webnovel

Bagian 14 (Malam Prom)

.

.

"Kamu cantik banget, sayang. Erika-ku."

.

.

***

Dua minggu berlalu ...

Ujian sudah usai, dan di berbagai sudut di sekolah, selalu terdengar percakapan mengenai acara malam prom. Bukan cuma anak perempuan, anak laki-laki juga ramai membahas prom. Datang bersama siapa, naik apa, pakai baju apa dan seterusnya.

Itu bukan kebiasaan Erika sebenarnya. Untuk menghadiri acara pesta mewah semacam itu. Dan Yoga juga bilang pada Erika kalau dia sebenarnya tidak pernah merasa nyaman dengan pesta-pesta mewah. Walaupun begitu, Yoga nampak bersemangat menyiapkan ini itu. Katanya itu karena Erika akan bersanding dengannya di pesta ini. Jadi Erika merasa setidaknya dia harus berusaha menikmati suasana pesta, supaya Yoga tidak merasa persiapan yang dilakukannya sia-sia.

Malam itu di kamar, Erika membuka sebuah kotak berwarna biru muda dengan pita merah muda. Yoga memberikan kotak itu padanya tiga hari yang lalu setelah Erika menemaninya belanja seharian. Erika benar-benar hanya menemaninya, tapi Yoga-lah yang sebelumnya sibuk mencari tahu di mana alamat butik dari barang-barang yang dipilih Erika.

Erika meletakkan tutup kotak di sisi kanan. Matanya terpana melihat isi di dalam kotak. Padahal dia sudah tahu isinya, tapi gaun yang luar biasa cantik ini selalu bisa membuatnya terkesan setiap melihatnya.

Erika berdiri di depan cermin, mengangkat gaun itu dan menempelkannya di depan tubuhnya. Dia suka sekali dengan warna dasar krem mudanya, yang bisa berpendar saat dia memutar tubuhnya. Ada lapisan kedua di belakangnya yang bahannya bisa mengkilap dan menciptakan gradasi warna gelap ke terang. Motif bunga hitam di pinggirannya memunculkan motif bunga mawar merah muda di bagian atas. Memberi kesan klasik. Dengan background krem muda bergradasi, gaun ini adalah gabungan antara modern dan klasik.

Yoga tidak pernah bilang berapa harga gaun itu. Dia hanya berkomentar kalau harganya 'tidak seberapa'. Gaun seperti ini mana mungkin harganya 'tidak seberapa', pikir Erika. Erika bermaksud mengganti uang Yoga. Walaupun Yoga adalah pacarnya, dia tidak mau membebaninya. Tapi Yoga malah marah. Katanya 'Kalau kamu bahas soal ini lagi, aku akan marah!' Ah baiklah, pikir Erika. Dia tidak mau mereka ribut gara-gara ini.

Erika melipat kembali gaun itu dan memasukkannya ke dalam kotak. Dia mencoba memakai sepatu yang ada di dalam kotak berwarna emas. Sepatu berwarna krem muda yang senada dengan warna gaun, nampak anggun dengan aksesoris berbentuk bunga mawar krem di ujungnya. Haknya cukup tinggi sekitar 12 senti. Erika sudah mencobanya di toko, dan dia ternyata masih bisa berjalan nyaman dengan hak setinggi itu.

Dia memasukkan kembali sepatu cantik itu ke dalam kotaknya.

Nada getar ponselnya membuat Erika berdiri dan berjalan ke meja. Dia membuka pesan masuk. Dari Yoga.

Bsk mlm kujemput jam 7.45 ya sayang. Slmt tidur. See u tomorrow

Erika tersenyum. Jarinya mengetik pesan balasan.

Iya :) Slmt tidur, Yoga. See u too

Erika meletakkan ponsel ke atas meja dan menghela napas.

Semoga acara besok lancar. Amin.

Tangan Erika menyentuh dadanya. Detak jantungnya lebih cepat dari biasanya.

Dalam hidupnya, ada beberapa kali momen dimana detak jantungnya seperti ini. Salah satu yang paling diingatnya adalah saat dia di tahun pertama SMP. Siang hari di tengah jam pelajaran mendadak detak jantungnya cepat dan denyutnya lebih terasa dibanding saat normal. Itu berlangsung terus hingga sore. Dan sore harinya dia mendapat kabar kalau ibunya masuk Rumah Sakit karena kecelakaan. Ibu pingsan setelah terserempet mobil saat menyeberang jalan di depan pusat perbelanjaan, dan baru siuman setelah lima hari kemudian. Tak lama setelah peristiwa itu, Ibu mengenakan hijab.

Erika memejamkan mata. Berusaha menepis kegundahan itu.

