"Because flowers are only given to the right person ...."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Yuzu yang biasanya memaki-maki, kini tidak sanggup berkomentar. Entahlah, dia selalu lemah kalau berhadapan dengan bayi. Ditambah bingung karena Er malah sering tersenyum, bahkan tertawa. Padahal ibunya hampir menangis.
Hanya hampir. Tapi, wajahnya stress sekali. Oke, sepertinya aku terlalu menekan dia, pikir Yuzu. Lalu terkesiap karena ada bayangan berdiri di balik tirai. Shit! Itu Phi-ku! Dia pulang kerja lebih awal? Tapi kemudian bayangannya pergi.
"Aaau! Nngg! Nn!" oceh Blau Er ceria. Baby itu menendang-nendang udara. Tak ada tanda mengantuk, padahal waktu semakin larut. "Nnn! Nnn!"
"Baiklah, ini kukembalikan bayimu," kata Yuzu. Dan Apo pun menerimanya.
"Thanks."
"Ya, tak masalah. Yang pasti kau sudah kuterima di sini," kata Yuzu. Lalu berdiri sambil menepuki roknya. "Jadi, pernyaman saja dirimu. Take your time. Maaf kalau tindakanku agak berlebihan."
Apo tidak berkata apapun. Dia membiarkan Yuzu berlalu. Lalu menatap raut bahagia puteranya. "Kau kenapa senang sekali?" tanyanya. "Tidak merindukan saudaramu? Bobotmu sepertinya naik lagi."
Blau Er malah memekik kecil. Dia sangat-sangat bersemangat. Hingga Apo memilih menyudahi pekerjaannya. Nanti-nanti lagi saja. Aku akan bangun awal, pikirnya. Lalu memberesi berkas dengan tangan kiri. Cukup susah, memang. Tapi Apo mulai terbiasa. Dia membawa Er masuk dengan langkah yang tergopoh-gopoh, untung ada pelayan yang akhirnya peka.
"Tuan Natta, boleh kubantu bawakan?"
"Oh, iya. Terima kasih."
"Sama-sama," kata sang pelayan sambil tersenyum lebar. Dia pun berlalu untuk meletakkan semuanya di kamar. Tapi Apo masih belum ingin masuk dulu. Bagaimana pun Er ingin mengajak bermain, maka dia melipir ke ruang bermusik--siapa tahu si baby suka dimainkan piano? Apo belum pernah mencobanya, walau sempat ada keinginan.
Namun, saat mendekat ke sana. Alunan piano terdengar lebih dahulu. Siapa yang memainkannya jam segini? Yuzu? Setahu Apo keahliannya adalah balet. Tapi mustahil juga kalau Ameera.
DEG
Mungkinkah Phi?
"Aaa! Mmm ... nnn!" oceh Er semakin kencang. Bayi itu seperti mengajak mendekat. Sebab kali ini sampai menepuki dadanya.
"Iya, iya, sebentar. Kenapa kau jadi tidak sabaran ...." bisik Apo. Dia pun mengabulkan keinginan si mungil, tapi tidak jadi benar-benar masuk. Mungkin, karena tatapan Paing begitu dalam saat menekan tuts monokrom di hadapannya. Dia juga jarang berkedip. Namun, setiap gerakan jarinya presisi sekali. Membuat alunannya sempurna, indah, tapi sedikit emosional.
Sebenarnya kenapa? Pikir Apo. Namun sang Omega menahan diri hingga lagu elegan itu selesai. "Apo, aku mau minta maaf," kata Paing tiba-tiba. Dia membuat Apo sedikit tegang. Apalagi tidak menoleh. Namun, dilihat dari penampilan kantor yang belum dilepas satu pun ... sepertinya sang senior sedang gelisah. "Kali ini aku tidak bisa memenuhi ekspektasimu. Walau sudah kupikirkan berkali-kali ...."
DEG
"Eh? Wait, soal apa?" tanya Apo. Segera mendekat walau perasaannya jadi campur aduk.
"Soal permintaanmu kapan hari," kata Paing. Lalu tersenyum tipis padanya. "Ayahnya, atau bayinya. Aku tidak bisa mengusahakan kedua-duanya."
Apo pun langsung terdiam. "...."
"Ini bertentangan, Apo. Prenuptial Agreement itu bukan main-main. Aku yakin kau pun paham soal itu. Apalagi kau pihak yang mengawali," kata Paing. "Tapi, tenang saja ... kalau masih menginginkan keduanya, itu bisa pakai jalan damai."
"...."
"Buat pertemuan, Apo. Kurasa ... kau dan suamimu sebenarnya hanya butuh bicara," kata Paing. "Cobalah diskusi dengannya. Baik-baik. Bagaimana bayinya. Bagaimana hubungan kalian. Tapi ini sudah bukan ranahku."
"...."
"Peranku bukan siapa pun di wilayah itu, hm?" Kini senyum tipis Paing berubah getir. Dan sangking peka-nya Apo pada perubahan itu, dadanya pun tercubiti meski terlihat samar. "Aku hanya ingin kau cepat membaik."
