Cangkir kopi yang hanya tersisa ampas pekat nan hitam itu hanya ku tatap dan amati. Entah untuk alasan apa aku menatapnya dengan tajam dan dingin. Aku tak butuh jawaban dari sisa ampas itu. Aku bahkan tak memberikan dialog apapun kepada dirinya yang tak berharga itu.
Pikiranku sedang tak berada di porosnya. Ia berkeliaran, berlari, terbang ke sana ke mari, mencari benang yang tak berujung. Benang-benang yang tak ingin pula ku sulam menjadi satu benda yang penuh daya dan guna.
'Kacau! Ada apa dengan Romoku? Semudah itu memutuskan masa depanku, bahkan tanpa persetujuanku sedikit pun.'
Begitulah kira-kira dialog di pikiranku dengan diriku sendiri saat ini. Sambil terus ku tatap gelas berisi ampas yang sama sekali tak berpengaruh meski mata sinisku memghujamnya. Gelas itu sekali-kali ku goyangkan tanpa tujuan dan maksud apapun. Hanya berusaha menyibukkan diri agar tak terlihat terlalu kosong karena lama menatapnya.
"Nuwun Sewu, Den Bagus," Ucap Tomo memecahkan lamunanku.
Widiotomo, atau selalu ku panggil Tomo, adalah sosok muda sebayaku, sahabatku, gagah, berkulit sawo matang, cerdas, tegas, dan teliti, yang bertugas sebagai ADC (Aide De Camp). Aide De Camp adalah sebutan untuk ajudan seorang Bupati. Pertanyaannya adalah mengapa Tomo justru bersamaku? Apakah aku seorang Bupati?
Jawabannya tentu saja bukan. Aku bahkan tak pernah mengharapkan diriku menjadi seorang Bupati. Lalu, mengapa Tomo justru sengaja atau tidak sengaja, mau atau tidak mau, malah menjadi ajudan pribadiku, yang selalu mengikuti ke mana langkah kakiku pergi?
Tentu saja ini perintah dari Sang Bupati sendiri, Kanjeng Raden Aryo (KRA) Sastro Wongsonegoro, yang juga tidak lain dan tidak bukan adalah Romoku. Orang yang paling membanggakan di Kota Purworejo, dihormati karena ketegasannya dalam memerintah, disegani karena kedermawanannya, dikagumi karena kejujurannya. Dan sebagai anak kandung satu-satunya, seharusnya aku jauh lebih bangga daripada mereka rakyatnya.
Entahlah, kepiawaiannya di bidang politik dan kepemerintahan nyatanya berbanding terbalik dengan kepiawaiannya sebagai orangtua. Andaipun aku nyatanya yang salah menilai, aku tak peduli. Bagiku, sosok Kanjeng Raden Aryo Sastro tak benar-benar mengenalku, anaknya sendiri.
"Kamu ini lho, Tomo. Sudah saya ucap berapa kali untuk ndak manggil saya dengan sebutan Raden Bagus jika ndak ada Romo," ucapku menggerutu, berniat protes dengan sikapnya yang terlalu formal di hadapanku, sahabatnya sendiri.
Tomo menundukkan kepalanya sambil tersenyum sabar menghadapiku yang keras kepala.
"Saya hanya menjalankan tugas, Den Bagus," jawabnya sopan.
"Tomo, sekali lagi saya dengar kata-kata itu, percayalah, besok saya minta Romo untuk mengganti posisimu dengan orang lain,"
Dan ancamanku itu tidaklah sungguh-sungguh. Aku yakin Tomo sudah hafal sikapku yang tak mungkin tega membuat dirinya ada dalam kesulitan.
Hah...
Aku menghela nafas dan menggelengkan kepalaku entah untuk alasan apa. Kepalaku masih terasa penuh dan seperti akan meledakkan isinya keluar.
Sampai tiba-tiba, pandanganku mengarah ke satu sosok yang baru saja tiba di warung sederhana ini. Aku tak yakin sosok cantik yang ku lihat itu adalah manusia. Atau anggaplah aku mulai gila dan penuh khayal karena begitu banyak masalah yang sedang ku hadapi, tapi mataku benar-benar melihat sosok malaikat.
