Mereka bilang kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Namun bagi Ilmuan Langit, kegagalan itu sendiri tak lain ialah sebuah penghinaan terhadap kehormatan. Magistra Indra tidak sanggup menerima kehinaan yang akan dia peroleh ketika menampakkan wajahnya di Angkasa.
Hal ini membuatnya membawa sisa pasukan Langit untuk menjaga tiap perbatasan Umanacca demi memastikan tertangkapnya sang penguasa. Kini kemanapun Amartya dan Naema pergi, pasti akan ada sambutan hangat yang menyertai mereka.
Hahaha aku bercanda. Tentunya ada beberapa tempat yang tak akan bisa didatangi oleh orang-orang Langit.
"Lihat lautan luas ini, begitu terbuka! Kita bisa mati kapan saja, bahkan tanpa kita sadari!" Amartya berdiri di depan dek kapal, terlihat begitu risau di bawah cerahnya atap yang menaunginya.
"Mungkin teh nya, kalau urang bisa nyihir ieu kapal agar teu terlihat? Kumaha?" Sesekali Ester punya saran yang menarik, bahkan dengan bahasa Buminya yang rusak.
"Bisa saja, tapi lawan kita memiliki Manshira dan Magistra, itu akan menjadi ide yang buruk." Jawab Naema.
"Tak bisakah kita membuat lautan sepi sebagaimana semestinya?" Tanya Amartya.
"Seperti menyatu dengan air?"
"Tepat, hanya saja kita harus bisa mengatur kemana air membawa kita."
"Ingin nak coba sama katong menyelam lautan?" Tanya Sarah yang saat itu sedang bersender di dinding kapal bersama Raina setelah menerima perawatan Ester.
Sejenak ketiga orang Darat itu terdiam.
"Kau tahu, itu ide yang sangat bagus!" Wajah Amartya mendadak cerah.
"Hanya saja, bagaimana? Walaupun aku melapisi setiap sisi dengan es, kita akan tetap mengapung karena sifat air." Naema melirik ke sekeliling kapal.
"Eh enya!" Tiba-tiba Ester menyahut.
"Aku ingat, Ibunda teh pernah ngobrol soal kapal selam di Buana Yang Telah Sirna."
"Kapal selam?" Tanya Amartya.
"Ho oh, kapal nu bisa nyelam ka dalam Lautan." Jawab Ester.
"Cuman nya, aku teh teu ngarti cara kerjana."
"Hmm, mungkin coba pikirkan benda-benda yang bisa tenggelam ke dalam lautan, tapi benda itu harus bisa diisi sesuatu." Kata Naema.
"Bagaimana dengan botol, mereka bisa tenggelam." Usul Amartya.
"Botol akan mengambang, tidak tenggelam kakanda."
"Jika mereka cukup berat mereka dapat melayang di dalam air, orang suku Api menggunakan botol-botol logam untuk mengangkat pedang agar tetap berdiri ketika kita memajangnya di aquarium."
"Untuk apa mereka melakukannya?"
"Kamu tahu, konflik suku Api dan Air? Kita mempertontonkan bahwa kita bisa membuat senjata yang tahan air."
"Bukannya banyak logam yang memang tidak berkarat dalam air?"
"Ah, tahan di sini maksudnya adalah anti (sihir) air, kamu paham maksudku kan?"
"Ooh, lalu, bagaimana cara mereka mengukur ketinggian botol-botol itu?"
"Mudah saja, kita mengatur air di dalamnya."
"Mengatur air... tunggu, itu dia!" Naema seketika menjerit.
"Kenapa?" Suara lantang Naema yang menggelegar membuat bahkan Amartya terlihat bingung dan kaget.
"Kita bisa memasukkan kapal ini ke dalam botol raksasa."
"Tentu saja adinda, tapi kita akan ikut tenggelam di dalamnya."
"Tidak jika kita berada dalam botol yang lebih kecil."
Amartya termenung sejenak mencoba membayangkannya.
