webnovel

5. Minta Maaf

Keira tak bisa konsentrasi selama pelajaran di kelas. Pikirannya masih cemas gara-gara Ryu. Sepertinya hobi nyentriknya di rumah sudah tidak aman lagi. Rahasianya telah terbongkar oleh cowok muka dingin sok manis itu.

"Kei, lo bengong aja sih dari tadi? Masih mikirin Zein?" bisik Milli dari bangkunya.

"Zein?" Keira sampai lupa dengan anak itu. Dari tadi ia justru sibuk memikirkan Ryu. Milli benar juga. Bagaimana keadaan preman mesum itu sekarang? Keira pun menoleh ke bangku belakang.

Kosong. Zein tidak ikut pelajaran Matematika. Sepertinya dia bolos. Alvin juga tidak ada di bangkunya.

"Zein beruntung nggak sampai pingsan," bisik Milli lagi sambil cekikikan. "Gue nggak tahu rasanya kayak apa tapi sepertinya... itu sangat menyakitkan."

Keira hanya mendecak kecil, tak terlalu peduli pada apa yang telah dilakukannya.

"Lo mesti waspada sama Zein, Kei. Kayaknya dia marah banget sama lo. Cowok sekelas dia dipermalukan seperti itu di depan anak-anak. Yah, gue tahu lo hebat. Tapi hati-hati aja, Zein itu berbahaya."

"Seperti apa bahayanya?" Keira menatap Milli penasaran.

"Serius lo nggak tahu?" kaget Milli. "Kemarin sebelum liburan sekolah, Zein habis menghajar Benny kakak kelas kita. Lo tahu Benny, kan? Anggota OSIS yang jago karate itu lho."

Keira coba mengingat-ingat nama itu. "Oh, yang badannya gede banyak ototnya itu? Yang sekarang kelas 12?"

"Yap. Lo bisa bayangin, Benny kakak kelas yang berotot ahli karate aja dibikin Zein masuk rumah sakit cuma dalam satu jam. Apalagi ngadepin lo, cewek lemes yang lari aja paling lamban sekelas? Dua menit aja, gue yakin lo udah rata dengan tanah," cerocos Milli, terhenti sebentar.

"Itu baru yang terakhir, Kei. Sebelumnya Zein sering banget berantem sama cowok-cowok badung kelas 10-9. Zein itu hobi adu jotos. Dia cowok yang bertemperamen tinggi. Anak-anak di sekolah kita kebanyakan takut sama Zein. Nah lo, malah beraninya bikin masalah sama master trouble maker kayak dia. Hati-hati aja deh mulai sekarang," kata Milli lagi.

Keira kembali gelisah tak karuan. Harus diakui. Tadi itu cuma serangan refleks. Bela diri satu-satunya yang ia bisa. Itu pun ajaran dari Fadil, kakak laki-lakinya.

"Kalau ada cowok yang mau kurang ajar, tarik napas dalam-dalam aja, Dek. Kumpulin semua kekuatan yang ada lalu tendang "bagiannya". Kakak yakin cowok itu bakal tumbang segera."

Dan akhirnya setelah sekian lama, hari ini ia gunakan juga pelajaran berharga dari Fadil. Menendang "bagiannya" si preman, sialnya si preman yang menakutkan. Keira mulai gemetaran. Kini rasa ketakutan menyelimuti dirinya.

Sebaiknya aku minta maaf saja, pikir Keira. Lagi pula ia tak ingin punya musuh di sekolah. Keira ingin hidup aman dan normal sebagai pelajar biasa. Tidak boleh ada permusuhan. Apalagi pertikaian dengan teman sekelas. Persaingan memang boleh tapi cukup dalam pelajaran.

"Oki!" Keira memanggil cowok itu saat pulang sekolah.

"Ada apa?" Oki memandang Keira dengan heran. Tumben sekali cewek itu mengajaknya bicara.

"Zein di mana?" tanya Keira langsung saja.

