webnovel

Chapter 12 - Di sana.. (3)

Valias mengikuti pose yang dilakukan Danial. Bersama Dina yang tak kunjung melepas genggamannya dari tangan Valias.

"Aku, Chalis Nardeen, menyampaikan terimakasih kepada para tamu yang sudah hadir pada acara putra mahkota Hayden. Putraku akan menyampaikan sesuatu pada kalian semua."

Chalis Nardeen duduk di bangkunya. Sedangkan seorang laki-laki muda dengan pakaian mewah mulai melangkah maju setelah berdiri diam sejak Chalis mulai bicara.

Frey Nardeen berdiri dengan penuh kewibawaan di atas pelafon. "Rakyat kami. Bangsawan pemimpin wilayah di kerajaan Hayden kita. Aku, Frey Nardeen menyambut kalian semua bangsawan terhormat dalam ulang tahunku yang ke 20 tahun. Aku mengundang kalian semua di sini dalam harapan melihat wajah-wajah yang akan bekerja bersamaku meneruskan kemakmuran kerajaan kita. Ayahku, Chalis Nardeen akan mencapai masa tuanya sebentar lagi. Dalam ulang tahunku yang ke-20 ini, aku berharap aku bisa menjadi pemimpin selajutnya kerajaan Hayden dan membawa kejayaan bersama kalian semua."

Frey Nardeen membungkuk dan suara tepuk tangan begitu meriah memenuhi aula.

Frey melangkah menuju tangga dan menuruni anak-anak tangga itu bersama Wistar dan Putri Azna.

"Ibu? Itu minuman apa?"

"Kau belum boleh meminumnya." tepis Danial.

"Valias, nikmati acaranya. Makanlah sebanyak kamu mau. Bawa Danial dan Dina bersamamu." senyum Ruri lembut.

"Bawa anak ini juga. Dylan. Pergilah dan menjauh dari ayah."

"Tidak mau."

"Baiklah. Ayah akan meminta Terz memberikan Ben pada pangeran Wistar."

"Ayah!"

Vidor menutup kedua telinganya dan pergi meninggalkan Dylan yang kesal. Mengajak Hadden dan Ruri ke sisi lain lantai aula.

Dylan menonton bagaimana ayahnya bersikap begitu menyebalkan sebelum berbalik dan menerima tiga pasang mata melihat ke arahnya.

Dylan langsung memalingkan wajah. Berniat pergi.

"Tuan muda Dylan."

Sebuah suara membuat Dylan tertarik untuk membalikkan tubuhnya lagi.

"Apa?"

"Saya berniat mengajak Anda untuk bergabung dengan kami. Tidak ada salahnya mendapat bantuan untuk mengawasi Dina."

Dina mendengar itu tidak bisa diam. "Kakak! Aku tidak akan nakal! Aku akan terus memegang tangan kakak seperti ini. Aku hanya mau mencoba makanan-makanan itu!"

Valias meletakkan tangan satunya di kepala Dina lembut. "Anda bersedia?"

Dylan memandang Valias dengan mata semengintimidasi mungkin. Tapi anak ringkih itu tidak terlihat terpengaruh dengan tatapannya.

Dia menjawab setelah membiarkan keheningan berlangsung selama sejenak. "Baiklah. Aku akan membantumu mengawasi anak cerewet ini."

"Apa?!"

Valias terkekeh dan bersuara menenangkan. "Sudah sudah. Ayo kita coba makanan yang kamu mau. Mari, Dylan."

Dia mengerutkan kening. "Kau menyebut namaku sekarang?"

"Kudengar kita seumuran. Kau juga bisa memanggilku dengan sebutan yang kau mau. Kau tidak suka?"

Sang putra duke bicara dengan suara setengah bergumam. "...Kau..tidak seperti dugaanku.."

Kali ini Valias yang berbalik menatap Dylan.

Dylan, melihat bagaimana Danial dan Valias memandanginya dengan ekspresi berbeda—Valias dengan wajah bingung dan Danial dengan wajah datar mengintimidasinya—pun menegakkan bahunya. "Lihatlah. Anak cerewet itu hilang."

"Apa?" Danial melihat tangan Valias yang kosong.

"Eh?"

Dylan mendecak.

