webnovel

Chapter 10 - Di sana.. (1)

//A/N: Insert chapter of fluff//

"Valias, kemari." panggil Ruri. Melangkah memasuki kereta dengan begitu anggun dengan bantuan Hadden. Dina memunculkan kepalanya dari balik pintu. Memasang senyum lebar kepada Valias.

"Silahkan masuk, tuan muda. Alister ini akan berada tepat di samping Anda."

Valias sempat bertanya-tanya apa yang Alister maksud dengan berada di sampingnya. Tapi lalu mengabaikan itu dan membawa dirinya memasuki pintu kereta. Duduk di sudut yang sudah disisakan oleh keluarga Valias untuknya.

Valias duduk bertiga dengan kedua adiknya. Dina duduk di tengah sedangkan Hadden dan Ruri duduk di seberangnya. "Selamat pagi kakak."

"Pagi, Dina."

"Kau sudah memakan sarapanmu?"

"Sudah, ayah."

Valias membuka sedikit tirai jendela dan melihat Alister yang menyadarinya dan langsung menoleh memamerkan senyum palsu itu.

Oh jadi itu yang dia maksud.

Valias kurang tau bagaimana Alister bisa bertengger di sana, tapi tidak memiliki hasrat untuk mencari tahu.

"Ayah tidak tahu kau sudah pergi kemana saja sebelum kita bertemu."

Hadden merasakan kepahitan setelah mengatakan itu. Ruri yang menyadari keresahan suaminya menyentuh salah satu tangan lebar Hadden. Mengundang senyuman dari pria itu.

Terimakasih.

Ruri merasakan ucapan itu dari mata Hadden dan membalasnya dengan senyum.

"Iya, ayah. Aku tidak banyak berpergian. Kira-kira berapa lama waktu yang dibituhkan untuk kita mencapai istana?"

Valias memutuskan untuk menghentikan segala suasana pahit itu.

Aku juga akan merasa tidak nyaman jika suasana seperti ini terus berlanjut.

"Dua hari. Kita akan menginap untuk semalam."

Danial juga, merasakan suasana pahit yang diakibatkan ucapan ayahnya. Memutuskan untuk mencairkan suasana.

Sudah cukup keluargaku hidup seperti ini.

Danial pun yang membuatnya geram pada Valias adalah bagaimana sikap kakaknya yang membuat orang tuanya, Dina, dan dirinya menanggung beban dalam hati terhadap kakaknya itu.

Andai kakaknya bisa bersikap lebih santai. Pasti keluarganya bisa hidup lebih harmonis bahkan dengan semua fakta mengejutkan itu.

"Oh."

Selama hidupnya Valias belum pernah diharuskan menempuh perjalanan selama itu. Bahkan perjalanan dari kampung ke kotanya saja hanya memakan waktu delapan jam.

...Mungkin karena kita menggunakan kuda?

Keluar dari gerbang, melewati jalanan kota. Valias bisa melihat jejeran bangunan dari jendela yang tirainya dibuka.

"Kau mau mencoba berjalan-jalan di kota?" tanya Ruri menyadari bagaimana Valias memandangi jalanan di luar.

Pancaran matanya tenang tapi percaya diri. Tidak lagi kosong dan tanpa semangat.

"Uh.. Ya.."

Memang itu tujuanku dari kemarin.

Tapi Alister menghambat rencana itu. Ruri tersenyum mendengar jawabannya.

Akhirnya dia ingin pergi keluar lagi.

Ruri pikir mungkin Valias harus lebih banyak berjalan-jalan dan makan makanan sehat agar tubuhnya tidak lagi kurus dan pucat. Dia memasang senyum lembut. "Setelah kita kembali aku akan menyiapkan penjaga dan pelayan untuk menemanimu."

Ruri masih kurang percaya diri untuk menyebut dirinya sendiri sebagai ibu pada Valias. Berbeda dengan Danial dan Dina yang menghabiskan masa dari bayi mereka bersama dirinya dan sudah percaya bahwa mereka adalah anaknya, Valias menghabiskan lebih banyak waktunya bersama ibu kandungnya sendiri.

