webnovel

Bench in the Park

Tidak semua orang mendapat kesempatan kedua dalam hidup, namun tak sedikit pula yang justru menggunakan kesempatan yang diberikan itu hanya untuk memuaskan nafsu keduniawian saja. Begitupula yang terjadi pada Keisha. Mengkhianati orang yang justru berperan besar dalam mengangkat kehidupan, bahkan rasa percaya dirinya. Dan saat semua sudah terlanjur terjadi, kata maaf dan penyesalan tentu tidak lagi berguna, sebab karma itu menyakitkan.

Ando_Ajo · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
402 Chs

Tabiat

Seperti pagi ini juga. Begitu berada di teras depan, Keisha melakukan sedikit peregangan dan pemanasan, setelah itu ia pun membimbing sepedanya tersebut ke luar pekarangan rumah.

Keisha mengayuh sepeda memasuki jalan raya meninggalkan jalanan yang ada di kawasan perumahan tersebut, menuju ke arah barat daya. Ia tidak terlihat tergesa-gesa, santai saja mengayuh sepedanya itu.

Lima menit setelah Keisha baru saja meninggalkan rumah, sang ibu pun kembali bersama motor matiknya. Sepertinya baru saja dari pasar mengingat ada dua bungkus besar plastik yang menggantung di cantelan yang ada pada motor matik tersebut, terlihat dipenuhi bahan-bahan masakan.

Saat memasuki pekarangan, ia melihat kondisi rumah masih sepi. Paling tidak, Keisha mungkin masih terlelap, pikirnya.

Namun setelah masuk ke dalam rumah, dan mendapati kamar sang anak kosong, Mutiya pun berpikir mungkin sang anak kembali bersepeda ke danau itu.

Benar, Mutiya juga tidak melihat keberadaan sepeda gunung itu di ruang belakang.

Dan saat ia membuka tudung saji, kembali hatinya melenguh remuk redam. Untuk kesekian kalinya Keisha tidak menyentuh sarapan yang telah bersusah payah ia sediakan. Bukan hanya dibuat begitu saja, namun diracik dengan segala kasih sayang yang ia miliki. Mungkin, dengan rasa penyesalan mendalam atas kelalaian memperhatikan kondisi sang buah hati sedari kecil ikut tercampur ke dalam racikan itu.

Mungkin itu pula penyebabnya Keisha tidak mau menyentuh sarapan yang selalu ia sediakan setiap pagi itu. Dan segala hal mungkin lainnya yang bisa terpikirkan oleh Mutiya untuk setidaknya bisa dijadikan kambing hitam atas kondisi yang sudah berlarut-larut terjadi dan terjadi lagi di tengah-tengah keluarganya itu.

Hanya kondisi air teh manis yang berkurang setengah itu saja yang sedikit mampu mengobati hati yang nelangsa.

***

"Bu, Delima pergi dulu, ya," ujar gadis itu sembari meraih sebuah bakul kecil dari anyaman rotan dan memiliki dua tali untuk pegangannya. "Nek, jangan berendam lama-lama begitu. Delima berangkat dulu."

"Iya, iya. Pergi sana."

Sang nenek memang sedang berendam di dalam kolam teratai tiga warna tersebut. Dan sebagaimana dengan yang terjadi semalam, begitupula lah kondisi sosok berambut nyaris memutih seluruhnya itu. Ia tidak mengenakan penutup apa pun di tubuhnya yang berada di bawah air tersebut. Hanya saja, kejernihan air kolam itu sendiri sudah meneriakkan betapa tubuh wanita itu masih sangat-sangat terjaga layaknya seorang gadis muda.

Bahkan, saat kedua bukit kembar di dadanya berada di atas permukaan air. Itu terlihat seperti dua bongkahan padat yang tergantung sempurna. Bukan seperti bukit yang nyaris runtuh sebab terlalu sering mengalami pengikisan.

Tidak sama sekali.

"Hati-hati, Sayang," sahut sang ibu pula yang sedang memegang tampian beras dari anyaman bambu di pangkuannya.

Tidak. Bukan beras yang ada di dalam tampian bulat persegi panjang itu dengan bagian bawahnya sedikit melengkung, melainkan serpihan-serpihan setengah mengering dari kulit buah tanaman mahkota dewa yang warna merahnya nyaris berganti menjadi coklat kehitaman.

Setelah kulit setengah kering mahkota dewa itu rata memenuhi setiap permukaan tampian, ia pun bangkit dari duduknya di pinggir lantai beranda dari susunan bambu utuh. Membawa tampian tersebut ke arah rumpun bunga asoka yang berjejer rapi.