"Zein?" Oki mengangkat satu alisnya. "Lo lihat sendiri kan dia bolos pelajaran dari jam ketiga?"

"Lo kan temannya. Nggak tahu apa dia ke mana?" desak Keira.

"Biasanya sih dia tidur di... kenapa lo nyariin dia?" Oki tak jadi memberitahu tempatnya dan malah balik bertanya.

"Eng... gue mau minta maaf sama dia," jawab Keira yang membuat Oki sontak tertawa.

"Lo lucu, ya? Lo pikir Zein mau dengar permintaan maaf lo gitu aja? Sudah, gue saranin lo pulang aja dan banyak-banyakin doa biar lo nggak kenapa-napa." Oki meraih ranselnya lantas berjalan keluar kelas.

"Kalau gitu, gue boleh minta nomor ponselnya nggak?" seru Keira sebelum anak itu keluar.

Sesaat Oki terpana sampai kemudian ia tertawa lagi. "Lo ada-ada aja. Mau buat apa?"

"Neror dia," jawab Keira mantap. Oki semakin ingin guling-guling saja mendengar ucapannya.

"Lo pintar tapi gila juga, ya? Lo kali yang bakal diteror Zein," ucap Oki geli. Tapi entah aneh atau kenapa, detik berikutnya ia justru menyebutkan sederet nomor handphone pada Keira.

"Gue nggak tahu niat lo apa. Pesan gue cuma satu, jangan bilang Zein kalau gue yang ngasih nomornya. Gue balik dulu!"

Setelah kepergian Oki, tanpa basa-basi Keira segera menghubungi nomor itu.

Tuuuuuttt.

Sudah tersambung tapi Zein tak segera mengangkatnya.

Tuuuuuuuttt.

Hanya terdengar seperti itu saja.

Tuuuuuuutttt.

Keira menyerah. Akhirnya ia menutup telponnya. Kini pandangannya justru tertuju pada tas ransel di atas meja. Ransel Zein.

Keira menarik ransel itu dan membawanya keluar. Ia tengah menyusun rencana saat ponselnya tiba-tiba bergetar. Ada panggilan masuk. Rupanya nomor Zein. Entah kenapa Keira jadi panik sekarang. Padahal ia sendiri yang tadi berniat menghubunginya.

"Ha-hallo?" angkat Keira gugup.

"Siapa nih?" Terdengar suara ketus Zein dari sana.

"Lo di mana?" tanya Keira berusaha tenang.

"Gue? Emang kenapa? Lo siapa, hah? Ngajak berantem? Di mana?" Zein malah menantang.

"Nggak penting gue siapa. Jawab aja lo di mana!" Keira tak mau kalah meskipun ketakutan melanda.

"Di dekat gerbang," Zein menjawab.

"Oke. Tunggu gue di sana!" Keira segera menutup telponnya. Hatinya berdebar-debar. Tangannya dingin seperti daging keluar dari kulkas.

Setelah meyakinkan dirinya, Keira pun bergegas menuruni tangga. Namun baru beberapa langkah kakinya sudah terhenti. Ia melihat Zein dan Alvin sedang menaiki tangga. Mereka pun berpapasan di sana.

"Lo..." Keira terkejut. "Lo bilang tadi lo di gerbang," tudingnya.

Zein menatapnya tajam. "Siapa?" Tapi ia segera sadar dengan ucapan Keira. "Jadi lo yang barusan nelpon gue? Haha, hebat juga lo nantangin gue."

"S-si-siapa yang nantang?" bantah Keira. Melihat muka garang Zein benar-benar membuat nyalinya menciut.

"Terus apa? Lo emang cewek ekstrim, ya? Sekarang lo pilih sendiri aja deh, mau gue bikin kayak apa. Nangis-nangis, apa nggak bisa jalan selamanya?"

Keira menelan ludah yang mendadak pahit rasanya. Tangannya gemetaran. "Gue...," omongannya terputus sejenak. "Gue mau minta maaf sama lo."

Baik Zein maupun Alvin dibuat bengong tak percaya.

