webnovel

Bench in the Park

Tidak semua orang mendapat kesempatan kedua dalam hidup, namun tak sedikit pula yang justru menggunakan kesempatan yang diberikan itu hanya untuk memuaskan nafsu keduniawian saja. Begitupula yang terjadi pada Keisha. Mengkhianati orang yang justru berperan besar dalam mengangkat kehidupan, bahkan rasa percaya dirinya. Dan saat semua sudah terlanjur terjadi, kata maaf dan penyesalan tentu tidak lagi berguna, sebab karma itu menyakitkan.

Ando_Ajo · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
402 Chs

Malam Bulan Sabit

Malam diterangi bulan sabit hari kesebelas setelah purnama, di atas batu cadas besar yang bertumpuk di tepian pantai. Seorang pemuda usia dua puluh lima tahun duduk dengan tenang pada batu terbesar dan paling terdepan menjorok ke arah laut. Hanya berteman sebatang rokok lintingan daun nipah di tangan, ia begitu menikmati suasana sepi tanpa orang lain yang terlihat ada di sana.

Benar. Kecuali lampu-lampu pelita dari sampan para nelayan yang terlihat berkedi-kedip di tengah-tengah laut.

Sesekali pemuda tersebut menyentak joran pancing di pangkuannya. Lagi-lagi nihil, ia hanya tersenyum saja. Sepertinya malam ini peruntungan sedang tidak baik. Meskipun sepertiga awal malam tersebut cuaca cukup mendukung. Angin berembus tidak terlalu kencang, hanya sepoi-sepoi basa yang bahkan mampu melenakan mata untuk terpejam, meski sekadar untuk menikmati belaian lembut sang bayu.

Mungkin, Dewi Fortuna sedang bersenang-senang dengan para nelayan di ujung sana. Pemuda itu tertawa tak bersuara, kembali melemparkan pancing ke dalam air.

Biarkan saja semua berjalan seperti itu, meski harus sampai ia lelah dan memutuskan untuk pulang, nanti. Toh, bukan itu tujuan utama pemuda tersebut bersendirian saja di tengah gemuruh ombak yang memecah kelembutan di tepian.

Ketenangan.

Menikmati geliat permukaan laut, gemericik air yang terkadang menyentuh ujung kakinya, itulah yang ia cari. Atau gemerisik daun-daun bakau juga nyiur yang saling bergesekkan dicumbu angin di tepian itu.

Sesuatu yang mampu menenangkan pikiran.

Dan ikan, hanyalah bonus saja dari semua keistimewaan itu sendiri. Keistimewaan yang mengantarkan si pemuda merasa dekat dengan kehadiran Sang Pencipta.

Seorang nelayan di tengah laut sana merasakan ada ombak cukup aneh yang menggoyang sampan kecilnya. Hanya ada dia seorang saja di atas sampan itu. Ia julurkan pelita ke arah permukaan air.

Nelayan itu tersenyum lebar. Bayangan besar setengah ke bawah dari seekor ikan bersisik terlihat cukup jelas baginya. Tapi anehnya, ia tidak memindahkan pancingannya ke arah itu, atau melemparkan umpan yang baru.

Ia hanya tersenyum sembari berharap bahwa malam ini akan mendatangkan berkah lebih banyak bagi dirinya demi menghidupi anak istri yang menunggu kepulangannya subuh nanti.

Kembali pada si pemuda yang duduk berkesendirian di atas batu cadas besar. Tanpa ia sadari, seseorang muncul ke permukaan dan naik ke atas sebuah batu besar lainnya. Jarak keduanya terpaut beberapa meter saja di sisi kanan.

Keheningan si pemuda yang begitu asyik menikmati simfoni alam tidak melihat sosok itu.

Sosok tersebut ternyata seorang wanita yang terlihat masih sangat belia—sepantaran tujuh belas tahun. Berwajah tirus dengan dua bola mata yang cukup besar dan hidung kecil runcing, bibir mengilat. Andai saja keadaan di sana terang benderang, tentu akan terlihat jika wajah cantik itu memiliki bibir yang merah tanpa pewarna. Juga, tubuhnya yang sangat menarik itu.

Padahal sebelumnya, saat gadis berambut panjang sepunggung itu keluar dari dalam air ia tidak mengenakan pakaian apa pun di tubuhnya.

Yaa, telanjang bulat.

Tapi kini, entah dari mana datangnya, tahu-tahu tubuh itu sudah terlihat dibalut pakaian mirip baju kebaya yang tipis, panjang dan sedikit longgar.

