webnovel

Tirai Penghalang

Ini hanya cerita sederhana seorang pemuda dalam mencari hal untuk penopang hidupnya. Seperti kebanyakan orang muda lainnya. Mencari pekerjaan, menjalin persahabatan, pencarian jati diri, dan… cinta. Drama keseharian anak manusia yang sudah biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cerita tentang kehidupan berkeluarga, meski bukan dengan orang tua kandung. Cerita tentang hubungan baik antar kakak dan adik sepupu. Tentang keakraban antar satu dan lain sahabat, meski berbeda warna, rasa, dan asal. Tentang keagungan cinta yang datang tiba-tiba, tidak pernah diharapkan, menghampiri begitu saja dalam kondisi yang tak biasa. Lantas… Bagaimana bila cinta itu ternyata indah? Bagaimana bila ternyata ia begitu tinggi? Dan bagaimana bila ternyata ia begitu berbeda dari diri? Lets find out.

Ando_Ajo · สมจริง
Not enough ratings
223 Chs

Jangan Lengah

"Nama lu, siapa?"

"Jodi, Bang," jawab pelajar tersebut.

"Mending lu periksa tuh motor," saran Rezqi, kemudian ia berjongkok menghadap siswi SD di sampingnya. "Rumah kamu di mana, Sayang?" tanyanya dengan senyuman, usahanya untuk bisa menghapus trauma anak tersebut.

"Di belakang kafe itu, Kak," siswi SD menunjuk ke arah kafe di sebelah kanan mereka. Lebih tepatnya, ke arah sebuah gang kecil yang berada persis di kanan kafe itu sendiri.

"Masih jauh?" tanya Rezqi masih dengan senyuman.

Anak itu mengangguk. "Masuk lagi ke dalamnya, Kak."

"Ouh…" Rezqi mengangguk-angguk.

"Motornya baik-baik aja, Bang," sahut Jodi kemudian.

Rezqi kembali berdiri, memandang pada Jodi yang sedang mencoba menegakkan dan memeriksa motornya.

"Yakin lu?"

"Iya, Bang. Yakin," Jodi sedikit tersenyum. "Yaa, paling lecet-lecet doang, Bang. Sama lampu sen kanan pecah. Tapi—" ia memandang pada Rezqi dan beralih pada si bocah SD, kembali ia tersenyum, "—yang penting, Abang ma Adeknya baik-baik aja," ujarnya setengah bersyukur. "Abang mau ke mana? Biar saya antar, Bang."

"Gue mah gak usah," Rezqi memandang pada si bocah SD. "Adek ini, nih," balik lagi memandang pada Jodi. "Lu mau nganterin?"

"Boleh, Bang," jawab Jodi dengan cepat.

Paling tidak, si pelajar SMA berharap bisa menebus kesalahannya dengan hal kecil semacam ini. Jodi memutar motor, dan menyalakan mesin motornya.

"Ayok Bang, naik. Adeknya juga, ayok."

***

"Itu, Kak," tunjuk si bocah Sekolah Dasar. "Rumah aku yang itu."

Lebih tepatnya, si bocah SD yang duduk membonceng di depan Jodi, menunjuk pada sosok seorang wanita sepantaran tiga puluh lima tahunan. Wanita itu sedang menyapu teras rumahnya. Jodi langsung saja mengarahkan motornya ke sana.

"Mama…!" teriak si bocah SD.

Wanita itu sedikit terperangah mendapati sang anak tengah dibonceng seorang pelajar SMA yang tidak ia kenal. Di belakang pelajar SMA itu ada lagi seorang laki-laki yang membonceng.

Kening si wanita semakin mengerut kala mendapati jika motor yang bergerak perlahan ke arah dirinya itu dalam keadaan remuk di bagian depannya. Ia juga dapat melihat luka lecet yang cukup lebar di siku si pelajar SMA tersebut. Berair, dan itu terlihat sangat tidak baik. Ia saja sampai merinding melihat luka memerah seperti itu.

"Adek?!" seru sang ibu, lantas bergegas mendekati sang anak, membantu sang anak untuk turun dari atas motor dengan menggendongnya.

Curiga akan sesuatu, sang ibu segera saja menurunkan sang anak dari pangkuannya, ia berjongkok, memeriksa tubuh si bocah SD. Sesaat kemudian ia bisa bernapas sedikit lega, sebab tidak menemukan luka atau hal apa pun yang mencurigakan di tubuh sang anak.

"A—apa yang terjadi?" tanya sang ibu pada Jodi.

Saat itu, Rezqi pun turun dari atas motor. Jodi ingin turun saja dari atas motornya, tapi dengan isyarat tangan, Rezqi menahan bahu si pelajar SMA, isyarat untuk tetap di atas motor saja.

"Siang, Mbak," sapa Rezqi.

Jodi pun menyapa wanita tersebut dengan senyuman dan anggukan kepala.

