36 Chapter 30: Slaves to Themselves

Amartya menoleh ke atas selagi mengangkat kedua pistolnya yang kini berlumuran embun jingga.

[Sihir Penguat]

[Tingkat 4 Ekstensi]

"(Perkuat Senjata)"

"Offensio Enhancra!"

Ester pun menembakkan anak panahnya, yang kini tertancap pada punggung Amartya, memperkuat senjata, hingga berpuluh-puluh kali lipat.

Sementara cahaya api berkilauan di sekelilingnya, secara spiral memasuki mulut kedua pistol Amartya. Tanpa basa-basi ia pun berputar-putar, berdansa bagai pusaran api yang ganas, menembakkan jutaan peluru api ke Angkasa, meninggalkan jejak api di seluruh lantai kapal dengan selongsong peluru yang bergelimpangan di antaranya.

*D-D-D-D-D-D-D-D-D-D-D-D-DAR!*

Para penyihir angin, bagai rerintikan hujan mulai berjatuhan dengan cepat, beberapa dari mereka membentuk perisai angin untuk berlindung dari peluru-peluru yang haus akan darah. Sayangnya serangan Amartya terlalu kuat untuk dihadang oleh sihir rendahan. Penyihir lemah terus berguguran satu demi satu.

"Magistra! Kita akan tersapu bersih jika terus dihujani peluru seperti ini!" Mereka panik dan tertekan.

"Kalau begitu..."

Penyihir terkuat di antara mereka dengan cerdiknya menaikkan tekanan udara menahan pendengaran Amartya, lalu menurunkannya secara derastis untuk membendung jarak apinya.

Ia kemudian mengajak penyihir lainnya untuk terbang lebih tinggi lagi, dan tanpa terkecuali, para penyihir mengikutinya terbang lebih tinggi lagi. Amartya perlahan mulai berhenti berputar dan menurunkan senjatanya.

"Suara, mereka meredup? Dan peluruku? Apa-apaan ini?" Bahkan ocehannya sendiri sulit didengarnya.

Lalu ia sadar di hadapannya, Naema tengah menggigil hebat, menggenggam kedua lengannya dengan erat, dengan nafas yang terhembus tidak beraturan.

"Tunggu... suhu tubuhnya naik!?" Pemuda itu tersadar akan kesalahan penilaiannya.

"Gadis itu... dia tidak sedang bersedih... dia..."

"Murka."

Di Dunia ini suku-suku di Daratan diciptakan berdasarkan salah satu dari ketujuh dosa mematikan. Dosa ini perlu mereka kekang demi menjaga keutuhan komunitas sosial mereka. Namun, jika berbicara soal kekuatan, dosa inilah yang menjadi bahan bakar serta katalis terbaik elemen mereka. Dan bagi suku Api, dosa mereka tak lain ialah... kemurkaan.

"Apa yang kamu lakukan?" Amartya berdiri di hadapan Naema yang betis dan lututnya kini tertempel pada lantai kapal, terselimuti amarah yang belum pernah mendatanginya sebelumnya.

"Kamu bukan seorang pengemban api, mengapa kamu mengekakng mereka?" Gadis itu menoleh ke atas, dan menemukan wajah mentarinya kini menatap tajam ke arahnya dengan mata jingga yang menyala-nyala.

"A-aku—"

"Hatimu dipenuhi kebencian... bahkan api mulai bergejolak di tempat beku itu."

"Tidak! Aku— aku harus bisa menjaga sikapku..." Gadis itu kembali tertunduk, giginya luar biasa bergetar.

Amartya pun bertumpu pada lututnya, menarik dagu Naema hingga wajah mereka kini bersapa sejajar.

"Ucap siapa? Kamu murka, seharusnya kamu melampiaskannya..."

"Melampiaskannya...?" Mata Naema terbuka lebar mendengarnya.

"Dosa ini, bukan bagimu untuk mengembannya."

