webnovel

Bench in the Park

Tidak semua orang mendapat kesempatan kedua dalam hidup, namun tak sedikit pula yang justru menggunakan kesempatan yang diberikan itu hanya untuk memuaskan nafsu keduniawian saja. Begitupula yang terjadi pada Keisha. Mengkhianati orang yang justru berperan besar dalam mengangkat kehidupan, bahkan rasa percaya dirinya. Dan saat semua sudah terlanjur terjadi, kata maaf dan penyesalan tentu tidak lagi berguna, sebab karma itu menyakitkan.

Ando_Ajo · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
402 Chs

Apalah Arti Sebuah Nama?

Semakin mendekat gadis itu semakin sadarlah Keisha bahwa dia sangat cantik. Tapi Keisha ragu dengan definisi cantik dalam pandangannya, apakah sama dengan pandangan orang lain, atau lagi-lagi hanya tipuan dari mata yang hanya mampu menampung sepuluh ribu warna saja?

"Hai," Delia menyapa pemuda di balik bangku kusam itu. "Sungguh, aku tidak menyangka sama sekali, kamu datang terlalu awal."

"Apa ada larangan tertentu bagi seseorang untuk mendatangi danau ini?" Apa yang dibawa gadis itu di punggungnya? Tanya Keisha dalam hati. "Lagipula, aku hanya ingin memastikan, orang seperti apa sebenarnya gadis penguntit itu."

Delima tersenyum, sama sekali tidak tersinggung disebut sebagai gadis penguntit.

"Boleh aku duduk di samping kamu?"

Keisha tidak menjawab, namun dari gestur tubuhnya itu Delima bisa menyadari jika laki-laki itu tidak merasa keberatan dengan permintaannya.

Sang gadis melepas bakul berisi tiga botol madu yang ia pikul di punggung, meletakkan bakul dari anyaman bambu itu di samping bangku. Selama itu pula Keisha berusaha menelisik isi di dalam bakul.

Madu? Gumam Keisha dalam hati, lalu mengalihkan pandangannya ke jurusan di mana tadi gadis itu muncul. Tidak ada yang bisa ia lihat di ujung sana itu kecuali pepohonan dan semak belukar yang lebat.

"Memangnya di balik hutan itu ada yang menjual madu?"

Delima tersenyum lagi menatap wajah yang sesungguhnya tampan itu, sayangnya kurang terawat dengan baik, seolah-olah si pemilik tubuh itu tidak peduli dengan penampilannya.

"Tidak ada penjual madu di sana."

Delima pun duduk di bangku itu, sementara Keisha memandang kepadanya dengan sorot mata yang penuh tanda tanya.

"Dari mana kau mendapatkan madu sebanyak itu?"

"Lebah-lebah di hutan sana yang dengan senang hati menyediakan semua ini untukku."

"Yang benar saja!" Keisha mendengus sebelum akhirnya mengempaskan pinggulnya di bangku yang sama.

"Kamu suka madu?"

Keisha menggerakkan sedikit kepalanya, "Tapi tidak dengan warnanya."

"Kenapa?" Pandangan Delima tertuju pada ketiga botol lebar di dalam bakul di samping bangku. "Aku rasa warna madu ini cukup indah, kuning keemasan. Walaupun, sebenarnya aku lebih suka yang berwarna gelap."

Laki-laki itu mendesah panjang. Tapi ia tidak berencana untuk mengatakan kebenaran akan tipu muslihat dari padangannya sendiri kepada gadis tersebut.

Mubazir saja. Buat apa?

Lagipula, siapa yang bilang aku ke sini untuk berbaik-baik dengan gadis penguntit ini?

Meski demikian, harus ia akui bahwa disebabkan gadis itu pulalah ia menjadi lebih banyak berbicara tidak seperti di hari-hari yang lalu sebelum pertemuannya dengan gadis itu sendiri.

Tentu saja Delima melihat reaksi dari laki-laki tersebut yang sepertinya enggan untuk meneruskan membahas perihal warna madu. Delima tidak tahu pasti apa yang menyebabkan seseorang yang menyukai madu tapi tidak dengan warnanya, tapi perlahan saja, pikir sang gadis. Mungkin nanti akan ia ketahui alasannya.

Lalu, Delima menjulurkan tangan kanan kepada Keisha. Keisha melirik tangan yang terjulur itu, lalu berpindah ke wajah gadis itu sendiri.

"Kita belum sempat berkenalan, kan?" ujar Delima disertai senyuman yang teramat manis. "Namaku Delima."

Keisha tidak menemukan kepalsuan di senyuman gadis di hadapannya itu, meski dengan setengah hati ia menyambut jabat tangan tanda perkenalan tersebut.

"Keisha."