"Dina.." Dina belum pernah berjalan-jalan tanpa ditemani orang dewasa selain di mansion. Danial tidak tahu apakah Dina bisa atau tidak.

"Tidak apa-apa. Kita berpencar. Setelah itu kita berkumpul lagi di sini." beritahu Valias.

Danial menyetujui ucapan Valias dan mulai pergi.

"Ck. Hanya kali ini saja."

"Terimakasih."

Valias memasang senyum pada Dylan yang terlihat begitu terganggu. Tidak merasa bersalah juga sih.

Nama-nama yang terlalu familiar..

"Tuan muda Valias?"

Valias mengangkat wajahnya dan melihat Wistar, Frey Nardeen, dan Azna Nardeen menghampirinya.

...Aku tidak menyangka ketiganya akan bertemu denganku seperti ini.

"Yang mulia putra mahkota. Saya mengucapkan selamat ulang tahun." Dia memberi bungkukkan kecil. "Pidato Anda tadi begitu menggerakan hati. Saya yakin yang mulia Frey akan menjadi pemimpin yang baik selanjutnya."

"Pfft.. hahahah. Bagaimana, kak? Aku benar 'kan?"

"Valias Bardev. Adikku ini baru saja membicarakanmu. Aku pikir tuan muda Valias adalah seseorang yang pandai menggunakan kata-kata." Frey Nardeen memberi senyum ramah. Valias memandangi ketiga orang di depannya.

"Saya anggap itu sebagai pujian, yang mulia. Tolong panggil saya Valias."

Dia sama seperti yang ada di cerita.

Valias belum yakin tapi tidak akan menyangkal.

Setidaknya 3 orang itu..

Valias yakin ketiga nama itu adalah nama yang ada di cerita yang dia baca karena rekomendasi temannya itu.

"Tuan muda Valias. Senang bertemu denganmu. Aku harap kau menikmati acaranya." Putri Azna tersenyum lembut.

"Terimakasih, yang mulia tuan putri." Valias memasang senyum ramahnya.

"Kemana kedua adikmu? Tadi aku melihat Dylan." Wistar menaikkan kedua alisnya.

"Adik perempuanku hilang. Danial dan tuan muda Dylan saat ini sedang mencarinya."

"Benarkah? Apakah kita perlu meminta orang mencarinya?" Frey Nardeen bertanya cemas.

"Tidak perlu, yang mulia Frey. Aku yakin mereka akan menemukan Dina cepat atau lambat. Tidak perlu repot-repot. Salahku yang tidak menjaga adikku dengan baik."

"Tuan muda Valias terlihat seperti seorang kakak yang penyayang."

Azna ikut bicara.

Azna juga. Baru kali ini melihat seseorang dengan rambut berwarna merah. Keturunan keluarga kerajaan didominasi dengan warna rambut perak. Ada lagi keluarga Viscount Baldwin, yang terkenal dengan surai hijau mereka.

Tapi merah, aku baru pertama kali melihatnya.

Apalagi Valias adalah satu-satunya yang memiliki rambut merah di antara keluarganya. Darimana asal usul Valias Bardev? Azna ingin mencari tahu soal itu.

"Anda terlalu berlebihan, tuan putri. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai kakak."

"YANG MULIA!!"

Semua orang, termasuk Valias terkejut mendengar seruan itu.

Sedetik kemudian, Valias menyadari sesuatu melaju dengan sangat cepat kearahnya.

PRAANG!!

Suara kaca pecah terdengar dari jendela di sisi kanan Valias berdiri.

"LINDUNGI YANG MULIA!!"

Suara panah yang terhempas dari busurnya terdengar.

Valias teringat salah satu adegan cerita yang dia baca. Tangannya bergerak cepat mendorong Frey Nardeen dan tanpa dia sadari, sebuah panah menancap lengannya.

"KEJAR MEREKA! LINDUNGI YANG MULIA!"

"Valias Bardev!"

"OH DEWA."

"Darah!"

"Valias!"

"Tuan muda Valias!"

Orang-orang dengan tameng dan pedang berhambur mengelilingi ketiga saudara Nardeen.

"Panggil tabib! Ada yang terluka!"

"Siap mengerti!"

"Bergeser sedikit! Tuan muda Valias!"

