***
Balges Ivan mengernyitkan dahi melihat hari ini banyak bangsawan yang berkumpul di sekitar istana.
Hal itu pasti terjadi karena para bangsawan pemburu gosip penasaran dengan apa yang akan terjadi di antara Yang Mulia Raja dan putri mahkota nanti.
Sepanjang koridor menuju arena latihan, dia memasang telinga untuk mendengar apa yang dibicarakan oleh para bangsawan, sekiranya akan ada yang berguna untuk Gasendra.
"Huh? Dia dipanggil secara pribadi?"
"Kukira akan dipanggil ke ruang sidang, makanya aku datang pagi-pagi begini."
"Yah, memang apa masalahnya panggilan secara pribadi atau ruang sidang? Gosip tetap bisa disebarkan di mana pun."
"Sepertinya Yang Mulia Raja memanggilnya ke ruang sidang karena ingin menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Bukankah memalukan jika tersebar kondisi istana ternyata lebih buruk daripada perkiraan?"
"Ya, kurasa juga begitu. Yang Mulia tidak ingin hal ini tersebar ke khalayak ramai, bukan?"
"Entahlah... aku hanya peduli dengan gosip. Aku akan menyebarkannya ke teman-teman yang lain."
"Astaga, Nyonya... sebaiknya anda berhati-hati karena kita tidak tahu kapan kepala kita akan terlepas dari tubuh."
Balges menghela napas pelan karena hanya mendengar obrolan sampah para bangsawan, bukan info yang penting untuk dilaporkan pada Gasendra.
'Menjijikan,' umpatnya.
Arunika sudah sadar sejak beberapa hari lalu dan mereka juga tahu tujuan raja memanggil putri mahkota secara pribadi. Namun, mereka masih saja mencari kabar baru untuk digosipkan.
'Sialan! Istana ini jadi kacau balau!' kesal Balges dalam hati. Dia memutuskan untuk mempercepat langkah menuju arena latihan.
Sesampainya di arena latihan, Balges langsung mengambil pedang yang disusun rapih di balok-balok kayu.
"Tuan Ivan?"
Balges menoleh dan menemukan pria yang telah berada di sana lebih dahulu daripadanya.
"Ro... anda sedang latihan juga?" Balges menghampiri.
Ro tertawa kecil. "Justru saya yang seharusnya bertanya hal itu pada anda. Saya kira anda akan berada di antara para bangsawan."
"Saya tidak semurah itu. Mereka hanya membicarakan sampah saja. Saya benar-benar tak menyukainya," ujar Balges sambil berdecak. "Anda juga... kenapa tidak berjejer di sana?"
"Saya bukan bagian dari sampah itu." Ro tersenyum, dia mengangkat pedangnya. "Mau bertarung bersama?"
Balges menyeringai kecil. Dia mengangkat pedang dan menyiapkan kuda-kuda.
"Tentu!"
***
Agni dan para dayang tiba di Istana Gading. Sepanjang perjalanan, dia hanya mendengar bisik-bisik para bangsawan yang semakin menyakitkan hatinya.
Bukan dia yang bersalah, tapi saudaranya!
Agni ingin berteriak seperti itu dengan lantang, tapi apa yang akan berubah jika dia mengatakan kebenarannya?
Mau dia mengatakannya atau tidak, Agni tetap menjadi tersangka atas percobaan pembunuhan bagi putri baru itu.
Dia menguatkan diri saat melihat para bangsawan lebih banyak berkumpul di depan ruang pribadi Jahankara.
'Sudah tersebar,' pikirnya.
Dia melewati jejeran para bangsawan dengan leher terangkat. Terserah mau dibilang tidak tahu malu atau apa. Dia tetap jadi yang tersangka.
"Lihat wajahnya yang seakan tak bersalah itu," bisik para bangsawan.
"Dasar tidak tahu malu."
"Menjijikan."