Dan kami masih tidak tahu apa saja yang sudah terjadi hingga Valias menjadi seperti itu sebelum berubah menjadi lebih hangat seperti sekarang.

Ruri masih merasakaan beban yang memberatkan hatinya.

"Oke."

Valias merespon singkat. Di sampingnya, Dina mengamatinya sebelum membuka mulutnya juga.

"Aku juga ingin ikut. Aku juga tidak pernah ke luar." ujarnya antusias.

"Tanyalah pada kakakmu apakah dia mau jika kamu ingin ikut." tanggap Hadden.

"Boleh?" Dina memelas. Valias belum pernah melihat seorang anak memelas padanya seperti itu. Dia tidak pernah berada dekat dengan anak-anak.

Jadi begini rasanya.

Pantas saja banyak kasus orangtua memanjakan anaknya. Valias merasa ingin tertawa dan akhirnya senyum terpajang di bibir tipisnya. "Tentu saja."

Valias tentu tidak menyadari bagaimana orang-orang di dalam kereta terpana melihat senyumnya. Apalagi Dina yang menjadi sasaran senyuman kecil itu.

"Kakak cantik."

Dina, dengan mulut terbuka tanpa sadar mengeluarkan isi pikirannya. Sebelum menunduk, memegang erat kain pakaiannya, merasakan malu menyelimutinya.

....Apa?

Cantik? Valias benar-benar tidak pernah menyangka kata ekspresi itu akan muncul didepan wajahnya.

"..Dina?"

"Pfft.."

Suara baru muncul di dalam kereta. Danial menutupi mulutnya menahan tawa.

Di dalam hatinya Danial menertawai fakta bahwa ternyata bukan hanya dia yang memiliki pemikiran itu. Kakaknya tampan. Danial juga tidak kalah tampan. Tapi wajah tirus pucat dengan surai merah panjang itu memang memberi kesan lain pada Valias.

Danial sudah bertemu dengan beberapa orang. Di antara orang-orang itu Danial bertemu seorang narsistik yang merasa dirinya adalah pria yang cantik. Danial tidak ingin tahu apakah orang itu akan mengejar wanita atau pria. Tapi kakaknya, sejak melihat kakaknya di ruang baca sebelum kakaknya pingsan waktu itu, Danial merasa bahwa kakaknya berada di level yang berbeda.

"Dina.. kau konyol."

Danial memang tidak akan menyangkal pendapat Dina. Tapi untuk mengungkapkan hal itu pada laki-laki, Danial merasa itu lucu. Apalagi setelah melihat ekspresi kaku kakaknya dan kedua orangtuanya yang mungkin juga tidak sadar dengan keadaan wajah mereka sendiri.

"T- Tapi itu benar!"

Ruri tampak berhasil menyadarkan dirinya sendiri dan mencoba menenangkan kedua anaknya. "Kau pasti berpikir rambut kakakmu indah kan?"

"Ibu benar! Aku suka rambut kakak." Kali ini Dina dengan percaya diri mengatakan itu pada Valias.

"..O- Oh.."

Merasa canggung karena itu bukan penampilannya sendiri. Merasa sebuah pujian yang dikatakan padanya tapi sebenarnya bukan untuknya membuatnya merasa bingung harus merespon seperti apa.

"Ibu tidak tahu ibu yang melahirkan kalian seperti apa. Tapi dia pasti sangat cantik."

"Ibu juga cantik. Semua perempuan punya kecantikan yang berbeda-beda. Guru memberi tahu itu padaku."

Hadden mengusap tangan Ruri yang berada di atas tangan miliknya.