"Sudah terlalu lama Ibu berada di dalam air," ujar wanita itu pada si nenek. "Naiklah."

"Kau belum tua, Delisa," balas si nenek acuh tidak acuh, "tapi kau lebih cerewet dariku sendiri."

Wanita bernama Delisa itu sesungguhnya sudah berusia 37 tahun. Dan si nenek tersebut bernama Delia, berusia 55 tahun. Hanya saja, wajah dan bentuk tubuh keduanya tidak ada bedanya seperti gadis-gadis berusia 25 tahun. Terlihat seperti dua orang kakak bagi Delima jika gadis itu berada di tengah-tengah keduanya.

Delisa tersenyum lebar. "Bagaimana kalau tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang tersesat ke tempat ini?" ujarnya seraya menaruh tampian tersebut di atas rumpun bunga asoka yang setinggi pinggang itu. Membiarkan cahaya matahari mengenai kulit-kulit setengah kering dari buah mahkota dewa tersebut.

"Akan aku congkel kedua bola matanya."

Delisa memandang miring pada Delia. Lantas menggeleng-gelengkan kepala.

"Apa semua laki-laki adalah seorang bajingan di mata Ibu?"

"Kau tidak tahu saja, Delisa."

"Benarkah?"

"Baiklah, baiklah," ujar Delia sembari mengangkat kedua tangan setinggi dada. "Kecuali ayah kandung cucuku itu. Dia pengecualian. Yang lainnya, ciih…"

"Ibu tidak pernah membuka hati pada laki-laki mana pun. Tidak memberi kesempatan sedikit pun. Bagaimana mungkin Ibu bisa tahu jika semua laki-laki adalah sama?"

"Aku tidak bilang semuanya."

"Ouh, benarkah?"

Delisa tersenyum lagi, kedua tangan merangkap di dada, dan satu jari telunjuk mengetuk-ngetuk pipinya sendiri. Seolah berkata pada Delia: Bukankah tadi Ibu mengatakan hal yang berbau ke arah itu?

"Ugh, keras kepala," Delia terkikik sendiri. "Aku rasa, sifatmu itu menurun dari ayahmu."

Delisa akhirnya tertawa juga, ia melangkah kembali mendekati balai-balai dari susunan bambu itu.

"Kenapa aku justru merasa itu diturunkan langsung dari Ibu sendiri?" ujarnya seraya meraih pakaian Delia yang tergeletak di salah satu sisi lantai beranda tersebut.

Delia tertawa lebih lepas hingga permukaan air kolam yang mulai sedikit tenang itu kembali berguncang-guncang, bergemericik halus.

"Baiklah, baiklah, mungkin kau benar. Tapi, yang aku maksudkan, mencari dan mendapatkan laki-laki yang baik seperti ayah dari cucuku itu, itu sama saja seperti mencari sebatang jarum di dalam tumpukan jerami."

"Tidak ada yang mustahil di dunia ini," Delisa pun membawa pakaian sang ibu ke tepian kolam. "Ibu sendiri yang sering bilang seperti itu kepadaku."

Delisa lantas duduk di tepian kolam, membiarkan setengah kakinya menjuntai terendam air kolam itu sendiri. Sementara, baju sang ibu ia taruh di sampingnya, di atas rerumputan yang tebal menghijau.

"Memang," sahut Delia pula. "Tapi mengejar sesuatu yang nyaris mustahil, bagiku hanya akan membuang-buang waktu saja."

"Jadi itu sebabnya Ibu memilih sembarang pria yang kebetulan seorang bajingan itu sebagai ayah kandungku?"

"Mungkin," Delia berkata dengan kepala dan bibir yang sedikit miring, dan kedua bahu sedikit terangkat.

Tapi Delisa hanya tertawa mendengar jawaban sang ibu sembari menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin memang sudah tabiat dari keluarga ini sendiri dari generasi ke generasi yang memiliki watak keras kepala seperti dia sendiri dan ibunya itu.

Kecuali, Delima.

Yang satu itu, sedikit lebih lunak dan lembut dibanding mereka berdua. Meski terkadang watak turunan yang keras kepala itu sesekali muncul ke permukaan, namun Delima selalunya bisa lebih bersabar.

Tiba-tiba saja ingatan Delisa memunculkan wajah dari ayah kandung anaknya tersebut. Ia tersenyum dengan begitu tipis namun sangat manis sembari menundukkan kepala. Dan seolah berusaha menciptakan gambaran itu di permukaan air kolam yang beriak pelan.