"Minta maaf?" Zein dan Alvin kemudian tertawa kencang. Keira cuma diam saja. Ia tahu dirinya konyol, tapi itu keputusan terbaik yang dipilihnya.

"Lo lagi ngelawak atau apa sih?" Alvin mengejek Keira. "Lo udah bikin Zein menderita dan sekarang lo enteng aja bilang maaf. Cuma minta maaf mah gampang, lo bisa bayangin nggak sakitnya tuh gimana? Rasanya...."

Zein membekap mulut Alvin dengan tangan sebelum cowok itu meneruskan ucapannya. "Lo sudah malu-maluin gue di depan anak-anak satu sekolah dan sekarang lo minta maaf ke gue pribadi kayak begini. Menurut lo adil nggak?" kata Zein sinis. "Lo nunjukin ke anak-anak betapa keren—beraninya lo, sekarang di saat lo minta maaf dari gue dengan cara sembunyi-sembunyi kayak begini. Harga diri lo tinggi banget ya," lanjutnya ringan tapi menusuk.

"Sori," Keira tersinggung dengan kata-kata itu. "Gue nggak pernah bermaksud kayak gitu. Otak gue nggak sepicik itu juga kali," ujarnya, menahan getaran suara.

"Oh, ya? Jangan-jangan lo nendang itu gue juga nggak sengaja," Zein menyindir dengan muka sinisnya.

"Yah, sebenarnya emang gue nggak sengaja. Itu cuma gerakan refleks. Tapi gue sudah tahu lo bakal marah, nggak percaya," ucap Keira pelan, membuat Alvin menahan tawa. Zein karuan menaikkan tensinya.

"Lo ekstrimnya kelewatan, ya? Lo benci gue apa pengen cari mati sih sebenarnya?" Zein melotot ke arah Keira.

"Gue nggak benci lo, kok. Gue juga nggak mau cari gara-gara sama lo," sahut Keira di tengah ketakutannya. "Zein, gue nggak mau musuhan sama siapapun di sekolah ini. Gue pengen semuanya baik-baik saja. Jadi tolong, maafin gue."

Sesaat Zein cuma memandangi Keira. Sampai beberapa detik kemudian ia melihat Keira membawa-bawa ranselnya.

"Lo ngapain bawa-bawa ransel gue?" Ia memandang curiga Keira. "Siniin!" Ia hendak mengambil ranselnya dari tangan Keira tapi sreeeetttt! Keira langsung menyembunyikannya di belakang punggung.

"Gue kasih tapi lo janji nggak bakal ngapa-ngapain gue dan mau maafin gue," ancam Keira.

Zein mendengus sebal. "Maksa? Minta maaf tapi maksa?" Ia tertawa kesal. "Kembaliin!" serunya.

"Nggak!" Keira langsung berlari menuruni tangga. Tentu saja Zein dan Alvin terkejut melihat ulahnya.

"Hey, sialan!" Zein mengumpatnya. Tak punya pilihan, ia pun berbalik mengejar Keira.

"Lo lupa? Lo cuma keong dan gue kelincinya. Dasar lambat!" Tahu-tahu Zein sudah berlari di belakang Keira.

Oh, iya juga. Keira sadar. Lari pun bakal percuma karena Zein bukan tandingannya.

Keira berhenti di halaman depan gerbang, dimana banyak anak sedang berjalan pulang dan berkumpul untuk ikut ekstra sekolah.

"Capek? Baru berapa meter?" Zein terkekeh mengejek Keira. "Mana tas gue!" Ia mengulurkan tangan untuk meminta ranselnya.

Keira memeluk ransel Zein kuat-kuat. "Sebentar," ucapnya membuat Zein makin naik pitam. Baru saja mau merebut paksa, tiba-tiba saja Keira berteriak.

"ZEIN, GUE MINTA MAAF. SORI SUDAH MALU-MALUIN LO DI DEPAN ANAK-ANAK. SEKALI LAGI GUE MINTA MAAF."

