webnovel

Bench in the Park

Tidak semua orang mendapat kesempatan kedua dalam hidup, namun tak sedikit pula yang justru menggunakan kesempatan yang diberikan itu hanya untuk memuaskan nafsu keduniawian saja. Begitupula yang terjadi pada Keisha. Mengkhianati orang yang justru berperan besar dalam mengangkat kehidupan, bahkan rasa percaya dirinya. Dan saat semua sudah terlanjur terjadi, kata maaf dan penyesalan tentu tidak lagi berguna, sebab karma itu menyakitkan.

Ando_Ajo · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
402 Chs

Keluarga yang Aneh

Keisha mengangguk. "Delima sudah memberi tahu saya, Nek. Sembilan belas tahun."

"Benar sekali."

Lalu, tiba-tiba Keisha terpikirkan hal menarik di sini. Jika benar Delisa berumur 37 tahun dan Delima 19 tahun, itu berarti saat Delisa hamil usianya bahkan lebih muda dari Delima pada saat ini.

Delapan belas tahun? Yang benar saja?

Jika itu benar, mungkin inilah penyebab Delima tidak mengetahui siapa ayah kandungnya. Mungkin saja sang ibu hamil di luar nikah, lalu ditinggal pergi oleh pacarnya. Ya, pasti begitu.

Astaga! Apa yang aku pikirkan?

Keisha mengutuk dirinya sendiri di dalam hati.

"Delima bilang, ada yang ingin kamu tanyakan kepada saya," ujar Delisa pada pemuda tersebut. "Benar begitu, Keisha?"

Keisha mengangguk dengan senyuman kecil di sudut bibirnya.

"Baiklah… Tentang apakah itu? Saya ingin mendengar langsung dari mulut kamu."

"Ermm, sebenarnya…"

"Apa kau memang selalu gugup seperti itu setiap kali akan bicara?"

"Nenek!" sahut Delima menegur Delia.

"Aku hanya mengatakan apa yang terlihat," Delia mengendikkan bahu.

Tentu saja ucapan Delia itu membuat Keisha merasa tidak enak hati. Mereka tersenyum-senyum, Keisha juga. Bedanya, Keisha tersenyum hambar kepada dirinya sendiri.

Tapi siapa yang bisa menyalahkan dirinya jika seorang pria berada di antara tiga wanita laksana bidadari dari kahyangan itu?

Omong kosong!

"Kamu tidak perlu sungkan, Keisha," ujar Delisa. "Tanyakan saja apa yang ingin kau ketahui dari saya."

"Terima kasih," angguk pemuda itu.

Sesaat, ia melirik kepada Delima. Dan lagi-lagi ia merasa bersyukur telah mengenal gadis yang sangat menarik itu sebelum pandangannya beralih kepada Delisa.

"Jujur saja," ujar Keisha setelah didahului helaan napas yang panjang, "sebelumnya, saya memiliki kekurangan."

"Begitu, ya?"

Lagi-lagi pemuda itu mengangguk. "Kekurangan yang membuat harapan dan gairah hidup saya menjadi hancur berkeping-keping, seperti selembar cermin yang jatuh di atas kerasnya batu pualam."

"Woow…" Delia terkekeh halus. "Tidak bisa kubayangkan, ternyata manusia bisa merasa rapuh seperti itu."

"Nenek!" sahut Delima, lagi. "Biarkan Keisha bicara dulu."

"Iya, iya," ujar Delia. "Kau mendadak menjadi seorang gadis yang cerewet. Menyebalkan!"

"Nenek!"

"Iya…" sahut Delia lagi. "Aku diam."

Manusia? Ulang Keisha di dalam hati. Jadi benar, mereka bukan manusia? Lalu apa?

"Jangan dengarkan Nenek," ujar Delisa pada pemuda itu. "Kamu teruskan saja ucapanmu, Keisha."

"Yaa…" Lagi-lagi helaan napas panjang terdengar sedikit menyedihkan dari mulut Keisha. "Kekurangan yang sama yang membuat saya lebih banyak mengutuk keadaan. Kekurangan yang sama yang juga membuat saya selalu menghabiskan waktu berjam-jam di atas bangku taman di tepi danau sisi barat itu."

Semua kepala hening, menekur dengan pikiran masing-masing demi mendengar ucapan pemuda tersebut.

"Kurasa itu bukan kekurangan," ujar Delia beberapa detik setelah keheningan menyelubungi ruang tengah itu.

Keisha melirik Delia. Sama seperti Delisa dan Delima, padangan sang pemuda dipenuhi tanda tanya besar terhadap Delia.

"Maksud Nenek?" tanya Delima pula.

"Ya," Delia lagi-lagi mengendikkan bahunya. "Andaikan saja kau tidak memiliki apa yang kau sebut sebagai 'kekuranganmu' itu, apa kau yakin masih akan bisa bertemu dengan cucuku?"

Semua orang tersenyum, termasuk Keisha sendiri.