Ruri sudah tahu bagaimana Hadden jatuh cinta pada seorang wanita selum bertemu dengannya. Ruri yakin suaminya masih memiliki perasaan pada wanita yang bernama Carla itu bahkan hingga sekarang. Tapi Hadden tetap menjalankan perannya sebagai suami dengan baik. Hadden juga tidak pernah mengungkit soal Carla kecuali jika Ruri memang bertanya. Ruri pikir dia tidak merasakan masalah soal itu. Melihat Valias, dengan rambut merah yang bisa membuat seseorang berhenti bernapas karena terpukau, Ruri mengerti bagaimana suaminya bisa mencintai wanita itu hingga memiliki anak dengannya.

Ruri membalas tatapan Hadden dengan senyum lembut biasanya.

Danial juga tidak mau ibu yang sudah merawatnya sejak tadi menyimpan pikiran yang Danial tau tidak akan dirinya sukai. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa.

Valias di sisi lain menenangkan dirinya sendiri setelah mendengar ungkapan Dina padanya.

Perjalanan berlangsung dengan damai. Danial menghabiskan waktu dengan membaca buku. Valias menikmati tontonan pemandangan asing di luar jendela yang tersaji untuknya. Dina yang belum pernah keluar dari mansion selain ketika ikut dengan Ruri ke acara pertemuan istri bangsawan, dengan begitu antusias menengokkan kepalanya ke kiri dan kanan. Tidak ingin melewatkan pemandangan dan bangunan apapun di luar kereta.

Valias dengan responsif menawarkan Dina untuk bergantian tempat duduk. Agar Dina bisa duduk di sebelah jendela dan lebih leluasa memuaskan keingintahuannya. Valias sebagai seorang yang sudah dewasa sudah tidak memiliki antusiasme dan keingintahuan seperti Dina yang masih sangat muda.

Umur dimana seorang anak sedang di masa penuh rasa ingin tahu.

Dina malu-malu namun menerima tawaran kakaknya itu. Danial mengalihkan perhatiannya dari buku untuk menyimak interaksi antara kakak dan adiknya dengan wajah datar. Hadden dan Ruri dengan hati hangat dan ringan memiliki senyum tipis di wajah mereka.

Valias benar-benar sudah berubah.

Hadden rasanya masih tidak bisa percaya.

Baru saja dua hari lalu. Putra tertuanya dan Carla memanggilnya dengan sebutan ayah. Lalu Ruri dengan sebutan ibu. Kemudian di waktu makan malam kemarin Dina bercerita bagaimana dia menghabiskan waktu dengan Valias di ruang baca dan memeluk kakaknya.

Sekarang, Hadden melihat dengan kedua matanya sendiri. Valias bersikap begitu lembut pada Dina.

Hal itu membuat hati Hadden terasa begitu lega dan hangat.

***

Valias bersama yang lainnya dipersilahkan keluar dari kereta. Hal yang Valias lihat begitu keluar adalah meja dan kursi serta pelayan termasuk Alister berdiri mengelilingi meja kursi itu dengan nampan tertutup di tangan mereka.

Hadden, Ruri dan Danial langsung membawa langkah mereka menuju meja. Dina yang baru pertama kalinya diharuskan makan di luar bangunan merasa begitu antusias. Valias di sisi lain terperangah dengan bagaimana meja bertaplak putih bersih dan kursi berkusion—seperti yang sejak kemarin dia duduki ketika makan bersama keluarga Valias Bardev disusun di atas tanah datar tanpa batu di sisi jalan.

.....Meja dan kursi? Mereka akan makan siang dengan cara seperti ini?

Valias akan merasa lebih masuk akal jika keluarga Valias disajikan makanan di dalam kereta. Mungkin berhenti sebentar, lalu mereka akan makan bersama di dalam.

Tapi ini..

Para pelayan menyiapkan meja dan kursi serta aksesoris seperti lilin dan vas bunga. Mereka akan makan seolah mereka sedang piknik—dan bukannya sedang dalam perjalanan menuju sebuah istana.

Valias duduk dengan sedikit kaku. Masih terkejut dengan pemandangan di depannya.

