webnovel

Bagian 13 (Catatan Erika)

.

.

Aku bisa merasakannya. Waktu kami hampir habis.

.

.

***

Siang itu aku makan berdua saja dengan Yoga di kantin.

Yoga kelihatannya sedang senang hari ini. Dia membawa sebuah majalah fashion punya teman sekelasnya. Dengan penuh semangat menunjukkan model baju yang katanya akan dia belikan untuk aku pakai di malam prom.

"Kamu tau, Erika? Sebenarnya, aku gak pernah nyaman pergi ke pesta-pesta semacam itu, tapi kalau perginya sama kamu, aku seneng-seneng aja, sih," katanya tertawa.

Aku tersenyum mengamati caranya tertawa. Dia kelihatan keren apapun yang dilakukannya. Fotogenik. Pantas saja kalau dia kerap kali didekati modelling agency tiap kali kami jalan-jalan ke mall.

Dia menunjukkan halaman majalah bergambar seorang model mengenakan gaun cantik yang di pinggirannya bermotif bunga merah muda. Warna dasarnya peach muda yang berubah warna jika bergerak terkena cahaya, terlihat ada gradasi dari gelap ke terang.

"Coba lihat ini Erika. Apa kamu suka?" tanya Yoga antusias.

Aku mengangguk. "Iya. Cantik sekali," jawabku tersenyum.

"Kalo gitu, aku akan belikan yang ini buat kamu," putus Yoga senang.

"Aku gak enak, Yoga. Kamu jangan beliin aku barang-barang mahal," kataku.

"Enggak apa-apa, sayang. Aku pengin kasih buat kamu. Harganya gak seberapa kok," ujar Yoga, yang mana itu dusta tentunya. Dijamin harga gaun itu selangit. Tapi mungkin untuk Tuan Muda Yoga memang tak seberapa.

Yoga masih terus bicara dengan mata berbinar bahagia. Katanya dia akan pakai tuksedo hitam saja. Kupikir tak jadi masalah dia pakai apa. Semuanya terlihat bagus kalau dia yang pakai.

"Terus, untuk sepatu, kamu pilih aja di antara yang ini, ya. Nanti aku cariin barangnya. Pokoknya kamu udah tinggal pakai aja, deh," kata Yoga dengan semangat berapi-api.

Aku melihat halaman yang dia tunjukkan padaku, dan memilih salah satunya dengan cepat. "Yang ini bagus," ucapku memutuskan.

"Oke. Rencananya, minggu depan aku akan belanja. Kamu mau ikut, sayang?" tanya Yoga.

Aku mengangguk. Tak bisa menahan diri dari tersenyum geli melihat Yoga semangat empat lima. Lucu sekali dia. Seharusnya yang semangat belanja 'kan perempuan. Atau mungkin aku yang aneh?

Mataku tidak lepas dari gerak-geriknya. Tiba-tiba aku teringat lagi rasa tidak nyamanku seminggu terakhir ini. Aku tak percaya rasanya, bagaimana mungkin Yoga yang ini dan Yoga yang 'itu' adalah orang yang sama? TIDAK MUNGKIN!!

Tanpa sadar air mataku mengambang.

Aku berusaha keras membuang pikiran itu. Tapi setiap kali aku teringat kejadian-kejadian yang membuatku tidak nyaman, pikiran itu muncul kembali. TIDAK!! BAGAIMANA MUNGKIN AKU BERPIKIR INGIN PUTUS DENGANNYA???

Tanganku menyentuh pipi Yoga. Yoga terkejut dan berhenti bicara. Mata kami bertatapan.

Kenapa? Kenapa harus kamu, Yoga? Dari sekian banyak orang, kenapa harus kamu yang --

Yoga terlihat malu karena aku tiba-tiba menyentuh pipinya. Tangannya menggenggam tanganku. "Sayang? Ada apa?" tanya Yoga dengan suara lembut.

Air mataku akhirnya tumpah, saat menatapnya dengan seluruh kasih sayang yang kumiliki.

Aku cinta kamu, Yoga.

Mata Yoga melebar melihatku tidak berhenti menangis. "Lho?? Erika?? Kenapa, sayang??" ulang Yoga panik.

Aku menangis terisak-isak. Lalu tersadar harus memberinya penjelasan. "Enggak. Aku cuma ... pusing. Kepalaku agak pusing," jawabku dusta.

Yoga mencengram pundakku. "Aku antar kamu pulang aja, ya! Tunggu sebentar, aku buatin surat izin dulu buat kamu!" kata Yoga berlari menjauh. Dia menoleh ke arahku sekali lagi. Rambutnya yang panjang tertiup angin.

