webnovel

Bab 14

"Terima kasih telah membantuku. JIka tidak, aku akan merasa kesulitan."

"Tidak masalah. Sesama manusia harus saling tolong menolong."

"Agnia, sepertinya namamu itu tidak asing di telingaku. Tunggu, biar kuingat-ingat dulu." Tak membutuhkan waktu lama Rosa mengingat semuanya. "Kamu yang datang dari desa itu kan? Ivan mengejek dan menjelekkan namamu."

Agnia tersenyum kecil. "Akhirnya ingat juga. Ya, aku wanita yang waktu itu."

"Maaf," ujar Rosa.

"Maaf? Untuk apa meminta maaf?"

"Maaf, dulu aku bersikap tidak sopan padamu. Padahal kamu sudah memperingatkanku tetang Ivan, tapi ....'

Agnia menyentuh pundak Rosa. "Yang berlalu biarlah berlalu. Yang penting jadikan pelajaran untuk lebih hati-hati ke depannya."

Hati Rosa merasa tersntuh dengan perkataan serta sikap Agnia. "Terima kasih. Kamu begitu baik padaku. Aku jadi terharu."

"Sebaiknya aku segera pergi. Kata tetanggamu rawan kejahatan di daerah sini."

"Ya. Sebaiknya segera pergi saja." Rosa melihat keadaan rumahnya. "Seandainya rumahku lebih layak, pasti aku akan menawarkan untu menginap."

"Jangan begitu. Rumahmu tidak buruk." Mencoba menghibur. "Aku pergi."

"Hati-hati."

Perkataan tetangga Rosa teringat terus di pikiran Agnia hingga sepanjang gang, ia menjadi waswas tidak karuan begini. Dengan sigap menelepon Dirga.

"Apa kamu sibuk?"

"Tidak. Memangnya kenapa?" jawabnya di seberang telepon.

"Bisa jemput aku di depan gang Rosa?" Berharap diiyakan oleh Dirga.

"Kamu masih di sana sampai saat ini?" Dirga terkejut. Ia melihat jam dinding.

"Iya. Ada hal yang terjadi. Nanti kuceritakan."

"Baiklah. Tunggu di depan toko atau warung yang masih buka."

"Iya."

*****

Agnia memutuskan untuk menunggu di depan warung kelontong yang masih buka untuk meminimalisir terjadinya kejahatan.

Beberapa orang yang lewat melihatnya. Agnia waspada. Untung saja pakaian yang dikenakan tidak mencolok.

Dua menita kemudian sebuah mobil hitam berhenti di depannya. "AYo masuk Agnia." Bersamaan dengan perkataan Dirga, gerimis melanda. Cepat-epat Agnia masuk sebelum kehujanan.

"Terima kasih. Maaf merepotkan."

"Tidak masalah jangan sungkan."

"Ya, aku selalu mencoba untuk tidak sungkan kepadamu, tapi tetap saja rasanya aneh."

Dirga menjalankan mobilnya. Keheningan melanda. Kedua orang tersebut ingin berbincang. tapi tidak tahu mulai dengan topik apa. "Bagaimana bisa kamu selama itu berada di sana?" Akhirnya Dirga menemukan topik pembicaraan.

"Ceritanya panjang. Yang jelas aku tadi ke rumah sakit juga." Agnia mulai menceritakan kejadian apa saja saat bersama dengan Rosa.

"Wanita yag malang," komen Dirga.

"Ya, benar. Rosa juga menolak bantuanku."

"BIarkan saja. Percuma jika tidak memiliki semangat hidup, pengobatan apa pun akan sulit sembuh."

"Tahu dari mana?"

"Entah. Aku pernah mmebaca kalimat itu."

Agnia melihat ke jendela. "Hujannya mulai deras ya."

"Iya. Untung saja kita sudah dalam perjalanan pulang."

Setelahnya tidak ada pembicraan lagi antara Agnia dan Dirga. Hanya ada suara hujan.

*****

Agnia melihat ke jendela kemudian berkata, "Ini bukan meuju rumahku."

"Memang bukan."

"Kita mau ke mana?"

*****

Hujan mereda sesaat setelah mereka sampai ke tujuan. Agnia melihat bangunan besar di depannya. Ia menoleh. "Untuk apa membawaku ke sini? Dan rumah siapa ini?"

"Rumahku. Ayo turun."

"Apa? Rumahmu? Kenapa malah membawaku ke sini?" Terkejut dengan tindakan tak terduga Dirga. Bingung, Agnia hendak melakukan apa.

"Memangnya kenapa? Tenang saja, kita tidak sendirian di rumah. Ada para pekerja. Jangan khawatir. Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu."

"Bukan itu maksudku, tapi kan ....'

"Sudah, protesnya dipending dulu. Ayo turun.'

