webnovel

Awal

Matahari mulai meredup di ufuk barat, hawa dingin pun mulai menusuk tulang. Tetapi tidak membuat lelaki berpawakan tinggi yang sedang berdiri di dekat pusara yang masih basah itu kedinginan. Ia adalah Awan Dirgantara.

Awan menatap nanar makam itu. Rasanya baru semenit yang lalu mereka bercengkerama, tetapi takdir memisahkan keduanya. Ingin rasanya Awan menyalahkan takdir, tetapi apa boleh buat, sekeras apapun ia menyalahkan, takdir tetaplah tadir yang tidak bisa diubah atau pun ditolak oleh siapapun.

Sudah cukup lama ia menatap pilu makam itu, sampai tetesan hujan menyadarkannya bahwa hari mulai gelap. Ia membungkukkan badannya sembari mengusap nisan, lalu berujar, "gue pergi dulu ya, gue janji bakal sering-sering main kesini. Lo jangan khawatir, lo akan selalu jadi Best Friend gue." Kemudian Awan kembali menegakkan badannya, lalu melangkah meninggalkan area pemakaman yang sepi.

Saat berjalan meninggalkan area pemakaman, mata Awan tak sengaja melihat seorang gadis sedang menangis sembari memeluk batu nisan. Itu bukan hantu, itu nyata seorang gadis. Tetapi Awan tidak memperdulikannya, toh ia tidak kenal dengan gadis itu, lagi pula Awan memang tidak suka memperdulikan hal sekitar.

Tepat saat Awan masuk mobil, air yang tadinya hanyalah sebuah rintikan kecil kini sudah lebih deras, saat waktu bersamaan pikirnya melayang pada gadis yang menagis disalah satu makam. Awan mencoba menyingkirkan pikirannya tentang gadis itu, tetapi rupanya semakin ia mencoba tidak perduli, semakin pula ia memikirkan gadis itu.

Awan membuka pintu mobilnya, lalu berjalan menuju area pemakaman, dengan tangan yang memegang payung. Ketika sampai di area pemakaman penglihatanya langsung diedarkan, dilihatnya gadis tadi masih memeluk batu nisan. Entah mengapa Awan menghampirinya, sebelumnya ia tidak pernah memperdulikan orang yang tidak ia kenali, bahkan orang yang sudah ia kenal pun sering tidak ia perdulikan. Tetapi kali ada sesuatu yang membuatnya memperdulikan orang lain, walaupun tidak ia kenal, atau bahkan ia belum pernah melihatnya.

Sekarang Awan benar-benar sudah berada dekat dengan gadis itu atau lebih tepatnya satu meter dibelakang gadis itu, Awan masih bisa mendengar suara sesengukan dari gadis itu, meskipun diiringi suara hujan yang deras. Awan masih pada posisinya, ia tidak ingin mendekat, tidak juga menjauh. Ia ingin membiarkan gadis itu sendiri yang menyadari kehadirannya. Tetapi gadis itu tak kunjung menyadari kehadiranya, sepertinya ia lebih fokus pada tangisannya.

"Ngapain hujan-hujan disini sendiri?" tanya Awan pada akhirnya. Setelah berdiam menatap gadis itu. Gadis itu masih menagis, tanpa mengindahkan pertanyaan Awan, entah ia tidak mendengar ucapan Awan atau ia tidak mau menjawab.

"Kok ditanya diem aja? Lo manusia kan?" tanya Awan memastikan.

Gadis itu mendongak saat merasakan tidak ada lagi air hujan yang menerpanya. Ternyata ada seseorang yang memayunginya. Dan di saat itulah tatapan meraka berdua bertemu. Tetapi hanya hitungan detik kontak mata mereka terputus, karena gadis itu langsung menunduk. Beberapa menit kemudian gadis itu mulai berdiri, tapi saat ingin berdiri, rasa kram menyerpa kakinya, ia meringis kesakitan, tapi ditengah ringisannya, ia tersenyum getir, ia merasa sakit di kakinya tidak sebanding dengan rasa sakit dihatinya. Awan yang menyadari akan hal itu, langsung berjongkok disamping gadis itu.

