webnovel

Bab 15

Agnia yang sedang minum teh pun terhenti tatkala mendengar suara ponsel yang ada di depannya. Tak seperti biasa, Dirga melakukan panggilan Video.

"Tumben. Ada apa ini?" Tak ingin lama menunggu, akhirnya panggilan dijawab. Bukan wajah Dirga ynag muncul tapi Maira. Agnia tersenyum. "Hai Maira."

Maira pun tak kalah cerianya. "Hai Bibi Agnia. Apa Maira mengganggu BIbi?"

"Sama sekali tidak. Ada apa memangnya?"

"Tidak ada apa-apa Bi. Maira hanya ingin menghubungi Bibi saja. Maira senang bisa dibacakan dongeng bagus seperti semalam."

"Maira suka?"

"Sangat. Kapan-kapan boleh ya Bibi membacakan dongeng untuk Maira?"

"Sudah Paman katakan, jangan merepotkan Bibi Agnia." Wajah Dirga kini muncul di layar. "Maaf ya mengganggu. Maira sedari tadi terus merengek."

"Maira tidak merengek," protes Maira dengan wajah sebal. "Maira bukan anak kecil lagi yang suka merengek Paman."

"Tapi tadi Maira merengek tuh," goda Dirga.

"Pamannnn."

Dirga dan Agnia tertawa melihat wajah cemberut Maira. "Maaf maaf. Paman hanya bercanda."

"Apa Maira sudah makan?" Kini giliran Agnia yang berbicara.

Anak tujuh tahun itu menggeleng. "Belum."

"Loh kok belum. Makan dulu. Nanti Maira bisa sakit kalau telat makan."

"Iya, Bi. Ini Maira akan dipesankan makanan oleh Paman."

"Kalau begitu bibi tutup dulu ya."

"Iya."

*****

Agnia telah sampai di restoran. Ada yang menarik perhatiannya saat melihat salah satu pegawai wanitanya bertelepon di dekat tempat sampah dengan wajah panik.

Pelayan itu berjalan dua langkah ke depan dan kini memunggungi Agnia. Ia menepuk pundak karyawannya. "Nina."

Nina kaget dan lngsung menghadap Agnia. "Bu Agnia."

"Ada apa? Wajahmu terlihat pucat dan panik. Apa kamu sakit?"

Nina menggeleng. "Tidak, Bu. Saya baru diberitahu kalau kakek saya sedang sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit."

"Lalu bagaimana kondisinya sekarang?"

"Cukup buruk. Saya ingin menjenguknya, tapi beliau tinggal di desa yang jelas jaraknya jauh dari sini."

"Tidak masalah. Kamu bisa ambil cuti." Agnia baru satu langkah pergi, tapi berhenti dan menatap Nina. "Kalau kamu butuh uang bisa saya pinjamkan."

"Terima kasih Bu."

"Sama-sama."

*****

"Bu Agnia, Bu Agnia." Seorang pegawai datang dan membuka pintu begitu saja. Napasnya terengah-engah.

Agnia berdiri dan menghampiri Nina. "Ada apa Nina? Ada masalah?"

Nina mengangguk dengan wajah panik. "Masalah besar Bu."

"Masalah besar apa?"

NIna mencengkeram ujung pakaiannya. "Itu ... bagaimana menjelaskannya ya."

Agnia menyentuh legan Nina. "Ada masalah apa Nin? Katakan."

"Sebaiknya Bu Agnia ikut saya. Ayo Bu."

Dengan terburu-buru Agnia mengikuti Nina. Perasaannya mulai tak enak. Berpikir apa ada pelanggan yang komplain?JIka benar, semoga saja bukan ivan.

Namun, doa Agnia tak terkabul. Orang yang paling dihindarinya justru menjadi pelanggan yang kompalin untuk kedua kalinya.

Raut wajah Ivan begitu murka hingga wajahnya memerah. Jujur saja Agnia yang melihat dibuat sedikit terintimidasi dan ketakutan.

Ivan melihat kedatangan Agnia. "Akhirnya si pemilik restoran yang jorok ini datang juga."

Apa katanya? Jorok?

"Maaf, apa maksud Anda barusan ya?"

"Cih! Jangan berpura-pura berlagak bodoh Agnia! Orang seperti kamu ini akan selalu membuat masalah di mana pun itu."

"Tolong, jangan berbelit-belit. Langsung saja ke intinya. Mengapa Anda marah-marah tidak jelas? Jika ada masalah kita bisa bicarakan baik-baik." Agnia melihat ke sekeliling. Cukup ramai yang datang dan kini orang-orang tersebut berhenti makan dan malah fokus pada kemarahan Ivan.

