webnovel

Chapter 5~ I Found You

~Andrea~

Sebelum film berakhir, cola yang kuminum tadi mulai beraksi sehingga mengharuskanku untuk pergi ke toilet.

"Rev... Toilet sebelah mana?" Tanyaku sambil berdiri dari kursi.

"Pakai saja toilet yang ada di kamar tamu." Katanya. Aku pun langsung bergegas pergi ke arah lorong. Aku kebingungan melihat dua pintu yang berada di samping kanan dan kiriku.

Menyebalkan! Revan terlalu pintar karena tidak memberitahuku kamar tamu berada di kiri atau di kanan. Karena sudah tidak tahan lagi, aku pun memasuki pintu yang berada di sebelah kananku.

Saat aku memasuki kamar itu, aku langsung mengetahui bahwa aku memasuki kamar yang salah karena aku dapat melihat beberapa barang-barang Revan di kamar ini. Aku tidak peduli lagi karena aku sudah berada di ujung tanduk. Aku segera memasuki kamar mandi dan lega setelah aku mengeluarkan cola-cola itu. Aku pun menyadari kalau aku sedang berada dalam kamar mandi Revan. Aroma tubuhnya yang berasal dari sabun menyeruak dengan kuat di kamar mandi ini dan entah kenapa hal itu membuatku tenang. Saat keluar aku memilih untuk melihat-lihat kamar Revan dan kalau dia menyalahkanku karena memasuki kamarnya, itu salahnya sendiri karena tidak memberikan petunjuk dengan benar.

Layaknya kamar seorang laki-laki pada umumnya, kamarnya cukup berantakan. Baju seragamnya tergeletak di kasurnya dengan kusut. Aku pun berinisiatif untuk menggantungnya di lemari. Kamar Revan berukuran lebih besar dari pada kamarku. Tempat tidurnya menempel tepat pada ujung kiri ruangan, sementara di samping tempat tidurnya terdapat jendela besar transparant seperti yang ada di ruang keluarga. Lemari berada di seberang tempat tidur dengan jarak yang cukup jauh dari pintu. Sementara di sebelah jendela terdapat meja belajar dan rak-rak buku. Berbagai macam poster pemain basket dan anggota band musik yang tidak kukenal tertempel di dinding-dinding kamarnya.

Aku pun mencoba merapihkan meja belajarnya yang berantakan oleh buku-buku pelajaran. Aku melihat beberapa foto Revan bersama keluarganya. Terdapat foto di mana Revan bersama ibunya sedang berada di depan Sydney Opera House, sepertinya ia masih SMP. Aku pun beralih kepada foto-foto lain yang berada di meja. Aku melihat foto terbaru dirinya bersama kedua orang tuanya, dia terlihat bahagia di situ.

Mataku terus menelusuri meja belajarnya dan berhenti tepat pada sebuah foto di mana terdapat seorang anak kecil berada di pangkuan neneknya. Mataku terbelalak kaget melihat foto itu. Aku mengambilnya untuk mengamatinya lebih dekat dan dugaanku benar, bocah itu adalah Rafa.

Saat itu juga rasanya jantungku berhenti berdetak karena ke kagetan ini. "Rafa.." Nama itu keluar dari mulutku tanpa kusadari, diiringi air mata yang menetes dari kedua mataku.

Aku tidak mengerti bagaimana bisa foto Rafa ada di kamar Revan? Apa hubungan Rafa dengan Revan? Apakah Revan adalah Rafa? Pertanyaan-pertanyaan pun bermunculan di kepalaku. Apakah aku bisa bertemu Rafa lagi? Semoga dengan kejadian ini aku bisa bertemu dengannya. Kalau kita bertemu apakah dia akan mengenaliku? Apakah aku akan mengenali mukanya? Apakah mukanya berubah? Aku sangat merindukanmu Rafa.... Aku pun memeluk foto tersebut dan air mataku menetes dengan derasnya. Beberapa menit telah berlalu tak terasa aku sudah memandangi foto tersebut cukup lama, sambil pikiranku mereka ulang adegan-adegan saat aku bermain dengan Rafa. Aku sangat merindukannya. Air mataku kembali menetes, dan aku mengelapnya dengan kasar.

"Hei!..." Seru Revan memasuki kamar dengan nada yang sepertinya akan berteriak padaku. Namun saat dia melihatku menangis, pandangan di matanya berubah menjadi cemas dan ekspresinya berubah. Dia berjalan dengan cepat ke arahku dan menarik kursi meja belajarnya yang aku duduki sehingga aku berhadapan dengannya yang sedang duduk di kasurnya.

"Hei kau baik-baik saja? Kenapa menangis? Berhenti menangis.. Hmm...??" Katanya dengan lembut sambil mengelap air mataku. Aku hanya menggelengkan kepalaku dan air mataku kembali menetes.

"Stop crying your face is ugly when you're crying." Bisiknya menghiburku.

Aku pun mencoba menenangkan diriku sambil mendengar perkataannya yang membuatku tenang. Setelah diriku cukup tenang akibat perkataannya dan elusan tangannya di rambutku, aku mulai membuka mulutku untuk bertanya mengenai Rafa.

"Apakah k-kau mengenali anak dalam f-foto ini?" Tanyaku dengan tersendat akibat menangis. Dia pun tersenyum melihatku yang sudah tenang.

"Lucu kan? Itu diriku bersama nenekku." Katanya sambil mengusap-usap kepalaku dengan kasar.

"Kau menangis saat melihat diriku yang begitu lucu? Wah wah aku terharu sekali!" Katanya menggodaku.

"Bu-Bukan.." Seruku mendengar dirinya yang terlalu percaya diri. Dasar narsis!

"Terus? Mengapa kau menangis secara tiba-tiba?" Tanya Revan, suaranya kembali melembut.

"Rafa." Seruku secara tiba-tiba dan dia terkejut saat aku memanggil namanya.

"Bagaimana kau mengetahui nama kecilku?" Serunya bingung.

Aku sedikit kecewa saat mendengarnya. Rafa tidak mengingatku sama sekali. Aku bingung sekarang apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menjelaskan siapa diriku padanya? Atau membiarkan dirinya mengingat siapa diriku? Lebih baik membiarkannya mengingat sendiri, itu akan lebih baik. Kalau dia mengingatku, itu berarti dia juga mengetahui kondisiku saat ini. Aku tidak mau itu terjadi. Jadi lebih baik dia tidak mengingatku.

"Rahasia. R.A.F.A" Sahutku sambil tersenyum jahil kepadanya.

"Akhirnya kau tersenyum juga. Sana basuh mukamu, nanti mereka akan curiga dan mengira aku membuatmu menangis." Serunya.

"Baiklah Rafa." Balasku sambil beranjak pergi ke kamar mandi. Aku melihat wajahku dalam cermin di atas wastafel. Mata dan hidungku memerah akibat menangis dan rambutku acak-acakan akibat tingkah Rafa. Aku membasuh mukaku dengan air dan sekarang mukaku terlihat lebih baik.

