Andara berlari sekencang mungkin, perempuan itu mengabaikan seluruh rasa nyeri di punggungnya demi menemui Algar.
Setelah Algar berpamitan dengannya, Andara memang memiliki perasaan yang kurang enak dan berniat menahan Algar pulang, tapi sayangnya gengsi Andara terlalu besar.
Benar saja, 1 jam setelah itu, Dita menelepon Andara dan mengabarkan bahwa Algar mengalami kecelakaan. Andara terkejut, sangat. Andara langsung menyambar jaketnya dan memesan mang ojek untuk mengantarnya ke rumah sakit.
Kini Andara tengah berlari, berusaha menemukan ruang di mana Algar dirawat. Andara sudah tidak peduli dengan rasa nyerinya dan orang-orang yang menatapnya Aneh karena berlarian di lorong rumah sakit.
"Algar ..." Andara berhenti sejenak, perempuan itu mengatur napasnya seraya menoleh ke kanan dan kiri. Andara terus berdoa di dalam hatinya, semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Algar.
Andara kembali berlari. Andara berhenti ketika melihat Dita tengah termenung di depan ruang ICU. Andara menghampiri Dita.
"Tante? Tante kenapa di depan ICU?" Dita langsung memeluk Andara, wanita itu tidak bisa lagi menahan kesedihannya. Andara mengusap punggung Dira agar wanita itu merasa lebih tenang.
Jujur saja Andara juga sangat kaget dan sedih.
"Algar ... Algar kritis," rintihnya. Andara membulatkan kedua matanya.
"Ta-tante serius?" Dita mengangguk. Andara menutup mulutnya dengan tangan, apakah kecelakaannya benar-benar parah sampai Algar kritis?
Dita menggenggam tangan Andara.
"Tante yang sabar, ya. Aku juga kaget dan sedih banget, kita sama-sama berdoa semoga keadaan Algar bisa membaik secepatnya." Dita menangis histeris. Dita tidak menyangka jika putranya akan mengalami kecelakaan separah ini. Dita kembali memeluk Andara.
Mendengar kabar Algar kecelakaan saja sudah membuat Dita sangat lemas, apalagi mendengar kabar bahwa Algar sedang kritis?
"Maafin aku ya, tante. Seharusnya aku menahan Algar sebentar lagi, agar kejadian ini tidak terjadi." Dita tersenyum getir pada Andara.
"Ini bukan salah kamu, sayang. Selama apa pun kamu menahan Algar, kejadian ini pasti akan terjadi juga. Mungkin ini takdirnya. Yang harus kita lekukan sekarang cuma berdoa untuk Algar. Tante mohon banget sama kamu, bantu tante mendoakan Algar, ya?" Andara mengangguk kecil.
"Pasti, tante."
Setelah itu, seorang dokter keluar dari ruang ICU. Dita segera menghampiri dokter tersebut diikuti Andara di belakangnya.
"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" Dokter tersebut menundukkan wajahnya.
"Saat di bawa ke sini pasien sudah sangat kehilangan banyak darah, hal itu membuat keadaannya kritis. Karena hal itu juga lah, dengan berat hati saya harus menyampaikan bahwa pasien saat ini dalam keadaan koma hingga waktu yang tidak bisa ditentukan." Dita terjatuh lemas di lantai. Andara segera membantu Dita kembali bangkit, Andara terus mengusap bahu Dita guna menenangkan wanita itu. Pasti sangat berat, Andara yakin itu.
♡♡♡
Tasya berlari tanpa henti menuju taman tempat pertemuan pertamanya dengan Elvan. Tasya berusaha menahan air matanya ketika Rio menghubunginya dan memberikan kabar yang sangat tidak baik baginya, yaitu Algar dalam kondisi koma.
Tasya telah menghubungi Elvan beberapa menit yang lalu intuk mengajaknya bertemu, dan kini Tasya sudah berada di taman itu. Tasya berlari menuju Elvan dan menarik kerah kemejanya. Tasya menatap Elvan dengan tatapan kesalnya.
"Jujur sama gue, lo yang udah ngebuat Algar koma, kan?!" Elvan terdiam membalas tatapan Tasya. Tasya mengencangkan genggamannya pada kerah kemeja Elvan.
"JUJUR SAMA GUE, ELVAN!!" Elvan tampak sangat tenang, sangat berbeda dengan Tasya. Elvan mendesah berat.
"Kalo emang gue pelakunya, lo mau apa?" Tasya terjatuh lemas di tanah. Elvan hanya menatapnya dengan datar.
"Kenapa lo ngelakuin itu ... KENAPA LO NGELAKUIN ITU, ELVAN?!!" Elvan melipat kedua tangannya di depan dada.