"Oh? Menarik. Jujur tak pernah terpikirkan olehku."
"Nanaon atuh kalian bedua nih? Aku teu ngarti." Ester kebingungan.
"Sama." Kata Sarah.
"Sa sama." Lanjut Raina.
"Pa sudah yang ko paham?!" Bentak peri pintar itu pada adiknya yang kurang akal.
"Baiklah, satu masalah terpecahkan, tapi bagaimana agar kita tetap bernafas di bawah sana? Kamu tahu udara untuk dihirup itu terbatas." Tanya Amartya.
"Tentu saja para manusia pohon akan memberikan kita suplai udara, semenjak cahaya itu bisa masuk ke dalam lautan." Ucap Naema.
"Bukannya kakanda sudah tahu soal ini? Kakanda sendiri yang membuatku sadar akan kemampuan mereka?"
"Hah? Kapan?"
"..."
"Aku teh bisa aja numbuhin tanaman-tanaman laut pabila kalian butuh, dan oh jika atuh kalian bade tau, aku juga bisa berfotosintesis liwat rambut." Kata Ester.
"Sungguh?!" Amartya dan Naema melengking serentak.
"Hihihi, canda atuh. Tapi angger teh, aku punya Pohon Kehidupan. Jika mungkin suatu hari aku tah tau carana... tiasa wae." Gadis pohon itu tertawa kecil.
Kedua bocah pun saling tatap penuh rasa kecewa.
"Baiklah, satu lagi masalah terpecahkan, lalu bagaimana kita mengatur airnya ketika kita di dalam? Kita tidak tahu ada hal apa saja yang bisa kita tabrak di laut bebas." Tanya Amartya.
"Tentu saja aku sudah memikirkan hal itu, kita cukup membuat pintu air." Naema membuat gestur dengan tangannya.
"Pintu air?" Amartya kembali bertanya.
"Ya, kita bisa membuat pintu di atas dan di bawah botol, jika ingin naik kita bisa buka pintu bawah, jika ingin turun kita bisa buka pintu atas, tentu saja aku bisa mengatur gerak-gerik es yang akan kita jadikan botol."
"Tunggu atuh, urang rek pakai es sebagai botol!?" Tanya Ester.
"Tentu saja." Naema menoleh.
"Memangnya mau pakai apa lagi?" Ucap Amartya.
"Lalu, jika ingin bergerak ke kanan dan ke kiri bagaimana?"
"Itu…" Naema menggaruk pelan kepalanya.
Tiba-tiba saja ada yang melempar Amartya dengan bola air. Ia dan Naema lalu spontan menoleh ke arah kedua peri laut. Terlihat Sarah sedang menunjuk ke arah ekor Raina, yang merupakan subspesies perenang tercepat di antara kaumnya.
"Itu dia, kita bisa desain ujung botol untuk menyerupai ekor Raina, selain kita bisa pakai untuk bergerak cepat, kita juga bisa atur gerakannya untuk berbelok." Saran Naema.
"Hmm, kerja bagus Sarah, tapi jangan lempari aku dengan air lagi, sungguh tidak lucu." Tentu saja Amartya membenci air.
Sarah tertawa. Raina kemudian mencoleknya seraya berbisik menanyakan kenapa dia tertawa. Sarah membisikkan mengenai perkataan Amartya kepadanya, keduanya pun terdiam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak bersama. Amarah pemuda Api itu semakin memuncak, ia menggeram dan lantas menodongkan senapannya pada kedua peri laut.
"Kita masih butuh mereka, kakanda." Naema perlahan menurunkan senapan Amartya.
"Tentu. Walau aku tak yakin akan lama." Tatapnya kesal pada kedua peri. "Sekarang mari kita mulai menyiapkan kapal selamnya!"
Dari sana, Ester kemudian merubah bentuk kapal menjadi setengah kapsul, ujung yang lancip berubah menjadi bulat, begitu pula dengan buntut kapal.