"Nama kamu bagus," ujar Delima seraya menyisipkan helaian rambut yang menggelitik telinganya.

Benar juga, pikir Keisha, nama gadis itu terdengar biasa-biasa saja, cenderung seperti nama yang ketinggalan zaman. Tidak seperti kebanyakan orang di zaman sekarang yang menggunakan nama yang aneh-aneh, termasuk dengan nama Keisha itu sendiri.

Atau negeri ini memang sudah melupakan tradisi kearifan lokal itu?

Bukankah di luar sana banyak pujangga yang berkata: Apalah arti sebuah nama?

Aah, sudahlah. Itu, bukan hal yang penting.

"Kau suka makan buah delima?"

Lirikan mata sang gadis tertuju ke wajah tampan yang tersamar oleh banyak duka itu. Lalu, ia menggelengkan kepalanya dengan ringan.

"Kupikir begitu," kata Keisha. "Namamu sama dengan nama buah itu. Delima."

Andai saja sepasang mata laki-laki itu mampu menangkap warna di wajah gadis tersebut, tentulah saat sekarang ini ia akan melihat pipi sang gadis yang memerah.

"Aku tidak seberuntung itu…" Delima tertunduk, memandangi kakinya sendiri.

Lagi-lagi kata yang sama, pikir Keisha. Siapa yang lebih tidak beruntung, kau atau aku?

"Lalu, kenapa kau menguntitku? Apa tujuanmu sebenarnya?"

"Aku tidak menguntit kamu," Delima mengangkat wajahnya, menghadirkan senyum tipis di sana.

"Benarkah?"

Gadis itu mengangguk. "Seperti yang aku bilang kemarin, aku tinggal di dekat sini," Delima menunjuk ke satu titik di tenggara dari danau kecil tersebut. "Aku penasaran saja," lanjutnya seraya menatap lagi wajah laki-laki itu, "karena aku sering melihat kamu melamun di bangku ini."

Meski penglihatannya selalu menipu diri namun Keisha tidak menangkap ada kebohongan dari suara gadis tersebut di pendengarannya. Lagipula, suara gadis itu begitu lembut dan sedap untuk didengar.

Apa yang seperti itu yang dinamakan suara yang merdu?

"Tapi tidak sekalipun aku melihat kamu ikut di tengah keramaian di sana," Delima menunjuk bangunan-bangunan yang ada di sisi timur danau.

Keisha menghela napas dalam-dalam. "Aku suka ketenangan."

"Menyendiri?"

"Kenapa tidak?"

Delima mengangguk pelan, kembali pandangannya tertuju pada sepasang kakinya yang memiliki betis yang sangat indah.

"Keramaian hanya menghadirkan kebisingan saja, semua semu. Kecuali embusan angin di tubuh ini. Tidak berwujud, tidak berwarna, tapi dapat dirasakan."

Suasana hening menyelubungi keduanya, hanya semilir angin berembus yang terkadang terdengar menggelitik telinga. Atau deburan ombak dari arah selatan, juga suara serangga dan hewan di dalam hutan yang sesekali ikut terdengar.

Keisha dan Delima tenggelam dalam pikiran masing-masing untuk jeda satu menit itu.

"Boleh aku bertanya sesuatu kepadamu?"

"Jika aku bisa menjawab," ujar Keisha, "silakan saja."

"Kenapa kamu suka menghabiskan waktu di bangku tua ini?"

"Tua?" Keisha menelisik bangku yang mereka duduki itu untuk sesaat. "Aku tidak melihat bangku ini sebagai sebuah bangku tua, mungkin karena catnya banyak yang sudah mengelupas."

Delima tertawa halus, menutupi mulutnya dengan satu tangan.

"Percayalah…, bangku ini sudah berada di sini lebih dari sepuluh tahun. Ditinggalkan begitu saja, dan dua tahun belakangan bangku ini kembali mendapatkan fungsinya."

Keisha paham itu, pastilah yang dimaksudkan Delima adalah dirinya yang memang dalam masa dua tahun ini sering menggunakan bangku kusam tersebut sebagai tempat untuk ia melamun menghabiskan hari-harinya.

Tanpa ia sadari, ada satu lengkungan tipis di sudut bibirnya. Dan itu terlihat cukup manis. Dan kemudian menghilang seiring Keisha menyadari perubahan di dalam dirinya.

Lagi-lagi Keisha merasa kagum pada dirinya sendiri sebab senyuman itu kembali hadir di bibirnya. Hal yang sangat sederhana sebenarnya, namun sudah cukup lama terpendam dalam duka berkepanjangan serta berbalut kekesalan. Kekesalan pada ketidakmampuan diri, juga terhadap kehidupan yang ia rasa tidak adil sedikit pun.