webnovel

6. Geng Berbahaya

Jam pelajaran Bahasa Inggris tengah berlangsung di 11-IPS-3. Para siswa diberi tugas kelompok untuk membuat karangan bebas. Karena di kelas itu ada 30 anak, jadi setiap kelompok dibagi menjadi 3 orang. Pak Joseph sebagai pengajar Bahasa Inggris menyerahkan para siswa untuk memilih sendiri kelompok masing-masing.

"Kei, lo ikut kelompok gue, yuk?" ajak si cantik Shella. Namun Keira cuma meliriknya. Shella memang cantik, tapi sayang otaknya tidak jalan. Dia pasti cuma mau memanfaatkan kepintarannya saja.

"Lo sudah pasti satu tim sama gue kan, Kei?" Milli mendadak menarik pundak Keira.

"Eeh, apaan? Kalau bertiga sama lo gue ogah banget dong. Lo sudah ikut kelompok gue kan, Kei?" Shella menarik pundak Keira yang satunya, tak mau kalah dari Milli.

"Eeh, Keira ikut kita aja." Anak-anak lain tiba-tiba mendekati. Dalam sekejap, kelas menjadi ramai karena berebut Keira. Semua ingin menjadi kelompoknya. Keira sampai pusing mendengar suara ribut mereka. Benar-benar kegaduhan yang paling dibencinya.

Keira menutup telinga sambil melihat berkeliling. Ia bingung harus memilih siapa. Keira tidak enak jika harus menolak ajakan teman-temannya. Terutama Milli. Jika Milli tidak mau satu kelompok dengan Shella lalu ia harus bagaimana? Sekali lagi matanya berkeliling menyapu teman-teman sekelas.

A-ha! Mendadak Keira mendapatkan ide. Jalan satu-satunya supaya aman dari mereka hanya ada satu cara. Keira menerobos anak-anak yang sedang memperebutkannya kemudian berjalan ke bangku paling pojok belakang.

"Zein!" sebut Keira lantang. "Gue mau jadi kelompok lo."

Tak cuma Zein, tapi semua anak di kelas itu langsung diam tak bersuara. Mengajak Zein si berandalan jadi kelompoknya? Apa Keira sudah hilang kewarasannya? Anak-anak membatin tak percaya.

"Jadi gue satu kelompok sama Zein. Siapa satu lagi yang mau gabung?" Keira memandang anak-anak sekelas. Mereka yang tadi ramai-ramai memperebutkannya justru sekarang bergeming di tempat.

"Nggak ada yang mau daftar, ya? Ya udah, gue aja jadi kelompok kalian," kata Alvin sambil melompat dari bangkunya.

"Eh, gue aja!" Milli yang sempat terbengong lekas mengajukan diri. "Gue yang ikut kelompok Kei sama Zein. Titik!"

"Oo tidak bisa! Gue sobatnya Zein. Jadi gue lebih cocok jadi kelompoknya," tolak Alvin segera.

"Gue juga sobat Keira tuh. Gue jelas berhak dong jadi kelompoknya. Kan gue udah bilang jadi kelompok Keira dulu sebelum lo," timpal Milli tak mau kalah. Keduanya pun mulai adu mulut membuat kelas geger lagi.

Jebraakkk!

"Lo berdua bisa diam nggak, sih?" Zein yang dari tadi tak bersuara tiba-tiba menggebrak meja. Semua anak dibuat kaget seketika. "Kata siapa gue mau satu kelompok sama dia?" serunya ketus sambil melirik Keira.

Seisi kelas kembali terdiam. Mereka berharap Zein benar-benar sedang menolaknya. Tapi sebelum cowok itu memutuskan, tiba-tiba Keira sudah berseru lebih dulu.

"Kata gue. Gue memaksa!" Keira menatap tajam Zein seakan-akan ribuan silet tengah dilayangkan untuk membunuhnya. Untuk beberapa saat Zein terpana, tapi ia segera menunduk saat sadar tatapan cewek itu memanglah memaksa.

"Oke, gue kelompoknya," ujarnya pelan, seperti bukan Zein saja.

"Yaahhhh." Terdengar seruan kecewa anak-anak.

"Makasih, Zein," ucap Keira, tersenyum lega.

"Hm," Zein cuma bersuara seperti itu melihat senyum manis dari wajah Keira. Aneh. Itulah kata yang terpikir olehnya saat sadar ia sedikit gugup di dekat Keira.

"Jadi lo milih Alvin apa Milli nih?" tanya Keira kemudian. Namun sebelum Zein menjawab, Pak Joseph mendadak merubah pembagian tugas kelompoknya.

