webnovel

11-11-1920 | Memori

Langit...

Biru...

Jauh...

Tinggi...

Tak tergapai...

Kata-kata yang terlintas di pikiranku saat itu. Ketika mataku menatap ke gumpalan-gumpalan putih berwarna dasar biru di atas sana. Lamunanku melayang bebas tanpa batas, menemani perjalanan sepiku di dalam gerbong baja yang berlari menderu karena bara yang menyala. Gerbong baja yang begitu kuat membawaku melintasi hamparan ladang-ladang di sepanjang jalan Yogyakarta - Surakarta.

Sepanjang jalan penuh angan dan kenangan. Tentang dirinya yang sudah tak lagi ada di genggaman. Ya, seperti langit di atas sana. Sosok yang ku kenang itu terlalu jauh dan tinggi untuk ku gapai. Tak sanggup kaki ini melompat mebawa seluruh berat tubuh dan beratnya rasa penyesalan. Tak jua ku miliki sayap-sayap putih yang membentang agar mampu mengangkatku ke tempat dia berada.

Tatiana.

Sebuah nama cantik nan anggun untuk seorang gadis yang serupa penggambaran wajah dan sikapnya. Cantik dan anggun. Tatiana, nama yang tak biasa terdengar di sekeliling nama-nama asli pribumi. Bahkan bentuk wajahnya, warna matanya, warna kulitnya, hingga warna rambut panjangnya pun tak mungkin disamakan dengan pribumi. Gadis asing keturunan Rusia, bisa-bisanya terdampar begitu mempesona di tanah ini. Entah untuk apa dan untuk siapa bidadari ini dikirim ke tanah penuh gejolak namun terbungkus rapi oleh adat. Entah untuk membahagiakan jiwa yang mana, Tatiana hadir di negeri ini.

Begitulah aku menggambarkan sosoknya. Sosok yang ku puja, bahkan sejak pertama kali aku melihatnya di sebuah warung sederhana. Anggaplah aku gila. Tapi begitulah istimewanya seorang Tatiana. Tatiana, gadis cantik bermata kelabu, berkulit putih pucat, dan berambut panjang bergelombang. Rambut coklatnya begitu lembut jatuh terurai, menambah keindahan yang sudah Ia miliki dari wajahnya. Sekali itu rambutnya terurai. Dan sekali itu pula aku merasa beruntung dapat menyaksikannya dan menyentuh tiap helainya.

Tatiana.

Entah sihir apa yang Ia gunakan, aku tak peduli. Aku mengaguminya, bahkan sejak pertama kali mata kami beradu pandang di warung sederhana itu. Sosok anggun namun berkarakter. Sosok feminin namun tiada ragu dalam gerak gerik tubuhnya. Bahkan andaipun benar Tatiana menggunakan sihir, aku akan dengan senang hati menerima diriku tersihir olehnya.

Saat pertama kali Ia dengan sopannya merendahkan sedikit tubuhnya untuk memberikan salam sapa padaku yang bukan siapa-siapa, aku jatuh hati padanya, bahkan aku tau rasa itu sudah ada begitu lama, jauh dari sebelum aku mengenalnya. Entahlah ini apa. Aku hanya merasa, akhirnya aku menemukannya, menemukan sosok yang selama ini ku harapkan ada.

"Prostite (permisi)..." Kata pertama yang Ia ucap padaku satu tahun lalu, saat pertama kali dirinya mendatangi warung itu.

Bahkan suara lembutnya masih selalu terngiang di telingaku. Suara yang begitu menenangkan seolah Ia keluar untuk mendamaikan suasana hatiku yang caruk maruk kala itu.

Tak hanya suara yang begitu membius. Tawa kecil yang Ia ekspresikan saat menerima leluconku begitu renyah menggema di angan-anganku.

