webnovel

Chapter 11 - Di sana.. (2)

"Count Bardev."

"Duke."

Hadden menghampiri seorang pria seumurannya. Ruri menyusul. Valias mengikuti bagaimana Danial dan Dina diam di tempat mereka. Menggunakan kesempatan yang ada untuk mengamati sekitarnya.

Memang tidak setinggi gedung di kota. Tapi kekaguman Valias juga tidak salah. Istana yang didominasi warna putih dan ornamen emas. Mansion Bardev pun tidak sebesar dan semewah itu.

Rasanya seperti sedang keluar negeri dan mengunjungi bangunan bersejarah.

"Danial. Dina. Valias juga." Valias mendengar Ruri memanggil ketiga dari mereka.

"Kesana kak." Danial memberi tahu Valias untuk menghampiri kedua orangtuanya beserta orang tua tadi.

"Danial. Kau sudah besar. Namamu Dina?"

"I- Iya." Dina menjawab malu-malu. Tangannya meremas gaun Ruri sebelum melihat Valias dan berganti meraih tangan laki-laki itu.

"Ini kakakku."

"..Ah.. Benarkah, Hadden?"

"..Iya.." Hadden melirik Valias yang dibalas dengan tatapan langsung anak itu. Wajah Hadden agak kaku. Valias tidak tahu kenapa Hadden melihat ke arahnya tapi sedetik kemudian wajah Hadden terlihat lebih rileks.

"Dia anak tertuaku."

"..Hadden?"

Orang tua itu terlihat terkejut sebelum menoleh pada Valias hingga akhirnya kembali pada Hadden. "Ah.." Dia terdiam sebentar sebelum menepuk pundaknya.

"Kau berniat untuk membiarkan orang-orang tau?"

"Iya." Hadden menjawab yakin.

Aku tidak akan membuat Valias hidup dalam bayangan lagi.

Valias adalah putra yang dia sayangi dengan sepenuh hati. Dia akan menunjukkan pada semua orang bahwa Valias adalah seorang Bardev dan merupakan putra yang amat berharga untuknya.

Hadden merasakan tangan Ruri yang memeluk tangannya. Ruri juga mengangguk mantap sebelum memalingkan wajahnya kepada orang itu. "Mereka adalah penerus keluarga Bardev. Mereka bertiga. Anda akan menjadi orang pertama yang mendapat pengumuman ini, Duke Adelard."

Vidor Adelard, mendengar itu dan memalingkan wajahnya pada Valias.

"Siapa namamu?"

Valias menerima tatapan mendominasi itu dengan reseptif. "Nama saya Valias Bardev. Putra pertama keluarga Count Bardev."

Valias membiarkan matanya memandang langsung orang yang Ruri sebut sebagai Duke Adelard.

Jika dia duke, apakah dia di atas count atau di bawah?

Valias belum yakin tapi dia rasa berbeda sebutan berarti berbeda tingkatan. Beberapa saat kemudian wajah datar Vidor berubah menjadi tawa. "Kau memiliki anak yang begitu berani, Hadden. Kau harus bangga padanya."

"Saya sudah bangga padanya, Tuan Duke." Hadden berujar dengan senyum tulus.

"Kalian harus membiarkan mereka bertemu keluarga Adelard. Dylan."

Duke Adelard membalikkan tubuhnya sebelum menggerakkan tubuhnya memberi isyarat seseorang untuk mendekat.

Seorang anak laki-laki setinggi Hadden berdiri di sampingnya dan memandangi Valias.

"Dylan. Tuan ini adalah teman ayah. Count Bardev dan keluarganya. Perkenalkan dirimu."

"..Perkenalkan. Saya Dylan Adelard."

"Senang bertemu denganmu, Dylan. Ini istriku, Ruri. Dan mereka anak kami."

"Kalian, perkenalkan diri kalian juga." ujar Ruri lembut.

"Nama saya Danial Bardev. Senang bertemu Anda, Tuan Muda Dylan."

"..Nama saya Dina Bardev. Senang bertemu Anda." Dina melepas genggaman tangannya dari Valias. Membungkuk, sebelum kembali meraih tangan itu.

