webnovel

Togetherness

Lian Hua mendorong pintu didepannya dengan pelan dan hati-hati, berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi sekecil apapun. Dia sedikit menyembulkan kepalanya pada sela pintu yang sedikit terbuka, mengintip situasi di luar kamarnya. Senyumnya mengembang ketika tidak mendapati pelayan ataupun penjaga yang berjaga. Dengan gerakan pelan, Lian Hua mengangkat rok gaunnya dan melangkah dengan hati-hati. Dia tidak boleh tertangkap basah sedang melarikan diri dari hukuman yang diberikan oleh ayahnya.

Terkurung dua hari sudah merupakan hal yang mengerikan baginya, apalagi untuk beberapa hari ke depan. Ayahnya itu pasti ingin dia menjadi gila setelah ini. Dia tidak bisa berdiam diri di dalam kamar dengan rutinitas yang membosankan seperti saat ini.

Lian Hua baru saja menghela napas lega ketika merasa dirinya sudah berhasil terbebas dari pengawasan para pelayan. Namun, hal itu seolah menguap begitu saja ketika sosok Yuan muncul sedang berjalan ke arahnya.

"Sepertinya nona muda Lian ingin melarikan diri." Yuan berjalan mendekati Lian Hua seraya berpunggung tangan. "Haruskah aku mengadukannya pada jenderal Lian?"

Lian Hua terkejut melihat kedatangan Yuan, ia kemudian sedikit berlari kecil menghampiri Yuan yang berdiri dengan santainya sembari menampilkan senyum lebarnya, menarik tangan pemuda itu untuk bersembunyi dibalik tembok.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Lian Hua dengan suara pelan. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, berharap tak ada siapapun yang akan memergoki mereka.

Yuan tersenyum. "Yang aku lakukan disini," Yuan menjeda, mendekatkan wajahnya hingga membuat Lian Hua mundur ke belakang, "menangkap basah nona muda yang ingin melarikan diri dari hukuman ayahnya," lanjut Yuan diiringi senyum lebarnya.

Lian Hua mendengus, ia menurunkan rok gaunnya seraya menatap Yuan dengan kesal. Pemuda ini sepertinya mencari mati dengan memancing setan dalam dirinya keluar dengan mengganggu rencana pelarian dirinya.

"Katakan, padaku! Apa yang kau lakukan disini? Bukankah kau sangat sibuk untuk selalu berada disisi putra mahkota?" ujar Lian Hua dengan nada ketus. Ia melipat kedua tangannya di depan dada.

Yuan tertawa kecil, melihat sikap yang ditunjukkan Lian Hua padanya membuatnya semakin ingin menggoda gadis itu. "Putra mahkota menyampaikan rasa terima kasihnya padamu karena telah membantunya menghajar orang yang sudah mengejeknya," sahut Yuan, tenang. Ia menatap Lian Hua dari samping, menanti reaksi gadis itu.

Lian Hua berpaling, menatap Yuan untuk beberapa saat. "Kalau begitu, putra mahkota-mu itu pasti bisa melakukan sesuatu untukku," sahut Lian Hua.

Yuan memasang wajah berpikir. "Mungkin saja." Yuan mengangkat kedua bahunya, santai.

"Pastinya kau bisa membawaku keluar dari sini, bukan?" Lian Hua berbisik. "Anggap saja itu sebagai ucapan terima kasihnya padaku," tambah Lian Hua.

Yuan terkekeh pelan. "Baiklah," ia mengangguk, "tentu aku akan membantumu. Itu juga perintah putra mahkota padaku."

Lian Hua tersenyum puas. "Baik, kita pergi kalau begitu." Gadis remaja itu kemudian berjalan mendahului Yuan, membuat pemuda itu mengedip tak percaya melihat ketidaksopanan Lian Hua.

"A-apa? Dia bahkan tidak berterima kasih padaku," keluh Yuan dengan nada jengkel.

Lian Hua yang merasa Yuan masih berdiri di belakang, berbalik. Gadis itu menatap Yuan dengan satu alis terangkat ke atas. "Apa yang sedang kau tunggu? Bukankah kau ingin mengajakku keluar?" tanyanya.

"Ahh, baiklah." Lagi-lagi Yuan hanya bisa menghembuskan napas menyerah dengan sikap tidak sopan Lian Hua. Akan lebih baik dia menyimpan kekesalannya dibandingkan harus membuat masalah dengan putri dari jenderal Lian, atau nasibnya tidak akan berbeda dengan Fao Shan beberapa hari yang lalu.