"Bicara baik-baik katamu? Ini sudah yang kedua kali. Pertama karena pelayanmu itu lelet melebihi siput dalam mengantarkan makanan. Kedua ...." Ivan diam sejenak sambil tersenyum miring. "Aku bahkan tidak ingin mengatakannya karena terlalu memalukan, tapi di sisi lain aku tidak ingin ada korban berikutnya."

Perkataan Ivan sungguh menguras emosi Agnia. BUlukannya ke inti masalah, malah mengoceh sana sini tiada henti. "Langsung ke intinya," ujarnya.

"Di supku ada seekor anakan cicak yang sudah mati!" Ivan mengatakannya dengan cukup lantang hingga membuat pengunjung lain terbelalak kaget.

Agnia juga kaget mendengar pengakuan Ivan. "Cicak di makanan? Anda jangn bercanda. Restoran kami ini sangat menjaga kebersihan."

"Oh ya?" Ivan menarik tangan Agnia dan melepas kasar tepat di depan mejanya. "Lihat, lihat sendiri apakah perkatanku ini benar atau salah. Lihat baik-baik!"

Dengan ragu Agnia melihat ke arah mangkuk berisi sup. Benar saja, ada cicak mati di dalamnya. "Tidak mungkin." ujarnya lirih yang masih didengar oleh Ivan.

"Apanya yang tidak mungkin? Masih denial?Ivan menggeser posisi Agnia. Tangan pria itu langsung mengambil hewan tadi dan mengangkatnya, ingin menunjukkan ke orang-orang. "Menurut kalian apa hewan ini palsu atau tidak? Jelas-jelas ini cicak!"

Pengunjung lain mulai saling berisik-bisik cukup keras.

'Wah aku tidak menyangka kalau restoran seperti ini kebersihannya nol.'

'Apa itu? Bagaimana bisa mereka sejorok itu.

'Jangan-jangan punyaku juga.'

Banyak dari mereka yang langsung memeriksa makanan. Beberapa di antaranya menghampiri Agnia. "Kami tidak menyangka kalau restoran anda sejorok ini."

"Bagaimana sih kebersihannya? Bagaimana bisa ada cicak yang masuk ke dalam sup. Benar-benar mengecewakan!"

"Sebaiknya kita pergi dari sini."

"Iya, ayo."

"Tunggu, ini tidak seperti yang kalian duga. Saya bisa menjelaskannya."

"Sudah salah, tidak mau mengaku lagi. Memalukan.'"

Ivan berkata pada kolega-koleganya bisnisnya. "Sebaiknya kita cari restoran yang lebih bersih."

Agnia terduduk dan memijit pelipisnya. "Kenap hal memalukan ini bisa terjadi?"

"Bu Agnia Semua pengunjung pergi dengan keadaan marah. Apa yang harus kita lakukan Bu?" tanya seorang karyawan pria.

Agnia berdiri dan menatap karyawan-karyawannya. "Siapa yang bertugas memasak sup untuk Pak Ivan."

"Saya Bu." Seorang koki wanita maju. "Tapi saya bersumpah tidak ada cicak atau hal asing yang masuk ke makanan."

"Kalau begitu siapa yang mengantarkan sup tadi?"

Seorang waiters pria maju. "Saya Bu. Saya juga tidak tahu menahu tentang cicak itu Bu. Seingat saya tidak ada cicak di dalamnya."

Kepala Agnia semakin pusing mendengar penjelasan kedua karyawannya. Jika mereka berkata jujur, lantas dari mana datangnya cicak tersebut?

"Hari ini restoran tutup lebih awal."

"Baik Bu," jawab para karyawan.

*****

Kejadian di restoran benar-benar membuat Agnia idak tenang. Ia bahkan kehilangan selera makan. "Bagaimana bisa ada cicak di makanan? Kalau yang dikatakan mereka berdua jujur, apa mungkin Ivan yang sengaja menaruhnya?"

Agnia kembali berpikir. Motif karyawannya apa jika mereka yang memang sengaja melakukannya? Atau mereka memang tidak menyadari?

Ivan, pria itu punya motif kuat untuk menjatuhkannya. Terlebih sejak pertengkaran mereka terakhir kali. Jelas sangat aneh kenapa pria tersebut malah kembali ke restorannya? Bukannya Ivan membencinya?

"Jika si Ivan pelakunya, maka pria itu benar-benar seperti iblis. Selalu saja membuat masalah. Memangnya apa salahku hingga Ivan ingi sekali menghancurkanku?" Agnia mondar mandir tidak jelas. "Ayo berpikir Agnia, langkah apa yang harus dilakukan."