Bagian bawah dan ruang muat kapal dibuat setengah tabung dan diisi oleh air dan beberapa tanaman laut, juga jamur matahari yang dibuat dari kristal api Amartya dicampur kristal alam Ester. Jamur matahari mampu mengeluarkan cahaya layaknya matahari (UV), memberikan tanaman-tanaman air cahaya yang membantu mereka berfotosintesis, menghasilkan makanan dan oksigen. Sarah dan Raina kemudian tinggal di sana selama perjalanan, mengurusi semua tanaman air itu.
Setelah itu Naema memasukkan kapal ke dalam tabung es dengan jari-jari yang hampir sama dengan kapal, menjadikan bagian atas tabung seperti tudung transparan yang menutupi sisi atas kapal. Suasana lekas berubah amat dingin selayaknya saat terjebak di kastil ratu es.
"Aku tidak yakin tanaman di sini akan kuat menahan dingin ini layaknya aku dan dirimu." Ucap Amartya pada Naema.
"Sama, sa ta-tak tahan jua." Tubuh Sarah menggigil.
"Hmm… kita bisa pakai kristal api untuk menghangatkan kapal ini." Saran Naema.
"Benar, namun diriku hanya memiliki 1 kristal api."
"Aku punya banyak, tapi mereka semua kosong." Naema mengeluarkan belasan kristal api dari ruang dimensinya.
Amartya pun bergeming melihatnya.
"Kakanda?"
Pemuda itu tak kuasa menghela berat nafasnya, "jika aku mengisi mereka semua aku bakal berubah kering kerontang. Haus, lapar, bahkan ranting-ranting yang berjatuhan dari pohon di belakang masih segar bugar."
"Tenang saja, aku bisa memasak dan menyuapi makanan sebanyak yang kakanda inginkan." Si gadis es tersenyum manis, dengan kedua pipi yang merah merona.
Mendengarnya Amartya menepuk pundak Naema, ia menghembuskan nada pasrah namun sedikit senang, mengingat betapa lezatnya masakan gadis itu.
"Baiklah. Jika memang begini keadaannya apa boleh buat, mari kita hangatkan kapal ini!"
Sesuai rencana, Amartya bergegas mengisi kristal-kristal api yang kosong dengan elemennya. Sementara Naema mulai mengambil bahan-bahan makanan yang ia simpan di dalam kulkas, di ruang dimensi miliknya. Ia juga mengambil ikan-ikan segar yang tadi dibawa oleh ombak-ombak para peri laut.
"Eh eta, teh Naema... aku aya kebun di atas kapal, kamu lihat keun?" Ester menunjuk kebun di bagian belakang kapal.
"Teteh silahkan atuh mangga, metik dari mereka semauna."
"Sungguh? Makasih, kak Ester." Naema membungkuk berterima kasih.
Dari dimensinya, gadis es kita lalu mengeluarkan berbagai macam alat masak, dan banyak dari alat-alat itu yang ditenagai oleh kristal-kristal elemen. Layaknya kompor, penanak nasi dan oven ditenagai kristal api ataupun blender yang ditenagai kristal angin. Kemudian dia membentuk 2 sosok elemental es setinggi dirinya, dan memberi keduanya topi koki.
"Mari memasak!" Senyum si gadis girang.
Satu hal yang perlu kalian tahu dari Naema, dia memiliki obsesi mendandani kepala elementalnya, entah sampai saat ini sudah berapa topi yang ia koleksi. Tak jarang juga ia memberikan mereka kumis ataupun dandanan.
Elemental adalah makhluk yang tercipta dari kekuatan elemen si penciptanya, seperti para Koswara kecil yang merupakan elemental dari suku Alam (walau beberapa manusia pohon tumbuh secara alami, dan dipanggil dengan nama Urang Tangkal).
Setiap penyihir punya bentuk dan kekuatan elemental yang berbeda-beda, namun semuanya tidak memiliki indra pendengaran, penciuman dan mulut, serta mata mereka senantiasa bercahaya saat aktif. Mereka punya sistem koordinasi tersendiri yang berbeda dengan makhluk hidup.