Tidak! Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi besok.

***

Hari ini, teman-teman Erika banyak yang membuat janji dengan salon. Malah beberapa anak rela menghabiskan uang banyak demi penataan rambut oleh penata rambut ternama ibukota. Hanya demi tampil jor-joran di acara malam prom. Semua ingin jadi tuan putri dan pangeran setidaknya untuk satu malam itu.

Tapi Erika enggan ber-repot-repot ke salon.

"Awwww!! Ibu, pelan-pelan!" jerit Erika saat rambutnya ditata ibunya.

Jemari Ibunya rasa-rasanya akan keriting karena berusaha menyasak bagian atas rambut Erika, tanpa merusak bagian bawah yang sudah sukses dikeriting dengan roll rambut.

"Hangan hewak-hewak!" (baca : jangan gerak-gerak) Bibir Ibunya bicara sembari menggigit jepit rambut besar yang fungsinya untuk menahan rambut saat akan dijepit sementara.

"Aduh ... Ibu ngomong apa, deh. Gak jelas, Bu," gumam Erika.

Jari telunjuk Ibunya mengarah ke cermin besar di depan mereka. "Hihat ke hermin!" (baca : lihat ke cermin) Erika mengerti dan dengan patuh mengarahkan matanya menghadap lurus ke cermin.

Sasak tipis di bagian atas sudah selesai. Ibunya menjepit ujung sasak dengan jepit di bibirnya. Tangannya mengambil hair spray di atas meja rias.

"Tahan napas dan merem!" titah ibunya.

Erika menutup mata, menarik napas dan menahannya.

Hair spray disemprot dari belakang mengenai bagian rambutnya yang agak ber-volume. Hair spray kembali diletakkan di meja.

Erika mengibas-ngibas udara di sekelilingnya dengan kertas. "Haduu ... kenapa sih gak digelung biasa aja, Bu?" protes Erika yang tak tahan dengan aroma hair spray.

Ibunya tersenyum. "Nanti kalau sudah selesai, kamu akan tau kenapa," ucap ibunya yakin.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Erika terperanjat melihat hasil karya Ibunya di depan cermin. Dia terlihat sangat anggun dengan model rambut 'wispy up do' dimana rambutnya diangkat ke atas, tapi bukan seperti konde. Bagian atas yang diangkat, dikeriting dan disusun artistik. Di pinggiran depan dan belakang disisakan helai-helai rambut yang dibuat bergelombang. Dengan warna lipstik merah gelap matte dan eye shadow gradasi putih ke coklat tua, Erika sekarang terlihat seperti aktris Hollywood di acara karpet merah.

"IBUUU!!! KOK, BISA?? Ibu ngaku, deh. Ibu sebenernya pernah kerja di salon ya?" tebak Erika.

Ibunya tertawa. "Belom pernah sih kerja di salon. Tapi dari dulu Ibu memang suka dimintain tolong dandanin temen Ibu pas mau pestaan," jawab ibunya.

Erika menyentuh rambutnya dengan hati-hati. "Pantesan. Duh cantik banget ini rambut. Kenapa bisa mirip sama model rambutnya Anne Hathaway gini?" puji Erika atas kerja keras ibunya.

Ibunya merapikan alat-alat roll rambut, catok, beberapa jenis sisir ke dalam tas. "Terserah deh Anne siapalah itu, Ibu gak kenal. Yang penting, ingat ya! Apapun yang terjadi, jangan nyender ke kursi atau dinding. Nanti rambutmu bisa kacau!" kata ibunya memberi peringatan.

"Iya iya Bu. Makasih, Ibu," ucap Erika memeluk Ibunya.

"Ya udah. Siap-siap, sana. Bentar lagi Yoga jemput kamu, 'kan?"

"Iya Bu," sahut Erika sibuk memasukkan dompet kecil, ponsel, bedak padat, parfum kecil dan lipstik ke dalam tas tangan mungilnya. Tas itu berlapis lipitan kain berwarna peach muda, dengan bentuk bunga dari kain silk di bagian ujung.

Ibunya memperhatikan Erika dari belakang. "Erika," panggil ibunya.

Erika menoleh. "Ya, Bu?" sahut Erika.

"Semoga masalahmu dengan dia bisa selesai dengan baik," ucap ibunya tersenyum. Erika memang tidak pernah menyebut nama Yoga setiap dia bertanya pada Ibunya tentang kegundahan hatinya, tapi Ibunya pasti bisa menebak kalau pertanyaannya mengacu pada hubungannya dengan Yoga.

"Iya, Bu. Semoga," jawab Erika tersipu malu.