"Saya rasa tugas mengarang tidaklah terlalu sulit. Jadi kalian dua anak saja perkelompoknya," ujar beliau yang disambut gerutuan oleh anak-anak 11 IPS-3. "Tugas dikumpulkan Senin depan. Minimal tiga halaman folio. Nilai utama diambil dari penggunaan tenses yang benar. Topik menarik juga menjadi poin plus."

"Apaan sih Pak Joseph?" keluh Keira yang masih berada di dekat meja Zein. "Jadi kelompoknya cuma kita berdua? Tahu begini gue mending sama Milli aja."

"Lo sendiri yang minta—dan maksa." Zein diam-diam tersenyum melihat sikap kesal Keira.

"Ciyeee assiiik! Seneng..." goda Alvin begitu Keira pergi. Entah kenapa dia selalu memergoki Zein sedang senyum-senyum sendiri gara-gara Keira. "Kesempatan bagus, Bos. Lo mesti memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Lo jadi bisa sering berdua-duaan sama dia. Asiiik!"

Zein langsung menoyor kepala Alvin. "Gue nggak peduli begituan."

"Jangan gitu, Bos. Itu si Genius, lho!" kata Alvin sambil mengusap kepalanya.

"Emang kenapa kalau dia?" sahut Zein malas.

"Keira itu kan cewek langka. Jarang jaman sekarang ada cewek pintar sekelas dia," ujar Alvin.

"Tapi kayaknya, dia sama aja kayak lo deh Zein. Nggak peduli soal pacar-pacaran," timbrung Oki.

"Jelas lah. Yang di otak dia kan isinya cuma pelajaran," sahut Zein sebal.

"Kalau dua orang yang nggak pernah peduli soal cinta pacaran, kira-kira jadinya kayak apa ya?" gumam Alvin.

"Nggak tahu," Oki mengangkat bahu. "Kenapa nggak kita buat mereka jadian aja? Zein kayaknya juga tertarik tuh sama Keira."

"Wah, ide lo boleh juga. Oke, kalau gitu mulai hari ini ayo kita comblangin mereka berdua."

***

"Kei, pulang bareng gue aja!" Ryu membarengi Keira saat cewek itu melalui koridor depan kelasnya.

"Pulang bareng?" Keira meliriknya sebentar. "Emang rumah lo satu arah sama gue apa?"

"Enggak sih," jawab Ryu. "Tapi kita kan bisa tetep pulang bareng, seenggaknya sampai gerbang," candanya. "Gue anterin lo sampai rumah lah kalau lo nggak keberatan."

"Sori, hari ini gue mau ngerjain tugas kelompok," tolak Keira segera.

"Mau ngerjain tugas di mana? Di rumah lo nggak?"

"Oh, iya juga. Gue malah lupa belum nentuin tempatnya," ucap Keira tersadar. Ia lalu melihat berkeliling mencari Zein.

"Emang lo sekelompok sama siapa?" tanya Ryu.

"Ya sama teman sekelas gue lah. Lo kok jadi orang kepo banget sih? Nggak sesuai sama muka lo," cibir Keira karena sebal.

"Emang muka gue kenapa?" Ryu mencoba berkaca pada jendela kelas yang dilewatinya.

"Muka lo tuh lagak. Yang ditampilin dingin kayak es batu. Padahal aslinya lo sok manis."

"Emang gue manis, kan?" timpal Ryu percaya diri, membuat Keira melengos walau dalam hati ia sempat mengakui.

"Kira-kira bakal heboh nggak ya, kalau anak-anak tahu di sekolah kita ada rocker cantik begini?" Tiba-tiba Ryu menunjukkan wallpaper ponselnya pada Keira. "Menurut lo gimana, Kei?"

Keira memekik kaget. Itu fotonya, dengan wig merah menyala dan hitam-hitam mengelilingi matanya. "Siniin HP lo! Hapus! Lo ngapain pajang-pajang foto gue?" Ia menggapai-gapai Ryu yang malah mengangkat tangannya untuk menjauhkan ponsel. Dengan badannya yang tinggi, jelas saja Keira tak bisa meraihnya.

"Gue suka lihatin doang kok," kata Ryu sambil tersenyum aneh, membuat Keira semakin panik saja.

"Siniin nggak? Hapus! Pokoknya lo mesti hapus sekarang juga!" seru Keira. Ia masih belum menyerah menarik-narik lengan Ryu. Tapi cowok itu sepertinya sengaja ingin bermain-main. Ia tertawa tak berdosa melihat Keira melompat-lompat di depannya.