Azna mengambil langkah lebar menghampiri Valias yang memegangi tangan kanannya.

Ah.. aku tidak menyangka ini..

Tertusuk dan tergores benar-benar berbeda. Valias sebagai Abimala cukup ceroboh dan tidak jarang menabrak sesuatu yang berujung tajam dan membuat lengan atau bahunya tergores.

Valias merasa sakit tapi tidak mengeluh. Setelah mempersiapkan diri dan menahan napas, Valias menggapai panah yang menancap lengannya itu dan menarik panah itu lepas. Darah memuncrat dan Valias langsung menjatuhkan panah itu kelantai.

Valias tanpa ragu menempelkan mulutnya pada luka tusuk di lengannya dan menghisap luka terbuka itu.

Valias melangkahkan kakinya ke sebuah meja dan meraih salah satu mangkuk yang tertumpuk disana.

"Puh."

Valias meludahkan darah di mulutnya pada mangkuk itu sebelum kembali menempelkan mulutnya pada luka yang masih mengucurkan darah.

Valias merasa kain di lengannya menganggu. Dia melirik meja lagi dan menemukan pisau steak yang terjejer dan mengambil salah satunya.

Srett..

"Tuan muda Valias!" Azna memandangi Valias dengan wajah syok. Pucat oleh ketidakpercayaan. Valias menusukkan ujung pisau ke salah satu bagian baju dan menggesek pisau itu keluar, merobek sebagian kain lengan bajunya yang sudah basah oleh darah.

Valias kembali menghisap lukanya dan meludahkan isi mulutnya ke mangkuk. Dia melakukan itu beberapa kali sebelum melihat adanya sebuah lilin di atas meja dan mulai menghampiri lilin itu.

"Tuan muda Valias! Tabib sudah datang. Apa yang Anda lakukan?!"

Valias melirik Azna tapi tidak merasa nyaman untuk berbicara. Jadi dia tidak menjawab dan hanya melanjutkan niatnya.

Mengambil pisau lain dan membawa pisau itu di atas api. Setelah beberapa detik, Valias mengarahkan pisau itu pada lukanya.

"Ukh.."

Rasa panas dan perih membuatnya pusing. Dia menggertakkan giginya kuat-kuat tanpa berhenti mengoyak lukanya dengan pisau steak itu.

Lebih banyak darah mengalir dari lukanya. Lukanya membesar akibat aksinya itu. Begitu banyak darah menetes membasahi lantai.

"Kakak!" Suara Dina terdengar.

"KAKAK!" Kali ini suaranya lebih kuat. Dina berlari menghampiri Valias dengan Danial dan Dylan menyusul di belakangnya.

"VALIAS!" "VALIAS!" Kali ini Hadden dan Ruri yang menyerukan namanya.

Valias mendengar itu tapi memutuskan untuk tidak menanggapinya.

"Tabib! Obati luka orang itu!" tuntut Azna.

"Oh dewa, pemandangan apa ini.."

Seseorang dengan rambut merah mengoyak lengannya sendiri dan terus menghisap darah yang keluar akibat tindakannya sendiri dengan mulut yang sudah berlumuran darah. "Kakak! Apa yang kakak lakukan?!" tangis Dina dengan wajah penuh oleh ketegangan.

"..Orang gila.."

Danial dan Dylan menonton aksi Valias dengan mata nanar. Dina menghampiri Valias dan meremas celana kakaknya. "Kakak! Kenapa kakak melukai diri sendiri?! Hentikan!" Dina mulai menangis dan meraung. Valias masih tidak berhenti. Semakin banyak darah keluar dan setelah menghela nafas, barulah dia berhenti dan mengambil sebuah serbet di atas meja untuk membersihkan mulutnya.

Rasa amis darah dan sedikit perisa pahit masih tersisa di mulutnya. Valias kembali meludah. Berusaha menghilangkan dua rasa itu.

Valias ingin mengambil air. Tapi Dina menahan kakinya.

Valias masih kurang nyaman untuk berbicara jadi dia melepas paksa kedua tangan Dina dari kain celananya. Sebelum meraih segelas air dan menggunakan air itu untuk mencuci mulutnya. Meludahkan air itu lagi ke dalam mangkuk yang sudah terisi genangan cairan merah.