Zein kaget. Ia tak menyangka dengan ulah Keira yang tiba-tiba itu. Semua anak di sekitar gerbang langsung menoleh ke arah Keira. Mereka tampak berbisik-bisik dan bertanya-tanya.

"Sudah. Semuanya sudah dengar, ya? Jadi ini bukan secara pribadi. Nih, tas lo! Urusan kita selesai." Keira memberikan barang itu pada Zein lalu segera pergi keluar dari gerbang.

Beberapa lama Zein cuma diam memegang ranselnya. Sampai di menit berikutnya dia tiba-tiba tersenyum sendiri, entah karena apa.

"Si Genius gila juga. Nggak bisa ditebak maunya apa." Alvin datang-datang merangkul bahu Zein sambil berkomentar. Anehnya Zein diam saja tak menanggapinya.

"Apaan lo cengar-cengir coba?" tanya Alvin saat menoleh ke arahnya. "Jangan-jangan lo mulai tertarik sama Keira. Lo suka dia, Bos?"

"Suka?" Zein langsung mendorong Alvin dari dekatnya. "Apaan tuh suka ?"

Alvin tersenyum menggoda. "Yahh, sebenarnya gue juga tertarik sama si genius kayak yang lain, tapi gue pengen tahu kalau Zein lagi suka cewek mau kayak apa."

"Nggak akan!" Zein segera menimpali ucapannya.

"Yee, Bos. Biar dibilang preman kan lo manusia juga. Suka cewek itu wajar," celoteh Alvin. "Tapi ngomong-ngomong selera lo boleh juga. Gue kira lo bakal suka cewek-cewek cantik sexy setipe Shella."

"Terserah. Mulut lo mulai nggak jelas." Zein memoles kepala Alvin lalu memakai ranselnya.

"Gue balik dulu, Vin."

"Ikut boleh, Bos?"

"Gue bukan Bos lo." Zein berjalan cuek menuju parkiran meninggalkan sobatnya.

***

"What I've done..

I'll face my self..

to cross out what I've become..

Erase my self and let go of what I've done.. ."

"Kei, tenggorokan kamu apa nggak takut sobek?" tegur Mamanya yang sedang menyulam, mengganggu acara karaoke Keira saja.

"Nggak akan," jawab Keira setelah meneguk segelas minuman.

"Dari tadi ada cowok di depan. Itu teman kamu apa tamunya Papa?"

"Cowok? Yang mana, ya?"

"Itu lagi di ruang tamu," jawab Mamanya santai.

"Udah lama, Ma?" tanya Keira curiga.

"Lumayan. Tadi begitu Papa pulang dia datang."

Keira langsung ke ruang tamu untuk memastikan itu Ryu atau bukan. Benar saja dugaannya. Itu memang dia. Keira baru mau berlari tapi Ryu sudah terlanjur memanggilnya.

"Itu anaknya Om, ya?" tanya Ryu pada Ayah Keira.

"Iya. Kamu sudah kenal dia rupanya." Ayah Keira tersenyum memandangnya. "Kei, duduk sini. Nggak ada gunanya kamu sembunyi. Ryu sudah tahu itu kamu!" seru Ayah membuat Keira mati gaya.

"Beginilah, Ryu. Keira itu suka banget lagu-lagu band rock, musik metal. Jangan kaget lihat dia begini di rumah ya?"

"Papa?" Keira menyikut Ayahnya dengan kesal. Ia berkali-kali mengusap rambut wig merahnya karena grogi.

"Tapi keren kok, Om. Saya dengar di sekolah Keira sangat pintar. Guru-guru suka banget bicarain Keira di kelas saya," kata Ryu sok akrab.

"Ooh iya. Keira emang rajin banget belajar. Saya sih terserah dia mau punya hobi seperti apa asal masih tahu aturan. Lebih penting lagi sekolahnya nggak terganggu," ujar Ayah Keira.

"Keira juga pemberani lho, Om. Tadi siang di sekolah, dia berhasil...."

"Ryu! Lo suka musik rock?" Keira menjerit supaya anak itu tak meneruskan ceritanya.

