Nona mengatur napasnya. Wanita itu melepas paksa tangan Leon yang dengan bebas memeluknya dari belakang. Setelah tangan leon sudah tidak menyentuh tubuhnya. Nona memutar tubuhnya dan memandang wajah Leon dengan tangan terlipat di depan dada. "Mas, sebaiknya mas juga pergi dari sini. Saya ingin istirahat," ketus Nona dengan wajah tidak suka. Tidak banyak kata yang ingin ia katakan malam itu. Tubuhnya masih terasa lelah dan sangat tidak bertenaga. Nona berharap dengan ucapan yang lembut saja, Leon sudah paham dengan keinginannya.
Leon membuang napasnya dengan kasar sebelum mengusap darah yang ada di sudut bibirnya. Pria itu juga mengukir senyuman kecil saat mendengar kalimat usiran yang terucap dari bibir Nona. Baginya tidak segampang itu. Leon tidak mau pergi begitu saja dari Nona setelah apa yang ia dapatkan malam itu.
"Kau hanya memanfaatkanku untuk terhindari darinya? Apa kau pikir aku sebodoh itu?" ucap Leon sambil menatap wajah Nona dengan saksama. "Aku ke sini untuk melindungimu darinya. Bukan hanya sekedar mengusirnya pergi dan memberi celah untuknya membawamu pergi," sambung Leon lagi.
"Apa maksud Mas Leon mengatakan hal seperti itu?" tanya Nona dengan alis saling bertaut. Sejak awal Nona berpikir kalau Leon menolongnya tanpa pamri.
"Nona, bahkan kau tidak mau mengucapkan terima kasih. Apa kau tidak ingin mengobati lukaku? Kau tahu kalau luka ini aku dapatkan karena aku menolongmu? Kau lupa atau pura-pura lupa?" tegas Leon dengan wajah yang sangat serius. Jauh berberbeda dengan sikap pria itu selama ini.
"Mas, apa yang sebenarnya Mas Leon inginkan? Katakan saja. Jangan berbelit-belit seperti ini," ujar Nona dengan wajah mulai kesal. Ia masih belum paham dengan apa yang kini di pikirkan oleh Leon.
"Ikut denganku," tegas Leon sambil menatap wajah Nona tanpa berkedip.
"Apa? Mas Leon, mas bisa lihat sendiri aku memilih mas itu karena tidak ingin pergi dengannya. Jika sekarang aku ikut dengan Mas Leon, itu sama saja bagi hidupku!" umpat Nona kesal. Wanita itu membuang tatapannya ke arah lain. Ia masih tidak habis pikir dengan tawaran mantan suaminya malam itu.
"Nona, berpikirlah secara bijak. Franz bukan pria yang mudah menyerah. Setelah satu jam aku pergi dari sini, ia akan mengirim anak buahnya untuk menculikmu. Baginya tidak sulit untuk menculik wanita sepertimu. Kecuali, kau mengizinkanku untuk tinggal di apartemen ini," ledek Leon dengan tawa tertahan. "Itu juga kalau aku masih sanggup menghadapi anak buah Franz. Jika tidak, aku akan semakin babak belur dan kau di culik oleh mereka."
Nona menatap wajah Leon dengan kedua mata melebar. Wanita itu tidak menyangka kalau akan sesial ini. Tadinya ia berpikir dengan perginya Franz dari apartemen itu semua masalah sudah selesai. Namun, tidak di sangka kini ia harus ikut dengan pria lain.
"Bagaimana?" tanya Leon lagi.
"Mau kemana?" ucap Nona dengan wajah tidak tertarik.
"Ke rumah ... rumah kita," ucap Leon dengan nada bicara tertahan. "Apa kau lupa kalau kita masih punya rumah?"
"Mas, aku tidak mau ke rumah itu lagi. Itu bukan rumahku," jawab Nona dengan wajah yang sudah berubah. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca.
Rumah yang kini di bahas oleh Franz adalah rumah yang sengaja di hadiahkan Leon kepada Nona setelah mereka menikah. Tidak di sangka, Nona hanya dua hari saja tinggal di rumah mewah dan megah tersebut. Setelah menggugat perceraian, Nona pergi meninggalkan rumah tersebut dan tidak mau datang ke rumah itu lagi.