"JANGAN KEMANA-MANA, ERIKA!! TUNGGU DI SITU YA!" teriaknya dari jauh.

Aku mengangguk. Duduk di kursi itu sendirian. Kuusap air mataku. Belaian angin terasa dingin di pipiku yang basah.

Kupejamkan mata. Berusaha mengulang-ulang terus kalimat itu.

Semuanya akan baik-baik saja, Erika....

Semuanya akan baik-baik saja...

Tapi sebenarnya aku tahu, tidak semuanya akan baik-baik saja.

***

Yoga mengantarku pulang ke rumah. Ibu terlihat kaget melihat kami datang di siang hari.

"Sakit?? Sakit apa nak?" tanya ibuku.

Yoga yang menjawab, "kepalanya pusing, Tante."

Ibuku melirik padaku. Memerhatikan mataku yang sembab.

"Kalian duduk dulu. Ibu buatin teh hangat," kata ibuku.

Yoga dan aku duduk di sofa ruang tamu. "Tante, tehnya buat Erika aja. Buat saya gak usah repot-repot, Tante," ucap Yoga sopan.

"Enggak apa-apa. Sekalian kok, bikinnya," kata ibuku tersenyum dan meninggalkan kami berdua.

Yoga mengelus kepalaku. "Masih pusing, sayang?" tanya Yoga.

Aku mengangguk pelan. Aku merasa tidak enak berbohong pada Yoga. Pada ibuku juga. Tapi hanya itu yang terlintas di pikiranku saat Yoga bertanya kenapa tiba-tiba aku menangis.

"Nanti kamu istirahat aja ya. Gak usah kerjain PR atau apapun. Kalau besok masih sakit, kasih tau aku. Biar aku urus surat izinmu," kata Yoga dengan sorot mata cemas di matanya.

Aku tersenyum padanya. Yoga mengecup keningku dengan lembut. "Cepat sembuh ya, sayang," ucapnya penuh cinta.

Sedih rasanya. Bagaimana mungkin aku berpikir ingin putus dengan seseorang seperti dia? Bagaimana aku akan menjalani hari-hariku tanpa Yoga? Aku berusaha membayangkannya dan air mataku kembali menetes.

"Lho? Kok nangis lagi?" kata Yoga mengambil sehelai tisu di atas meja dan mengusap air mataku.

Ibu datang membawakan kami dua cangkir teh manis dan heran melihatku menangis. "Erika kenapa?" tanya ibuku.

Lagi-lagi Yoga yang menjawab, "Iya, Tante. Dia pusing banget sampai nangis."

Ibuku melirik mataku, dan aku melihat ke arah yang lain. Tidak berani menatap Ibu langsung. Ibu pasti tahu ini bukan kebiasaanku. Aku tidak pernah menangis karena sakit. Demam tinggi, tipus, jatuh dari ayunan, meskipun sakit, aku tidak pernah menangis. Dan aku tidak pernah sekalipun izin pulang cepat dari sekolah karena sakit.

Ibu duduk di sofa. "Ya sudah. ayo diminum tehnya," kata ibuku.

Aku dan Yoga minum dari cangkir sedikit demi sedikit. Tak lama, Yoga pamit kembali ke sekolah. Ibu membawakan cangkir ke dapur. Aku berjalan menaiki tangga ke kamarku.

***

Kurebahkan tubuh di kasur. Lampu kubiarkan mati. Hanya ada sedikit cahaya dari jendela, karena cuaca agak mendung.

Pintu kamarku diketuk dua kali. Pasti ibuku, karena tak ada orang lain di rumah ini selain kami berdua.

"Ya? Masuk aja Bu," sahutku.

Ibu membuka pintu. Di tangannya ada nampan kecil dengan segelas air dan obat. Ibu berjalan menghampiriku dan duduk di tepi kasur. Aku merubah posisi tidurku menjadi duduk. Bersandar di bantal yang kutinggikan. Nampan itu diletakkan di atas meja kecil.

"Ibu bawakan kamu obat. Tapi sebelumnya, Ibu mau tanya. Apa kamu benar-benar pusing?" tanya ibuku dengan ekspresi tidak yakin.

Aku menghela napas. Sudah kuduga. Ibu pasti tahu. "Maaf Bu. Sebenarnya, aku gak sakit," jawabku jujur.

Ibu menatapku dengan lembut. "Ada apa, Erika? Apa kamu mau bicarakan dengan Ibu?" bujuk ibuku lembut.