Tentu saja Apo sudah mencoba bagian ini. Dan sebetulnya Paing tidak perlu mengajari. Tapi, realisasi seringkali tak bisa semudah itu.
"Oh ... iya, Phi."
Ingat terakhir kali bicara saja, Apo justru berkelahi dengan Mile Phakpum. Dan soal pertemuan keluarga, Miri belum memberikan kabar apapun hingga sekarang.
"Tapi kalau ada hal yang masih bisa kuurus, bilang saja," kata Paing lagi. "Pasti kuusahakan, Apo. Kau sama sekali tak perlu merasa sungkan ...."
DEG
...
....
Sampai sini, Apo baru menyadari. Ini adalah pola yang terulang. Mile, dirinya, dan sang senior ... mereka tidak ada yang bergerak dari tempat masing-masing. Apakah selamanya akan tetap begitu? Padahal jelas-jelas Apo melihat mata Paing memerah lelah sekarang.
"Phi, apa aku terlalu membebanimu?" tanya Apo, yang sebetulnya tidak butuh jawaban.
".... no, I'm okay," kata Paing. Tetap tenang. "Sejauh ini semuanya baik-baik saja."
Tapi apa Apo bisa percaya? Seorang Paing Takhon yang dikenalnya hebat selama ini. Baru saja memiliki genangan pada matanya. Ya, walau air mata itu tak sampai terjatuh, tapi sangat kentara jika sang senior mulai kesulitan dalam pijakannya.
"Phi, aku--"
"Oke, itu saja yang mau kubicarakan," kata Paing. Lantas segera berdiri. "Untung kau sendiri datang kemari. Jadi, aku tak perlu repot-repot mencari. Ha ha ...."
"No, no ... wait," kata Apo mulai panik. Terutama saat Paing hampir berjalan melewatinya. "Sebelum dia, aku harus bicara dengan Phi--"
PAKH!
"Aku mencintaimu, Apo," kata Paing saat lengannya disambar sang Omega. Dia memang tidak melawan, tapi Apo sampai terbeku karena kesungguhan di mata itu. ".... kau sempat ingin melihatku egois, bukan? Dan, ya. Maaf kalau terlalu cepat untukmu. Tapi, bisa kau tidak kembali padanya?"
Langkah Apo langsung mundur dua kali. Dan punggungnya sampai tergebrak ke pintu.
BRAKHH!
"Ah--"
"Aku tidak bisa melihatmu seperti ini terus-menerus," kata Paing. Tiba-tiba ada penekanan pada setiap katanya. "Kebingungan, ketakutan, merasa tidak dihargai, atau ingin dipanggil pulang ...." Tangan Alpha itu perlahan mengepal. "Tapi, sampai sekarang suamimu tidak melakukannya."
"P-Phi ... aku, tunggu ... ini agak--"
"Dan kau tahu apa yang Oma dan aku lihat saat kami menghadiri pertemuan bisnis?" kata Paing. "Mile Phakpum, suamimu yang sangat ingin kuhajar itu ... dia membawa seorang anak lelaki ke kantor."
DEG
"A-Apa?" kaget Apo. "T-Tapi, itu tidak mungkin--Phi. Soalnya aku--"
"Mungkin usianya 3 atau 4 tahun? Yang pasti digandeng wanita Beta," kata Paing. Kali ini napasnya mulai memburu. "Dia seorang pewaris juga, Apo. Walau mungkin kau belum pernah bertemu dengannya."
"...."
"Tapi tentu ... kau bisa bertanya ke Oma sendiri jika tidak percaya ...."
Detik itu juga, waktu terasa melambat bagi Apo Nattawin. Sang Omega tidak bisa membayangkan adegan tersebut, sampai-sampai hanya diam ketika tengkuknya ditarik paksa.
BRAKHHHH!
"Umnnh!!"
"Oeeeeeeeeee!!!"
Lalu ditenggelamkan dalam ciuman tanpa rencana. Sangat kasar. Sangat penuh dengan amarah, walau bukan kepada dirinya. Ya, tapi memang sedikit terburu-buru. Paing bahkan menekan jemari di bagian leher Apo. Pindah ke pipi, lalu memasukkan lidahnya ke dalam tanpa berjeda. Dia menjelajah seluruh tempat hangat di dalam ruang tersebut. Menggurat bibir atas dan bawah bergantian, dan itu terulang meski Blau Er masih menangis karena bunyi benturan pintu.
"Nnhh ... mmhh ...." desah Apo sembari meremas lengan sang Alpha. Dia pun lemas karena terlampau syok, sampai-sampai nyaris merosot jika Paing tidak menahannya dengan kedua tangan.
Satu di pintu, satu lagi ikut memegangi Er yang menjerit-jerit. Suaranya sampai memenuhi ruang bermusik, bergaung. Namun, mulai teredam setelah Paing mendekap keduanya bersamaan.
BRUGH!
"OEEEEEEEEEE! Oeeeeeeeeeeee! Oeeeeee!"
"Just stay here, ok?" bisik Alpha itu sembari menghirup areal ubun. "I can be your home when you no longer have him." (*)
(*) Bahasa Inggris: Tolong di sini saja, oke? Aku bisa menjadi rumahmu jika kau tidak lagi memilikinya.