Elemental Naema tidak memiliki kaki tapi melayang di atas tanah akibat tolakan energi sihir. Tubuhnya menyerupai bongkahan es dengan bahu lebar, jemari panjang, mata bulat bercorak sian gemilang, serta kepala yang agak kotak. Mereka juga memakai zirah es yang sangat kuat.
Mereka cenderung pintar memasak serta mengurusi pekerjaan rumah tangga, karena Naema sering mengajari mereka saat kesepian.
Chef kecil kita pun mendatangi kebun yang ada di kapal, dan mengambil beberapa buah dan sayur di sana. Kemudian ia kembali ke dapurnya untuk mulai memasak.
"Porsi tuan Penguasa dari awal memang sudah cukup besar, kurasa aku akan butuh membuatnya lebih banyak mengingat dirinya akan mengisi kristal."
Naema mengambil jamur tiram yang telah ia keluarkan dari dimensinya, lalu memasaknya, seraya menaburinya dengan saus yang ia racik sendiri. Sementara itu para elemental mulai mengiris-iris sayur dan buah-buahan, juga menanak nasi.
Setelah jamur itu selesai dimasak Naema menaruhnya di dalam penghangat bertenaga kristal api agar tetap hangat. Lalu ia membuat adonan dari tepung, vanili dan garam. Ia mengambil rambutan yang telah diiris, dan memasukkannya ke dalam adonan. Naema kemudian memasaknya hingga kering.
"Baiklah sekarang tinggal mewarnai mereka dengan rasa."
Sementara itu para elemental mulai memanggang ikan-ikan yang dibawakan peri laut. Naema lanjut membuat sambalnya, ia memasukkan tomat yang telah terpotong kecil ke dalam blender, lalu menambah cabai, bawang merah dan garam. Setelah diblender Naema menambahkan sedikit jeruk nipis.
"Hidangan selengkap ini tak akan lengkap tanpa penutup."
Untuk penutup Naema mebuat jus apel dengan mencampurkan apel dan susu. Ia menyediakannya bersama apel mentah yang di selimuti karamel. Setelah selesai, Naema pun membuat nampan dari es, dan menyusun makanan-makanan tersebut. Ia menaruh sambal dan kecapnya pada mangkuk kecil, dan mengoleskan mereka pada jamur dan ikan panggang.
"Sebentar... aku kan tak pernah menanyakan selera manis kakanda." Sejenak gadis itu termenung. "Kalau tidak salah umur kakanda sekitaran... 14? Ah, masih terhitung bocah, ia pasti suka akan manisan."
Terakhir dia menaburkan bawang goreng dan menghias makanannya dengan selada dan tomat. Ia pun meminta kedua elemental untuk membantunya membawa nampan itu kepada Amartya karena lemahnya Ilmuan Langit dalam membawa benda berat, terlebih mengingat banyaknya makanan yang ia buat.
"Waktunya makan, Tuan Penguasa!" Seru gadis itu.
Elemental Naema menaruh nampan berisi makanan di dekat Amartya, lalu keduanya serentak meluap bersama angin. Di balik itu Naema berdiri dengan wajah merahnya, tersenyum lebar, menunggu Amartya memakan masakannya.
"Kamu ngapain senyum-senyum sendiri?" Tanya Amartya.
"Nungguin kakanda." Wajahnya tak sedikitpun berubah, masih saja sejuk dan manis.
"Mending kamu duduk sini, kita nikmati bersama."
"Hmm, baiklah…" Namun kini rautnya dengan jelas menampakan kebingungan.
Naema pun duduk di sebelah Amartya menemaninya menyantap makanannya.
Meski begitu, ternyata Amartya kesusahan menyantap makanannya dengan satu tangan. Dia harus makan dengan tangan kanannya, selagi mengisi kristal api yang sejatinya dilakukan dengan kedua tangan.
Benar-benar sulit untuk mengisi tenaga elemen itu dengan hanya tangan kirinya.
