"Kita mau berangkat jam berapa?" Tanya Adit ketika ia memeriksa jam di tangannya dan waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi, sudah terlambat satu jam dari rencana sebelumnya. Terlihat para anggota OSIS sudah bersiap untuk pergi, hanya tinggal menunggu Devian yang sedang pergi ke rumah Teesha untuk mengambil berbagai macam cemilan yang sebelumnya sudah Teesha beli.
Rey kembali memeriksa ponselnya. Sudah dua kali ia coba untuk menghubungi Teesha tapi tidak juga ada jawaban dari gadis karamel itu. Tadinya Rey akan menjemput Teesha, tetapi Devian menawarkan dirinya untuk menjemput nona muda itu sekaligus membawa cemilan yang telah dibeli oleh Rey dan Teesha kemarin.
Selang beberapa menit, Rey tersenyum senang ketika melihat mobil Devian yang sampai di tempat pertemuan mereka. Namun senyuman pria itu memudar ketika ia tidak menemukan si gadis karamel yang ia tunggu. Hanya ada tumpukan kantung plastik berisi cemilan lah yang terlihat di kursi penumpang mobil Devian.
"Guys, kita langsung berangkat? Udah terlalu siang nih!" Seru Devian mengalihkan perhatian seluruh anggota OSIS.
Daniel berjalan menghampiri Devian, "Teesha mana, Dev?" Pertanyaan yang sama yang ingin dilontarkan oleh Rey.
"Dia bilang dia gak ikut. Ada keperluan mendadak yang gak bisa ditinggalin."
"Si William? Tumben dia belum datang."
"Dia sakit." Devian melirik Rey dengan ekor matanya, memastikan ekspresi pria itu, "Udah yuk berangkat!"
Devian dan Sasa kembali masuk ke dalam mobil, begitupun yang lainnya. Mereka mulai masuk ke kendaraan masing-masing setelah sebelumnya membagi menjadi beberapa kelompok untuk berbagi kendaraan. Begitupun dengan Rey. Pria itu mulai melangkah menuju mobil Adit yang terletak paling ujung. Ia berjalan sambil memikirkan Teesha dan William yang tidak bisa datang secara bersamaan. Apa ini memang kebetulan, atau mereka malah pergi berduaan mengingat Teesha dan William yang sudah mulai berbaikan.
Rey mengendikan bahunya tidak peduli. Mungkin Teesha memang mempunyai urusan yang sangat penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Rey kembali berjalan menyusul teman-temannya.
Iya. Urusannya mengurus satu pasien yang sudah hampir sekarat, Rey.
.
.
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan pagi dan Teesha masih setia menemani William yang masih terkulai lemas di atas ranjang king size nya. Teman-temannya seperti Divinia dan Adrea menghubunginya beberapa kali untuk memastikan ketidak ikut sertaan Teesha pada acara kali ini. Sebenarnya Teesha ingin sekali ikut karena sudah lama juga ia tidak berkumpul dengan teman-teman OSISnya. Selain itu ia juga butuh refreshing ke tempat-tempat yang bertema alam seperti yang akan mereka datangi hari ini. Siapa tahu ia bisa merealisasikan mim— TUNGGU! Teesha menggelengkan kepalanya sedikit kencang ketika ia memikirkan hal yang aneh-aneh. Tidak. TIDAK! Ia tidak berharap mimpi tadi malam menjadi kenyataan.
Ah, masa? Kau yakin, Teesha?
CEKLEK
Teesha kembali ke kamar William sambil membawa baskom berisi air hangat. Ia baru saja kembali dari dapur mansion keluarga Jaya mengganti air untuk mengompres William karena air yang dibawakan pak Didi sebelumnya sudah dingin. Teesha sempat bertanya kepada pegawai kepercayaan keluarga Jaya itu, mengapa harus mengompres menggunakan air hangat bukan menggunakan air dingin? Bukankah air dingin bisa mempercepat turunnya suhu tubuh?
Memang saat kita demam biasanya hal pertama yang kita lakukan selain memberikan obat penurun panas adalah mengompres dahi agar demamnya turun. Namun, hal tersebut tidak akan berhasil jika cara yang dilakukan salah. Jika kita mengompres seseorang yang sedang demam menggunakan air dingin, itu malah bisa meningkatkan suhu tubuh kita yang akhirnya malah akan semakin demam. Pak Didi juga mengatakan untuk tidak memakaikan selimut pada tuan mudanya jika anak bungsu keluarga Jaya itu terlihat menggigil. Karena memakai selimut yang cukup tebal saat demam bisa menyebabkan suhu semakin meningkat.
Oke, kali ini kita mendapatkan ilmu yang berharga dari Pak Didi.
Gadis itu berjalan mendekat ke arah William dengan hati-hati. Dilihatnya William masih tertidur dengan pakaian yang ia pakai saat menjemput Teesha tadi pagi. Kaos putih polos dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru gelap dengan aksen hitam dan celana jeans masih membalut tubuhnya. Mata pria angkuh itu masih terpejam, wajah pucatnya kini memerah karena suhu tubuh William masih belum juga turun setelah sebelumnya sudah diberikan obat penurun panas oleh pak Didi. Teesha juga mendengar deru nafas William yang tidak teratur dan terdengar lebih berat dari biasanya.