'Rafa... Senang bertemu kembali denganmu. Sekarang kau berubah menjadi cowo tampan sampai aku tidak dapat mengenalimu. Tapi sikapmu masih sama seperti dulu.' Kataku dalam hati sambil tersenyum. Aku melihat diriku sekali lagi dalam cermin dan beranjak keluar kamar mandi.

Rafa masih menungguku di kamarnya, dia sangat serius menatap handphonenya sambil duduk di kasur. Aku menatapnya sebentar dari ambang pintu kamar mandi. Dia terlihat sangat berbeda saat masih kecil dulu. Aku masih tidak percaya jika Revan adalah Rafa, bertemu Rafa kembali seperti sebuah mimpi. Aku pun berjalan menghampirinya namun dia tidak menyadarinya karena terlalu serius menatap handphonenya.

"Raf! Rafa! Ayo keluar!" Sahutku sambil melambai-lambaikan tanganku di depan matanya.

"Oh iya ayo." Sahutnya saat menyadari aku sudah berada tepat di depannya.

"Apa yang kau lihat di handphonemu sampai tidak menyadariku. Ra.fa...?" Tanyaku. Aku sangat senang memanggil nama panggilannya saat masih kecil.

"Bisakah kau berhenti memanggilku Rafa, aku membenci nama itu." Serunya dengan nada serius.

"Aku menyukai nama itu. Jadi biarkan aku memanggilmu Rafa dan jangan biarkan orang lain memanggil mu dengan nama Rafa! Hanya aku yang boleh memanggilmu begitu." Kataku sambil mengedipkan sebelah mataku. Dia pun hanya memandangku dengan mata terbelalak dengan pipi yang sedikit memerah.

"Terserah kau saja!" Katanya menyerah. Kami pun kembali ke sofa. Aku pun menyesal terlalu lama pergi ke kamar mandi karena filmnya sudah berakhir dan aku tidak mengetahui endingnya. Ini bencana!

"Arghh.. I miss the ending! Gimana endingnya? Gimana? Gimana?" Tanyaku kepada mereka semua.

"Kau terlihat seperti akan mati jika tidak mengetahui endingnya." Sahut Alex.

"Kau benar, sepertinya aku akan mati penasaran, jika kalian tidak memberitahuku bagaimana endingnya." Kataku.

Aku sangat menyukai film, dan ending adalah bagian favoritku. Dengan rasa cintaku yang besar terhadap sebuah cerita, aku akan mati karena penasaran jika mereka semua tidak memberitahuku apa yang terjadi dengan penyihir itu.

"Tenang-tenang itu berakhir dengan happy ending." Sahut Tio.

"Aku sudah mengetahui itu akan berakhir dengan bahagia! Ceritakan padaku cara mereka mengalahkannya?" Seruku.

"Aku akan menceritakannya tenang saja." Sahut Kyla. Yaps she's the best friend ever.

"Thanks Kyla. I love you. You are the best friend ever." Sahutku sambil memeluknya. Dia pun tertawa melihat tingkah lakuku dan mulai menceritakan bagaimana akhirnya. Setelah beberapa menit kita mengobrol secara acak dan beberapa kali berteriak tidak jelas, tenggorokanku menjadi kering. Aku membutuhkan segelas air putih.

"Rafa, aku mau minum." Pintaku menyela obrolan para lelaki.

"Ambil saja sendiri, gelas ada di laci ke dua." Jawab Rafa dengan malasnya. Aku pun bergegas pergi ke dapur dan mengambil sebuah gelas lucu berwarna biru berbentuk pinguin dan mengisinya dengan air. Tanpa kusadari seseorang berdiri di samping dan mengagetkanku sehingga aku tersedak. Kukira itu adalah Rafa ternyata Aldo lah yang berdiri di belakangku.

"Kau membuatku tersedak." Seruku kesal

"Maaf tidak berkmaksud." Katanya dengan penyesalan. Aku hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan.

"Jadi bagaimana kau bisa mengetahui nama kecil Revan?" Tanyanya secara tiba-tiba.

"Kau mengetahui nama kecilnya?" Tanyaku tidak percaya

"Kami sudah sangat dekat, aku sempat memanggilnya dengan panggilan Rafa karena nama aslinya Rafael Revan, namun dia bilang dia membenci nama itu sampai-sampai aku pernah dipukul olehnya karena terus menerus memanggilnya dengan nama itu. Tapi sepertinya dia tidak marah saat kamu memanggilnya dengan nama itu." Sahut Aldo menjelaskan.

"Aku punya alasan tersendiri memanggilnya dengan nama itu. Aku tidak mengetahui mengapa dia membenci nama itu, namun aku bersyukur karena dia membiarkanku memanggilnya dengan Rafa. Aku menyukai nama itu. Biarkan aku sendiri yang memanggilnya dengan nama itu, oke? Karena nama itu sangat spesial bagiku." Tuturku.

"Baiklah, lagi pula aku akan habis dipukuli jika memanggilnya dengan nama itu." Katanya tertawa diiringi tawaku. Kami pun kembali dan beberapa menit kemudian handphoneku berbunyi. Aku pun mengangkatnya tanpa melihat idnya karena aku mengetahui siapa yang menelpon tepat di jam lima ini.

"Drea, kakak sudah di depan apatermennya Revan, cepat ke bawah." Serunya.

"Iya..Iya kakakku tercinta. Kau memang selalu tepat waktu di saat aku tidak menginginkannya." Balasku dan memutuskan komunikasi sebelum dia sempat membalas perkataanku. Aku pun segera membereskan barang-barangku dan pamit kepada mereka semua. Aku memeluk Kyla sebelum pergi dan membisikan sesuatu kepadanya 'Kamu sahabat pertamaku. Terimakasih karena mengajakku mengobrol hari ini.'. Dia pun tersenyum dan membalas pelukanku lebih erat. Aku segera turun ke bawa dan langsung menemukan kakak dengan motor merah kesayangannya itu.

"Revan tidak mengantarmu turun? Dia bukan seorang gentleman." Sahut kakak saat melihatku sendirian.

"Kakak mungkin akan terkejut dengan apa yang aku temukan hari ini." Sahutku saat mengingat Rafa.

"Memang kau menemukan apa?" Tanyanya penasaran.

"Nanti saja kuceritakan saat makan malam. Aku yakin papa dan mama akan sangat terkejut." Sahutku sambil terkikik saat membayangkan muka mereka saat mengetahui aku bertemu dengan Rafa.