Lagi-lagi suasana ini. Suasana yang sama saat Ratih dan Esti. Aku memeluk ibu dan membiarkan tangisku meledak. Lagi. Aku tidak pernah secengeng ini sebelumnya. Yoga. Selalu dia yang mampu merubahku. Selalu dia.

Ibu mengelus punggungku. Membiarkanku menumpahkan tangisku sampai habis, tanpa bertanya apapun.

Setelah aku lebih tenang, aku kembali duduk.

"Bu, kalau kita sudah berusaha merubah sikap buruk seseorang, tapi tidak berhasil. Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku tanpa menyebut nama siapa pun, tapi kurasa ibu bisa menebak, kalau ini tentang Yoga.

"Sebagai orang beriman, kita tinggal berdo'a saja," jawab ibuku.

"Berdo'a? Aku berdo'a setiap hari," kataku.

"Maksud Ibu, berdo'a dengan cara yang kamu belum pernah lakukan sebelumnya. Berdoa sampai kamu merasa bahwa kamu memang tidak punya kuasa apapun. Berdoa sampai kamu bercucuran air mata di hadapan Tuhan."

Ibu tersenyum dan mengelus kepalaku. "Manusia punya rencana, tapi rencana Tuhan pasti lebih baik."

"Orang yang tidak beriman, biasanya mentertawakan orang yang berdoa. Mereka pikir berdoa tidak ada manfaatnya. Tapi hati orang beriman, bisa mengenali jawaban dari doa mereka. Mengenali kebenaran saat mereka mendengar atau melihat sesuatu. Orang beriman mengenali 'tanda' yang diberikan Tuhannya. 'Tanda' itu tembus ke dalam hati mereka, sehingga mereka yakin, dan tidak perlu bukti apapun lagi. Bangunlah di sepertiga malam terakhir, Nak. 'Bicara'lah pada-Nya. Dia yang paling Tahu, apa yang sebaiknya kamu lakukan," pesan ibuku, terasa meresap dalam kalbu.

***

Malam itu aku sudah memasang 3 alarm di ponsel. Aku terbangun di alarm terakhir. Segera kuambil air wudu dan memulai salat malam.

Aku memakai mukenaku. Berpikir sejenak sebelum memulai salat. Kapan terakhir kali aku salat Tahajud? Ah aku ingat. Waktu itu jelang ujian masuk SMA. Sungguh aku malu. Aku cuma melakukan ini saat ada maunya. Apalah dayaku. Saat ini memang masih di sini levelku.

Aku mengangkat tanganku, mengucap takbiratul ihram. Memulai sholat malamku setelah hampir 3 tahun aku absen. Suasananya memang beda, ketika salat di waktu-waktu seperti ini. Aku percaya ada makna mendalam dari beribadah di sepertiga malam terakhir. Seharusnya aku lebih sering melakukan ini.

Setelah salam, aku istigfar dan membaca selawat dulu, sebelum mengutarakan hajatku. Itu sesuatu yang juga kupelajari dari Ibuku. Aku bersyukur Ibu ada di rumah, dan punya lebih banyak waktu mengajariku ini itu, walaupun Ibu sebenarnya sudah sangat sibuk mengurus masak, bersih-bersih dan lain sebagainya. Sekalipun aku adalah anak tunggal di rumah ini, pekerjaan-pekerjaan itu tetap banyak meski ada saat-saat dimana aku sempat membantunya.

Aku mengangkat kedua tanganku di depan dada.

Ya Allah, sesungguhnya aku meletakkan hajatku walau lemah pemahamanku, dan penuh dengan kekurangan amalku, dan aku sangat membutuhkan rahmat-Mu *

Aku bersimpuh di hadapanMu. Mengharapkan sebuah 'TANDA' dari-Mu.

Mohon berikan aku 'TANDA' yang JELAS, agar tak ada keraguan sedikitpun dalam hatiku, akan apa yang sebaiknya aku putuskan.

Aku memohon kepada-Mu keyakinan yang sebenar-benarnya, hingga aku mengetahui bahwa tak ada yang menimpaku kecuali setelah Kau tetapkan atas diriku.

Dan aku memohon agar kau jadikan aku ridha terhadap segala sesuatu yang Kau berikan padaku.*

(* Bagian dari Do'a Fajar - Do'a & Wirid Harian Khulashah Al-Madad An-Nabawi)

Aku tidak berani mengintip ke dalam hati kecilku. Aku khawatir akan melihat petunjuk itu di sana. Petunjuk bahwa sebaiknya aku berpisah dengannya.

Setelah beberapa saat aku menangis, tiba-tiba tangisku terhenti. Aku bisa merasakannya. Waktu kami hampir habis.

***