Itu benar, pikir pemuda tersebut. Andaikan ia tidak memiliki kekurangan itu, sudah barang tentu ia tidak akan mengenal Delima. Sebab, dapat dipastikan Keisha akan menghabiskan waktnya di perkotaan, bergaul dengan teman-teman masa kuliahnya dahulu. Punya pekerjaan, dan mungkin dua-tiga orang perempuan yang akan menemaninya di sebuah bar atau sejenisnya.

"Nenek benar," ujar Keisha kemudian.

"Apa kau tidak berpikir bahwa ini adalah takdir?" lanjut Delia bertanya pada pemuda itu. "Takdir kalian berdua yang harus bertemu di bangku taman nan usang itu?"

Keisha dan Delima sama mengangguk. Keduanya saling pandang satu sama lain, lalu tersenyum, dan kembali menundukkan kepala.

"Lalu, kenapa kau merasa itu sebuah kekurangan bagimu?"

Keisha balik memandang pada Delisa. Kembali ia menghela napas lebih banyak sebelum menjawab pertanyaan tersebut.

"Entahlah… Tapi, dengan tidak bisa melihat warna sebagaimana dengan orang-orang kebanyakan, saya merasa kekurangan itu membuat saya rapuh, tidak lengkap. Tidak sempurna."

Delisa tertawa halus sembari menggeleng-gelengkan kepala.

"Seperti yang pernah aku tanyakan kepadamu kemarin, Keisha," ujar Delisa. "Apa kau seorang yang sempurna?"

"Maaf…" Keisha tersenyum dan menggeleng.

"Dan sekarang kau sudah bisa melihat warna dunia ini?"

Keisha mengangguk atas pertanyaan dari Delia itu. "Itulah yang ingin saya tanyakan pada…" Keisha menunjuk Delisa dengan ibu jari tangan kanannya, berusaha untuk tetap menjaga kesopanan diri.

"Apakah itu benar?" tanya Delia pada sang anak.

Delisa mengangguk dalam senyuman. "Dari ucapan Delima selama ini, aku menyadari satu hal, Bu. Pasti ada sesuatu yang membuat pemuda ini menjadi bermuram durja saja di tepian danau itu. Padahal dia terlihat seperti pemuda kebanyakan, tapi kenapa dia tidak bekerja dan menghabiskan waktunya di bangku taman itu?"

"Hemm…" Delia tersenyum mengangguk-angguk. "Sepertinya, kau mewarisi kebijakan dari diriku."

"Bukannya itu dari kakek?" Delima sengaja menggoda sang nenek.

Sementara Delisa tertawa halus mendengar ucapan sang anak, Delia pula menggurutu panjang-pendek namun tidak terdengar jelas sama sekali. Dan Keisha, pemuda itu hanya bisa tersenyum-senyum menundukkan kepala.

"Kakekmu itu seorang bajingan," ujar Delia, "tidak akan mungkin rasanya bisa mewariskan sifat yang bijaksana ke ibumu."

"Aah, yang benar?"

"Dasar cucu menyebalkan!" dengus Delia, namun kemudian ia pun tertawa-tawa.

Tapi hal ini menjadi pertanyaan tambahan di dalam kepala Keisha.

Ada apa dengan laki-laki di dalam keluarga ini sebenarnya? Pertama ayah kandung Delima yang meninggalkan gadis itu sedari kecil. Dan sekarang sang nenek mengatakan kalau kakek Delima adalah laki-laki bajingan.

Keluarga macam apa ini?

"Jangan kamu dengarkan apa kata ibu saya," ujar Delisa kepada pemuda yang terdiam itu.

Keisha tersenyum mengangguk.

"Nenek memang suka begitu," kata Delima pula. "Dari dulu sifatnya sudah seperti ini. Mau bagaimana lagi?"

"Kau lihat anakmu itu!" ujar Delia kepada Delisa. "Menjelek-jelekkan neneknya sendiri di depan pacarnya."

Keisha tersedak dan terbatuk-batuk mendengar ucapan Delia yang langsung mengena ke hatinya itu.

"Nenek!" sahut Delima seraya mengelus-elus punggung Keisha. "Kamu baik-baik saja Keisha?"

Keisha mengangguk-angguk meski batuk itu belum reda sama sekali, dan dengan wajah yang merah padam.

"Lhoo," alis mata sang nenek baik lebih tinggi, "apa aku salah? Jadi, kalian belum berpacaran?"

"Nenek!" sahut Delima yang juga dengan wajah memerah.

Sementara Delisa kembali tertawa-tawa halus menyaksikan bagaimana kemesraan sang buah hati dengan pemuda itu, dan ibunya yang selalu saja bersikap sama kepada setiap laki-laki.

"Katakan padaku, Keisha," ujar Delisa, di menit berikutnya. "Kau ingin bertanya bagaimana mungkin kini kau memiliki apa yang pernah hilang dari dirimu, begitukah?"

Keisha mengangguk. "Benar. Sungguh, saya merasa sangat berterima kasih—entah apa pun yang telah Tante lakukan kepada saya sehingga saya bisa melihat dunia ini dengan lebih baik lagi."

TO BE CONTINUED ...