"Kenapa?" tanya Awan datar, yang di respon dengan gelengan kepala. Kemudian gadis itu berusaha berdiri dengan bantuan tangan kokoh Awan. Mereka berdua berjalan meninggalkan area pemakaman.

"Makasih," ujar gadis itu, setelah sampai dijalan, dekat mobil Awan. Sedangkan Awan hanya mengangguk.

"Mau gue anterin?" tawar Awan spontan, yang disesali oleh Awan "kenapa gue tanya gituan? Dasar mulut nggak bisa diatur," runtuk Awan pada dirinya sendiri.

Gadis itu merespon dengan gelengan seperti ucapan; "tidak perlu." Awan yang mengerti maksud gadis itu, langsung bernafas lega, karena ia tidak perlu repot-repot mengantarkan gadis itu. Lagi pula mobilnya akan kotor jika gadis itu masuk mobilnya, pasalnya gadis itu basah kuyup ditambah dengan pakain yang penuh tanah, tanah pemakaman pula.

"Ok, gue duluan kalau gitu," ujar Awan yang langsung di angguki oleh gadis itu. Setelah direspon oleh gadis itu Awan langsung masuk mobil hitamnya, dan menjalankan mobilnya. Kalau kalian mengatakan baha Awan tidak memiliki hati, karena tega meninggalkan seorang gadis disekitar pemakan saat hujan deras. Pasti Awan akan menjawab 'Siapa bilang gue nggak punya hati, gue juga punya hati kaya lo semua, kalau gue nggak punya hati, mana bisa hidup coba?'

Mobil hitam Awan berjalan lambat dibawah guyuran hujan, ia memandangi gadis tadi dari kaca sepionnya. Dapat dilihatnya gadis itu masih berdiri mematung, bersamaan dengan tangis yang mumbuncah, meskipun terlihat samar karena air hujan. Tapi Awan yakin bila gadis itu menangis. Sebelum mobilnya benar-benar menjauh dari kawasan pemakaman, tiba-tiba hatinya mengatakan, untuk menghampiri gadis itu. Jadilah ia memundurkan mobilnya lagi, dan saat mobilnya sudah berada di samping gadis itu, ia langsung menurunkan kaca mobilnya dan berujar; "Masuk!" suruh Awan pada gadis itu. Sedangkan gadis itu hanya diam tanpa adanya tanda-tanda akan melangkahkan kakinya.

"Masuk!" suruh Awan lagi, tapi tetap saja tidak ada respon dari gadis itu. Tak beberapa lama kemudian, Awan memutuskan turun dari mobilnya. Untuk mengajak atau lebih tempatnya memaksa gadis itu masuk ke dalam mobilnya.

"Lo-" ujar Awan terpotong karena secara tiba-tiba gadis itu menghambur pelukan padanya, bersamaan dengan suara sesenggukan yang terdengar jelas di telinga Awan.

Cukup lama gadis itu memeluk Awan, sampai akhirnya gadis itu melepaskan pelukan tersebut.

"Ma'af," satu kata yang terucap dari mulut gadis itu, tetapi hanya direspon dengan gumanan oleh Awan.

"Gue anterin lo, kondisi lo nggak memungkinkan buat pulang sendiri, gue takut lo kenapa-napa, eh? Maksud gue, nanti lo dicariin orangtua lo," ujar Awan datar yang disambut dengan senyum getir oleh gadis itu, "Orangtua? Nyariin aku? Mustahil," Ujar gadis itu dalam hati.

"Masuk!" suruh Awan yang sudah berada didalam mobil. "Masuk!" suruhnya lagi yang berhasil membuyarkan lamunan gadis itu.

Awan berdecak kesal, karena ucapanya tidak diindahkan gadis itu. Terpaksa ia keluar lagi dari mobilnya, hanya untuk menarik gadis itu masuk kedalam mobil hitamnya. Ia sudah tidak memperdulikan mobilnya yang akan basah dan kotor jika gadis itu masuk mobilnya.

Awan melajukan mobilnya di bawah guyuran hujan setelah gadis itu masuk kedalam mobilnya. Suasana didalam terasa sunyi, hanya terdengar suara hujan dan suara kendaraan dari luar mobil.

