pos keamanan itu. Ibu seolah mendengar tangisan bayi yang entah dimana bayi itu berada. Ibu tanya sama bapak, tapi bapak tidak mendengar tangisan itu. Kemudian ibu menghiraukan suara tangisan itu.
Hujan semakin deras, ibu dan bapak semakin bingung harus bagaimana cara menempuh hujan dikala malam yang gelap pekat ini. Disisi lain hati ibu semakin tidak tenang disaat tangisan bayi itu tidak terdengar lagi. Padahal disekitar sana tidak ada rumah ataupun oranglain hanya ada bapak dan ibu. Bapak mengingatkan ibu mungkin karena terlalu letih makanya terdengar hal yang aneh-aneh. Ya, saat itu memang benar adanya ibu benar letih setelah seharian mencari pundi-pundi rezeki.
Ketika bapak memutuskan untuk pulang daripada harus menunggu di pos keamanan yang tidak tahu kapan pastinya hujan itu mereda, suara tangis bayi kembali ibu dengar. Kali ini tangisan bayi lebih nyaring kedengarannya, spontan ibu tergerak mencari sumber suara itu dimana. Bapak yang berusaha mencegat ibu hanya bisa pasrah ketika harus berhadapan dengan naluri perempuan ibu.
Sebuah tempat sampah yang terletak diseberang pos keamanan, disitulah titik terakhir ibu mencari suara tangisan bayi. Ya dugaan ibu benar, sosok bayi mungil yang tampak kedinginan berada disebuah kotak kecil. Disana tidak tertulis nama bayi itu siapa, dimana alamat orangtua aslinya, tidak ada sama sekali. Bayi mungil itu pucat, seketika ibu panik dan membedung bayi mungil itu dengan kerudung panjang yang ibu kenakan. Ibu membawa bayi itu kepada Bapak. Lelaki yang saat itu masih berusia empat puluhan hanya diam terpaku dengan apa yang ibu bawa kepadanya.
" anak siapa itu Marni?" tanya bapak dengan keheranan dalam pikirannya.
" aku tidak tahu suamiku, aku mendapatkannya dibak sampah seberang sana." balasku sembari menunjukkan telunjukku ke arah bak sampah diseberang jalan.
" lebih baik jangan kamu ambil dia marni, kita tidak bisa merawatnya marni. Kau tahukan penghasilanku berapa? Mana cukup untuk beli susu bayi itu." ujarnya.
" jika kau tidak ingin merawatnya, biarkan aku yang merawatnya.." balasku dengan langkah kaki yang cepat meninggalkan bapak yang masih tersulut emosi.
Kehadiran bayi mungil yang tidak tahu siapa pemiliknya menjadikan pondok bambu ini lebih berwarna. Perlahan bapak mulai menerima kehadiran bayi mungil ini. Kemudian, ketika itu bapaklah yang menamainya dengan nama Rembulan Cahyaningrum. Karena, bapak berharap nama itu akan menjadi penerang didalam gelapnya kehidupan ibu dan bapak selama ini. Ternyata benar, kehadiranmu suatu anugerah bagi kami berdua. Sudah sepuluh tahun ibu dan bapak menginginkan seorang anak, namun Allah tak kunjung mengabulkannya. Ternyata dibalik itu semua, Allah mendatangkanmu dengan cara yang tak biasa.
Semenjak itu, Ibu dan Bapak hanya bisa merahasiakan ini semua darimu. Karena, kami pikir jika merahasiakan ini kesehatan mentalmu tidak akan terganggu. Dan ibu sama bapak tidak pernah tahu siapa orangtua kandungmu sebenarnya.
Sepenggal ceritaku dimasa lalu menghanyutkan naluriku. Aku tidak menyangka sebegitu tega orangtua kandungku membuangku. Ternyata luka yang kudapatkan dari aku masih belum mengenal dunia yang kejam ini. Sebenarnya apa ya alasan Tuhan menghadirkan aku ke dunia ini kalau kenyatannya sepahit dan sehina ini?.
" nak, kenapa kamu bermenung begitu?" tanya ibu heran padaku.
" hmm... seharusnya ibu biarkan ulan mati didalam kotak itu." jawabku pasrah.
" astaghfirullah nak, tidak mungkin ibu akan membiarkanmu kedinginan diluar sana nak. Ibu tidak tega." balas ibu.
Aku bersandar dibahu ibu, rasanya penatku tak lagi seberat diawal. Ibu menggengam tanganku, lalu berkata " ulan.. apapun yang terjadi ibu akan selalu ada untukmu. Jadi jangan sungkan untuk cerita sama ibu ya nak."
Andai ibu Marni adalah ibu kandungku mungkin sedari tadi aku tidak mengutuk diriku yang terlahir malang ini. Aku bahagia dibesarkan oleh seorang wanita yang sabar serta tangguh seperti ibu Marni. Setidaknya aku masih memiliki seorang yang selalu ada untukku.
" bu, Ulan ganti baju dulu yaa.. enggak sadar daritadi bajunya bau telur busuk hehe." sahutku sembari tertawa kecil. Ibu membalas dengan anggukan kecil kemudian tersenyum sendu. Aku membangunkan diriku dan berjalan menuju kamarku dan adikku, kejora.
***
Terima kasih sudah membaca " Berteman dengan Luka " Jangan lupa vote dan komennya yah
#novel #story #girl #perempuankuat #sadstory #love #lovestory #family #brokenheart #fiction #woman #stronger #17tahunkeatas