Valias menunggu gilirannya. Tampaknya Danial sengaja memperkenalkan diri duluan, menunjukkan cara yang benar pada Valias. Valias merasa lucu karena dirinya memerlukan anak yang lebih muda darinya menunjukkan cara bagaimana memperkenalkan diri yang benar. Valias mengikuti cara Danial memperkenalkan dirinya sendiri tadi. "Valias Bardev. Senang bertemu denganmu."

"Berapa umurmu?"

Valias mengangkat wajahnya membalas tatapan Dylan Adelard yang tampak tidak memalingkan pandangannya bahkan sejak tadi.

"Aku tidak yakin.. Mungkin 18 tahun."

"..Ah.. Dia tidak tahu tanggal lahirnya, Hadden?"

Hadden menampilkan wajah senyum terpaksa.

Hadden tahu. Hadden ada di sana ketika Carla melahirkan Valias, juga Danial dan Dina. Tapi tampaknya Carla tidak memberi tahu Valias. Dan dia sebagai ayahnya tidak menyadari itu.

Vidor Aderald tampak menghela nafas sebelum mengubah ekspresinya menjadi lebih ceria. "Jika kau di umur itu, berarti kau seharusnya bisa berteman dengan Dylan. Dylan ku ini juga berumur 18 tahun ini. Dylan, bertemanlah dengan Valias. Mengerti?"

"..Baik, ayah."

....Dia kenapa?

Valias begitu bingung dengan bagaimana anak bernama Dylan itu terus mengamatinya dari atas ke bawah.

Valias merasakan pegangan Dina di tangannya mengerat. Ketika Valias menundukkan wajahnya, Dina sedang mendongak mengamati sang pemuda. Barulah kemudian Dylan Adelard ikut menurunkan pandangan matanya dan bertemu pandang dengan Dina.

Sebuah tangan diletakkan di bahu Dina. Danial menyentuh adiknya sembari mangarahkan matanya pada orang yang sama dengannya.

"Apakah ada masalah, Tuan Muda Dylan Adelard?"

"Dylan. Apa yang kau lakukan??" Vidor memukul kepala belakang Dylan hingga anak itu berubah membungkuk.

Kedua mata Hadden dan Ruri langsung terbuka lebar mendapati kejadian itu terjadi tepat di depan mereka.

"Maafkan anakku. Dia memiliki kebiasaan buruk. Dylan. Sudah berapa kali orang-orang menegurmu soal ini? Minta maaf." Vidor memukul-mukul bahu Dylan tapi Dylan masih tidak mengucapkan apa-apa.

"Dasar anak ini," gerutu geram sang Duke.

"Tidak apa-apa, Tuan Duke. Saya yakin tuan muda Dylan dan Valias bisa berteman akrab." ujar Ruri kikuk.

"Maafkan aku. Anda benar, Nyonya Ruri. Aku juga berharap begitu."

Merutuki tingkah anaknya Vidor mengajak Hadden dan Ruri untuk mulai memasuki istana. Bangsawan-bangsawan lain juga sudah masuk lebih dulu. Valias dan yang lain mengikuti mereka di belakang.

"Kakak. Kakak itu memperhatikan kakak sejak tadi." Dina mulai bicara. Danial membawa tubuhnya di depan Valias. Menjadikan dirinya sebagai penghalang antara kakaknya dan sang putra duke.

Dylan tampak tidak peduli dan membawa kakinya berjalan mendahului ketiga anak Bardev itu.

...Ada sesuatu?

Valias juga menyadari itu dan juga tidak mengerti kenapa Dylan memandanginya dengan cara yang demikian.

"Kita baru bertemu dengannya dan kakak itu sudah bersikap aneh," ketus Dina.

"Kakak, abaikan saja orang seperti itu," timpal Danial.

"..Iya.."

Merasa dua anak yang lebih muda darinya melindungi dirinya sendiri itu membuatnya merasa lucu. Lagipula sejak awal Valias sudah merencanakan itu.

"Tuan Duke Vidor Adelard dan Tuan Muda Dylan Adelard. Tuan Count Hadden Bardev dan keluarganya. Nyonya Ruri Osmond. Tuan Muda Danial Bardev. Noda Muda Dina Bardev."

Sang penyeru terdiam sejenak melihat keberadaan satu lelaki lagi yang dia tidak temui namanya.

"Valias Bardev."

Danial maju dan memberi perintah untuk sang penyeru melanjutkan kalimatnya.

"E- Ekhem. Dan Tuan Muda Valias Bardev, memasuki aula."