"Rumah lo di mana?" tanya Awan, memecah kesunyian. Tapi tidak ada jawaban dari gadis itu.

"Rum--" ujar Awan terpotong saat melihat kearah gadis itu, yang teryata sudah terlelap dalam tidurnya. "Tidur?" tanya Awan pelan pada dirinya sendiri.

Kini mobil Awan sedang terjebak dalam kemacetan, tidak jarang Awan mengumat. Tetapi kali ini ia memilih untuk menyandarkan kepalanya pada kaca mobilnya, ia melihat hujan yang mengalir deras, seakan tak ingin berhenti. Di saat itu juga ia teringat pada gadis  yang ia temui di pemakaman, masih terlelap disampinginya. Matanya menatap gadis itu lekat-lekat, tidak ada yang istimewa dari gadis itu. Ia hanya seorang gadis dengan pakaian yang basah kuyup karena hujan, rambut yang basah juga berantakan, kelopak mata yang sembab karena menangis, dan lengkuk tubuh yang standar. Tapi anehnya, apa yang membuat Awan menolongnya? Padahal ia tidak mengenal gadis itu. Bisa saja gadis itu adalah seorang penjahat yang menyamar menjadi gadis lugu. Tapi entahlah, hati Awan berkata untuk menolongnya, tanpa tau pasti apa penyebabnya.

Suara klakson dari belakang mobil Awan, berhasil membuncahkan lamunan Awan. Ternyata jalanan tidak lagi macet. Ia pun segara melajukan mobilnya tanpa arah tujuan.

Gadis disamping Awan menggerakkan badannya, kemudian diedarkan pandanganya. Ia merasa berada di tempat asing. Ya dia berada di dalam mobil Awan.

"Ini di daerah mana?" tanya gadis itu spontan, yang langsung membuat Awan menoleh.

"Ini di--" ujar Awan terpotong, untuk kesekian kalinya.

"Eh? Saya berhenti di pertigaan depan," ujar gadis itu, yang menyadari bahwa ia sangat mengenali tempat itu.

Tepat di pertigaan yang dimaksud gadis itu, mobil Awan menepi untuk berhenti. "Lo mau turun disini? Gue nggak liat ada rumah di sini. Rumah lo di mana?" tanya Awan penasaran.

"Sudah deket kok, jalan kaki juga sampai," ujar gadis itu  menggigil.

"Kalau udah deket kenapa nggak sekalian gue anterin aja?" Sebelumnya Awan tidak pernah se-penasaran ini. Mungkin hari ini perlu diperingati, karena ia sudah menolong gadis yang tidak dikenal bahkan ia juga sangat penasaran dengan gadis itu.

Gadis itu menggelengkan kepalanya setelah pertanyaan  terlontar dari mulut Awan. Tapi sayangnya Awan lebih suka mengikuti keinginan dirinya dari pada orang lain, atau lebih tepatnya egois.

Mobil Awan menyusuri jalanan sepi, hingga suara gadis membuatnya memberhentikan laju mobilnya di depan rumah bercat cream. "Berhenti! Saya turun di sini." Sebelum gadis itu turun dari mobil Awan. Ia menatap Awan lekat-lekat

"Kenapa?" tanya Awan karena terus ditatap oleh gadis itu.

"Umm ... makasih dan ma'af sudah merepotkan anda," ujar gadis itu

"Hmmm ...," guman Awan,

Gadis itu kemudian  membuka pintu mobil Awan dan berniat menutupnya kembali, tetapi sebelum ia menutup pintu mobil Awan, ia kembali berujar, "sekali lagi makasih dan maaf sudah merepotkanmu." Setelah mengucapkan kata tersebut, gadis itu langsung menutup pintu mobil dan segera berjan memasuki perkarangan rumah berwarna cream itu.

Sepeninggalan gadis itu Awan pun hanya diam menatap punggung gadis itu. Sebelum gadis itu masuk ke rumah bercat cream itu, Awan lebih dahulu berteriak "Awan. Awan Dirgantara!"