Agnia mengembuskan napasnya. Ia tak akan bisa menang adu argumen. Namun, ia akui rumah Dirga mewah seperti yang sering ia lihat di film-film. "Sekaya apa pria ini ya?" batinnya.

"Yang jelas aku lebih kaya darimu," celetuk pria di sampingnya.

"Bb-bagaimana kamu tahu apa yang sedang kupikirkan?"

Dirga tersenyum simpul. "Tergambar jelas dari raut wajahmu."

Reflek Agnia memegangi kedua pipinya. "Benarkah?"

"Ayo." Tanpa sadar Dirga menggandeng tangan Afnia. Wanita itu terkejut. Ia berdehem baru dilepaskan. "Maaf, aku tidak sadar."

"Tidak apa apa."

"Paman sudah pulang." Sebuah suara kecil, tapi nyaring langsung memenuhi ruang tamu. Agnia melihat ke arah depan di mana seorang anak kecil berlari sambil tertawa.

Dirga tersenyum dan langsng mengendong anak tadi. Ia mencium keda pipi anak tersebut. "Kangen sama Paman?"

"Iya. Maira menunggu paman pulang dari tadi." Pandangan Maira tertuju pada wanita yang menurtnya asing. "Pama Dirga, siapa wanita ini?"

"Namanya Agnia. Maira bisa memanggil dengan sebutan Bibi Agnia," ujar Dirga.

Maira mengangguk sembari tersenyum. Ia turun dari gendongan. "Tante Agnia cantik."

Yang dipuji ikut tersenyum dan mensejajarkan tingginya. "Maira juga cantik dan mengemaskan. Apalagi dikuncir dua begini."

Maira berkata malu-mau, "Terima kasih Bi. Maira yang menguncirnya sendiri."

"Wah, benarkah? Pintar sekali." Mengelus kepala Maira.

"Kok jam segini belum tidur?" tanya Dirga.

"Maira kan nungguin Paman. Maira juga belum mengantuk."

"Tapi kan besok Maira sekolah. Sekarang Maira tidur ya, kan paman sudah pulang."

Wajah anak kecil berusia tujuh tahun tersebut berubah murung. Ia melihat ke arah Dirga dengan eskpresi sedih, tapi saat melihat Agnia, senyumnya terbit.

"Maira mau tidur kalau Bibi Agnia membacakan dongeng."

"Jangan membuat bibi Agnia repot. Dia baru datang."

"Yahhh. Padahal Maura pengen dibacakan dongeng kali ini saja."

"Tidak masalah. Ayo Maira kita ke kamarmu. Bibi akan membacakan dongeng untukmu sampai tertidur."

Wajah gadis kcil itu cerah kembali. "Benarkah Bibi tidak keberatan?"

"Tentu tidak. Bibi suka membacakan dongeng untuk anak-anak."

"Kalau begitu ayo kita ke kamar Bibi." Maira menggandeng lengan Agnia dan mengajak wanita tersebut ke kamarnya. Sementara Dirga cukup terkejut melihat keakraban yang ditunjukkan keduanya.

******

"Bagaimana? Apa anak itu sudah tertidur?" tanya Dirga sesaat setelah melihat Agnia keluar dari kamar Maira.

Menganguk seraya berkata, "Iya, dan sudah tidur. Anak itu sangat manis. Ngomong-ngomong, di mana kedua orang tuanya?"

Dirga terdiam. Agnia menjadi merasa tidak enak telah menanyakannya tadi. "Maaf kalau pertanyaanku menyingung perasaanmu.'

"Tidak, bukan begitu. Sebaiknya kita bicara di bawah agar Maira tidak terbangun mendengar suara kita berdua."

Keduanya kini duduk di ruang santai. Agnia melihat poto seorang wanita yang sedang tersenyum menghadap kamera. "Apa Maira ....?"

"Benar. Maira adalah anak Salsa."

"Ohh. Wajah mereka berdua mirip." Agnia menatap foto Salsa.

"Ya. Semoga nasib Maira jauh lebih baik ketimbang ibunya."

"Aku merasa tidak enak membuatmu mengingat lagi tentang kenangan buruk itu."

"Aku mencoba untuk berdamai dengan masa lalu."

Agnia mengangguk anggukan kepaala. "Oiya, untuk apa membawaku ke sini?"

"itu ...." Dirga bahkan tak tahu alasannya mmebawa Agnia ke rumah. "Maira, ya karena Maira."

"Maksudnya? Aku tidak mengerti?"

"Maira menungguku pulang. Anak itu pasti tak kunjung tidur jika aku belum berada di rumah." Dirga mencoba beralasan.

"Berarti tadi kamu sedang berada di kantor saat kuhubungi."

"Ya, tapi pekerjaanku sudah selesai saat itu. Jadi sangan merasa tidak enak dan sungkan."