Agni berdiri di depan ruang pribadi Jahankara. Dia menutup mata sambil menelan saliva, kemudian mengetuk pintunya.
"Masuk!"
Agni membuka pintu dan masuk sendiri ke ruangan itu. Dia menemukan Jahankara duduk di tengah-tengah ruangan yang langsung berhadapan dengan pintu masuk.
Dia, Agni menundukkan kepala. "Salam untuk Yang Mulia Raja. Semoga anda selalu diberikan berkah dan kasih sayang oleh para dewa dan dewi."
"Duduk!"
Agni mengangguk pelan, kemudian duduk berhadapan dengan ayah mertuanya.
"Bagaimana kabarmu?"
"Saya baik-baik saja, Ayah. Anda sendiri bagaimana?"
"Kesehatanku cukup baik. Hanya saja akhir-akhir ini aku lebih banyak begadang daripada biasanya."
"Anda harus istirahat setelah ini." Agni tersenyum sangat tipis. Tanpa disadari, dia memainkan kuku untuk mengurangi rasa tertekan dari Jahankara.
"Aku ingin melakukannya, tapi mungkin tidak bisa." Jahankara menuangkan teh ke cangkir, lalu mendorong cangkir itu pada Agni. "Minumlah."
Agni melirik cangkir tersebut, kemudian mengangkat dan meminumnya.
"Kau meminumnya tanpa menurunkan kewaspadaan," ujar Jahankara sambil bersandar di kursi.
Agni menahan napas. Maniknya sedikit bergetar mendengar hal itu. "Untuk apa saya waspada? Anda keluarga saya sendiri."
"Ya, pasti begitu... pantas saja," gumam Jahankara membuat wajah Agni semakin memucat karena tekanan yang terlalu hebat.
"Aku sudah mendapat laporannya dari dewan investigasi," ungkap Jahankara tak mengalihkan tatapan darinya.
"Ya, Ayah. Saya juga sudah mendengarnya."
"Kau tidak merasa bersalah?"
"...." Agni terdiam menatap Jahankara. "Karena saya tidak bersalah."
"Baiklah, aku menangkapnya."
'Apa yang ditangkap?' pikir Agni dengan waspada.
"Mata pedang sudah tertuju padamu, Agni. Dewan investigasi juga telah melaporkan hasil dan buktinya padaku."
Agni hanya terdiam mendengarnya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Benar-benar dia yang salah pada akhirnya.
"Kau tidak menentangnya?"
"...."
'Ini aneh... dia tidak terlihat menolak ataupun menerimanya,' batin Jahankara menatap ekspresi Agni. 'Tapi, gerak-geriknya terlihat khawatir.'
"Aku sangat kecewa, Agni...."
"Saya tahu, Ayah."
Jahankara menghela napas. "Dengan terpaksa aku harus memberikanmu hukuman. Tetaplah di kamar selama satu bulan tanpa bertemu siapapun. Tinggalkanlah tugasmu selama itu sebagai putri mahkota."
Agni mengeraskan rahang dengan tatapan nanar.
"Kau boleh kembali sekarang."
Jahankara meninggalkan kursinya dan keluar dari sana.
Ada sesuatu yang bergejolak di dalam tubuhnya, membuat Agni merasakan kegilaan dan hasrat yang tak wajar.
Dia segera keluar dari sana dan berusaha untuk menutup telinganya rapat-rapat.
***
'Sebelum kejadian itu, kudengar saudaranya datang ke istana.'
'Sekarang aku yakin kalau dialah pelakunya. Dia pasti menyuruh saudaranya untuk melakukan perbuatan tercela itu.'
'Betapa liciknya.'
'Dia tak sepenuhnya salah. Bukankah di sini ada kesalahan putra mahkota juga?'
'Kenapa tidak ada yang menyalahkan putri baru itu? Wajahnya memang cantik, tapi siapa tahu kalau dia mengompori putri mahkota hingga beliau berani melakukan hal itu?'