Kristal elemen harus diisi sampai penuh jika ingin berhasil terisi. Jika berhenti ditengah-tengah, semua energi dan nutrisi yang kita pindahkan dari tubuh akan terbuang sia-sia.
"Kakanda mau aku suapi?" Tanya Naema.
"Jika itu tidak merepotkanmu, sebenarnya jujur itu akan sangat membantuku."
"Te-tentu saja tidak."
Naema pun berakhir menyuapi Amartya selagi ia mengisi tiap-tiap kristal api. Naema agak sedikit canggung karena ini pertama kalinya dia menyuapi pemuda itu. Dia memang pernah dilatih oleh ibunya bagaimana cara menyuapi orang dengan benar, tapi tak pernah mempraktikkannya ke lawan jenis, apalagi dengan Penempa Bumi yang menggigit makanan mereka dengan amat kuat.
"Mmmh, beginikah rasanya makanan yang turun langsung dari Surga?" Tiba-tiba Amartya bergumam.
"Kamu tahu Naema, sepertinya aku sudah tidak lagi bisa makan makanan selain masakanmu."
"Untuk orang yang tak bisa merasakan cinta, tidakkah kakanda terlalu sering menggodaku?" Wajahnya semakin memerah seraya berjalannya waktu.
"Gak boleh kah? Bukannya kamu juga menikmati tiap momennya?" Ucap Amartya dengan senyum songongnya.
"Di-di-di-di..." Wajah Naema menjadi merah menyala.
"Aku harap kamu tak keberatan dengan sikapku yang seperti ini, beginilah salah satu caraku untuk berusaha memahami cinta dan kasih sayang sewaktu dikutuk untuk tak bisa merasakannya." Tawa kecil Amartya membuat perkataannya sulit dianggap serius.
"Aku tak tahu harus bilang itu hal baik atau hal buruk." Kata Naema.
"Tentu saja baik, kamu menyukainya."
"Diiiaaaam!"
Akhirnya mereka berdua menghabiskan waktu mereka, makan dan bercanda sembari mengisi kristal-kristal api tersebut. Setelah semua terisi, Amartya menaruh mereka di sisi-sisi kapal dan di lambung kapal tempat para tanaman tumbuh.
Setelah itu Naema membuat satu lagi tabung raksasa di bagian luar kapal. Tabung kecil yang melapisi kapal menempel pada bagian atas tabung raksasa sehingga lebih banyak air yang bisa tertampung pada bagian bawah kapal.
Untuk bagaian belakang kapal dibentuk layaknya ekor dari Painima yang lancip dan vertikal. Lalu di bagian atas tabung besar terdapat 2 pintu air, begitu juga di bagian bawahnya. Setelah itu Naema membuat sebuah elemental sebagai nahkoda kapal, ia yang akan mengatur terbuka dan tertutupnya pintu air, serta gerak dari ekor kapal.
Dan untuk menyempurnakannya, Naema lalu memberi si nahkoda topi pelaut suku Api.
"Eh, bentar, tunggu deh! Itu bukannya topiku?!" Tanya Amartya langusng mengenal wujudnya.
"I-Iya, pak Hakan memberikannya padaku sewaktu dia bercerita tentang konflik suku Api dan Air."
"Luar biasa, pantas saja hilang, aku mencarinya ke mana-mana."
"K-Kakanda bisa mengambilnya kembali jika kakanda mau." Meski Naema bicara demikian, rautnya nampak sedikit gundah.
"Tak apa, kamu bisa menyimpannya, setidaknya sekarang aku tahu ayah sudah tahu tentang takdir ini bahkan sebelum Gabriel menyampaikan pesanNya."
"Ah, kurasa... itu ada benarnya..."
Kini dengan kapal selam mereka selesai, mulailah pelayaran mereka, menelusuri lautan, ditemani keindahan lautan Selebes dan arsitektur kelas kakap dari para Pelukis Samudra.
Mari berlayar... menuju... Garabandari.