Saat sampai rumah aku langsung mandi dan membantu mama menyiapkan makan malam. Aku menunggu-nunggu waktu untuk menceritakannya kepada keluargaku. Saat makan malam berlangsung, seperti biasa kami bercerita-cerita. Aku dengan sabar menunggu semua orang bercerita untuk menceritakan cerita hebatku diakhir. Kakak memulainya dengan menceritakan bahwa dia bertabrakkan dengan seorang gadis cantik saat hendak menjemputku dan dia berkata kalau dia bertemu dengannya lagi dia pasti akan berkenalan dengannya. Dia sempat mengumpat tanpa sadar di depan mama dan papa karena lupa mengenalkan diri kepada gadis itu. Aku pun tertawa saat melihatnya dimarahi karena umpatannya itu. Mama pun mulai bercerita mengenai tetangga sebelah yang mempunyai anjing baru yang sejenis dengan Doodle, dan dia berpikir untuk menjodohkan Doodle dengannya agar bisa melihat anak anjing yang lucu. Aku dan papa tertawa terbahak-bahak karena hal itu tidak mungkin terjadi mengingat usia Doodle yang sudah tua. Sementara papa melanjutkan cerita mengenai projek barunya yang sebentar lagi akan selesai, dia pun sempat mengeluh akibat bawahannya yang bekerja dengan lambat. Papa sempat menggoda mama dengan berkata dia melihat seorang wanita cantik yang menjadi bawahannya. Mama pun cemberut dengan perkataan papa, papa pun tertawa karena dia hanya bercanda dengan hal itu. Aku dan kakak hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah mereka.

"Sekarang giliranku!" Seruku tanpa bisa menahan senyum yang merekah di wajahku.

"Sepertinya kau senang sekali. Ada apa hari ini?" Tanya papa.

"Dia hari ini pergi ke rumah temannya untuk pertama kalinya." Sahut mama menjawab, mengingat papa yang pulang agak terlambat sehingga tidak menyadari diriku yang pulang sore.

"Aaa.. Aaa.. Aaaa....." Sahutku sabil menggerakan jari telunjuk menunjukan mereka salah.

"Aku mempunyai berita yang akan mengejutkan kalian semua!" Sahutku dengan riang.

"Cepat beritahu aku sudah penasaran dari tadi sore." Sahut kakak.

"Kalian benar-benar tidak akan percaya dengan apa yang terjadi. Tapi aku akan menceritakan dari awal..." Sahutku berhenti sejenak untuk minum.

"Hari ini aku bersahabat dengan seseorang gadis yang sangat keren bernama Kyla, kami cepat akrab walaupun baru sehari bertemu. Aku bertemu dengannya di perpustakaan sekolah karena kami dipulangkan lebih awal. Setelah itu kami berkunjung ke rumah Ra-Revan." Aku hampir saja mengungkapkannya.

"Di sana aku mengetahui bahwa Kyla menyukai Alex, salah satu teman Revan. Kami memutuskan untuk menonton film. Aku dan Kyla ditugaskan untuk memasak. Kyla hampir membuat dapur Revan terbakar, sementara jariku terkena pisau saat memotong tomat." Mama hampir menyelaku namun aku terus melanjutkan perkataanku.

"Revan mengobatiku, setelah itu kami mulai menonton. Waktu aku ingin ke toilet, aku salah memasuki ruangan dan tanpa sengaja aku memasuki kamar Revan. Aku pun melihat-lihat isi kamarnya. Kalian pasti akan terkejut dengan apa yang kutemukan di sana." Kataku menyelesaikan kalimatku untuk membuat mereka penasaran.

"Apa yang kau temukan? Barang curian?" Timpal kakak konyol. Papa pun mendiamkan kakak dan menyuruhku melanjutkan ceritaku karena pensaran.

"Aku menemukan sebuah foto.... Dan dalam foto tersebut terfoto seseorang yang kalian tidak akan percayai..."

"Siapa presiden?" Potong mama, papa kembali mendiamkan mama dan menyuruhku melanjutkan.

"Bukan.. Dia adalah.. Ra...Rafa." Sahutku secara pelan sambil melihat reaksi mereka. Mata mereka terbelalak kaget.

"Tidak mungkin bagaimana bisa?" Tanya papa.

"Revan adalah Rafa!" Seruku.

"Jadi bagaimana, dia mengenalimu?" Tanya mama bersemangat.

"Sayangnya tidak. Tapi itu lebih baik karena kalau dia ingat, dia akan mengetahui kondisiku." Sahutku.

"Sweetheart, mama yakin walaupun dia mengetahui kondisimu dia tidak akan meninggalkanmu." Seru mama yakin.

"Aku tahu ma... Hanya saja aku.. Aku tetap takut.." Kataku sambil menunduk ke bawah tidak berani menatap mereka.

"Sudah kuduga! Kalau Revan adalah Rafa." Sahut kakak mengembalikan suasana.

"Memang kapan kau menduganya?" Tanya papa bingung.

"Ingat saat Drea hilang di MOS, orang yang menemukannya adalah Revan bukan? Nah saat aku melihatnya aku merasa mukanya tidak asing bagiku." Seru kakak bangga.

"Ra..Rafa yang menemukanku saat MOS?!" Seruku kaget. Serentak ketiga anggota keluargaku menganggukan kepalanya. Bagaimana ini?! Apa yang harus kulakukan..... Memalukannya diriku! Aku pun menyenderkan tubuhku ke kursi dengan lemasnya. Should I thank him? Or I just act like I don't know it.

'Aku harus gimana?' Bisikku.

"Tentu saja kamu harus berterimakasih kepadanya." Jawab papa yang mendengar bisikanku akibat pendengarannya yang sangat tajam.

"B..But." Sahutku bingung harus bagaimana berterimakasih padanya.

"Just say, you've just find out that he's the one who saved you." Sahut kakak santai.

"Ya apa yang dikatakan kakakmu benar Drea. Just tell him, you owe him, right?" Sahut mama. Mama benar, aku berhutang sekali lagi kepadanya karena telah menyelamatkanku.

"Ya kalian benar. Lagi-lagi aku berhutang padanya." Sahutku.

"Ngomong-ngomong soal hutang, apa kau sudah melakukan apa yang dia minta?" Sahut kakak sambil menyugingkan senyuman jahilnya kepadaku.

"Mungkin aku akan melakukannya sebentar lagi. Hanya saja kali ini aku akan menyebutkan nama lengkapnya." Sahutku sambil memikirkannya lagi.

"You'll make him heart attack!" Sahut kakak sambil tertawa.

"I dont get it!" Sahutku yang sama sekali tidak mengerti maksudnya apa.

Setelah perbincangan yang cukup lama di meja makan, aku pun segera memasuki kamar dan chattingan dengan Kyla. Kami pun membicarakan hal-hal acak tentang novel ataupun cowok tampan dan sepertinya Kyla sedang menyukai boy band korea sehingga dia menyuruhku untuk mencari tahu tentang K-pop. Aku pun ketiduran karena terlalu lelah dengan aktifitas yang aku lakukan hari ini. Tapi setelah beberapa saat tertidur, aku terbangun dan tidak dapat tidur lagi, sehingga aku mampir sebentar ke kamar kakak untuk meminta keterangan yang lebih jelas mengenai Rafa saat di mos waktu itu.

"Saat itu dia menggendongmu dengan gaya Bridal style dan sepertinya semua anak perempuan di sana iri denganmu. Dia terlihat keren saat itu." Sahut kakak menjelaskan. Aku sudah berada di kamar kakak dan tetap duduk di kursi rodaku, sementara kakak bercerita sambil tertidur di atas kasurnya.