'Aku sudah menduganya. Lihat saja wajah putri mahkota. Bukankah dalam sekali lihat kita akan menganggapnya sebagai penjahat?'
'Uhh... wajah yang dingin dan terkesan jahat itu? Aku sedikit membencinya.'
'Bukan terkesan jahat lagi, tapi dia memang penjahat betulan.'
'Dia jelmaan iblis.'
Iblis... iblis... iblis...!
"Hah... hah...." Agni menoleh ke sekitar dengan napas memburu. Dia berada di atas ranjang dengan pakaian tidur.
'Sialan, mimpi itu lagi!' kesal Agni. Dia melihat sebuah lilin yang menyala tak jauh dari tempat tidurnya.
Sesuatu dari dalam dirinya kembali bergejolak, memanggilnya untuk melakukan hal buruk di sana.
'Baiklah... kalian memanggilku iblis, kan?' Agni menyibakkan selimut, kemudian berjalan sempoyongan ke depan lilin.
'Akan aku tunjukkan bagaimana iblis yang sebenarnya!' Agni menatap tajam.
Kemarahannya melonjak beberapa hari terakhir. Dia terus-terusan menyalahkan Arga, Jahankara, Gasendra, Arunika, dan para bangsawan yang membuatnya seperti ini.
Agni mengambil pisau. Dia merapalkan mantra turun temurun dari keluarganya sambil memejamkan mata. Memanggil iblis untuk mengambil jiwanya agar bisa bertahta dan menjaga segala hal yang dia punya.
Srattt!
Pergelangan tangannya mengeluarkan darah. Dan darah itu menetes ke atas api. Batang lilin itu berubah warna menjadi merah, kemudian di sekitarnya membentuk pusaran berwarna hitam.
Agni tersenyum gila.
'Aku berhasil!' soraknya girang seiring dengan kewarasannya yang termakan iblis.
'Iblis, berikan semua yang aku inginkan!'
"AAAAKKKHHHHH!!"
Mendengar teriakan yang terdengar dari kamar sang putri mahkota, salah satu dayang yang menjaga mulai khawatir dan mempertimbangkan harus masuk ke sana atau tidak.
Sebelum Miria pergi, dia sempat berpesan padanya. Apapun yang terjadi, jangan masuk ke kamar putri mahkota jika tak ada dia di sisinya. Namun, teriakan itu sungguh menyakitkan dan dia takut terjadi sesuatu pada putri mahkota.
Dayang itu memutuskan untuk masuk ke sana tanpa meminta izin.
"Kyaa!" pekiknya kaget saat masuk ke kamar dan melihat rupa dari sang putri mahkota.
Tubuh putri mahkota dipenuhi dengan tulisan kuno yang menyeramkan. Matanya bersinar seperti darah. Dan ada taring tajam yang keluar dari mulutnya.
Agni yang telah tertelan jiwanya menoleh pada pekikan dengan ketakutan itu. Dia menyeringai bak menemukan mangsa yang empuk untuk dijadikan tumbal.
Angin tiba-tiba berembus, menutup pintu yang besar dan kokoh sehingga menimbulkan dentuman yang memekakkan telinga.
Dayang itu terduduk lemas dengan tubuh bergetar ketakutan melihat makhluk mengerikan itu mendekat padanya.
"Yang Mulia... a--ampun... ampun... ja--jangan bunuh sa.. ya...!" mohon dayang itu dengan suara terbata-bata.
Namun, siapa yang peduli? Agni telah menjual dirinya pada iblis yang haus darah dan penuh dengan kejahatan.
Tubuh dayang itu tak menapak tanah lagi. Dia sejajar dengan putri mahkota yang kini tersenyum horor padanya.
Jrasshhhh!
Tangan Agni menembus bagian utama untuk makhluk hidup. Dia dipenuhi ketentraman saat merasakan denyut yang perlahan memelan di tangannya.