****

Yuan dan Lian Hua berjalan dengan santai menyusuri setiap ruas jalanan di pasar. Seperti biasa, mereka berbaur layaknya rakyat biasa. Orang-orang yang berada di sana pun tidak begitu memperdulikan kehadiran mereka. Hal itu membuat Yuan dan Lian Hua bisa lebih leluasa untuk menikmati suasana pasar.

"Aku ingin manisan." Lian Hua berdiri tepat di depan penjual manisan. "Tapi, aku tidak membawa uang sama sekali," ujar Lian Hua dengan tatapan sedih.

Yuan melirik ke arah kanannya, dimana seorang pria muda sedang berdiri tak jauh darinya. Ia mengangguk ketika Yuan memberikan lirikan mata ke arah pedagang manisan di depannya.

"Kau bisa mengambilnya, aku yang akan membayar," bisik Yuan disamping Lian Hua yang nyaris meneteskan air liur karena begitu menginginkan manisan kesemek.

"Sungguh?" Lian Hua menatap Yuan dengan senang, kedua mata gadis itu melengkung seperti bulan sabit, membuat Yuan terpana untuk beberapa saat.

"Sungguh. Kau bisa mengambil sebanyak yang kau mau," ujar Yuan dengan senang.

Lian Hua kemudian mengambil beberapa tusuk manisan. "Terima kasih." Lian Hua memasukkan satu tusuk manisan ke dalam mulutnya, mengunyahnya perlahan-lahan. "Ini enak."

Yuan tak bisa berhenti untuk tersenyum melihat wajah bahagia Lian Hua saat memakan dan menghabiskan beberapa tusuk manisan di tangannya. Pemuda itu bahkan tak berhenti memandangi Lian Huan.

"Kau mau?" Lian Hua menyodorkan satu tusuk manisan pada Yuan. "Ini enak, aku sering membelinya saat aku pergi ke sini."

Yuan menerima manisan dari tangan Lian Hua tanpa ragu. "Benar, ini enak." Yuan mengunyah manisan di mulutnya, namun tatapannya masih tak teralih sedikitpun dari Lian Hua.

Lian Hua yang sudah menghabiskan sepuluh tusuk manisan di tangannya, berpaling ke arah pedagang kue beras yang tak jauh dari mereka.

"Bolehkah aku juga membeli kue beras itu? Disana, kue berasnya terkenal sangat enak," terang Lian Hua dengan semangat.

Yuan sedikit melebarkan matanya, tak percaya. "Kau masih ingin membeli kue beras?" tanya Yuan, takjub. "Woah! Kau benar-benar," ujar Yuan seakan kehilangan kata-kata.

Lian Hua mengangguk cepat. "Aku menginginkannya. Boleh, kan?" Lian Hua memberikan tatapan memohon yang kemudian membuat Yuan menghela napas. "Baiklah." Dia tahu, tidak akan pernah bisa menolak keinginan Lian Hua. Gadis itu terlalu cerah seperti matahari kecil untuknya, sangat sulit untuk tidak mengabulkan permintaannya.

"Wu San, lihatlah dia!" Yuan mengarahkan telunjuknya pada Lian Hua yang sudah berdiri di depan pedagang kue beras. "Dia baru saja menghabiskan sepuluh tusuk manisan, sekarang dia masih menginginkan kue beras. Kenapa gadis kecil sepertinya memiliki porsi makan yang banyak?" gerutu Yuan pada seseorang yang berdiri dibelakangnya.

Wu San tersenyum samar sembari mengangguk sekilas.

"Anda ke sanalah lebih dulu, Yang Mulia. Hamba akan membayar manisannya." Wu San mengeluarkan beberapa koin uang dari kantung pakaiannya dan memberikannya pada pedagang manisan. Sementara Yuan menyusul Lian Hua yang sedang sibuk memilih kue berasnya.

"Apa kau akan menghabiskan semua kue beras ini, sendirian?" tanya Yuan tak percaya saat melihat ada banyak kue beras yang ingin di beli oleh Lian Hua.

Lian Hua mengangguk senang. "Tentu, aku ingin memberikan beberapa kue beras ini pada Li Wei. Dia juga sangat menyukai kue beras." Lian Hua kemudian membawa kue beras yang sudah dibungkus dan menentengnya dengan senyum lebar. "Setiap kali kami pergi ke pasar, kami pasti akan membeli kue beras disini."

Yuan mengerjapkan kedua matanya dengan ekspresi lucu, membuat Lian Hua tertawa kecil. "Baiklah, kau bisa membeli sebanyak yang kau mau," ujar Yuan menganggukkan kepalanya.

Keduanya kembali menyusuri keramaian pasar, tanpa menyadari ada seseorang yang sedang mengawasi kebersamaan mereka dari kejauhan.