Makanan disajikan di atas meja dan keluarga Valias beserta dirinya makan dengan hikmat. Para ksatria Bardev duduk di atas matras di atas tanah, memakan perbekalan yang sudah disediakan. Sedangkan Alister dan tiga pelayan lainnya berdiri seolah mereka tidak makan—atau sudah makan. Hanya berdiri khusyuk menunggu sang tuan besar dan keluarga yang mereka layani makan.

Semua orang kembali masuk ke dalam kereta begitu selesai. Menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang, Valias bisa melihat para ksatria dan pelayan termasuk Alister bekerja sama merapihkan barang-barang yang digunakan majikan mereka.

Valias meringis dalam hati dengan betapa repotnya cara makan keluarga Valias Bardev.

Perjalanan kembali berlangsung hingga akhirnya mereka kembali berhenti. Kali ini di depan sebuah bangunan yang mirip dengan mansion keluarga Bardev. Hanya saja ukurannya yang lebih kecil.

Valias dibuat tercengang ketika akhirnya dia mengetahui fakta bahwa bangunan tempat keluarga Valias akan menginap malam ini adalah villa Bardev.

Ada lambang yang sempat Valias lihat di gerbang mansion kediaman Bardev yang kini dia lihat di dua pilar bangunan didepan pintu bangunan villa. Dia kemudian juga menyadari bahwa para ksatria dan pelayan memiliki lambang yang sama di pakaian mereka.

Valias masuk mengikuti yang lain. Danial tampak sudah beberapa kali ke sana. Dina dengan ekspresi lucunya menolehkan kepalanya ke segala penjuru mengamati interior bangunan yang pasti dibuat oleh ayahnya.

Valias makan malam bersama yang lain. Di dalam sebuah ruangan yang desain dan tata furniturnya serupa dengan di mansion.

Ruri dan Hadden memberi ucapan selamat malam. Memberi tahu Valias, Danial, dan Dina untuk beristirahat. Dan bahwa mereka akan berangkat lebih siang esok hari karena mereka harus berdandan untuk acara undangan di istana.

Valias didampingi Alister ke kamarnya. Juga Danial dan Dina yang bersama pelayan mereka masing-masing.

"Apakah Anda lelah, tuan muda."

Tanya Alister setelah Valias selesai mandi dan dibantu berpakaian olehnya.

Valias yang sudah mengenakan pakaian tidur berupa kemeja dan celana berbahan tipis dan nyaman menjawab sembari membiarkan Alister menyisiri rambutnya begitu dia duduk di pinggir kasur. "Tidak."

Sebenarnya iya. Tapi dia tidak lelah hingga ke tahap dia akan mengaku kalau dirinya lelah.

"Alister. Apa kau sudah makan?"

Alister tersenyum. Dia melihat wajah tanpa ekspresi tuan muda berambut merahnya.

"Sudah, tuan muda. Saya tersentuh dengan perhatian Anda. Anda tidak perlu khawatir. Pelayan seperti saya memiliki jadwal istirahat kami masing-masing. Saya pun tidak akan mengabaikan kebutuhan hidup saya."

Alister memasang senyum licik yang tidak bisa dilihat oleh Valias.

"Oh. Kalau begitu syukurlah."

Alister terdiam, meski dia tidak menghentikan pergerakan kedua tangannya.

Sedikit terperangah dengan sikap Valias tapi tidak menunjukkannya sama sekali.

Begitu merasa pekerjaannya sudah selesai, Alister pamit keluar.

"Selamat malam, tuan muda. Saya harap Anda beristirahat dengan baik."

"Hm. Kau juga."

Valias mulai merasa lelah dan membiarkan dirinya tidur lebih awal. Tidak menyadari ekspresi yang dimiliki sang pelayan sembari dia menutup pintu tanpa suara.

***

Alister masuk ke dalam kamar dengan meja roda di keesokan paginya.

