webnovel

Pertimbangan Konflik

"Gerald? Thanks udah antar Agnes pulang. Nes, mobil lo mana? Bukannya lo tadi bilang mau jenguk Baron?"

"E-eh, itu..." Tiba-tiba Ariana merasakan ada sebuah benda yang mengganjal di saku pakaiannya. Ada sebuah kunci yang tiba-tiba muncul begitu saja. Itu adalah kunci mobil barunya.

"Gue lupa, hehe," lanjutnya.

"Ya udah gue balik dulu ya? Nes, gue balik dulu. Sampai jumpa di kampus," pamit pria bernama Gerald. Lagi lagi, Ariana tidak tahu siapa pria itu. Ariana tidak pernah membuat karakter bernama Baron.

Ariana hanya menganggukkan kepala saja dan menatap kepergian pria yang tak dikenalnya itu.

"Mana kunci lo, biar gue yang ambil ke sana," ucap Mike tiba-tiba.

Kini pandangannya teralih ke arah Mike yang mengenakan Hoodie warna merah. Dalam cerita novelnya, Mike adalah tipe pria penyabar namun dia juga tak akan diam saja jika melihat orang terdekatnya tersakiti. Mike juga merupakan mahasiswa semester akhir, lebih tua satu tahun dari Baron dan Vero, juga Agnes.

"Ini."

"Besok udah ujian semester di kampus. Lo mau lanjut atau nggak? Kalau lo mau mogok, kata Papa lo mau dipindah ke London."

Sontak Ariana langsung membulatkan kedua mata sempurna. Dia lantas menggelengkan kepalanya cepat berulang kali. Cukup dirinya terjebak di dunia novel ini, dia hanya ingin kembali hidup normal dengan identitasnya sendiri.

"Nggak. Gue nggak mau."

Mike terlihat menghela napas dan tersenyum. Tangannya terulur mengusap dengan lembut pucuk kepala sang adik. "Lo nggak usah mikirin Baron lagi. Emang dia cowok sinting. Emang lo pernah ngerti dia bareng sama cewek? Nggak, 'kan? Jadi, lo nggak usah baper kalau dia nolak lo. Cuma sekali kan lo ditolak cowok?"

"Gini deh, lo masih suka nggak sama Baron? Ah, pertanyaan aneh. Lo pasti masih suka. Gini aja, seminggu eh nggak. Sebulan ini lo coba menghindar dari Baron. Selama ini kan lo nempel-nempel tuh sama dia, nah kali ini lo harus menghindar."

Perkataan Mike yang panjang lebar itu membuat Ariana mengedipkan mata berulang kali. Dia terlihat kikuk dan tak tahu harus menjawab bagaimana. Tanpa Mike suruh pun, Ariana akan tetap menjauh dari Baron.

"Eh, i-iya."

"Oke kalau gitu biar gue tanya sekali lagi sama lo." Mike menggantungkan ucapannya. Pria itu terlihat ragu saat menatap wajah adiknya. "Lo sakit? Belakangan ini lo pendiam nggak kayak dulu. Gue kangen lo yang dulu, Nes. Kalau lo berubah kayak gini, gue jadi ngerasa bersalah banget sama lo."

Kali ini Ariana tak mampu menjawab. Dia ingin sekali membongkar identitasnya. Namun dia takut jika terjadi resiko atau hal-hal yang tak diinginkan olehnya malah terjadi hanya karena sebuah ucapan.

"N-nggak kok. Gue capek aja, Kak."

"Kak? Bahkan lo panggil gue Kak, Nes. Lo yang di depan gue ini, kayak bukan lo yang gue kenal selama ini."

Deg!

Ariana tertegun. Mike tanpa ragu mengucapkan kalimat yang mampu membuat Ariana lagi dan lagi terdiam seribu bahasa.

'Aduh, gimana ini?' batin Ariana.

"Emang nggak boleh kalau gue panggil lo dengan sebutan Kak? Oh ayolah, gue juga pengen berubah. Gue nggak mau jadi gue yang dulu lagi. Gue mau berubah demi..."

"Demi?"

Otak Ariana berputar keras. Kali ini dia tidak boleh salah bicara. "Demi Baron. Y-ya demi Baron, hehe," ujarnya disertai kekehan kecil.