"Aa.. Benar-benar memalukan! Aku harus bagaimana besok?" Tanyaku putus asa. Aku pasti tidak sanggup untuk melihat mukanya.

"Kakak sarankan kau berterima kasih padanya dengan mentraktirnya sesuatu. O iya, kakak hampir lupa. Bagaimana dengan hari ini? Kau tidak takut untuk berteman lagikan?" Tanya kakak membahas tentang kunjunganku ke rumah Revan. Dia pun bangkit dari tempat tidurnya dan duduk di ujung kasurnya.

"Tentu saja tidak. Mereka seperti mimpi indah. Aku selalu senang berada dekat dengan mereka. Terutama anak-anak cowok yang tidak bisa diam dan selalu menjahili kami. Menyebalkan tetapi menyenangkan!" Kataku sambil tertawa mengingat hari ini.

"Baguslah kalau begitu, aku berhutang pada mereka. Senang rasanya mengetahui kalau kau dapat kembali tertawa seperti itu." Sahut kakak sambil memelukku.

"Apaan sih kak!" Seruku sambil mendorongnya, namun sia-sia karena tubuhnya yang besar itu.

"Ngomong-ngomong soal para cowok. Apa yang kakak bicarakan dengan mereka sehingga mereka dapat bungkam selama diperjalanan?" Tanyaku penasaran.

"Hahahaha.. Mereka benar-benar tidak berbicara apa pun! Kalau begitu mereka benar-benar menepati janji mereka." Sahut kakak sambil tertawa.

"Memang apa yang kalian janjikan?" Tanyaku semakin bingung.

"Bukan apa-apa. Aku hanya menyuruh mereka untuk menjagamu mengingat tindakanmu yang ceroboh dan tidak telitian itu dan aku memberitahu kepada mereka kalau tubuhmu lemah dan gampang terluka. Mereka pun berjanji padaku akan menjagamu, dan berjanji akan merahasiakan hal ini. Itu saja, namun sepertinya kau tetap pulang dengan sebuah luka." Sahut kakak sambil mengusap jari manisku yang terluka.

"Hei sakit tahu!..... Pantas saja mereka bertingkah berlebihan saat aku terluka. Kakak tidak perlu menyalahkan mereka, itu karena ulahku sendiri yang tidak berani bertanya dan karena ketidak hati-hatiannya diriku ini." Seruku membela mereka.

"Ya..ya terserah kau saja. Sana balik ke kamarmu, hari ini aku lelah sekali." Seru kakak sambil mengusirku dari kamarnya.

Esok paginya

Aku terbangun akibat guncangan lembut pada tubuhku. Dengan terpaksa aku membuka mataku dan melihat mama sedang berdiri di samping tempat tidurku dan menatapku garang.

"Drea bangun kau sudah telat." Sahut mama sambil menarik selimutku dari tubuhku. Setelah beberapa menit kemudian aku baru memahami perkataan mama dan segera terduduk di tempat tidurku. Pandanganku langsung tertuju pada jam yang berada di dinding kamarku dan terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lebih sepuluh menit. Oh crap, I'm going to be late. Aku bergegas mandi dan langsung menyuruh kakak untuk mengantarku pergi ke sekolah. Hari ini hari jumat, kakak tidak memiliki kelas pagi sehingga dia masih tidur jam segini.

Saat sampai di sekolah aku berlari menuju kelas. Lorong-lorong kelas sudah sunyi menandakan semua orang sudah berada dalam kelas sekarang. Hatiku berdetak tak karuan karena ketakutan. Seumur hidupku aku tidak pernah terlambat masuk kelas, mengingat diriku yang sudah lama tidak bersekolah. Aku sangat takut apa yang akan terjadi saat aku membuka pintu kelasku. Untungnya kelasku memiliki dua pintu, sehingga aku bisa masuk melewati pintu belakang secara diam-diam. Saat sampai di depan pintu, aku mendorong pintu belakang dengan sangat perlahan dan merangkak ke tempat dudukku. Tio pun melihatku karena dia duduk dibangku belakang sama sepertiku, dia pun ikut merangkak bersamaku menuju tempat dudukku. Aku kebingungan dengan sikapnya yang mengikutiku. Apa dia tidak takut untuk dimarahi guru?

"Psstt... Apa yang sedang kau lakukan?" Tanya Tio berbisik.

"Diamlah, kau akan membuat kita ketahuan." Sahutku sambil berbisik. Aku pun melanjutkan pergerakanku. Saat berada di tengah-tengah kelas beberapa teman-teman sekelasku melihat ke arah kami dan saat itu juga aku baru menyadari kalau guruku terlambat masuk. Hebat! Aku mempermalukan diriku sendiri.

"Apa yang kalian lakukan?" Tanya Alex.

"Entahlah, aku hanya mengikuti Andrea." Sahut Tio.

"E..A..Aku... Bukan apa-apa." Sahutku sambil bergegas menuju bangkuku dan menutupi mukaku yang sudah semerah tomat. Untungnya hanya beberapa orang saja yang melihat tingkah memalukanku ini. Tiba-tiba sebuah ketukan terdengar di mejaku dan aku mengangkat kepalaku dan melihat keempat cowok itu sudah berdiri di depanku.

"Kau baik-baik saja? Tingkahmu aneh hari ini." Sahut Rafa sambil memeriksa keningku.

"Hei, aku baik-baik saja." Sahutku sambil menjauhkan tangannya dariku. Mereka pun tertawa secara bersamaan.

"Mengapa kau merangkak seperti bayi?" Tanya Aldo penasaran.

"Aku terpaksa melakukan hal itu! Hari ini aku bangun kesiangan karena terlalu kecapaian akibat aktivitas kemarin. Karena sekolah sudah sepi dan kelas sangat tenang, aku kira guru sudah masuk kelas. Jadi aku masuk diam-diam lewat pintu belakang agar aku tidak ketahuan guru. Menyebalkannya, guru belum datang dan aku terlanjut mempermalukan diriku sendiri." Sahutku kesal.

"Hahahaha... Jadi kau merangkak agar tidak ketahuan guru!" Seru Rafa tertawa keras.

"Diamlah Raf!" Sahutku sambil menatapnya garang.

"Andre..Andre.. Kamu ada-ada saja." Seru Alex sambil mengacak-ngacak rambutku. Aku pun menurunkan tangannya sambil menatapnya kesal dan membetulkan rambutku. Tak lama setelah itu guru pun masuk ke dalam kelas, dan memulai pelajarannya. Pelajaran pertama adalah pelajaran Biologi. Aku menyukai pelajaran Biologi karena aku dapat menguasainya dan gurunya masih muda dan aku menyukai cara mengajarnya.

"Maafkan Ibu datang terlambat." Seru Bu Rosa meminta maaf.

'Tidak perlu meminta maaf bu, akibat keterlambatanmu aku selamat dari hukuman' kataku dalam hati.

"Nah hari ini kita akan membahas mengenai bagian-bagian tentang otak." Kata Bu Rosa memulai pelajarannya. Aku pun mengeluarkan catatanku dan mencatatat hal-hal penting yang ia sampaikan. Beberapa kali Bu Rosa melempari beberapa pertanyaan untuk Quis dan aku dapat menjawab beberapa dari pertanyaannya. Tak terasa jam istirahat pun berbunyi.