Beberapa menit kemudian, Yoga sudah di bawah menjemput Erika. Erika menuruni tangga dengan hati-hati, khawatir ujung gaunnya terinjak.

Yoga menatapnya tak berkedip, lebih lama dari biasanya. Erika tersenyum padanya, tapi Yoga masih bergeming.

Erika tertegun sejenak melihat penampilan Yoga dengan tuxedo hitam. Dia kelihatan keren. Rambut gondrongnya dibiarkan terurai. Asiknya jadi laki-laki, rambutnya tidak perlu disasak dan disemprot dengan hair spray, pikir Erika.

"Yoga, kita berangkat sekarang?" tanya Erika

"Ah ... iya. Ayo," jawab Yoga. Mereka berpamitan pada Ibunya Erika.

Di luar gerbang, Erika terperanjat melihat mobil yang diparkir. "Lho?? Bukan mobil merahmu yang biasanya?" tanya Erika.

"Iya. Aku pikir lebih pas kalau pakai limosin hitam hari ini," jawab Yoga santai.

Erika terdiam mendengarnya. Dia membayangkan di garasi rumah Yoga, berderet mobil-mobil mewah beragam merek, dan dia tinggal tunjuk yang mana yang ingin dipakainya untuk hari apa. Yoga ... Yoga. Benar-benar Tuan Muda dalam arti sebenar-benarnya.

Seorang pria berseragam hitam keluar dari pintu depan. Dia membukakan pintu belakang untuk Erika dan Yoga. "Silahkan masuk, Nona, Tuan Muda," kata pria itu sopan.

Erika merasa rikuh. Dia memang sering dibukakan pintu mobil oleh Yoga selayaknya tuan putri oleh Yoga, tapi baru kali ini dia dipanggil dengan sebutan 'nona', dengan cara yang penuh hormat.

Mereka sudah di dalam mobil. Limosin itu keluar dari komplek perumahan ke jalan raya. Jalanan tidak terlalu macet. Mungkin mereka bisa sampai di hotel dalam setengah jam. Acara malam prom diadakan di ruang ballroom terbesar di sebuah hotel bintang lima.

"Yoga, hari ini kamu pakai supir? Kok tumben," tanya Erika berbisik ke Yoga yang duduk di sampingnya.

Yoga balas berbisik di telinganya, "Iya, sayang. Supaya aku bisa --" Tangan Yoga menggenggam lembut tangan Erika, membuat jantung Erika serasa mau copot. "Bisa begini," lanjut Yoga nyengir.

Erika mencubit pinggang Yoga.

"Duh, sayang. Kok aku dicubit, sih? Emangnya aku salah apa?" ujar Yoga dengan nada manja.

Erika cemberut, berusaha menyembunyikan rasa malunya.

Yoga berbisik lagi, "kamu cantik banget, sayang." Yoga mencium tangan Erika dengan lembut. "Erika-ku," imbuhnya.

Cara Yoga menyebut nama Erika, seolah Erika adalah harta karun yang sangat berharga, membuat wajah gadis itu merona karenanya.

Erika menunduk, dan sempat melirik keluar, saat mobil berhenti di perempatan lampu merah. Dia melihat seorang pengamen yang usianya mungkin seusia anak SD kelas 6. Erika refleks melepas genggaman tangan Yoga dan membuka tasnya. Mengeluarkan dompet.

Yoga menahannya. "Sayang, kamu mau ngapain?"

"Mau kasih dia uang," jawab Erika.

Yoga bicara pada supirnya, "kasih dia uang. Biar dia cepat pergi."

"Baik, Tuan Muda," sahut sang supir. Dia membuka kaca mobil depan, dan memberikan selembar uang pada anak kecil itu.

Yoga tersenyum pada Erika. "Sudah, tuh. Kamu jangan kayak gitu lagi, ya. Bahaya tau kalo kamu buka jendela. Kalo mereka jahatin kamu, gimana? Orang-orang pinggiran itu punya kecenderungan jahat," kata Yoga menjelaskan alasannya mencegah Erika memberi mereka uang.

Erika diam. Masih heran dengan pemilihan kata yang diucapkan Yoga tadi.

Kasih dia uang. Biar cepat pergi. Orang pinggiran.

Kenapa terdengar seolah dia membenci mereka?

Yoga kembali menggenggam tangan Erika. Tatapan Yoga terlihat lembut. Tangan Erika tak dilepasnya sedetik pun hingga mereka tiba di pintu masuk lobi hotel.

Debar jantung Erika semakin keras, mirip dengan yang dirasakannya semalam.

Semuanya akan baik-baik saja. Ya 'kan? batin Erika cemas.

.

.

***