"Ributin apa?" Tiba-tiba ponsel Ryu direbut oleh Zein. Ia datang bersama Alvin dan Oki entah dari arah mana. Karena baik Ryu maupun Keira malah bungkam, Zein pun memerhatikan ponsel di tangannya. Ia memencet tombol power di sisi layar hingga ponsel itu menyala.

"Ngapain lo pegang-pegang HP gue?" Dengan sigap Ryu mengambil kembali ponselnya lalu langsung memasukkan ke dalam tas.

Meski masih tampak curiga, Zein tak berkata apa-apa pada Ryu. Ia justru menatap Keira yang baru saja membuang napas lega. "Lo belum pulang?"

"Pulang?" Keira mengulang kata terakhir Zein. "Bukannya kita harus ngerjain tugas Bahasa Inggris ya?"

"Bukannya tugas dikumpulin hari Senin ya?" Zein menimpali dengan nada yang sama. "Sekarang bahkan baru Kamis." Ia menambahkan dengan seringai khasnya. Seringai ala badboy yang sangat menyebalkan menurut Keira.

"Terus apa salahnya hari Kamis? Bukannya lebih cepat selesai lebih baik?"

"Udah, Zein. Kerjain sekarang aja kenapa?" Oki yang berada di belakangnya bersuara.

"Yo'i, Bos. Hari ini kan kita nggak ada acara." Alvin ikut-ikutan mengompori. "Oki sama Gina juga mau ngerjain tugas mereka sore ini kok," lanjutnya.

"Emang lo satu kelompok sama dia apa?" Ryu yang menguping pun menanyai Keira.

"Iya," jawabnya pendek. "Ya udah lo pulang duluan aja sana. Gue masih ada urusan tugas. Pesen gue cuma satu. Hapus foto itu secepatnya."

"Jangan mimpi!" ceplos Ryu lalu pergi.

"Ya sudah, Zein, kita cabut dulu. Baik-baik ya sama si genius yang berbahaya!" Alvin menepuk pundak Zein sambil tertawa. Zein sendiri cuma tersenyum kecut mendengarnya.

"Lo barusan ngomong apa?" Keira merah padam mendengar celetukan Alvin. "Dibanding gue, bukannya kalian ya yang lebih berbahaya?"

"Emang kenapa? Apa aneh kalau kita-kita disebut orang berbahaya?" jawab Oki. Dia memang terlihat paling kalem di antara Zein dan Alvin, tapi kabarnya dialah yang paling jago berkelahi.

"Tapi lo sudah tahu kita berbahaya masih aja lo suka nyari gara-gara sama Zein," tambah Alvin. "Emang lo nggak takut sama orang kayak kita?" pojoknya sambil bersedekap tangan di depan dada.

Dikeroyok tiga cowok bengal seperti mereka, tentu saja Keira tak berkutik. Jelas dia kalah tenaga. Dia cuma cewek lemah yang bisa mengandalkan otak saja. "Bohong banget kan kalau gue bilang nggak takut sama kalian?" akunya dengan suara pelan. "Tapi gue nggak pernah sengaja nyari gara-gara kok," lanjutnya mencoba tenang.

"Terus kalau nggak sengaja, ngapain lo tadi maksa-maksa Zein jadi kelompok lo?" tuding Oki.

"Itu...," Keira mengerling bola matanya. "Kalian lihat sendiri kan gue jadi rebutan anak-anak? Kalau gue sama Zein, mereka pasti berhenti ribut-ribut. Jadi gue aman," terangnya.

"Ooh, begitu," tanggap Oki sambil mangut-mangut "Jadi di dekat Zein lo merasa aman?"

Keira merasa kedua pipinya memanas. "Bukan seperti itu juga!" serunya. Alvin dan Oki langsung cekikikan.

"Kalian berdua ngapain sih sebenarnya? Bukannya tadi bilang mau pulang?" Zein melirik sebal kedua sobatnya. "Heh, sudah buruan. Kita mau ngerjain di mana?" Ia kemudian berpaling pada Keira.

"Menurut lo enakan di mana? Di kafe apa di perpustakaan aja?"

"Kenapa nggak pulang dulu aja? Terus jam 4 nanti janjian dimana gitu," Oki mengusulkan.

"Sebenarnya itu ide yang bagus," komentar Keira. "Tapi hari ini gue lagi malas pulang pergi, jadi mending langsung aja."

"Oke," kata Zein. "Kita di perpustakaan umum dekat taman aja," ujarnya karena tak mau menunda waktu lebih lama. Lagipula perpustakaan di sana buka sampai sore.