"Sebelum kelas di bubarkan, ibu mempunyai sebuah tugas presentasi yang akan kalian lakukan per kelompok. Satu kelompok terdiri dari dua orang dan kalian dapat memilih rekan kerja kalian masing-masing. Kalian diberi keleluasaan sebebas apa pun untuk membahas tentang otak. Nanti kalian tolong kumpulkan daftar nama perkelompoknya. Rafael, nanti kumpulkan kertasnya di meja ibu ya." Sahutnya lalu beranjak keluar kelas. Murid-murid yang lain langsung beranjak keluar kelas, sementara aku masih diam di bangkuku membereskan buku dan memakan bekalku seperti biasanya.

"Hei! Kau mau ikut dengan kami?" Tanya Rafa mengajakku untuk pergi ke kantin bersama yang lainnya. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala sambil menunjuk kotak bekalku.

"Baiklah, sampai nanti." Serunya meninggalkan kelas menyusul yang lainnya. Aku kembali melanjutkan aktifitasku namun seseorang kembali menggangguku.

"Hai Drea.. Temani aku ke kantin yuk. Kau bisa memakan bekalmu di kantin bersama denganku." Seru Kyla yang sudah berdiri di samping bangkuku sambil membereskan bekalku tanpa seijinku dan menarikku pergi ke luar kelas sebelum aku memprotesnya.

"Tapi Kyl, aku benci sekali dengan yang namanya kantin. Terakhir kali aku pergi ke sana aku hampir mati!" Kataku mendamatisir kata-kata.

"Tidak seburuk itu kok. Lagian tidak enak makan sendirian di kelas kan?" Sahut Kyla sambil terus menerus menarikku ke kantin.

"Aku sudah terbiasa makan sendirian!" Protesku.

"Ayolah, jangan memprotesku untuk hal ini." Serunya dan aku tidak bisa membantahnya lagi. Tak lama kemudian kita sudah sampai kantin, seperti dugaanku kantin sangat penuh sesak!

"Hei kalian. Duduk sini!" Seru Tio yang melihat kedatangan kami. Tio dan para cowok telah duduk di salah satu meja yang ada di bagian sebelah kiri sambil memakan makanannya. Kyla pun melambaikan tangannya kepada mereka.

"Duduklah duluan bersama yang lainnya aku akan membeli makananku dan segera menyusul." Seru Kyla dan meninggalkanku sendirian. Aku pun menghela nafas panjang sambil menatap Kyla yang sudah masuk ke dalam kerumunan. Aku sama sekali tidak mengerti bagaimana mereka semua dapat lolos dari kerumunan maut itu.

"Katanya tidak mau ke mari?" Tanya Rafa saat aku duduk di sebelahnya.

"Aku terpaksa. Kyla memaksaku pergi ke sini." Sahutku sambil membuka kembali kotak bekalku.

"Apa kamu memasak itu sendiri? Sepertinya enak." Sahut Rafa yang melihat isi bekalku.

"Bukan. Biasanya aku memasak bekalku sendiri namun karena aku bangun terlambat mama yang memasakannya untukku. Kau mau mencobanya? Makanan buatan mamaku sangat enak." Kataku menawarinya.

"Boleh, asal kamu menyuapiku." Sahut Rafa jahil.

"Dalam mimpimu!" Seruku sambil menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutku.

"Huuh.. Akhirnya aku bisa mendapatkan makanan ini." Sahut Kyla yang duduk di depanku dan bersebelahan dengan Alex.

"Aku tidak mengerti pada kalian semua. Bagaimana kalian bisa keluar dari kerumunan itu hidup-hidup dengan membawa makanan?!" Tanyaku bingung mengingat kejadian terakhir kali saat aku hampir terinjak-injak di sana.

"Hei itu tidak seburuk yang kau katakan!" Protes Tio.

"Ya kau melebih-lebihkannya Andre." Sahut Alex.

"Aku tidak! Terakhir kali aku ke sini aku hampir mati di sana!" Seruku.

"Ya untung saja aku ada di sana untuk menolongmu!" Sahut Rafa bangga.

"Ya thanks to him!" Seruku sarkastik.

"Hei ngomong-ngomong soal itu kau belum membayar hutangku!" Seru Rafa mengingatnya. Bagus sekali! Aku memulai sebuah percakapan mematikan. Aku pun mendekatkan wajahku ke arahnya dan membisikan 'Thanks Rafael Revan. You saved me, and I owe you so much.' Aku pun memundurkan wajahku perlahan dan aku dapat melihat Rafa mematung di sana.

"Apa yang kau lakukan pada Revan sehingga dia menjadi patung?" Tanya Tio sambil melambai-lambaikan tangannya di hadapan Rafa.

"Aku hanya membayar hutangku. Ya kan Rafa?" Kataku menyadarkannya dan mukanya pun memerah.

"E..E.. I...Iya." Sahut Rafa tergagap-gagap. He's so cute. Aku pun melanjutkan makan dan menjadi orang yang selesai makan pertama. Mereka terlalu banyak mengobrol dan Rafa masih berada di dunianya sendiri sehingga makanan mereka sepertinya baru tersentuh sedikit.

"Hei guys... Kalian sudah menemukan pasangan untuk tugas Biologi?" Tanyaku mengingat tugas yang baru saja diberikan oleh guru bio kami.

"Aku pastinya akan berpasangan dengan Revan yang pintar dalam segala hal." Sahut Tio.

"Hei aku tidak akan berpasangan denganmu, itu sama saja dengan aku bekerja sendiri." Protes Rafa.

"Bagaimana dengan dirimu sendiri?" Tanya Alex.

"Aku belum menemukannya. Aku harap kita sekelas Kyl." Sahutku sambil menatap Kyla dengan sedih.

"Aku juga berharap begitu. Tapi untungnya aku tidak sekelas dengan kalian sehingga tidak perlu mendapatkan tugas biologi tersebut." Sahut Kyla yang membanggakan kelasnya. Kita berlima kecuali Kyla mengambil jurusan IPA sementara Kyla seorang diri mengambil IPS.

"Seharusnya aku mengambil jurusan IPS saja sejak awal." Keluh Tio.

"Hei apa kau mau berpasangan denganku? Aku yakin kita dapat bekerja sama dengan baik." Tanya Aldo kepadaku.

"Hei! Aku yang akan menjadi pasangannya." Seru Rafa.

"Bagaimana denganku? Aku juga mau berpasangan dengan Andre yang sangat pandai dalam biologi." Sahut Alex.

"Maaf Alex tapi aku tidak mau menciptakan permusuhan dengan Kyla jadi kau ku blacklist dari pasangan." Sahutku meminta maaf.

"Jadi kau memilih siapa aku atau dia?" Tanya Aldo.

"Entahlah.. Aku tidak dapat memilih antara kalian berdua. Kalian sama-sama bisa kumanfaatkan untuk bekerja." Sahutku jahil.