"Tapi—"

"Tidakkah kamu benci mereka, Naema?"

"Hah?"

"Tidakkah kamu ingin mereka membayar segala perbuatan mereka?"

"Membayar..."

"Tidakkah kamu ingin menghukum mereka atas perlakuan mereka terhadap mayat-mayat yang kini bergelimpangan di atas lautan darah."

Naema terdiam sejenak mendengarnya.

"Aku... ingin!"

"Maka berdirilah Naema! Atau kamu ingin para penyihir di atas sana bersikap semau mereka pada para peri? Pada kita!?" Amartya berdiri, memandang kian ganas pada Naema dari atas sana.

"Jika kamu marah, maka murkalah! Biarkan panas itu meluap dari tubuhmu!"

Naema pun berdiri, memegang erat tongkatnya dengan kedua tangannya.

"Sekarang tunjukkan pada mereka, ganjaran mereka, ketika mencari masalah dengan seorang Magistra!"

Naema mengangguk, kedua sayapnya terbuka lebar, dan kini ia berjalan ke arah para penyihir itu.

Amartya bisa merasakan dengan jelas amarah dan dinginnya hati Naema. Menyeringailah pemuda itu dengan senyuman yang kian pahit untuk dipandang. Melihat gadis Es itu termakan oleh dosa api, tak ada hal yang lebih menyenangkan baginya selain duduk manis di sana menyaksikan amarah melahap Naema. Amartya tak suka dia bersedih, tapi marah, kesal atau meledak-ledak adalah sifat dari api, Amartya tak punya masalah dengan emosi itu.

"Henteu kunanaon... apa tak apa membiarkan Naema seperti itu?" Tanya Ester pada Amartya.

"Tak apa, jika suhu tubuhnya terus naik seperti itu, bahkan hingga melebihi 273 kelvin, Naema... bisa meledak." Jawab Amartya.

"Maksud akang murka besar?"

"Tidak, secara harfiah."

Naema pun mengangkat tongkatnya tinggi ke atas. Sayapnya terbentang luas seraya memancarkan cahaya sian, dan darinya gugurlah bulu-bulu yang membeku ketika menyentuh lantai kapal. Matanya bergelimang sinar sian yang terang, membentuk bayang-bayang yang berkibar di samping wajahnya. Kini nafasnya terhembus, dan hawa dingin memenuhi seisi kapal.

"Sebuah mahakarya"

"Akan kupersembahkan padamu roh beku"

Naema mengetuk tongkatnya, dan angin dingin mengisi permukaan laut. Kemudian air meluap darinya menjadi serpihan-serpihan es yang memenuhi Angkasa.

"Hari ini kan kutaklukkan Samudra"

"Membawanya ke musim dingin bersamaku"

Birunya lautan kini menerang menjadi sian, permukaannya kian dingin seakan membeku, tertutupi oleh es yang semu. Sisa peri laut tak kuat menghadapi dinginnya permukaan kian meremang, mereka menyelam lebih dalam dan mencari kuil Samudra yang ditumbuhi alga-alga mentari untuk mencari kehangatan.

"Tumbuhlah bunga-bunga salju darinya"

"Berakarkan setiap benih amarahku"

Serpihan-serpihan tadi pun berkumpul satu dengan lainnya, membentuk bunga-bunga es dengan kuncup yang tertutup rapat. Mereka bergemerlap cahaya sian, dan perlahan bertuliskan mantra-mantra es pada kuncupnya.

"Terbanglah wahai putri-putri mahkota"

"Hias Angkasa dengan keindahanmu"

[Sihir Es]

[Tingkat 8]

"(Tarian Teratai Salju!)"

"Is Dans Kotas Fui..."

Matanya sayu, suaranya menggema ke seisi Samudra. Bunga-bunga yang terkena gelombangnya bermekaran, menjadi teratai salju yang indah. Angin dingin pun berhembus, menerbangkan kelopak mereka ke Angkasa dengan anggunnya.