Tak ada satupun pribumi yang pernah ku temui memiliki kulit seputih gadis itu. Tak pernah juga ku melihat yang memiliki hidung selancip itu. Warna mata coklat muda, rambut coklat terang bergelombang yang diikat rapi ke belakang. Bibirnya merah muda dan tipis namun tetap sepadan dengan segala bentuk yang ada di wajahnya. Warna merah mudanya tak Ia dapatkan dari gincu. Semua yang ada di dirinya serba alami.
Kesempurnaan macam apa ini? Tak ada pribumi yang seindah malaikat seperti dirinya. Bahkan pribumi paling cantik pun tetap tak menyerupai cantik dirinya. Ia berbeda. Kecantikannya sudah menjadi pemenang di hatiku.
Gadis itu menyadari dirinya sedang diamati lekat-lekat oleh mataku. Ya, mata kurang ajar ini sudah seenaknya memandangi wajah indahnya itu. Seharusnya bisa saja tangan putih itu melayang ke arah wajahku untuk menghukum kekurangajaranku ini. Tapi tidak. Ia justru tersenyum ramah dan sedikit menunduk memberi hormat.
Seketika dadaku terasa panas terbakar. Jantungku benar-benar tak kuasa ku kendalikan. Detaknya tak beraturan dan terus tak beraturan. Ada rasa sesak, ada rasa gelisah. Gila! Aku rasa aku benar-benar sudah gila!
"Aaarrggh!" Seruku berusaha melepas pandanganku dari gadis berwajah malaikat itu.
"Den Bagus?! Ada apa?" Tanya Tomo seketika karena terkejut dengan ekspresiku yang begitu tiba-tiba.
Aku menggelengkan kepalaku menjawab kekhawatiran Tomo. Sedikit ku lirik mataku ke arah gadis itu, hanya untuk mengetahui apakah dirinya terkejut dengan sikapku yang aneh barusan.
Matanya menatapku, tapi pandangannya bukanlah pandangan mata yang terkejut. Pandangannya justru menyiratkan kekhawatiran akan diriku.
Ada apa ini? Baru sekian detik aku melihat sosoknya, tapi gejolak ini seperti sudah lama terpendam dan memaksa ingin keluar. Rasa sayang, rasa kagum, rasa cinta, bahkan rasa ingin memiliki dirinya. Gila kamu Girindra! Ucapku mengutuk diriku sendiri. Sihir apa yang gadis itu gunakan sampai aku benar-benar merasakan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya dengan gadis lain.
Bahkan aku sudah serasa mengenalnya jauh sebelum ini. Ya, jauh sebelum ini. Apakah dia merasakan hal yang sama denganku? Atau memang benar aku yang sudah gila karena banyaknya masalah berkecamuk dalam pikiranku?
Dan andai benar aku memang gila, lalu kenapa harus gadis itu penyebabnya?
************************************
"Den Bagus, apa yang bisa saya lakukan untuk Den Bagus?" Tanya Tomo, masih dengan sikap sopannya yang menyebalkan, dan masih dengan ekspresi terkejut akan sikapku yang tiba-tiba tadi.
"Jangan panggil saya dengan gelar apapun, Tomo," ucapku sambil menutup wajah dengan satu telapak tanganku.
Tomo diam. Tak ada satu katapun yang Ia ucap untuk menjawabku. Tak pula tubuhnya bergerak menjauh dari sisiku. Seolah-olah aku adalah anak kecil yang harus selalu dijaga.
"Prostite (permisi)."
Tiba-tiba ku dengar suara lembut nan sopan yang begitu dekat jaraknya dengan diriku, dan aku yakin suara dan kata-kata asing itu bukanlah milik seorang pribumi. Gadis itu. Ya, pasti gadis yang sudah ku cintai sejak detik pertama aku melihatnya tadi.
Menyadari itu adalah suaranya, aku segera menegakkan kepalaku yang tertunduk dan menoleh ke arahnya. Jaraknya dengan jarakku tak lebih dari dua meter. Ia berdiri, meletakkan kedua tangannya yang putih ke atas dadanya. Matanya begitu khawatir menatap ke arahku.