"Hei! Kita ini bukan budakmu!" Protes Rafa.

"Iya..Iya aku hanya bercanda." Seruku sambil tertawa.

"Aku akan bersama Aldo karena Revan sudah mencampakkanku." Seru Tio.

"Baiklah. Tapi sebaiknya kau bekerja atau aku tidak akan mencantumkan namamu dalam presentasi kali ini." Kata Aldo menyetujui.

"Ahh... Baiklah man." Saru Tio sambil memukul pelan Aldo yang berada di seberangnya.

"Yees! Baiklah Andrea kau berpasangan denganku!" Seru Rafa senang.

"Hmm. Baiklah seperti aku mempunyai pilihan lain saja." Seruku sarkastik.

"Don't be like that sweetty. I know you like me." Serunya sambil menyunggingkan senyum jahilnya itu. I never like his smirk.

"Tidak akan pernah terjadi!" Seruku.

"Hei kalian bisakah berhenti berpacaran! Aku masih merenungi nasibku!" Seru Alex yang masih memikirkan soal pasangan presentasinya.

"Kau bisa berpasangan dengan Bryan." Usul Rafa.

"Kau benar!" Sahut Alex senang.

"Hei siapa Bryan?" Tanya Kyla dan aku secara bersamaan.

"Dia hanyalah salah satu anak basket yang sering bermain bersama kami." Seru Aldo. Kami berdua hanya mengangguk-anggukan kepala saja mendengar penjelasan Aldo. Bel masuk pun berbunyi dan aku beranjak dari kursiku untuk pergi ke kelas, namun seseorang menarik pergelangan tanganku dan menariku. Aku terduduk di pangkuan Rafa yang menarikku.

"Jangan pergi sekarang, kau akan terluka lagi jika berdesak-desakan dengan orang-orang." Bisik Rafa di telingaku. Aku dapat merasakan hembusan nafasnya di telingaku saat ini. Bau tubuhnya sangat kuat karena tubuh kami menempel sangat dekat. Baunya membuatku merasa sangat nyaman dan aku sangat menyukai baunya. Jantungku berdegup kencang saat ini, apa yang terjadi dengan jantungku!

"Baiklah.." Kataku lembut sambil memberikan senyum gugupku kepadanya dan mengelap tanganku yang basah karena keringat ke rokku. Aku sangat gugup dan saat aku gugup tanganku akan dibanjiri oleh keringat. Aku pun bangkit dari pangkuannya dan kembali duduk di kursiku sendiri, jantungku tak akan bertahan lama jika aku berada di situ. Setelah aku duduk sendiri aku langsung merindukan kehangatan dan bau tubuhnya. Kami pun melanjutkan percakapan sampai kerumunan orang-orang sudah mereda dan kembali kekelas kami masing-masing.

Pelajaran pun berlanjut. Pelajaran hari ini dilanjutkan dengan pelajaran matematika yang tidak kusukai. Pertama karena aku tidak dapat menjawab soal dengan benar mesikipun aku sudah mengerti rumus yang dimaksud namun karena ketidak telitianku aku mangacaukannya. Terlebih guru yang mengajar sangat pelit dalam memberi nilai. Setelah beberapa jam berlalu yang terasa seperti beberapa hari telah berlalu, akhirnya aku terbebas dari matematika ini. Seluruh teman sekelasku pergi ke ruang ganti untuk pelajaran selanjutnya yaitu Olahraga. Aku juga tidak menyukai pelajaran yang satu ini karena fisikku yang lemah dan aku terlalu mudah lelah. Semua karena kejadian itu, aku jadi jarang menggunakan kakiku dan hanya menggunakannya saat terapi untuk memulihkan kakiku. Untung saja papa dapat menciptakan kaki palsu ini, tapi tetap saja aku jarang berolahraga walaupun sudah dapat menggerakan kakiku secara normal, sehingga mengakibatkan fisikku menjadi lemah.

Setelah mengganti baju dan melakukan pemanasan seperti yang biasa kami lakukan, guru olahraga kami mengumpulkan kami untuk mengarahkan tentang materi yang akan di berikan hari ini. Materi hari ini adalah kasti dan aku yakin hari ini aku akan terkena bola. Kami pun dibagi menjadi dua kelompok dan aku sekelompok dengan Aldo dan Alex sementara Tio dengan Rafa. Setelah beberapa kali melakukan suit yang dilakukan oleh ketua tim, masing-masing kelompok menempati posisi yang didapat. Kelompokku menang sehingga kami yang bermain pertama sementara kelompok Rafa berjaga. Semua orang memukul secara bergantian dan kelompok kami berhasil mendapat 14 poin. Setelah itu kami bergantian dengan tim Rafa karena salah satu pemain kami tertangkap oleh mereka. Begitu pun selanjutnya terus berganti-gantian dan yang aku lakukan hanyalah berlari saat mengganti posisi dan sisanya menjadi penonton.

Beberapa waktu berlalu dan saat semua anggota timku sudah kebagian memukul termasuk perempuan, meninggalkan aku sendiri yang belum memukul sehingga aku terpaksa menjadi pemukul. Tanganku gemetaran saat memegang pemukulnya, keringat membanjiri tanganku lagi. Pelemparku adalah seorang anak laki-laki dari kelasku yang tidak kuketahui namanya dan tidak kukenal sama sekali. Hal itu membuatku semakin gugup, namun Rafa mendekatinya dan membisikan sesuatu kepadanya yang entah apa itu. Setelah selesai berbisik cowok itu menyingkir dan sekarang Rafa yang menggantikan cowok itu. Aku merasa cukup lega karena aku dapat mempercayai Rafa bahwa dia tidak akan melukaiku. Aku bersiap-siap dengan posisiku dan Rafa tersenyum manis kepadaku sambil berkata 'You can do it.' dengan mulutnya. Aku tersenyum balik kepadanya dan kepercayaan diriku sedikit meningkat. Saat dia melemparnya aku pun bersiap memukulnya dan.. Bukk.. Aku berhasil memukulnya dan berhasil membuat bola itu melayang tidak terlalu jauh namun aku membuatnya tersangkut di pohon. Awalnya aku diam terpaku karena aku berhasil melakukannya dan tersadar saat Rafa berteriak kepadaku untuk lari sementara dia mulai berlari untuk mengambil bolanya. Aku pun menjatuhkan pemukulnya dengan keras dan mulai berlari.

Aku berhasil melewati base pertama, kedua dan ketiga dengan sangat baik. Saat aku hendak berlari ke base selanjutnya seseorang mengejarku dari belakang dan melemparku dengan bola tersebut. Bola itu mengenai kepalaku dan aku terjatuh. Semua orang mengerumuniku dan guru olahraga kami menyuruh seseorang untuk membantuku pergi ke UKS sekolah. Aku mencoba untuk berdiri namun kakiku terluka parah. Memang kalau kalian melihat secara fisik kakiku akan baik-baik saja karena kaki palsuku yang melindungiku, namun akibat benturan keras ini mengakibatkan sedikit kerusakan sehingga kakiku tersengat listrik dan benturan yang keras memperparah kondisi kakiku. Aku mencoba duduk dari posisiku karena hanya itu yang bisa kulakukan, dan saat aku duduk darah menetes dan saat itu aku menyadari bahwa aku mimisan. Guruku memberikan saputangannya untuk membantu mengelap mimisan dan mencoba untuk membantuku berdiri.