"Sukes ya, Bos!" Alvin dan Oki langsung pergi begitu mendengar keputusan Zein. Setidaknya misi mereka membuat keduanya pergi bersama terlaksana.

"Zein, lo nggak lapar?" tanya Keira saat mereka masih di koridor.

Zein meliriknya. "Lo lapar, ya?"

Keira agak salah tingkah. "Biasanya habis pulang gue langsung makan di rumah."

"Lo jarang main keluar sama teman habis pulang sekolah, ya?"

Keira tak menjawab pertanyaan Zein. Sejak masuk SMA ia memang jarang sekali jalan-jalan sepulang sekolah dengan teman sekelasnya. Niatnya untuk jadi sosok tak menonjol membuatnya jadi seorang penyendiri.

"Oke. Kita makan dulu deh," ucap Zein mengerti. "Ayo!" Ia mengomando Keira untuk mengikutinya ke parkiran.

Zein menyetater motor setelah memakai helmnya. "Mau bengong sampai kapan?" Ia menyerui Keira. "Naik!"

"Mm-ya," Keira menjawab ragu. Tak pernah terpikir olehnya jika dia harus pergi berdua bersama Zein, terlebih lagi membonceng motornya. Seumur-umur Keira tak pernah pergi dengan cowok selain Fadil atau saudara sepupunya yang lain.

Memang benar, dari dulu banyak yang menyukai Keira, tapi tak pernah sama sekali ia menanggapi tawaran mereka untuk sekedar mengantar pulang. Apalagi sampai pergi kencan berdua. Namun kali ini, mau tak mau Keira harus membonceng Zein karena tugas kelas mereka.

Saat motor Zein melewati gerbang depan sekolah, banyak sekali mata yang memandang mereka. Maka tak dapat dicegah. Gosip pun mulai merebak di kalangan para siswa. Seorang siswa teladan berkencan dengan preman sekolah. Kabar yang sangat menggemparkan SMA Pahlawan.

***

"Lo suka bakso?" tanya Zein di perjalanan.

"Suka-suka aja sih," jawab Keira.

Zein pun membelokkan motornya ke sebuah warung bakso dekat taman. Kebetulan tempat itu juga cuma beberapa ratus meter dari perpustakaan yang mereka tuju.

"Lo nggak pa-pa kan makan di tempat beginian?" tanya Zein saat mereka mengambil tempat duduk.

"Emang tempat ini kenapa?" Keira mendadak bingung. "Baksonya halal kan, Zein? Bukan bakso tikus apa daging babi?"

Zein tentu saja tertawa mendengarnya.

"Kenapa lo ketawa? Gue nggak mau kalau bakso tikus. Pokoknya kita pindah kalau nggak halal." Keira langsung menarik-narik seragam Zein.

"Bisa tenang dikit nggak?" Zein masih saja ingin tertawa. "Ini bakso sapi. Lihat tuh tulisannya. 100% halal. Ya kan, Bang?" Ia bahkan menanyai pemilik kios baksonya.

"Ya halal lah, Mas. Gini-gini saya masih tahu dosa tahu aturan. Milih daging sapinya aja saya juga teliti. Kalau kena boraks saya nggak mau juga. Takut kenapa-napa," terang Abang bakso, membuat Keira malu saja.

"Maaf, Bang. Saya cuma pengen tahu aja," ucap Keira pelan. "Terus maksud lo tadi apa beginian?" Ia kemudian memarahi Zein.

"Ya begini. Di pinggir jalan," jawab cowok itu sambil menahan tawa.

"Terus, lo pikir gue biasa makan di tengah jalan?" Keira sewot. Zein makin tertawa saja. Ia sampai bingung harus bagaimana menjelaskan maksudnya pada Keira. Ternyata ia bukan cewek sok highclass seperti dugaannya.

Keira tiba-tiba menahan pandangan. Zein sedang tertawa. Tertawa lepas tak seperti biasanya. Zein yang ia lihat di sekolah hanya suka tersenyum sinis, tertawa mengejek, dan tak pernah terlihat ceria. Kini di depan Keira ia sedang benar-benar tertawa dari hatinya. Pemandangan berbeda.

"Kenapa lo lihatin gue?" tanya Zein tiba-tiba. Suaranya pun jadi galak lagi.

"Nggak. Gue cuma heran, ternyata lo bisa ketawa juga," ucap Keira apa adanya. "Gue nggak pernah lihat lo ketawa beneran sebelumnya."

Zein cuma diam tak bereaksi apa-apa.