"Karena itu cara yang tepat untuk misahin mereka berdua," jawabnya tenang. Tasya mendongakkan wajahnya, menatap Elvan dengan tatapan sayunya.
"Lo tau apa yang udah lo perbuat? Lo hampir ngebuat Algar mati, Elvan!!" Elvan terdiam sejenak.
"Gue gak peduli." Tasya membulatkan kedua matanya.
"Asalkan gue bisa dapetin Andara, gue akan ngelakuin apa pun." Tasya menggeleng tidak percaya.
"Meskipun lo harus membunuh seseorang?" Elvan mengangguk kecil dengan wajah yang sangat dingin.
"Meskipun gue harus membunuh seseorang." Tasya menggeleng tidak percaya dengan apa yang lelaki itu katakan.
Bagaimana mungkin dia rela membunuh seseorang hanya demi Andara? Bahkan Tasya tidak pernah punya pikiran untuk membunuh Andara demi mendapatkan Algar. Tasya hanya ingin membuat keduanya terpisah dan menjauh. Tasya hanya menggertaknya.
"Lo bener-bener cowok yang gak punya hati!" cetusnya kemudian meninggalkan Elvan sendirian.
Tasya segera bergegas menuju rumah sakit di mana Algar dirawat di sana. Tasya berlari menghampiri Rio dan Revan yang sedang duduk di depan ruang ICU. Tasya mengatur napasnya.
"Gimana ... keadaan Algar?" Rio menggeleng kecil sementara Revan terlihat sangat murung.
"Belum ada kemajuan. Algar koma sampai waktu yang tidak ditentukan." Tasya berusaha menahan air matanya yang akan turun. Tasya menghampiri sebuah ruangan berdinding kaca. Hanya sebuah kaca yang memisahkan antara dirinya dan Algar.
Tasya meraba kaca itu, seakan dirinya bisa menyentuh Algar di sana. Tasya tidak kuat lagi menahan tangisnya ketika melihat tubuh Algar yang terbujur kaku dengan banyaknya selang yang terpasang di seluruh tubuhnya.
"Algar ...," lirihnya. Rio menghampiri Tasya dan mengusap bahu perempuan itu. Rio tahu, pasti sangat menyakitkan untuk Tasya melihat keadaan Algar yang sekarang.
Tasya menjerit, perempuan itu meremas pakaian Rio. Tasya hanya takut, dia takut kehilangan Algar ... untuk selamanya.
"Di mana mamanya Algar?" tanya Tasya setelah perempuan itu cukup tenang.
"Tadi gue sama Revan ketemu mamanya Algar, dia lagi sama Andara." Tasya terdiam sebentar.
"Andara?" Rio mengangguk.
"Kayaknya Andara mau nganter mamanya Algar. Tadi tante Dita nitipin Algar ke kita, katanya dia mau istirahat sebentar, mungkin masih syok." Tasya mengangguk kecil, perempuan itu paham.
"Lo juga butuh istirahat, biar gue sama Revan yang jaga Algar di sini." Tasya menggeleng. Mata perempuan itu mulai berkaca-kaca lagi.
"Gue mau di sini, yo. Boleh, ya?" Rio terdiam sejenak, lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kalau emang itu mau lo, ya udah." Tasya tersenyum kecil pada Rio.
Tasya menatap tubuh Algar lagi, setiap melihat tubuh yang terkulai lemas itu rasanya Tasya tidak bisa menahan air matanya. Tasya mengepalkan tangannya.
Elvan sialan!
Tasya sekarang menyesal. Tasya menyesal telah menyetujui kesepakatan itu, bukan ini yang Tasya mau. Bahkan lelaki itu berencana membunuh Algar, untunglah tuhan masih memberikan Algar kesempatan untuk hidup lebih lama. Tasya sangat bersyukur.
Tasya melirik Rio yang menghampiri Revan di kursi, Revan juga terlihat sangat terpuruk. Revan dan Algar memiliki sifat yang sama, kedua lelaki itu sangat bisa membuat orang lain tertawa dengan mudah, oleh karena itu Revan merasa sangat sedih jika Algar dalam kondisi seperti saat ini.
Tasya menatap tubuh itu. Tasya meraba kaca seolah menyentuh setiap inci kulit putih itu.
"Pada tuan pemilik perasaan yang maha tidak bisa kusalahkan. Aku tidak mengerti ini tentang rasaku yang terlalu dalam atau kamu yang begitu tidak mudah aku ikhlaskan. Aku terlalu sering melakukan hal bodoh karena ternyata aku tidak mampu melepaskan dan merelakanmu. Tuan, jika rasaku salah, mengapa ini terlalu dalam dan tidak bisa dihentikan? Tuan, jika aku hanyalah pilihan, mengapa engkau membiarkanku berhayal seolah aku adalah jawaban?" monolognya.