webnovel

Bench in the Park

Tidak semua orang mendapat kesempatan kedua dalam hidup, namun tak sedikit pula yang justru menggunakan kesempatan yang diberikan itu hanya untuk memuaskan nafsu keduniawian saja. Begitupula yang terjadi pada Keisha. Mengkhianati orang yang justru berperan besar dalam mengangkat kehidupan, bahkan rasa percaya dirinya. Dan saat semua sudah terlanjur terjadi, kata maaf dan penyesalan tentu tidak lagi berguna, sebab karma itu menyakitkan.

Ando_Ajo · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
402 Chs

Berbeda Dari yang Lain

"Aku gak bilang kek gitu, Nek," sang gadis tersenyum sembari menundukkan wajah, lalu menyapukan air ke wajahnya bersamaan dengan kelopak-kelopak mawar.

"Benarkah?"

Wanita berambut putih memandang pada wanita yang satunya lagi.

"Kau lihat anakmu itu? Selalu saja menampik apa yang tersembunyi di dalam tempurung kepalanya."

Wanita yang satu itu tertawa pelan. "Ibu terlalu mengkhawatirkan Delima. Tidak ada yang salah dengan mengagumi cahaya bintang-bintang di atas sana."

"Aah," wanita berambut putih yang panjang tergerai hingga ke dada dan punggungnya itu mendengus pelan. "Kau dan anakmu itu, sama saja."

"Nenek jangan khawatir," ujar sang gadis bernama Delima tersebut. "Aku yakin, Tuhan pasti mendengar doaku, dan memberikan apa yang aku inginkan."

Hubungan ketiga orang wanita tersebut memanglah hubungan sebuah keluarga tiga generasi. Seorang nenek, seorang ibu, dan seorang cucu. Hanya saja, meski disebut begitu, sedikit pun tidak terlihat tanda-tanda penuaan pada dua orang di antara mereka—sang ibu dan sang nenek. Seolah mereka terperangkap oleh waktu dan tetap terlihat seperti seorang gadis berusia dua puluh lima tahun. Kecuali, pada warna rambut mereka. Yang seorang dipanggil nenek memang memiliki rambut yang nyaris memutih keseluruhannya, sedangkan yang seorang lagi uban di kepalanya belumlah terlihat banyak di antara rambutnya yang juga hitam panjang itu.

"Terserah kau saja."

Lalu, sang nenek menenggelamkan keseluruh bagian kepalanya di bawah permukaan air.

"Nenekmu benar, Delima," ujar sang ibu kemudian. Kelopak-kelopak mawar merah ada yang menyisip di helaian rambutnya.

"Bu," Delima menyentuh bahu sang ibu, lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang. "Ibu tenang saja. Nenek juga," lanjutnya ketika sang nenek kembali muncul dengan rambut putihnya yang basah dan lurus ke bawah semuanya. "Aku masih punya banyak waktu ini, kok. Jadi, tenang saja. Aku pasti akan memenuhi janjiku Bu…, Nek."

"Kurang dari setahun lagi," kata sang nenek seraya menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Itu bukan waktu yang banyak, Delima."

"Nenek benar, Sayang," kata sang ibu pula. "Kami tidak tahu lagi akan sampai kapan bisa menemanimu."

"Bu…"

Lagi, Delima memeluk sang ibu seolah ingin bermanja di pelukan wanita yang sudah melahirkannya itu.

"Di dalam generasi keluarga ini," ujar sang nenek. "Hanya kau yang memilih cara seperti ini, Delima. Aku heran, entah dari siapa kau dapat pikiran seperti itu?"

"Nenek…!" sanggah Delima seolah anak kecil yang merengek tak hendak dimarahi.

"Iya, iya, iya," sang nenek tertawa pelan begitupula dengan sang ibu. "Sudahlah, semua keputusan ada di tanganmu. Hakmu. Tapi kuingatkan sekali lagi, Delima… waktu yang tersisa tidak banyak."

"Iya, Nek," Delima tersenyum lebar di atas dada sang ibu. "Aku pastikan akan mengingat pesan Nenek."

Setelah itu, sang nenek bangkit hendak keluar dari dalam kolam.

Di sinilah baru terlihat jika tubuh wanita yang berambut putih itu benar-benar tidak terlihat seperti seorang nenek atau seorang wanita yang sudah tua sebagaimana selayaknya.

Tidak.

Tubuh telanjang tanpa sehelai benang pun itu benar-benar seperti tubuh seorang gadis yang belum terjamah sekalipun.