Agni menarik tangannya secara paksa, membuat tubuh dayang yang melayang itu terjatuh di atas lantai berlumur darah. Dia menyeringai kecil melihat mata melotot dayang itu.
"Masuk Miria! Aku tahu kau ada di balik pintu."
Pintu itu perlahan terbuka, Miria masuk ke dalam sana. Dia memekik kaget di tempat sampai tubuhnya merapat dengan pintu.
"Ada apa, Miria? Kau takut denganku? Kau juga mau berpaling seperti yang lain?"
Miria menggeleng kencang sambil menutup mulutnya dengan wajah ketakutan.
Agni mendekat padanya dengan bau anyir menusuk. Membuat Miria merasa mual bukan main.
"Kalau kau mau berpaling, silakan. Namun, jantungmu tak bisa berdenyut lagi setelah keluar dari sini," ujar Agni menyentuh dagu Miria. "Oh, atau hancur...?"
"Ti... tidak, Yang Mulia!" Tubuh Miria bergetar hebat. "Sa.. saya akan te--terus me.. mengabdikan diri pada anda...!"
Agni menatapnya lekat. Dia melepaskan dagu Miria, kemudian berjalan menjauh.
"Bawakan lima buah lilin berwarna merah untukku! Jika tidak ada yang berwarna merah, kau harus mewarnainya dengan darahmu."
"Da--daulat, Yang Mulia!"
Saat melangkahi wanita yang telah dibunuhnya, Agni memerintah, "Dan bereskan ini juga!"
***
Tes tes tes
"Ah...," desah Arunika saat buku yang dia baca terkena noda darah yang tertetes dari hidung. "Eni, ambilkan kain untukku!"
Eni yang sedang membereskan pakaian-pakaian Arunika menoleh. Dia terkejut, tapi segera mengambil kain untuk permaisuri.
"Ini, Yang Mulia." Eni menyerahkan kain yang lebih mirip sapu tangan pada Arunika. "Terjadi lagi? Apa ini efek racun yang waktu itu?"
Arunika menggeleng pelan sambil menyeka darah di hidung. "Kata tabib tidak terjadi apapun pada tubuhku."
"Tubuh Yang Mulia terlihat pucat sekarang," imbuh Eni khawatir.
"Benarkah...?"
Eni mengangguk cepat. Arunika terdiam dan tertunduk memikirkannya.
Ini sudah lewat beberapa minggu sejak dia meminum racun. Namun, tidak terjadi apapun setelah dia sadar selain kelumpuhan sementara untuk beberapa jam. Beberapa hari kemudian, dia mulai mengalami pendarahan yang keluar dari hidung, mulut, atau telinganya dan dia juga merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuh atau di perutnya yang mulai membesar.
Arunika sudah memeriksakan tubuhnya pada tabib, dan tabib mengatakan tak ada yang salah dengan tubuhnya ataupun efek samping lain, tapi kenapa tubuhnya terus mengeluarkan darah?
"Kkhhh!" erang Arunika memegangi bagian tubuhnya yang mulai terasa sakit. Selalu seperti ini.... Setelah pendarahan, dia akan mengalami rasa sakit di tubuhnya.
"Yang Mulia!" seru Eni. Dia membaringkan tubuh permaisuri itu di atas ranjang dan menyingkirkan buku yang sedang dibacanya. "Yang Mulia!" jerit Eni dengan panik ketika gigi Arunika bergemeletukkan menahan rasa sakit.
"Kkhhh, Eni...!" erang Arunika memegang tangan Eni untuk menahan rasa sakitnya. Keringat mulai membasahi seluruh tubuhnya yang menahan sakit.
"Kepala dayang, Gray...!" teriak Eni, berharap kedua dayang lain sudah kembali dari tugas masing-masing.
'Apa yang terjadi pada anda, Yang Mulia...? Sebenarnya rasa sakit apa itu?' batin Eni kebingungan. Dia juga mencoba menenangkan rasa sakit di sekujur tubuh Arunika.
———