Atau, mungkin cahaya suram dari bulan sabit di atas sana yang mempermainkan panca indra.

Untuk lima menit ke depan, gadis itu duduk memeluk lutut sembari terus menerus mengawasi pemuda tersebut. Lambat laun, garis halus di bibir yang menyatu tertarik semakin jauh, dan membentuk satu lengkungan indah yang semakin membuat wajahnya terlihat sangat menawan.

Ujung joran kembali terasa digugut dengan kencang, pemuda itu kembali menyentak pancingannya tersebut.

Butuh keberuntungan ekstra sepertinya malam ini, pikir pemuda itu ketika mata kail yang kehilangan umpannya itu tidak membawa hasil apa-apa.

Gadis itu tertawa halus menyaksikan pemuda tersebut yang seolah menertawai dirinya sendiri.

Mendengar suara tawa nan merdu itu, si pemuda berpaling ke kanan. Barulah ia menyadari ada seorang gadis yang tersenyum-senyum mengawasi dirinya.

"Sedang tidak beruntung?"

"Begitulah." Pemuda itu balas tersenyum. "Apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini?"

"Menikmati ketenangan."

"Ketenangan?"

"Alam ini."

"Aah…" Pemuda itu mengangguk-angguk. Yaa, sama seperti diriku, pikirnya.

"Kau tidak kaget?"

"Kaget?" Ia melirik gadis di kanan itu lagi sebelum akhirnya menjatuhkan pancingan ke dalam air.

"Iya," senyum gadis itu kemudian.

"Untuk apa?"

"Karena aku tiba-tiba sudah duduk di sini mengawasimu?"

Sang pemuda tertawa halus. Dan gadis itu terlihat semakin tertarik saja dengan sifat dan ketenangan si pemuda.

"Kau tidak takut sama sekali?" tanya gadis itu lagi.

"Aku rasa, itu berlebihan."

"Bagaimana jika ternyata aku berniat jahat?"

Kembali si pemuda menoleh ke arah gadis tersebut. Di bawah siraman cahaya temaram bulan sabit itu saja, ia sudah bisa melihat betapa menakjubkannya wajah dan tubuh gadis tersebut. Ia tertawa lagi yang membuat gadis itu ikutan tertawa.

"Andai kau berniat jahat, kurasa kau sudah melakukannya sedari tadi. Bahkan, tidak perlu dengan cara bercakap-cakap denganku terlebih dahulu, kan?"

Sang gadis tertawa semakin merdu. "Boleh aku mendekat?"

"Batu ini cukup luas untuk diduduki satu orang. Jadi, kenapa tidak?"

Sosok cantik dengan lekuk tubuh nan aduhai itu melangkah dari satu permukaan batu ke permukaan batu lainnya hingga ia mencapai batu di mana pemuda itu berada.

Sang pemuda yang menyaksikan setapak demi setapak dari langkah kaki si jelita tersebut seolah dibuat terpaku sembari mengagumi sosok yang semakin indah di bawah temaramnya cahaya bulan sabit.

Ia menelan ludah begitu gadis itu sudah berada di samping kirinya. Lalu duduk dengan kedua kaki dibiarkan terjuntai ke bawah, sesekali goyangan permukaan air laut membasahi jari jemari kakinya itu.

Cantik sekali, gumam si pemuda di dalam hati.

Sang gadis tersenyum, ia sangat menyadari jika perhatian pemuda tersebut kini tertuju kepada dirinya, tubuhnya, wajahnya. Hanya saja, ia merasa kagum sebab pemuda itu tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda lebih mengutamakan nafsunya ketimbang joran pancing di tangannya itu.

Ini satu hal yang lebih baik lagi, pikir sang gadis.

"Kau tidak merasa aneh sedikit pun terhadapku?"

Pemuda itu tersenyum. Ia menggeleng.

"Kenapa?"

"Tidak tahu," ujar si pemuda, pandangannya kembali kepada para nelayan di ujung sana. "Mungkin kau tinggal di dekat sini. Jadi, yaa… tidak ada yang aneh bagiku."

"Begitu, ya?"

"Mungkin," jawab si pemuda kembali tersenyum seraya mengendikkan bahu.

"Bagaimana kalau aku ternyata roh penasaran, atau makhluk halus lainnya?"

Pemuda itu memutar pandangan, tertumpu pada wajah nan indah serta bentuk tubuh nan elok itu, lebih-lebih bukit kembar yang membusung dengan gaya duduknya yang seperti itu. Embusan angin menyibak rambut panjangnya. Si pemuda tersenyum lagi, kembali menjauhkan pandangan.

Bersambung...