"Nona, rumah itu milikmu. Sejak tiga tahun yang lalu hingga detik ini, surat tanah rumah itu tetap atas namamu. Tidak ada yang berani mengubahnya. Bahkan jika kau tidak mau tinggal di sana dan menganggap rumah itu bukan rumahmu. Rumah itu ya tetap milikmu."
Leon memegang kedua tangan Nona. Pria itu menatap wajah Nona dengan saksama. Ada ketulusan dari wajahnya. Bahkan rasa penyesalan itu terlihat jelas di wajah pria berstatus mantan suami Nona tersebut.
"Mas ...."
"Ssstttt." Leon meletakkan satu jarinya di depan bibir Nona. "Hanya beberapa hari saja. Franz hanya satu minggu di Indonesia. Dia pria yang sangat sibuk. Jika kau menghilang selama satu minggu ini, aku yakin dia tidak akan mengingatmu lagi. Ia akan melupakanmu dan tidak pernah mengganggu hidupmu lagi. Setelah dia pergi meninggalkan Indonesia, kau boleh kembali ke apartemen ini. Bagaimana? Aku berjanji tidak akan melakukan hal yang tidak kau suka. Aku janji," ucap Leon sambil mengacungkan dua jemarinya.
Nona terlihat berpikir keras sebelum mengambil keputusan tersebut. Ia tidak mau terjebak nostalgia dengan Leon lagi. Apa lagi sampai mendekati kata rujuk. Namun, semua yang di katakan Leon memang tidak merugikan dirinya sama sekali. Leon hanya menawarkan tempat persembunyian dari Franz.
"Baiklah. Aku akan tinggal beberapa hari di sana sampai pria itu pergi meninggalkan Indonesia," ucap Nona mantap.
Leon mengukir senyuman kemenangan. Ia tidak menyangka kalau malam ini adalah malam keberuntungan bagi hidupnya setelah beberapa bulan terakhir ini berjuang mati-matian mendekati Nona.
"Ok, deal!"
***
Franz menatap tajam ke arah mobil Leon yang terparkir di parkiran apartemen Nona. Pria itu sejak tadi masih bertahan di parkiran. Seperti apa yang di pikirkan Leon. Setelah dia pergi meninggalkan apartemen Nona, maka Franz akan kembali muncul untuk membawa Nona pergi ke tempat yang ia inginkan.
Waren yang saat itu duduk di jok kemudi hanya bisa menghela napas sambil mengotak-ngatik ponselnya. Sesekali kedua matanya melirik wajah dingin Franz melalui spion sebelum memandang ke arah depan lagi.
Beberapa puluh menit kemudian, sosok yang mereka tunggu sejak tadi telah muncul. Satu hal yang membuat Franz semakin geram dan kesal. Malam itu Leon tidak keluar sendirian. Ada Nona di samping pria itu. Dengan tangan terkepal kuat, Franz membuang tatapannya ke arah lain.
Leon membawa Nona masuk ke dalam mobilnya sebelum melajukan mobilnya. Waren yang sejak tadi memperhatikan kepergian Leon dan Nona hanya bisa diam membisu tanpa berani mengatakan apa-apa.
"Berani sekali dia pergi bersama dengan pria lain," umpat Franz dengan wajah kesal.
Waren menunduk dengan kedua mata terpejam. "Tuan, apa hak Anda melarang Nona itu pergi dengan pria lain? Anda hanya bertemu dengannya beberapa kali," gumam Waren yang hanya berani di dalam hati saja.
"Tuan, apa Anda ingin pergi ke suatu tempat malam ini?" tanya Waren dengan suara yang penuh hati-hati.
"Aku ingin kembali ke apartemenku! Sekarang!" teriak Franz hingga memenuhi seisi mobil.
Waren hanya bisa mengangguk pelan. "Baik, Tuan." Pria itu menghela napasnya sebelum melajukan mobilnya. Ia tidak ingin menanyakan apa-apa lagi kepada majikannya. Waren sendiri tidak mau menjadi pelampiasan rasa sakit hati dan amarah Franz malam ini.