"Ha.." Setelah meneguk air sejuk itu barulah Valias merasa lega.

Merasa dirinya sudah bisa tenang, Valias mengangkat wajahnya dan mendapati semua orang melihat ke arahnya.

....

Orang-orang memandangnya dengan variasi wajah pucat, syok, dan tidak percaya.

Valias merasakan tubuhnya berdiri kaku di tempat, sedikit bingung dengan bagaimana dia harus bertingkah. "Valias! Oh dewa, terlalu banyak darah.. Valias! Apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan dengan pisau itu?!" Hadden hendak meraih ragu-ragu kedua bahu anaknya.

"Kakak.. hiks." Dina mengusap wajahnya dengan tangan yang terkena darah Valias. Valias melihat itu dan meraih serbet lain untuk mengusap wajah Dina.

"Ukh.." Lupa dengan kondisi luka di lengannya. Dia sudah memperparah lukanya demi membuat lebih banyak darah mengalir dan membawa racun dari panah itu keluar bersama darah-darah yang keluar. Rasa kebas dan nyeri yang teramat sangat menyerang tangannya. Dia memegang lengan kanannya sebelum berlutut dan mengusap wajah Dina dengan serbet yang juga sudah ternodai darah karena tangannya yang menyentuh serbet itu. "Berhenti menyentuh wajahmu. Tanganmu kotor. Bersihkan tanganmu dulu." Valiasl mengusap wajah Dina sebelum berdesis dengan kerutan di dahinya. Lukanya sakit karena bergerak.

"A- Aku akan melakukannya sendiri! Kakak jangan bergerak!" Dina merebut serbet itu dan cepat-cepat menggosok kedua tangannya dengan serbet dari sang kakak.

Dina ingin menyentuh Valias tapi Valias lebih dulu menjauh.

"Jangan sentuh aku dulu. Nanti tanganmu kotor lagi."

"Tabib! Sekarang! Tuan muda Valias, saya harap Anda akan diam dan membiarkan tabib kerajaan mengobati lukamu."

Valias memutuskan untuk membiarkan tubuhnya duduk di atas lantai. Hadden, Ruri, dan Dina berlutut di dekat Valias bersama dua tabib yang mulai bergerak mengobati luka pemuda itu.

"Valias! Ayah sangat khawatir! Kenapa kau memperparah lukamu seperti itu? Sebenarnya apa tujuanmu??"

"Ayah benar! Aku tidak mau melihat kakak melakukan itu lagi!"

..Kalau aku tidak melakukan itu racunnya akan semakin parah.

Beberapa menit berlalu. Orang-orang menonton pemandangan itu dengan beragam jenis wajah.

"Dia melindungi calon raja."

"Lihatlah bagaimana barusan dia mengkhawatirkan adiknya bahkan dengan luka parah itu."

"Dia bahkan tidak mengeluh."

Valias mengerutkan dahinya ketika rasa nyeri menyerang lengannya tapi dia tidak mengeluarkan suara apapun.

"Kejadian tadi tidak akan bisa kulupakan."

"Begitu heroik dan mengerikan."

"Aku akan menulis kejadian ini di surat kabar."

"Si anak misterius keluarga Count Bardev.."

"Kejadian mengerikan di pesta ulang tahun yang kedua puluh putra mahkota Frey Nardeen."

Valias dan keluarganya tidak mendengar bisikan-bisikan di antara kerumunan itu. Tapi Dylan mendengarnya.

Dasar orang-orang aneh.

"Kami sudah selesai."

"Syukurlah.. Valias, apa kau sudah merasa lebih baik?"

Valias masih merasa nyeri dan kebas tapi perban yang membalut lukanya sudah membuatnya merasa lebih baik. "Sudah, ibu."

"Kau bisa berdiri?"

Hadden membantu Valias berdiri. Dia bisa berdiri dan bergerak seperti biasa walaupun kepalanya agak pusing.

"Tuan muda Valias. Tindakan Anda barusan sangat mengejutkan saya."

Azna merutuki Valias yang bersimbah darah di baju putih dan celananya. Bahkan darah-darah di lantai dan tetesan di atas meja pun masih ada. "Tapi Anda sudah melindungi keluargaku. Saya akan sangat bersyukur kalau tuan muda Valias bersedia menerima penghargaan dari kami keluarga kerajaan."