Mendengar hal itu Mike akhirnya percaya bahwa Agnes memang berubah sebab penolakan dari Baron. Benar-benar, Mike harus kasih pelajaran lagi pada lelaki itu.

~~~

Setelah pulang dari rumah sakit, Baron memutuskan untuk kembali pulang ke rumahnya sendiri. Itu semua sebab paksaan ayahnya. Ayahnya berkata dia harus menggantikan dirinya untuk mengurus perusahaan malam ini.

Balexa Corp, perusahaan ternama se-Jakarta itu telah menjadi perbincangan banyak orang. Semua sebab skandal Mario, sang Ayah dari Baron dan Helena, sang Ibunda hendak bercerai sebulan lagi. Baron tak memusingkan hal itu. Jika kabar di media masa benar, bahwa Mario dan Helena hendak bercerai, Baron tinggal menyimpulkan bahwa mereka tak sayang padanya lagi.

"Daddy lagi sakit. Kamu harus gantiin daddy meeting sama pak Braham malam ini di hotel Mustika. Nanti daddy share alamatnya."

Baru satu menit Baron menginjakkan kaki di rumah besar itu, namun dia sudah mendapatkan sebuah malapetaka. Baron sangat tidak suka pada sesuatu yang berhubungan dengan perusahaan. Dia ingin hidup bebas dengan caranya sendiri.

"Hm."

Hanya itulah sebuah kata tidak jelas yang keluar dari mulut Baron. Lelaki itu hendak bergegas menuju ke kamarnya untuk sekedar mandi dan berganti pakaian. Namun langkahnya terhenti begitu saja sebab kalimat panjang sang ayah.

"Minggu depan daddy sama mommy mau mengurus masalah perceraian. Kamu harus datang di persidangan untuk memutuskan hak asuh anak."

Wajah Baron semakin datar. Ternyata apa yang diungkap oleh publik itu benar, bahwa kedua orang tuanya hendak berpisah. Baron pikir, media hanya melebih-lebihkan isu saja seperti biasa. Dia kira wartawan itu hanya mengada-ngada untuk mendapatkan berita eksklusif agar tidak dipecat oleh sang Bos.

"Aku nggak akan pernah hadir di persidangan, dan aku juga nggak akan pernah mau memilih hak asuh di antara kalian berdua."

Mengapa Tuhan menciptakan kedua orang tua yang sama sekali tak memperhatikan dirinya? Mereka hanya bisa memarahi jika Baron membuat masalah, namun mereka tak pernah mengobati setiap luka apapun yang Baron rasakan. Pujian? Jangan harap dia akan mendapatkan semua itu dari orang tuanya.

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Baron lantas melenggang pergi memasuki kamarnya. Melihat wajah ayahnya membuat dia ingin sekali pergi dari rumah selamanya. Ayahnya memiliki banyak simpanan, dan hal itu malah membuat ibunya ikut menimbulkan kericuhan dengan melabrak setiap simpanan ayahnya. Ibunya juga sering meluapkan emosi di perusahaan hingga membuat beberapa karyawan menggunjingkan dirinya diam-diam.

Tiba di dalam kamar, sejenak Baron merebahkan tubuhnya di atas kasur king size. Salah satu tangannya dia taruh di atas matanya. Dia sungguh lelah dengan semua keadaan ini.

"Kayaknya akhir-akhir ini gue bakal sibuk."

Baron duga, dia tak akan merasakan tidur selama proses perceraian kedua orang tuanya. Baron bahkan tak berani menentang perceraian itu. Menurutnya percuma saja, pendapatnya tak akan didengar oleh mereka. Entah apa arti Baron untuk mereka.

Sementara di tempat lain, Ariana tengah memikirkan tentang kelanjutan kisah Baron. Dia menuliskan tentang perceraian kedua orang tua lelaki itu. Ya, Ariana membuat konflik tersebut dengan seribu pertimbangan. Dia tak ingin membuat satu pun karakter di novelnya meninggal. Untuk itu, dia harus membuat konflik rumit tentang perasaan Baron.

"Gue salah nggak ya bikin konflik perceraian itu? Apa itu bakal terjadi beneran di sini? Atau ceritanya bakal berubah dan tertulis sendiri seperti waktu itu?