"Ah... bukannya pemandangan ini kian mempesona?" Amartya tersenyum, merasakan dinginnya angin berhembus pada tubuhnya.

Para penyihir angin tidak pernah melihat sihir Naema. Mereka hanya terdiam, terpana ketika langit dihiasi oleh kepingan bunga yang berterbangan.

Naema pun mengangkat tongkatnya setinggi mungkin, lalu menghentakkannya ke tanah sekencang-kencangnya.

*Tok!*

Mendadak seluruh bunga meledak di Angkasa dan pecah menjadi duri-duri salju, sedingin es, setajam mata tombak. Langit menjadi kian muram dan dipenuhi oleh darah yang bercipratan ke sana kemari.

"Lihatlah atas Ester... bukankah langit tampak begitu indah pagi ini?" Tangan Amartya terbentang lebar, angankan menyambut cairan merah pekat yang bercucuran ke arahnya. Wajahnya luar biasa merahnya.

"Kang..." Ester tampak prihatin melihat bocah di depannya.

Para penyihir dihujani duri-duri salju dengan ganasnya, satu persatu dari mereka berjatuhan dan tenggelam ke lautan dalam. Beberapa dari mereka berhasil menghindari duri-duri itu bersama kelihaian dan kelincahan mereka yang luar biasa.

"Jangan sesekali berpikir untuk kabur!"

Tapi Naema belum selesai, dia membuat penjara es raksasa dan menarik mereka yang selamat ke dalamnya. Para penyhir sudah terlalu letih untuk bisa kabur darinya, dan Magistra yang mampu menolong mereka sudah terlebih dahulu pergi dari sana. Penjara es itu perlahan menyempit hingga akhirnya mereka berdesakkan di dalamnya.

"Kan kuhapuskan dosa dengan rasa sakit"

"Meredakan amarah jiwa yang gugur di medan perang"

Muncullah ribuan kunang-kunang sian mengelilingi penjara, bertaburan, bergelimpang cahaya, begitu indah menawan namun menyimpan berjuta dendam di dalamnya.

"Seribu algojo dari kalangan mereka akan bangkit"

"Seraya mengangkat senjata hati setajam tombak"

Seribu dari mereka pecah menjadi berhelai-helai kelopak bunga lili salju, mekar dan berterbangan di sekitar Ilmuan Langit yang tak berdaya.

[Sihir Es]

[Tingkat 7]

"(Janji Seribu Tombak)"

"Mariis Fuirumuka!"

Para mahkota itu pun bersatu kembali menjadi seribu tombak es yang mengelilingi tiap sisi penjara, mereka semua bergerak mengikuti alunan tongkat Naema. Gadis itu lalu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan secara bersamaan tombak-tombak itu bergerak menjauh dari penjara es.

"!!!"

Para penyihir memandang Naema dengan ketakutan menyelimuti sekujur tubuh mereka, mulut mereka menggigil, tangan mereka menggenggam erat jeruji penjara, menggoyang-goyangnya, berharap bongkahan es itu hancur dan membuka jalan untuk mereka.

Tapi yang mereka dapatkan hanyalah tatapan dingin dari hati yang telah membeku, seorang iblis kini tengah berdiri di hadapan mereka. Satu-satunya harapan adalah untuk Naema berbaik hati, dan memberikan mereka kematian langsung, tanpa rasa sakit.

Walau gadis itu mungkin memang anak yang manis dengan sikap yang menyejukkan dada, tapi ia tetaplah putri dari masyarakat suku Es. Dan ketika angin dingin berhembus di medan perang, hati mereka ikut membeku, di dalam dinginnya pertempuran. Berbaik hati, tak ada di kamusnya.

"Memang sudah seharusnya dirimu seperti ini..."

"Mulai sekarang, jika Dunia ini membuatmu marah, maka murkalah... aku akan selalu ada di sana untuk mengemban tiap tanggung jawabmu."

avataravatar
Next chapter