"Penghargaan!"

"Kira-kira apa yang akan diberikan?"

"Ck. Penghargaan apa. Itu memang hal yang seharusnya dilakukan. Aku rela mati demi calon raja."

Dylan bisa mendengar bisikan-bisikan itu dengan jelas. Rasanya dia ingin mengajak berduel orang yang mengucapkan kalimat terakhir.

"Tidak perlu. Tapi, jika tuan putri memaksa, maka saya akan menerimanya dengan senang hati." Valias memasang senyum kecil.

"Palsu.."

"Bahkan yang mulia raja juga diserang, tapi dia hanya memikirkan dirinya sendiri."

Dylan tidak tahan lagi. Dia membuka mulutnya.

"Baik, sudah cukup!"

Sebuah suara dengan percaya diri muncul di antara kerumunan.

"Y- Yang mulia.."

"Pangeran.."

Wistar memasang senyumnya.

"Ayahku memang terluka tapi yang mulia raja juga sudah mendapatkan tindakan. Kakakku, putra mahkota meminta aku untuk menyampaikan pesan ini."

Laki-laki berambut perak itu berjalan ke arah Valias di mana kerumunan berkumpul paling sedikit sebelum kembali berdiri tegak.

"'Aku mohon maaf atas keributan ini. Aku berterimakasih kepada hadirin yang telah hadir. Kerajaan akan segera menangkap pelaku penyerangan ini.'" Wistar melirik Valias yang berdiri tegap dengan wajah pucat dan pakaian kotor oleh darah. "'Aku, Frey Nardeen akan memberikan ucapan terima kasihnya kepada tuan muda Valias Bardev dan akan menyiapkan undangan kepada keluarga Count Bardev untuk menunjukkan rasa terimakasih atas aksi tuan muda Valias terhadapnya.'"

Dina meremas celana Valias. Lupa dengan noda darah yang akan mengotori tangannya. Valias mengambil sapu tangan dari saku dan memberikannya pada Dina.

"'Sekarang, aku umumkan bahwa acara malam ini sudah selesai, dan para tamu diharapkan kembali ke kediaman mereka dengan selamat.' Sekian." Wistar mengangguk puas. Suara pintu terbuka terdengar. Menandakan prang-orang di dalam ruangan dipersilahkan keluar. Satu persatu tamu mulai meninggalkan aula setelah diberi arahan oleh para pengawal dan pelayan istana.

"Tuan muda Valias.. Kakakku Azna pasti sudah menyampaikan ucapan terima kasih padamu. Tapi aku juga ingin menyampaikan hal yang sama." Wistar meletakkan satu tangannya di dada. Memberikan senyum menawan. "Aku terpaksa pergi dengan kakakku, putra mahkota untuk melihat kondisi yang mulia raja. Tapi aku mendengar laporan tindakan mengerikanmu barusan."

"..Ah.. itu bukan apa-apa."

"Bukan apa-apa? Lihatlah semua darah yang ada di lantai akibat tindakan Anda!" Azna protes di dekatnya.

...Aku mengerti jika mereka bingung, tapi aku melakukan ini bukan karena aku mau.

Valias membalas rutukan Azna dengan senyum asal.

"Saya yakin tuan muda Valias merasa lelah. Kalau mau tuan muda dan keluarga Count Bardev bisa tinggal di istana untuk sementara waktu."

Valias mendengar suara pangeran kedua Wistar. Ketika dia mulai merasakan bagaimana pusing kepalanya membuat kepalanya berat. Dia merasa kehilangan banyak darah. Memegangi kepalanya dengan tubuh membungkuk. Pandangannya mengabur dan suara di sekelilingnya seolah menjadi dengingan ribut.

Dia merasakan bagaimana tubuhnya terhuyung ke depan sebelum ditangkap oleh seseorang. Tubuhnya lemas. Dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali.

Wajah orang-orang tampak kabur dan dia hanya bisa melihat bagaimana mulut mereka bergerak seperti menyerukan sesuatu. Pemandangan itu terus berlangsung sampai dia tidak mampu menjaga matanya tetap terbuka lagi.

04/06/2022

Measly033