"Rock?" Ia mengangkat satu alis. "Sebenarnya gue lebih suka ngerap. Musik hiphop misalnya. Well- tapi band rock juga lumayan. Gue sering dengerin juga," ujarnya.

"Bagus. Kalau begitu kita bisa duet. Lo tahu lagu-lagu Linkin Park kan? Gue jadi Chester Benington, terus lo jadi Mike Shinoda. Ayo, gue ajarin jadi anak metal!" Keira mengajak Ryu ke ruang tengah.

Meskipun bingung tapi Ryu menurut saja pada Keira. Ia mengangguk sebentar pada Ayah Keira lalu ikut ke ruang tengah mengikuti cewek itu.

"Sore, Tante," sapa Ryu saat melihat Mama Keira.

"Ohh, jadi kamu memang teman Keira?" tanya Mama heran. "Tumben Keira kedatangan teman. Bukannya Kei nggak mau ada yang tahu gaya rockernya?"

"Dia sudah terlanjur tahu, Ma. Gara-gara Papa," jawab Keira kesal.

"Bagus lah. Siapa tahu dengan kedatangan teman Kei berhenti jadi orang gila," celetuk Mamanya.

"Keira nggak gila, Ma," sahut Keira sebal. Ryu langsung cekikikan.

"Kenalin Tante, saya Ryu Mahesa. Putranya Pak Roni, teman kerja Om Arya. Kebetulan saya satu sekolah sama Keira."

"Ooh. Ya, ya." Mama Keira membalas jabat tangannya. "Gimana Ryu, Keira di sekolah kayak apa? Tante khawatir banget kalau dia kayak begini juga di sana. Kei itu jarang banget bawa teman ke rumah. Takutnya dia nggak punya teman cuma gara-gara menyembunyikan hobinya."

"Keira di sekolah dikenal pintar kok, Tan. Keira juga manis. Banyak lho penggemarnya. Termasuk saya."

"Jangan bercanda di depan Mama, deh!" sentak Keira sengit.

"Emang nggak boleh?" Ryu tampak menahan senyumnya.

"Kei, sama teman jangan galak-galak gitu dong. Itu bagus kalau banyak yang suka kamu," tegur Mama.

"Ya bagus. Asal bukan playboy kayak dia," sahut Keira cepat.

"Siapa yang playboy? Lo belum benar-benar kenal gue asal nuduh aja," Ryu pun tak terima. "Apa jangan-jangan lo sukanya sama yang lo bilang preman itu ya? Teman sekelas lo itu,ya?" tudingnya.

"Preman? Siapa itu, Kei? Kamu kalau bergaul cari teman yang benar. Nanti kamu terpengaruh, lho." Mama pun langsung menceramahinya.

"Eehh, lo asal banget ya kalau bicara?" Keira seakan ingin mencekik Ryu. "Maa, jangan dengerin dia. Percaya deh sama anak Mama sendiri," ucapnya.

"Gimana Mama bisa percaya? Orang kamu aja sukanya musik-musik keras kayak gitu. Jangan-jangan selera cowok pun kamu suka yang kayak mereka," tuduh Mamanya.

Ryu tertawa. "Benar itu, Tante. Tapi saya nggak serem kayak mereka, kan?"

"Tolong ya, Ryu, kamu awasi Keira di sekolah. Lapor sama Tante kalau dia mulai aneh-aneh. Apalagi suka sama preman sekolah, pacaran sama anak nggak tahu aturan. Itu tidak boleh!"

"Mamaaa!" Keira menjerit. Ia benar-benar kesal pada Ryu.

"Nah, mulai sekarang kita benar-benar bakal jadi teman dekat ya kayaknya." Ryu tersenyum nakal ke arah Keira.

Jepret. Jepret. Jepret.

Secara diam-diam Ryu mengambil beberapa foto Keira. Foto Keira dengan gaya rockernya. "Senjata." Ia pun segera menyaku ponselnya sebelum ketahuan.