"Mas gila ya?" Begitu biasanya Ia mengomentari leluconku sambil tertawa, yang menurutku tak lucu, tapi bisa membuatnya bahagia. Kata-kata 'Mas' yang Ia ucap saat memanggilku terdengar begitu manja meskipun aku tau dirinya tak sedang bermanja-manja menarik perhatianku seperti yang banyak gadis-gadis lain lakukan. Aku masih ingat sekali bagaimana jantungku berdetak berlari tak karuan saat Tatiana memanggilku 'Mas' untuk pertama kalinya. Sebuah panggilan yang terasa biasa jika orang lain yang menggunakannya, namun begitu istimewa ketika sosok yang memanggilku adalah Tatiana.

Tatiana.

Atau aku selalu memanggilnya Tatya, nama kecil yang ku berikan untuk gadis pucat yang elegan dengan dress terusannya. Hampir gila aku dibuatnya. Satu bulan ini menjadi satu bulan terberat dalam hidupku. Begitu sulit aku membuang sosok Tatiana dalam memori otakku. Begitu sulit aku melepas penderitaan ini. Bahkan aku lebih senang Tuhan mengambil nyawaku detik ini agar tak ada lagi penderitaan karena mengingat Tatiana dalam setiap hela nafasku.

Satu bulan setelah kepergiannya adalah satu bulan terburuk dalam hidup seorang anak bupati sepertiku. Satu bulan selepas kepergiannya adalah satu bulan penuh dengan penyesalan akan kebodohanku padanya, pada Tatya-ku.

Satu bulan ini, setengah dari jiwaku dirampas oleh takdir. Aku bahkan kini hanya bergerak atas dasar keinginan dan kehendak orang lain, bukan atas kehendak jiwaku sendiri. Aku telah mati meski Tuhan belum juga merobohkan tubuhku. Nafas yang ku hembus dan hirup ini adalah kehendak di luar diriku. Aku bahkan sadar aku tak lagi menghirup segarnya oksigen. Aku mati bersama memori tentang Tatiana.

Andai tak pernah ada Perang Dunia I, mungkin aku tak akan pernah memiliki kesempatan bertemu dengan si Gadis penuh pesona. Tapi, karena pergolakan global itu pula yang merampas kebahagiaanku dan kebahagiaannya. Kebahagiaan yang hanya ku teguk kurang dari satu tahun bersamanya. Kebahagiaan yang dihina-dina-kan oleh adat istiadat. Kebahagiaan dua jiwa yang dimabuk cinta, yang dikutuk oleh kerasnya hukum perbedaan.

Tatiana.

Sekali itu aku menyentuhnya. Sekali itu ku kecup bibirnya. Dan sekali itu aku tau bahwa diriku merengkuh surga yang tak tergambarkan keindahannya. Sekali itu aku melihat matanya yang indah berkaca-kaca. Sekali itu Tatiana berkata lirih, 'Kamu yang pertama Mas. Dan bagiku, kamu yang terakhir'.

Dan mungkin benar. Aku lah laki-laki pertama yang berani menyentuhnya, mencium bibirnya. Ikrarnya telah Ia tepati. Aku lah yang pertama baginya, dan aku pula yang terakhir baginya. Betapa sucinya dambaan hatiku. Dan aku merusaknya, mendorongnya masuk ke kubangan hitam bersamaku, tapi aku tak cukup berani mengangkatnya kembali.

Aku hanya sosok pengecut yang dicintai oleh sosok suci yang rela melepas atribut-atribut keduniawiannya untukku. Aku hanya sosok pecundang yang tak punya mental baja untuk sekedar mengatakan aku mencintainya. Aku hanya pembual yang mengatasnamakan cinta, namun justru menjebaknya. Aku. Ya, aku yang mengacuhkannya dan membuangnya begitu saja hanya karena embel-embel martabat keluarga.

Dan aku pantas.

Aku pantas terbelenggu memori tentangnya, yang mungkin akan ku bawa selama-lamanya, hingga aku mati.

Andai ada satu kesempatan lagi.

Andai benar ada nanti.

Ingin ku ubah jalan cerita ini. Cerita yang menyisakan sebuah memori penuh belati.

Next chapter