Pandangan orang-orang di dalam istana tertuju pada pintu. Berpasang-pasang mata mengamati dua keluarga yang baru saja masuk. Terutama pada keluarga Bardev.

"Merah.."

"Siapa anak itu?"

"Count Bardev?"

"Aku belum pernah mendengar adanya anak ketiga."

Bisikan-bisikan memenuhi aula. Dina mengeratkan genggamannya pada Valias.

"Tidak apa-apa." Hadden tersenyum hangat bersama Ruri dan membawa tubuh mereka membelakangi ketiga anak mereka.

"Berdiri tegap. Angkat kepalamu. Berjalanlah dengan percaya diri." Danial berbisik pada Dina. Dina dengan cepat mengikuti kata-kata Danial. Kemudian mendongak melihat kakaknya.

Valias tampak begitu tenang. Berbeda dengannya. Melihat betapa tenangnya Valias Dina jadi merasa tenang juga.

Valias mengikuti langkah Hadden dan dan Ruri sembari merasakan tatapan puluhan orang kepadanya.

Sebenarnya Valias tidak menyangka warna rambutnya akan menarik perhatian begitu banyak orang. Tapi dari ujung matanya, dia bisa melihat bagaimana rambut orang-orang di dalam aula didominasi dengan rambut berwarna hitam dan coklat.

"Count."

"Pangeran."

"Dan Nyonya Ruri. Bagaimana kabar Anda?"

"Terimakasih, Yang Mulia. Saya berkabar baik."

Seorang remaja laki-laki setinggi Dylan datang menghampiri mereka. Remaja yang dipanggil sebagai pangeran itu mengarahkan matanya pada seorang lelaki yang lebih pendek darinya. Lelaki berambut merah dan berdiri di antara keluarga Bardev. Nama tambahan juga diserukan.

"Duke. Dylan juga."

"Ya, yang mulia. Orang tua ini membawa Dylan bersamanya. Dylan."

"Hei Dylan. Kau tidak senang bertemu denganku?"

"Anda habis memakan irisan lemon, yang mulia?"

"Anak ini!"

"Ahaha. Tidak apa-apa, duke. Dylan bersikap seperti biasanya. Sebagaimana aku menyukainya. Sekarang,"

Pangeran itu memutar badannya ke arah Valias.

"Tuan muda Valias Bardev?"

"Iya, yang mulia."

Valias cukup pandai dalam menyesuaikan diri. "Senang bertemu denganmu. Namaku Wistar Nardeen. Pangeran pertama. Acara ini adalah acara ulang tahun kakakku, putra mahkota Hayden. Frey Nardeen. Kau pasti sudah tahu itu, kan?"

"Tentu, yang mulia. Saya merasa terhormat sudah menerima undangan ini. Saya harap keberadaan saya tidak mengganggu acara meriah yang keluarga kerajaan Anda rayakan."

Wistar Nardeen, Chalis, Frey..

Valias tenggelam dalam pikirannya. Dia merasa nama-nama itu terlalu familiar baginya.

Sedangkan tanpa Valias menyadarinya, pandangan orang-orang tertuju ke arahnya.

Terutama keluarganya.

"Suamiku, Valias.."

"..Ya.."

Dia cukup pandai bicara.

Dina mendongak kagum melihat bagaimana kakaknya berbicara dengan begitu percaya diri di depan seorang pangeran kerajaan yang belum pernah Dina lihat sebelumnya.

Vidor, dan Dylan menonton dialog antara Valias dengan sang pangeran pertama Wistar Nardeen.

...Dia tidak sesuai penilaianku.

Saat melihat penampilan ringkih dan pucat Valias,-melihat bagaimana adiknya terus menggenggam tangannya-serta ekspresi yang seolah memamerkan kepribadiannya yang merupakan seorang pendiam yang tidak banyak bicara, juga bagaimana kemudian adik laki-lakinya melindunginya dari dirinya Dylan tidak menyangka anak pendek dan kurus itu bisa menjawab dan berdiri tegap menghadap seorang pangeran dengan begitu percaya dirinya.

Pria yang menarik.

Wistar Nardeen, sebagai seorang pangeran dari sebuah kerajaan sudah bertemu dengan banyak orang. Dari sekian banyak orang itu, Dylan adalah orang pertama yang berani menatap langsung matanya dan berbicara padanya dengan begitu percaya diri. Bahkan dengan sedikit arogansi.