****

Guan sedang memperhatikan deretan buku yang tersusun rapi di dalam rak perpustakaan ketika Niang memasuki perpustakaan dan berjalan menghampirinya beserta dua dayang dibelakangnya.

Putri raja Han Guo itu tersenyum lebar saat kedatangannya mampu mengalihkan perhatian Guan dari buku-buku tebal yang berderet rapi di sepanjang rak—yang semenjak tadi menjadi pusat perhatian pemuda itu.

Guan yang menyadari kedatangan Niang, segera membungkuk dan memberi salam dengan hormat. "Guan memberi salam pada putri Niang."

Niang memberi isyarat pada dua dayangnya untuk pergi meninggalkan mereka berdua disana. Kedua dayang tersebut menurut dan berbalik pergi meninggalkan Niang dan Guan sembari saling melempar senyum penuh arti.

"Apa yang sedang kau cari?" Niang memperhatikan rak-rak buku disana, "tak ada yang menarik disini," lanjutnya seraya mengalihkan tatapannya pada Guan yang berdiri kaku didepannya.

"Dan bukankah hari ini putra mahkota tidak memiliki jadwal belajar denganmu?" tanya Niang dengan sedikit heran.

Guan mengangkat kepalanya. "Maaf?" Namun, menyadari kesalahannya, dia segera kembali menundukkan kepalanya. "Saya hanya sedang mencari buku sastra disini untuk belajar dengan putra mahkota nanti," lanjut Guang sedikit gugup. Dia menundukkan pandangannya ke bawah, karena menurut tata krama, menatap wajah anggota keluarga kerajaan secara langsung adalah hal yang dianggap tidak sopan.

Bukan tanpa alasan jika Niang bertanya demikian, karena Guan tidak akan mau ke istana selain jadwal mengajarnya dengan putra mahkota. Dan karena hal itu, Niang memanfaatkan kesempatan tersebut dengan sering berkunjung ke Istana Barat, hanya untuk bisa bertemu dengan Guan dan memperhatikan Guan secara diam-diam.

"Jadi, begitu." Niang tersenyum tipis, ia mengalihkan tatapannya pada deretan buku di sampingnya. Matanya membaca judul buku yang ada disana tanpa minat. "Kebetulan sekali," ujar Niang kemudian menatap Guan, "kau bisa menemaniku berjalan-jalan disekitar taman istana sebentar?" tanyanya dengan tatapan penuh harap.

Guan mendadak gugup seketika. Ini adalah permintaan yang tak pernah dia duga dari putri raja Han Guo. Selama ini, dia tidak pernah berbincang sedekat ini dengan Niang. Mereka hanya sesekali bertukar salam saat bertemu.

"Saya-" Guan ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

Niang mengerutkan keningnya. "Kau tidak akan menolak permintaanku, bukan? Apa kau ingin di hukum karena berani menolak perintah putri raja?" Niang menatap Guan dengan tatapan mengintimidasi. Harga dirinya bisa turun jika Guan sampai menolak permintaannya.

Dan jalan satu-satunya adalah memanfaatkan posisinya untuk membuat Guan menuruti keinginannya.

"Saya tidak berani, putri." Guan berujar tenang. Tak ada nada gentar sedikitpun dari suaranya. Guan tahu, Niang hanya sedikit menggertaknya.

Niang tersenyum penuh kepuasan mendengar jawaban Guan.

"Itu artinya, kau bersedia menuruti permintaanku," sahut Niang mulai bersemangat, "ayo, jangan buang-buang waktu!" Niang meraih tangan Guan dan menarik pemuda itu.

Guan tak bisa melakukan apapun selain berusaha mengendalikan keterkejutannya atas tindakan yang dilakukan Niang. "Putri, bisa lepaskan tangan saya?"

Niang yang sedang berjalan sembari menggandeng tangan Guan, melepaskannya seketika saat menyadari perbuatannya. Dia merutuk dalam hati, mengutuk kecerobohan dan kebodohannya. Seharusnya dia bisa bersikap lebih anggun di depan Guan.

"Kau bisa berjalan sendiri," ujar Niang berusaha menutupi kegugupannya. Gadis itu berjalan lebih dulu, menyembunyikan wajah memerahnya.

Guan diam-diam tersenyum melihat tingkah Niang. Hal itu membuatnya teringat dengan Lian Hua. Tingkah keduanya tak jauh berbeda.

Jika Lian Hua adalah gadis yang lincah dengan senyumnya yang secerah matahari, serta terkadang keahliannya dalam memainkan pedang, membuat siapapun pasti tidak akan percaya jika itu adalah Lian Hua, putri bungsu jenderal Lian. Meski di luar sikap ceroboh dan uniknya, Lian Hua adalah adik yang manis bagi Guan.