Teesha kembali meletakan handuk kompres di kening William dan kembali merasakan panas saat tangan gadis itu menyentuh sisi wajah William. Lihat, pria keras kepala itu kini kalah oleh demam. Jika Teesha tidak punya hati, ingin rasanya ia melampiaskan kekesalannya mumpung William tidak berdaya seperti ini.
Jemari kecil itu bergerak perlahan di wajah tampan ciptaan Tuhan itu, menelusuri kelopak matanya yang masih tertutup, hidung nya yang mancung, dan berakhir di bibir William. Teesha memandanginya sejenak. Bibir ini, bibir yang selalu mengeluarkan perintah seenaknya, yang selalu mengeluarkan kata-kata sarkastik, yang kali ini terlihat dua kali lebih menggo— ARRRGGHHHH!
Teesha menjambak rambutnya frustasi. Kenapa ia terus memikirkan hal-hal yang tidak masuk disaat seperti ini?!
Teesha kembali berusaha keluar dari dunia khayalnya. Ia memandang lemah ke arah William yang biasanya terlihat menyebalkan. Lihat, ternyata raja iblis ini bisa juga menjadi tidak berdaya seperti ini. Perasaan gadis itu campur aduk dengan kekhawatiran yang lebih mendominasi. Apa tidak sebaiknya William dibawa ke rumah sakit saja untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif? Sudah beberapa jam berlalu dan demamnya tidak juga turun.
Tanpa Teesha sadari, satu tangannya kini sudah mendarat di kepala William, "Cepet sembuh, Wil." Ia mengelus pucuk kepala William pelan.
"Myria..." Panggilan William membuat Teesha tersadar dan segera menarik tangannya. Mata pria itu masih terpejam.
"Iya, kenapa Wil?" Teesha berusaha menormalkan suaranya agar tidak terdengar gugup.
William berdeham, "Tolong air minum." Suara pria itu masih terdengar serak.
"Oke. Sebentar." Teesha beranjak dari tempat duduknya dan memutar menuju sisi sebrang tempat tidur William, tempat dimana ia menyimpan segelas air putih yang ia letakan di atas meja samping tempat tidur.
Gadis itu menuntun William. Sang pria sempat meringis sambil memegang kepalanya ketika ia merasakan sakit saat mencoba bangkit dari posisi tidurnya. Dengan cepat, William meminum air di dalam gelas yang diberikan Teesha hingga tandas.
"Ada yang sakit, Wil?" Tanya Teesha pelan, semakin khawatir melihat keadaan William.
William menggeleng, "Nggak." Sahutnya pelan. Jelas saja itu adalah salah satu kebohongan yang sangat mudah untuk di deteksi. Siapapun yang melihat hal itu pasti tahu jika kau sedang menahan sakit, William.
Teesha membantu William untuk kembali berbaring. Pria itu menghela nafas panjang dan kembali menutup matanya.
TOK! TOK! TOK!
Setelah ketukan ketiga, pintu kamar William terbuka dan menampilkan sosok pak Didi yang kini sudah terlihat lebih rapi dengan seragam pelayan nya. Pak Didi datang bersama dua orang maid yang membawa nampan berisi beberapa potong roti isi dan susu untuk Teesha dan juga semangkuk sup ayam untuk William.
"Gimana keadaannya sekarang?" Tanya pak Didi setelah menginstruksikan dua orang maid tadi untuk menyimpan sarapan yang mereka bawa di meja dekat sofa yang terletak di ujung ruangan.
"Kayaknya lebih baik kita bawa ke rumah sakit aja, Pak." Usul Teesha, "Suhu badannya—"
"Ngga." Baik Pak Didi maupun Teesha mengalihkan perhatian mereka kepada William, "Gak usah ke rumah sakit. Aku cuma butuh istirahat aja. Besok juga udah sembuh." Kini pria itu menutup matanya dengan satu lengannya.
Teesha berdecak sebal, "Tapi kamu butuh pemeriksaan dokter, Wil. Demamnya masih bel--"
"Myria." Suara William masih terdengar serak, "Aku baik-baik aja." Pria itu berusaha mengatur nafasnya yang mulai tak beraturan.
"Tapi Wil—"
"Oke. Kalau besok aku masih demam—" William menghela nafas, pria itu berusaha mengatur nafasnya yang mulai tak beraturan, "Kalau besok aku masih demam, besok pak Didi antar aku ke rumah sakit."
Teesha dan pak Didi saling melempar pandang. Pria paruh baya yang sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun sebagai pekerja rumah tangga di kediaman Jaya itu tersenyum ramah ke arah Teesha yang kini sedang menghela nafas lega.
"Pak Didi, tolong matikan lampu utamanya." Pinta William.
Pak Didi mengangguk dan segera mematikan lampu utama di kamar William. Kini, suasana kamar yang di dominasi warna abu-abu itu terlihat lebih redup, lebih dingin karena hanya cahaya matahari dari jendela balkon yang masuk ke dalam kamar William.
Teesha kembali menghampiri William, gadis itu kembali duduk di sisi ranjang sebelah William.
"Jangan ungkit lagi masalah rumah sakit."
"Gimana aku gak ungkit terus. Kamu udah kayak orang sekarat tahu gak?"
William menghela nafas, "Myria, aku lagi gak punya energi buat berdebat."
Teesha memutar matanya malas, "Ya makanya jangan keras kepala. Kamu gak ada energi buat berdebat tapi masih aja keras kepala."
.
.
To be continued