"Ternyata seseorang memang terlihat lebih baik saat tersenyum atau tertawa," gumam Keira.

"Maksud lo apa?" Zein melirik Keira, kupingnya salah dengar barang kali.

"Saat ketawa, lo kelihatan lebih ganteng daripada biasanya," jawab Keira keluar begitu saja.

Sesaat tak ada yang bersuara dari kedua anak itu. Hingga Keira pun sadar apa yang sudah dikatakan oleh mulutnya. Ia langsung menutup mulut rapat-rapat. Keira kini merasakan hawa panas menerpa wajahnya.

"Lo jadi orang terus terang banget," kata Zein, tak bisa menyembunyikan senyum dari bibirnya. "Emang lo nggak sadar kalau lo sendiri juga? Jangankan ketawa, senyum aja jarang-jarang."

"Kata siapa gue nggak pernah ketawa?" balas Keira. "Gue sama Milli kadang juga bercanda, tapi saat tertawa yang paling gue ingat adalah saat lo dirayapi cicak."

Zein langsung membuat muka tak menyenangkan. Keira pun gantian tertawa melihatnya.

"Jadi waktu itu emang lo sengaja?" tuduh Zein.

"Nggak. Swear. Gue bener-bener nggak sengaja," bantahnya. Ia lalu tersenyum simpul pada Zein. "Gue minta maaf, ya."

"Kan sudah," jawab Zein sambil mengaduk es teh yang sudah dipesan di atas meja. Melihat Keira tersenyum padanya, entah kenapa hatinya merasakan sesuatu yang menjalar.

"Temanya apa?" tanya Keira setelah keduanya masuk perpustakaan.

"Terserah lo aja," jawab Zein acuh tak acuh.

Sejenak Keira memikirkan beberapa ide yang terlintas di kepalanya. "Pariwisata. Perfilman Hollywood. Pertukaran pelajar. Kegemaran siswa. Musik. Kira-kira mana satu yang lo suka?" Ia meminta pendapat Zein.

"Musik," pilihnya tanpa pikir panjang. "Coba lo yang bikin karangan dalam bahasa Indonesia, nanti gue yang mentranslate ke Bahasa Inggris. Adil, kan?"

"Oke," Keira menyetujuinya.

Musik. Mendengar kata itu, band-band favoritnya langsung memenuhi otaknya. Tak banyak basa-basi lagi, Keira pun menggoreskan pena di buku tulis yang ia bawa. Sesekali dalam hati ia menyenandungkan lagu-lagu kesukaannya. Acara mengarang pun lancar terlaksana.

"Jangan lihatin gue," kata Keira tiba-tiba, tanpa menoleh. Rupanya ia sadar jika Zein mengawasi setiap pergerakannya. Padahal ia tampak sedang sibuk-sibuknya.

"Kayaknya lo peka banget kalau ada yang lihatin lo," kata Zein, hampir mendecak.

"Lo juga. Lo selalu tahu tiap gue merhatiin lo," timpal Keira segera.

"Karena gue biasa jadi sorotan."

"Pengalaman yang sama," sahut Keira tanpa menatapnya.

"Selain itu kalau gue lagi berantem, pandangan lawan bikin gue waspada. Dilihatin dari belakang aja gue bisa merasa."

"Kenapa lo suka berantem?" Kali ini Keira mengalihkan pandangannya pada Zein.

"Menurut lo kenapa?" cowok itu malah balik bertanya.

"Yah, gue jelas nggak tahu, tapi orang berantem tentu ada alasannya, kan?" ujar Keira penasaran.

"Lo sudah selesai nulisnya?" Zein menjatuhkan perhatian ke buku Keira.

"Sudah," ia menjawab. "Coba dibaca dulu."

Zein mulai membaca hasil karangan Keira. Tidak begitu lama sampai akhirnya ia menatap heran cewek di depannya. "Lo tahu banyak soal musik rock dan lagu-lagunya. Emang lo suka dengerin band-band kayak mereka apa?"

"Ya... suka aja," Keira menjawab hati-hati. "Emang lo nggak suka?"

Zein tak segera menjawab. Ia justru menatap curiga ke arah Keira. "Bicara soal musik rock, gue jadi ingat gambar cewek di HP anak Bahasa tadi," ucapnya.

"Apa?" Keira kaget. "Emang lo lihat apa?" tanyanya dengan hati berdebar.

Zein tersenyum aneh ke arah Keira. "Gue sempat lihat wallpaper-nya." Ia menatap Keira tanpa berkedip. "Cewek, rocker, mukanya... mirip sama lo."