"Pak biar aku saja yang mengantarnya ke UKS." Sahut Rafa sambil menggendongku ke UKS. Guru olahragaku menganggukan kepalanya dan menyuruh Rafa agar berhati-hati. Rafa mulai berjalan sambil sedikit berlari ke arah UKS. Jarak UKS dengan lapangan sekolah cukup jauh sehingga perjalanan ini akan sangat lama. Aku menyandarkan kepalaku ke punggungnya dan hal itu terasa sangat nyaman dan membuat jantungku berdetak tak karuan lagi.

"Raf terimakasih." Sahutku sambil memegang saputangan guruku untuk menghentikan pendarahan dihidungku.

"Tidak perlu, lagian aku yang melempar bola itu kepadamu. Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu."

"Kau tidak perlu minta maaf. Lagian itu semua akibat tubuhku yang lemah ini. Kalau kau melemparnya kepada orang lain hal ini tidak mungkin hal ini terjadi." Kataku sambil meringis akibat kakiku yang terus menerus terkena sengatan listrik.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Rafa khawatir.

"Bisakah kau menepi sebentar di salah satu bangku taman." Pintaku.

"Baiklah.." Katanya menurutiku dan mendudukanku di bangku taman.

"Bisakah kau berbalik sebentar ada hal yang harus aku lakukan dan aku minta kau jangan mengintip." Pintaku lagi.

"Apa yang akan kau lakukan sampai aku harus membalikan badanku?" Tanya Rafa.

"Bukan urusanmu lagian ini kepentingan pribadi dan kau tidak boleh mengintip. Berbaliklah!" Seruku dan dia berbalik tanpa bisa melawan. Aku pun membuka kaki palsuku dan membenarkan baterainya yang sedikit melenceng dan membuatku terluka. Setelah melakukan hal itu aku dapat melihat kakiku terluka cukup parah akibat gesekan baterainya dan aliran listirk yang memperparahnya. Aku mengobatinya dengan obat yang om Jason berikan kepadaku. Om Jason memberikannya kepadaku karena dia yakin sesuatu seperti ini akan sering terjadi, sehingga aku membawa obat ini kemanapun aku pergi. Dokter Jason atau yang biasa kupanggil om Jason adalah sahabat papa yang merawatku dan membantu papa membuat kaki palsu ini. Setelah mengolesi obatnya aku memasukkan kaki palsuku kembali ke dalam kakiku.

"Apa kau sudah selesai, sekarang?" Tanya Rafa untuk kesekian kalinya.

"Baiklah kau boleh membalikkan badan dan melanjutkan perjalanan kita." Sahutku. Sebenarnya aku sudah dapat berjalan meskipun sedikit tertatih karena rasa sakit yang sangat hebat ini, namun aku tidak mau melakukannya dan lebih baik kembali ke gendongan Rafa yang sangat nyaman itu. Lagian aku tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk berjalan.

"Aye-aye kapten." Seru Rafa sambil tertawa dan menggendongku kembali di punggungnya.

"Raf...." Seruku memanggilnya setelah melanjutkan perjalanan kami.

"Hmm..." Balasnya.

"Kau yang menemukanku waktu mos kan?" Tanyaku sambil mengangkat kepalaku dari punggungnya yang hangat itu.

"Iya.. Bagaimana kau mengetahuinya?" Tanya Rafa sambil melihat ke arahku.

"Kakak memberitahuku and thanks about it." Seruku sambil tersenyum.

"No problem. You're a strong girl. Kau hebat dapat bertahan di sana padahal tubuhmu sangat lemah. I adore you very much. You're an amazing girl." Sahutnya sambil tersenyum dan menoleh kepadaku lagi. Seketika itu juga debaran di jantungku bertambah cepat dan aku yakin wajahku memerah saat ini. Aku menyembunyikan wajahku ke dalam punggungnya yang hangat itu dan dia pun tertawa pelan melihat reaksiku.

"Terimakasih." Sahutku sambil tetap menyembunyikan wajahku ke dalam punggungnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi waktu itu?" Tanya Rafa secara tiba-tiba. Aku sangat bingung mau menjawab apa. Tanganku kembali berkeringat.

"Kau tahu aku mempunyai tubuh yang lemah. Setelah aku selesai dihukum secara fisik waktu itu tanpa sengaja kakiku tersandung dan aku terjatuh. Aku memeriksa kakiku dan tanpa sadar teman-temanku sudah meninggalkanku dan aku pun tersesat. Hal terakhir yang kuingat seseorang menggendongku dan saat tersadar aku sudah berada di rumah." Jawabku. Aku tidak berbohong hanya menutupi sebagian dari kebenarannya kepada Rafa dan menambahkan sedikit bumbu kebohongan karena tidak mau ia mengetahui keadaanku.

"Hmmm.. Seharusnya kau bilang kepada kakak kelas agar tidak menghukummu." Seru Rafa.

"Kau tahu, kakakku mengatakan hal yang sama." Kataku sambil tertawa mengingat perkataan kakak.

"Aku tidak berani membantah kakak kelas. Sehingga aku memilih untuk diam. Lagian itu akan menjadi tidak adil bagi teman-teman yang lain." Lanjutku.

"Kau tahu, kakakmu benar sepertinya harus ada seseorang yang menjagamu untuk tidak melakukan tindakan ceroboh seperti itu." Sahut Rafa. Aku pun hanya tertawa mendengar komentarnya. Sepertinya perkataanya benar mengingat diriku yang sangat ceroboh ini. Tak lama kemudian kami pun sampai di UKS, Rafa membaringkanku di UKS dan membiarkan perawat bekerja. Setelah mengobati beberapa luka di tanganku dan memberhentikan mimisanku aku pun berbaring sebentar. Tidak sadar aku pun tertidur di sini. Saat bangun langit sudah sore dan di sebelahku ada kakak yang sedang tertidur juga.

"Kakak...Kakak..!" Seruku membangunkannya.

"Eh.. Hei.. My cute sister. You okay?" Tanyanya.

"I'm fine. Lets go home." Seruku sambil berdiri, untungnya kakiku sudah tidak terlalu sakit. Aku pun bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah kelas di mana aku meletakkan tasku. Namun sebelum aku keluar kakak menahanku dan menunjukan tasku yang tergeletak di samping tempat tidur.

"Tadi Rafa mengemasi barangmu saat kau tertidur dan menemanimu setelah pulang sekolah sampai aku datang. Dia sangat-sangat memperhatikanmu." Sahut kakak sambil membawa tasku dan mendorongku untuk berjalan ke arah motor. Sekolah sudah sangat sepi dan langit sudah sangat gelap. Ini pertama kalinya aku berada di sekolah sampai selarut ini.