"Ya?" Aku menjawab dengan nada tanya seadanya, berusaha untuk menutupi rasa hangat yang mengalir di setiap pembuluh darahku. Sungguh, aku benar-benar berusaha menutupi perasaan yang sangat berlebih ini di hadapannya.
"Ty v poryadke, Ser? Apakah kamu baik-baik saja, Tuan?" Tanya gadis itu mengkhawatirkan keadaanku.
Aku belum sempat menjawab. Hanya terdiam tak berkedip menatap keindahan dan keajaiban yang datang beruntun hari ini. Kesempatan untuk bisa begitu dekat menatap wajah gadis itu seketika mengubah rasa kesalku akan masalah-masalah yang menghimpitku, menjadi rasa syukur kepada Tuhan dan semesta.
"Ya vinovat? Apakah aku melakukan kesalahan?" Gadis itu bertanya lagi menggunakan bahasa asing -yang segera ku ketahui bahwa itu adalah bahasa Slavonic Russia- untuk mendapat jawaban dariku.
Kali ini aku tersenyum mendengar kepolosannya. Bagaimana mungkin dirinya melakukan kesalahan, sedangkan kami tak pernah saling mengenal sebelumnya.
"Hahaha, ndak seperti itu, Devushka (Nona)," jawabku segera menanggapi kekhawatiran dirinya. "Bagaimana mungkin anda melakukan kesalahan pada saya padahal kita belum saling mengenal?"
Ku tatap wajahnya lekat-lekat, menanti ekspresi dari raut wajahnya yang khawatir berubah sedikit lebih tenang. Tapi sayangnya, perubahan itu tak muncul sama sekali. Kali ini aku lah yang mulai mengkhawatirkan dirinya. Apakah ada ucapanku yang salah, hingga gadis di hadapannya ini masih belum bisa melepas raut khawatir itu?
"Ada apa, Devushka?" Kali ini aku yang bertanya kepada gadis itu.
"Aku khawatir aku telah melakukan kesalahan," ucapnya lirih. "Wajah tuan berubah setelah melihat saya."
Tomo yang mendengar jawaban gadis itu seketika menutup mulutnya dengan satu telapak tangannya dan berusaha keras menahan tawa. Aku sangat mengerti alasan Tomo menahan tawa saat itu. Hah, tentu saja karena menurutnya kejadian ini lucu. Dan tentu saja dirinya mulai paham mengapa wajahku seketika berubah melihat gadis itu. Ya, aku mengagumi kecantikan gadis itu. Aku jatuh hati pada pandangan pertama. Atau mungkin jatuh hati dari sebelum aku bertemu dengannya.
"Bukan, bukan karena anda, Devushka..." Kataku segera untuk memberikan alasan. "Saya tiba-tiba teringat sesuatu tadi. Maaf jika saya membuat anda salah paham."
Tomo masih tetap berusaha menahan tawanya. Setelah keluar dari warung ini, akan ku balas ledekannya. 'Awas Kau Tomo', ucapku dalam hati.
"Sepertinya Anda bukan penduduk asli Surakarta, Devushka........ng... voz...?" Kataku berusaha mencairkan suasana dan sengaja tidak menuntaskan kata panggilan di akhir kalimatku, karena aku ingin sekali menyebut namanya namun aku belum ada kesempatan untuk mengetahuinya. Aku harus melontarkan kata tanya 'siapa' di akhir ucapanku. Cara halusku untuk dapat tau siapa nama gadis yang sedang menjadi lawan bicaraku ini.
Tomo tersenyum meledek di sampingku sambil menggelengkan kepalanya yang tertunduk.
"Ah, Tatiana," ucapnya. "Menya zovut Tatiana Alexeyevna Yusupov. Namaku Tatiana Alexeyevna Yusupov."
Tatiana. Namanya Tatiana. Nama yang indah, seperti nama seorang dewi, serupa dengan wajahnya yang melukiskan gambaran entitas penghuni istana di surga.
Tatiana. Nama asing yang akan menjadi nama pertama yang ku ukir di dalam sini, dadaku, hatiku.
Tatiana...
Gadis pertama yang membuatku merasakan rasa yang belum pernah ku dapatkan dari gadis manapun selama 25 tahun hidupku.
Dia, Tatiana.