Sang nenek melenggang menuju balai-balai, lalu meraih sehelai pakaian yang tergeletak di tepian lantai balai-balai di antara dua pakaian lainnya. Pakaian itu berupa kebaya lebar dan panjang yang lebih mirip sebuah kimono, dan itu cukup tipis berwarna putih kemerah-merahan.

Meski begitu, wanita tersebut tetap menggunakan pakaian itu untuk menutupi tubuhnya. Cahaya remang-remang dari lampu klasik di tengah-tengah balai-balai tersebut seakan mencetak bentuk dan lekuk tubuhnya itu.

"Kalau kalian sudah merasa cukup," ujarnya seraya memandang ke arah kolam. "Naiklah. Nanti teh itu keburu dingin."

"Ibu duluan saja," ujar wanita yang memeluk Delima. "Kami akan menyusul sebentar lagi."

Wanita berambut putih mengendikkan bahu, lantas mendekati satu kursi bambu yang tersedia. Ia duduk di satu kursi pendek. Meraih sebuah cangkir keramik, lalu meraih teko tinggi itu dan menuangkan cairan di dalam teko ke dalam cangkir.

Cairan keemasan dan masih mengepulkan uap tipis itu mengisi cangkir keramik, tidak sampai terlalu penuh dan sang nenek kembali menaruh teko ke tempatnya semula. Ia mengangkat cangkir berisi cairan keemasan. Uap yang mengepul mendatangkan aroma tersendiri pada indra penciuman sang wanita yang sengaja ia dekatkan seperti itu.

"Teh madu yang wangi," gumamnya setengah tak terdengar. Dan kemudian mencicipi teh tersebut. "Aah, nikmat sekali."

Kembali pada Delima dan sang ibu yang masih berendam di dalam kolam.

"Terus?"

"Terus apanya, Bu?"

Delima menyembunyikan rona merah di pipinya dengan menyandarkan kepala ke bahu sang ibu.

Sang ibu tersenyum, tentu ia tahu pasti bagaimana perasaan sang anak kini. Satu tangannya mengusap-usap rambut sang anak, dari atas kepala hingga ke ujung rambut.

"Beri tahu Ibu, Sayang."

"Soal?"

"Kamu itu…"

Delima tertawa halus kala tangan sang ibu yang satunya lagi mencubit hidungnya yang lumayan tinggi.

"Seperti apa orangnya sampai-sampai kamu sedikit abai dengan ucapan Nenekmu?"

"Delima gak abai, Bu."

"Yang benar?"

Sang ibu mengangkat dagu Delima hingga mereka saling beradu pandang. Delima hanya bisa mengulum senyum menanggapi tanya besar yang melatari tatapan penuh kasih sayang dari ibunya itu.

"Terus?"

"Yaa…" Delima menjauh dari pelukan sang ibu, ia menengadah menatap cahaya bintang yang tidak seberapa banyak di atas sana. "Tinggi, gagah, ermm… sepertinya laki-laki yang menyenangkan—entahlah," Delima memandang sang ibu, kembali tersenyum. "Delima belum sempat berkenalan lebih jauh."

Sang ibu tertawa tanpa suara.

"Yakin?" tanya sang ibu lagi. "Hanya itu saja?"

Delima mendesah manja, dan kembali memeluk sang ibu dengan erat seolah sang ibu mampu membaca pikiran dan isi hatinya.

"Delima juga gak tahu pasti, Bu," ujar Delima sembari menjadikan dada sang ibu sebagai bantalan bagi kepalanya. "Tapi yang pasti, ada sesuatu yang menarik di balik sosok pria itu sendiri."

"Begitu, ya?" sang ibu mengangguk-angguk ringan.

Ia menangkup pipi sang anak dengan telapak tangannya. Delima tersenyum memandang wajah sang ibu yang sangat memberikan perhatian dan kasih sayang pada dirinya selama ini, begitu juga dengan sang nenek.

Sang ibu mengecup kening Delima.

"Sudahlah," kata sang ibu lagi. "Apa pun itu, Ibu sangat berharap kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan."

"Makasih, Bu." Pelukan Delima semakin erat ke tubuh sang ibu.

"Ayo," ajak sang ibu kemudian. "Kelamaan menunggu, nanti Nenekmu bisa mengamuk."

Delima tertawa cekikikan.

Dan seterusnya, ibu dan anak itu lalu bangkit, keluar dari dalam kolam. Sama seperti sang nenek sebelumnya, tubuh kedua wanita tersebut juga sama-sama tidak mengenakan penutup apa pun.

Bahkan, bila ada seseorang di sana yang menyaksikan bagaimana eloknya tubuh kedua wanita beda generasi itu—termasuk sang nenek tadi—pastilah akan berpikiran jika kedua orang tersebut adalah kakak adik.