"Siang," jawab wanita tersebut.

Dan jelas sekali, wajah wanita itu menunjukkan kekhawatiran tersendiri. Sebab, tentu saja kedua sosok orang yang baru saja mengantarkan anaknya tersebut sangat asing di matanya.

"Ada apa ya, Mas?" tanya wanita itu lagi.

Sementara, sang anak berdiri di sampingnya, memeluk pinggang sang ibu, seolah ada bayang ketakutan tak biasa dari sikap si bocah SD tersebut.

"Kok, anak saya dianter sama Mas berdua ini?" tanya sang ibu lagi. "Apa yang terjadi?"

"Ouh, gini, Mbak," ujar Rezqi sembari mencoba untuk hadirkan senyum, agar wanita tersebut tidak lebih jauh lagi mencurigai dirinya dan Jodi. "Tadi, saya ketemu anaknya Mbak ini," Rezqi menunjuk pada si bocah SD. "Di pinggir jalan. Katanya mau nyebrang. Ya udah, saya bantuin untuk nyebrang. Maklum saja, kendaraan siang-siang gini kan banyak banget di jalanan. Saya kasihan, gitu."

Dan kemudian, Rezqi menceritakan semua hal yang tadi telah terjadi di jalan raya tersebut. Bagaimana ia membantu si bocah SD itu menyebrang, lalu datang motor yang dikendarai Jodi dengan kecepatan sedang, dan terjadilah tabrakan tersebut.

Sampai di sini, wanita itu kembali terperangah dan mengucap istighfar berulang kali, lantas dengan segera memeriksa lagi tubuh sang anak. Seperti tadi, wanita itu tidak menemukan luka apa pun di sekujur badan sang anak.

Rezqi dan Jodi meyakinkan si wanita bahwa anak perempuannya itu tidak mengalami apa-apa, sebab Rezqi dengan sigap menyelamatkan si anak tersebut.

Dan sang anak pun ikut bercerita, meyakinkan sang ibu jika dirinya baik-baik saja. Bocah SD itu juga memastikan pada sang ibu jika Rezqi bukanlah jenis orang yang patut dicurigai, bahwa Rezqi adalah laki-laki baik yang sudah mau membantu dirinya untuk menyebrang, dan menyelamatkan dirinya juga saat akan terjadinya kecelakaan itu.

Begitu juga kepada Jodi, meski pelajar yang lebih senior dari dirinya itu hampir menabrak dirinya, tapi si bocah SD yakin jika Jodi juga adalah orang baik. Bagi si gadis cilik, dengan Jodi mengantarkan ia naik motor ke rumahnya, itu saja sudah satu kebaikan di mata anak kecil tersebut.

"Jadi begitu, Mbak," ujar Rezqi kemudian, mengakhiri ceritanya.

"Terima kasih," ujar wanita itu sambil memeluk anaknya. "Alhamdulillah, Adek gak kenapa-kenapa," lanjutnya seraya mengelus-elus punggung sang anak.

"Sama-sama, Mbak," Rezqi melangkah, kembali menaiki sepeda motor. "Yuk, Jod."

Jodi mengangguk dan menyalakan mesin motornya. Rezqi kembali memandang pada siswi SD dalam dekapan sang ibu.

"Maaf ya, Dedek," ujar Jodi pada si gadis kecil. "Kakak udah bikin Dedek ketakutan."

"Gak apa-apa, Kak," balas si gadis kecil.

"Erm, kalau bisa," ujar Rezqi yang ditujukan kepada ibu dari anak tersebut. "Jangan dibiarkan sendiri, Mbak. Kasihan. Belakangan banyak kasus penculikan."

Tidak ada suara yang keluar menanggapi ucapan Rezqi dari wanita itu, hanya anggukan kepala dan senyum kecut. Ia jelas menyadari kesalahannya. Lewat cerita dari Rezqi, Jodi, juga dari anaknya sendiri, tentang apa yang baru saja terjadi.

"Kami permisi," angguk Rezqi berpamitan. "Dadah Dedek," ujarnya melambaikan tangan kanan pada si bocah SD.

"Dadah, Kak," si bocah SD balas melambaikan tangan.

"Mari, Bu," seru Jodi pula.

"Mari, mari…"

Dan sesaat kemudian motor melaju ke ujung gang di depan sana, meninggalkan wanita tersebut dengan anaknya yang masih mengawasi mereka berdua hingga menghilang dari pandangan.

***

"Gak apa-apa nih Bang, di sini aja?"

Niat hati, Jodi ingin mengantarkan sampai ke rumahnya Rezqi, sebagai penebus kesalahan.

"Apa gak sebaiknya saya antar Abang sampai rumah aja, Bang?"

Rezqi menggeleng, menolak tawaran Jodi. "Gak usah, rumah gue jauh."

"Nah, justru itu, Bang—"