Tapi pria ringkih berambut merah itu, walaupun kulitnya begitu pucat, wajahnya agak tirus-seolah dia bisa kehilangan kekuatan kakinya begitu saja-melihatnya tepat di mata dan memandang dirinya seolah dia adalah seorang yang lebih muda darinya.

Valias Bardev, kan?

Wistar memasang senyum cerianya.

"Tentu saja tidak, Tuan Muda Valias. Aku yakin tuan Count punya alasan untuk merahasiakan keberadaanmu sebagai anggota keluarga Bardev."

"Yang mulia memiliki penilaian yang bagus. Saya yakin kerajaan ini bisa menjadi lebih makmur dengan kemampuan Anda."

Oh dewa..

Orang-orang yang menyimak dialog itu hampir tidak bisa menahan keterkejutan mereka.

"Anak yang belum pernah terdengar namanya.."

"Berbincang dengan pangeran Wistar seperti itu.."

"..Valias?"

Sikap anak tertuanya yang berubah itu benar-benar berbeda dari perkiraannya.

"Kau benar-benar memiliki seorang anak yang menarik, Hadden." Vidor berbisik pada pria itu. Tidak sadar dengan tingkah anaknya sendiri.

Hadden tidak merespon. Begitu juga Ruri.

"Tuan muda Valias sepertinya bisa menjadi teman yang menarik untukku. Mari bertemu lagi suatu saat, Valias Bardev." Pangeran Wistar memberi senyum ramah.

"Saya anggap itu sebagai sanjungan, Yang Mulia Wistar."

"Hahaha. Kalau begitu aku undur diri. Acaranya akan dimulai sebentar lagi. Tuan, Nyonya," Wistar menganggukan kepalanya ke arah Vidor dan pasangan Bardev sebelum menepuk pundak Dylan dan berlalu pergi setelah menyapa beberapa tamu lain di dekat mereka.

"..Aku tidak tau kakak adalah orang yang pandai bicara."

Valias yang Danial tau adalah seorang yang tidak banyak bicara. Dan tentunya tidak akan mengeluarkan kata-kata sanjungan seperti itu dengan mudahnya.

"Kakak hebat.."

Dina tidak terlalu mengerti kenapa dia merasakan pandangan-pandangan tidak percaya pada kakaknya. Tapi Dina yakin kalau kakaknya baru saja melakukan sesuatu yang hebat.

"..Ah... ya.."

Aku hanya mengucapkan apa yang terpikir.

Valias mengambil kata-kata yang sering temannya yang suka membaca novel itu ucapkan. Temannya itu sering mengatakan kata-kata panjang yang tidak nyambung tapi begitu bangga dan melakukan itu di setiap kesempatan.

"Oh yang mulia Abimala yang begitu bersinar bagai permata di ujung zamrud. Bolehkah Arvan ini meminta Anda untuk mengerjakan tugas kuliah hamba ini?"

"Oh betapa Arvan ini mendoakan yang mulia Abimala untuk selalu diberkahi kesehatan dan keberuntungan~"

Temannya akan bertingkah aneh sebelum mendapat tepukan di wajah darinya. Dia tidak pernah mengomentari sikap anehnya dan membiarkan temannya itu bertingkah sebagaimana yang dia mau.

"Kau benar-benar anak yang berani, Valias. Aku ingin lebih banyak berbincang denganmu."

Vidor baru pertama kalinya mendengar rentetan kalimat seperti itu. Dia merasa kalimat yang diucapkan Valias begitu menarik untuk didengar dan penasaran bagaimana kalau kata-kata itu ditujukan padanya.

"..Terimakasih, tuan duke."

Valias merasa dirinya sedang memerankan sebuah tokoh di film kolosal dan cukup kagum dengan kemampuan aktingnya.

Walaupun sebenarnya Valias tidak kesulitan melakukan itu sama sekali.

"Yang Mulia Raja Chalis, Yang Mulia Ratu Vilda, Putra Mahkota Frey, Putri Azna, dan Pangeran Wistar, memasuki aula."

Suara terumpet terdengar. Dan detik selanjutnya, semua orang membungkukkan tubuh mereka ke arah yang sama.

04/06/2022

Measly033