Sedangkan Niang, sikap dan tutur katanya kadang tidak mencerminkan seorang putri. Tidak ada tutur yang lemah lembut dan sikap yang anggun. Justru sebaliknya, Niang sering bertingkah seenaknya dan mudah marah. Niang bahkan tak pernah menyaring perkataan apa yang pantas dia ucapkan dan tidak, karena itu, perkataannya terkesan menyebalkan. Meski begitu, Guan percaya bahwa putri raja Han Guo tersebut memiliki hati yang baik.

"Aku merasa kesepian di istana seluas ini," bisik Niang tiba-tiba saat keduanya berdiri di bawah pohon meihua.

Kelopak bunga meihua jatuh persatu-satu dari atas pohon. Sinar matahari menelusup diantara celah kelopaknya. Angin musim semi yang berhembus pelan, membuat suasana terasa begitu sejuk dan tenang.

"Setiap hari, aku selalu merasa bosan berada disini, para dayang merasa segan bermain denganku. Sedangkan para pangeran, terlalu sibuk dengan urusan masing-masing," keluh Niang dengan wajah mendung.

Sesungguhnya, dia merasa kesepian di dalam istana ini. Karena itu, terkadang ia membuat masalah hanya untuk membuang kebosanannya.

"Aku iri dengan putra mahkota, dia sering menyelinap diam-diam tanpa diketahui oleh permaisuri." Niang memicingkan matanya ketika sinar matahari yang menyelinap diantara kelopak bunga meihua, menyorot wajahnya.

"Mungkin sesekali putri bermain dan mengundang putri para pejabat untuk minum teh bersama. Mereka banyak yang seumuran dengan anda," ujar Guan memberikan saran.

Niang yang kini sedang mengambil kelopak bunga meihua yang jatuh, menatap Guan dengan wajah memberengut. "Aku tidak suka bermain dengan mereka, mereka sombong dan angkuh, aku tahu mereka juga berusaha menjilatku karena posisiku," sungut Niang setiap kali mengingat perlakuan putri para pejabat padanya.

"Di depanku mereka bersikap baik, tapi di belakangku, mereka mengolok-olok ku, mereka bilang aku putri yang manja, putri yang bodoh, dan tidak beruntung." Niang berdecak pelan. "Seharusnya mereka berterima kasih padaku. Karena aku tidak mengadukan hal itu pada raja karena sudah menjelekkan putrinya."

Guan diam-diam tersenyum mendengar curahan hati putri raja Han Guo itu. Niang memang tidak berbeda dengan Lian Hua. Keduanya akan berbicara panjang lebar tanpa jeda ketika sedang merasa kesal.

"Mungkin putri Niang

bisa bermain dengan adik saya." Kalimat itu membuat Niang menatap Guan sepenuhnya.

"Adikmu?" ulang Niang dengan kening berkerut samar.

Guan mengangguk ragu. "Namanya Lian Hua, dia secantik bunga teratai." Guan menatap lurus ke depan tersenyum samar setiap kali teringat dengan tingkah ajaib adiknya.

"Saya rasa, putri Niang dan dia bisa menjadi teman baik," ujar Guan dengan nada hati-hati. Dia hanya berharap bahwa nanti keduanya bisa berteman baik karena kesamaan yang hampir dimiliki mereka.

Niang mendengus pelan. Dia merasa cemburu karena Guan terlihat begitu menyayangi adiknya. "Kau membuatku iri," Niang memandangi hamparan bunga poeny yang sedang mekar, "kau terlihat begitu mencintai adikmu," ujar Niang menunduk.

Guan seketika merasa bersalah. "Ma-maafkan saya, putri. Maksud saya—"

"Aku juga ingin jadi adikmu, supaya kau menyukaiku." Niang menatap Guan dengan wajah memelas.

Guan mengerjapkan kedua matanya, gugup. "Itu tidak pantas, putri." Guan menundukkan kepalanya.

Niang mengerucutkan bibirnya. "Jadi, kau menolak keinginan putri raja? Kau mau akan mengadukanmu pada Yang Mulia?"

"Tidak, putri. Saya tidak berani," sahut Guang dengan nada yang masih sama.

Niang membuang pandangan. "Kalau begitu, anggap saja aku ini juga adikmu dan perlakukan aku seperti kau memperlakukan adikmu," Niang membungkuk, mendekatkan wajahnya pada Guan. "Kau mengerti?"

Guan tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk karena tatapan tajam dari Niang. "Baik, putri."

Guan tahu, percuma saja menolak keinginan Niang, gadis itu akan terus memaksanya hingga dia bersedia melakukan permintaan gadis itu.

****