"Mama pasti akan mengkhawatirkanku saat ini." Gerutuku kepada kakak sambil menaiki motornya.

"Aku sudah memberitahunya tadi. Jadi berterimakasihlah kepadaku." Sahutku kakak sambil menjanlankan motornya. Saat sampai rumah mama sudah berada di depan rumah. Dia terlihat begitu khawatir, semenjak kejadian yang menimpaku di mos waktu itu dia menjadi sedikit paranoid.

"Kenapa kalian baru pulang selarut ini?" Tanya mama khawatir.

"Salahkan Drea ma! Dia ketiduran di ranjang UKS." Seru kakak membela diri.

"Hei itu bukan salahku sepenuhnya. Kakak bisa membangunkanku, tapi bukannya membangunkanku dia malah ikut tidur di sampingku!" Sahutku menyalahkannya. Saat itu juga sebuah mobil datang dan papa keluar dari mobil itu.

"Hei kenapa kalian semua berada di luar?" Tanya papa yang melihat aku dan kakak sedang beradu mulut sementara mama melihat kami sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hey honey! Lihat kelakuan anak-anakmu." Sahut mama dengan tertawa perlahan sambil bersender di dada papa dan mencium pipinya.

"Hey mereka juga anakmu." Protes papa.

"Bisakah kalian tidak memamerkan ke mesraan kalian di hadapan kami. Itu mengganggu!" Sahut kakak sambil menunjukan ekspresi menjijikannya. Mama dan papa hanya tertawa menanggapinya sementara aku memutarkan bola mataku.

"Kalian belum menjawab pertanyaanku." Sahut papa.

"Mereka pulang terlambat." Jawab mama.

"Iya itu semua karena salah kakak yang ikut ketiduran di ruang UKS!" Sahutku sambil memukulnya.

"Hey!" Kakak memprotes sambil mengusap lengan yang kupukul.

"Apa lagi yang terjadi dengan adikmu ini Andrew?" Tanya papa kepada kakak. Papa sangat tahu bahwa aku akan menjawab aku baik-baik saja kepada papa.

"Entahlah aku belum mendapat penjelasan lengkap darinya. Aku hanya mengetahui dia terluka saat pelajaran olahraga karena terkena bola. Itu juga Rafa yang memberihatuku." Jawab kakak menjelaskan. Berkat penjelasan kakak semua mata tertuju kepadaku. Aku pun memutar bola mataku karena harus menjelaskan semuanya.

"Aku baik-baik saja! Hanya sedikit tergores dan aku sempat mimisan itu saja." Jawabku kesal sambil masuk ke dalam rumah dengan cepat dan membantingakan tubuhku di sofa. Aku memejamkan mataku mereka ulang kejadian hari ini, tapi hal itu hanya berlangsung sebentar karena seseorang memegang kakiku dan melepas sepatuku.

"Hey apa yang papa lakukan?" Tanyaku saat papa melepas kaki palsuku.

"Papa tahu ada yang tidak benar dengan kakimu karena kamu berjalan dengan sedikit tertatih. Dan dugaanku benar." Sahut papa saat melihat luka-luka di kakiku. Papa adalah seorang pengamat yang sangat hebat dan dia sangat teliti, itu sebabnya dia dapat mengetahui kakiku bermasalah dengan sangat cepat.

"Tenang pa, aku sudah mengobatinya dengan obat yang diberikan om Jason kepadaku." Sahutku.

"Hmmm Baiklah. Ngomong-ngomong soal Jason, sebentar lagi kau harus mengunjunginya kan?" Sahut papa mengingatkan. Oh tidak! Aku benci rumah sakit. Setiap tiga bulan sekali aku harus pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kakiku dan melihat perkembangannya. Menyebalkannya hal itu akan sangat melelahkan di mana aku harus menjalani terapi untuk kakiku dan beberapa suntikan yang akan aku terima. Saat di sana aku akan dipaksa berjalan tanpa menggunakan kaki palsuku dan itu sangatlah sulit.

"Hmm.. Pa bisakah kita mengunjungi om Jason nanti saja? Aku sangat sibuk dengan tugas sekolahku. Ya?" Bujukku kepada papa untuk menghindari pergi ke rumah sakit.

"Hmm.. Baiklah nanti papa bicarakan lagi dengan Jason. Minggu depan nanti papa akan menjemputmu sepulang sekolah untuk ke rumah sakit ya." Sahut papa. Yeah.. Aku berhasil menipu papa. Memang benar aku mempunyai tugas tapi tidak sebanyak itu. Aku berhasil menundanya, selanjutnya aku harus memikirkan cara untuk kabur dari papa.

"Hei kalian ganti baju dan mandi, makan malam sudah siap!" Sahut kakak sambil berjalan ke arah kami.

"Hmmm... Baiklah!" Seruku dan segera memasangkan kaki palsuku lagi dan berjalan ke kamar untuk mandi. Setelah mandi aku mendorong kursi rodaku untuk turun dan makan malam seperti biasanya. Setelahnya aku kembali mendorong kursi rodaku ke kamarku untuk mengerjakan beberapa pr.

Aku memutar lagu dari handphoneku dan mulai mengerjakan pr, namun aku terganggu karena handphoneku terus berbunyi. Aku pun dengan cepat menyelesaikan tugasku karena saat aku membuka handphoneku aku tidak akan pernah kembali untuk mengerjakan pr, jadi aku memilih menyelesaikan prku terlebih dahulu. Setelah selesai mengerjakan pr aku segera mendorong kursi rodaku ke samping kasurku dan memindahkan tubuhku ke atas kasur. Aku berbaring di atas kasur dan membuka handphoneku dan saat itu juga banyak sekali line yang masuk. Kelima temanku terus bertanya apa aku baik-baik saja terutama Kyla yang sangat ribut bertanya mengapa aku bisa terluka dan menyuruhku untuk menjelaskan semuanya yang terjadi. Aku mengetik keypad handphoneku dengan cepat untuk menjelaskan semuanya kepadanya dan membalas pesan dari temanku yang lainnya juga.

Percakapanku dengan Kyla pun semakin menyimpang. Kita kembali membicarakan random stuff sampai membicarakan aktifitas besok.

Besok kau ada acara Drea?

Tidak

Memang kenapa? Kau ingin mengajakku bermain?

Ide yang bagus.

Kita akan mengadakan Girls Day Out.

Kita akan ke mana?

Bagaimana kalau cafe black'wihte yang ada di dekat mall FCL?

Setelahnya kita dapat bermain di game master yang ada di sana ataupun membeli buku aku kehabisan bahan bacaan.

Oke! Aku akan menumui mu di cafe besok jam 9am.

Deal? I want to sleep now!

Bye!

Sleep well.

Aku pun segera mematikan handphoneku setelah menyetel alarm di jam 8.30, tanpa mempedulikan balasan dari Kyla. Aku benar-benar sudah kelelahan dan mengantuk, mataku sudah meminta untuk beristirahat sejak tadi. Aku menutup mataku sambil membayangkan hal-hal yang akan kulakukan bersama Kyla. No Boys! No one will disturb us! We'll have fun!!!