Membantu Valias berpakaian setelah pemuda itu mandi. Dirinya dibuat terdiam dengan pakaian yang membalut tubuh barunya itu.

Sebelumnya Alister membuatnya mengenakan kemeja putih dengan varian corak sederhana. Lalu celana polos dengan warna hitam dan coklat.

Namun sekarang pakaiannya.. sedikit berbeda.

Valias dibawa Alister ke ruang makan. Dia bisa melihat Danial dan Dina yang juga sedang menuju ruangan yang sama bersama pelayan mereka.

Sejak kemarin, pakaian yang digunakan Danial yang Valias lihat adalah kemeja dengan rompi polos. Dengan dasi polos di kerah. Dan celana yang juga polos.

Tapi sekarang Danial masih memakai kemeja polos putih, namun dengan rompi bercorak dan celana yang modelnya berbeda.

Sedangkan Dina,

"..Dina.."

Valias terperangah. Namun senyum lembut terpajang di wajahnya. Dina sejak kemarin mengenakan kemeja dan celana. Namun Dina di depannya sekarang mengenakan gaun.

Rambut pendek coklatnya dibiarkan tergerai. Sebuah aksesoris mengkilap berbentuk bunga terpasang di rambutnya.

"..Kakak.." Dina terlihat tidak nyaman dengan pakaiannya. Dia dengan ragu-ragu memasang wajah memelas. Valias teringat dengan ucapan Dina yang mengatakan kalau dirinya tidak suka memakai gaun. Valias tersenyum simpati.

"Apakah ada masalah?" ujarnya berujar lembut begitu tiba di depan Danial dan Dina.

Danial menolehkan kepalanya pada sang adik. Dia juga tau kalau Dina tidak suka memakai gaun. Kedua orangtua mereka juga tau dan tidak pernah memaksa. Namun hanya untuk hari ini.

Mereka akan ke istana. Mau tidak mau putri mereka harus mengenakan gaun sebagai bentuk penghormatan pada sang pengundang.

Dina menggigit bibirnya.

Valias merasa sedih untuk Dina. Tapi pasti ada alasan kenapa Dina memakai gaun hari ini, kan? Mereka akan ke istana. Bahkan Alister menyiapkan pakaian yang berbeda dari biasanya. Hal yang sama pasti terjadi pada anak itu.

Ketika Valias ragu apakah dirinya harus mengatakan sesuatu atau tidak, suara Ruri terdengar dari dalam ruang makan. Memberi tahu mereka untuk masuk agar sarapan bisa dimulai.

Dina melirik Valias sebelum berjalan lesu menuju kursinya.

Sembari Danial dan Valias mendudukkan diri di kursi mereka, Ruri tersenyum sedih memandangi Dina yang duduk agak jauh darinya. Tapi memang benar dan sudah seharusnya Dina sebagai putri dari keluarga bangsawan harus berpakaian dengan pantas.

Di siang hari di tengah perjalanan. Keluarga Valias makan siang di suatu tempat pemberhentian. Dua jam setelah semua berada didalam kereta, Dina yang duduk didekat jendela tiba-tiba menabrakkan kepalanya ringan ke lengan kiri Valias. Ketika Valias menoleh, Dina sedang tertidur.

"Ah. Dina tidur?" Hadden berujar.

"Valias. Mau Dina pindah ke sini?" Ruri menawarkan cemas.

"Tidak. Tidak apa-apa." Seseorang bersender pada mu bukanlah masalah sama sekali. Valias memberi senyum pada Ruri sebelum melirik wajah tenang Dina kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada jalanan diluar.

Hadden dan Ruri sekali lagi dibuat merasakan kehangatan menyelimuti hati mereka.

Satu jam kemudian Dina bangun. Pipinya memerah menyadari dirinya tertidur dan bersandar pada kakaknya. Valias terkekeh kecil.

Sekitar tiga jam kemudian, akhirnya gerbang besar dan penampakan kereta kuda lain terlihat.

04/06/2022

Measly033