webnovel

Little Sun

Dua pemuda itu duduk bersisian sembari memandang air sungai didepan mereka yang nampak begitu tenang. Yuan mengambil batu kecil di dekatnya, kemudian melemparkannya ke dalam danau, membuat air danau bergelombang kecil.

"Kau tahu kenapa aku selalu ingin kabur dari istana?" Yuan memperhatikan Lian Hua yang berdiri tak jauh dari mereka, gadis remaja itu sedang sibuk memetik bunga krisan dan mengumpulkannya pada keranjang anyaman yang dibawahnya.

Guan yang duduk di sisinya menggeleng pelan. Meski sedikit tahu alasan dibalik pertanyaan itu, Guan memilih diam. Dia ingin mendengar sendiri jawaban dari sang putra mahkota.

Keduanya memang sudah mengenal cukup lama, karena Guan yang sering mengajarkan Yuan tentang sastra China. Guan termasuk murid paling cerdas dan pintar di sekolahnya diantara semua pemuda seusianya. Raja Han Guo bahkan secara pribadi meminta Guan untuk menjadi guru pribadi bagi putra mahkota. Selain karena mereka seumuran, raja ingin Yuan juga memiliki teman.

Yuan kembali melempar batu ke dalam danau. Pandangannya berubah sendu dan hal itu tertangkap oleh pengamatan Guan. Tak banyak yang tahu memang bagaimana karakter putra mahkota yang sebenarnya. Namun, Guan percaya jika dibalik keceriaan dan senyum lebarnya, ada banyak hal yang disembunyikan oleh Yuan dari semua orang, bahkan dari raja sekalipun.

"Aku hanya takut jika suatu hari nanti, aku juga akan menjadi lebih serakah seperti ibuku." Yuan mendesah pelan. Ia berpaling pada Guan yang duduk disampingnya dengan pandangan fokus ke depan. "Kau pasti sudah mendengar seberapa kejam dan menyeramkan dia, bukan?"

Guan akhirnya menoleh meski sedikit ragu. Ia mendapati senyum getir terlukis diwajah Yuan. Dia tak perlu berpikir dua kali untuk menjawab pertanyaan dari Yuan. Karena Guan sudah sering mendengar seberapa jahatnya permaisuri Zhu Yian. Bahkan terkadang raja tak bisa membantah akan perkataan sang permaisuri.

Guan tersenyum tipis. Dia seolah mengerti bagaimana perasaan Yuan saat ini. Selama beberapa bulan menjadi guru pribadi untuk putra mahkota. Guan perlahan mengenal perangai dan kebiasaan Yuan. Pemuda itu memang lebih suka menghabiskan waktunya di luar istana sebagai rakyat biasa. Yuan memimpikan sebuah kebebasan dan pemuda itu menyadari, hal tersebut tidak akan pernah didapatkan oleh Yuan jika kelak ia akan menjadi raja.

"Sejahat dan seburuknya seseorang, dia pasti masih memiliki sisi baik yang tersembunyi, putra mahkota," tukas Guan penuh ketenangan. Pandangannya jatuh pada dedaunan yang tertiup angin, berputar di udara sebelum akhirnya kembali jatuh ke tanah. "Hanya saja, kita tidak pernah tahu kapan sisi baiknya itu muncul dan mengalahkan sisi jahat. Terkadang, manusia itu bisa berubah dengan cepat. Satu pilihan saja yang kita ambil, hal itu akan membuat semuanya ikut berubah. "

Yuan tersenyum tipis, dia mengangguk singkat dengan pandangan menerawang. "Kau benar. Satu pilihan salah yang kelak akan aku ambil, hal itu akan membuat segalanya juga berubah," ujarnya sembari menunduk. Ia menatap ujung sepatunya dengan perasaan tak menentu. "Karena itu, aku takut jika kelak akan membuat suatu pilihan yang salah, yang bisa menyakiti orang-orang yang aku sayangi."

Guan tak pernah melihat sisi rapuh seorang Yuan, pemuda itu selalu dikenalnya sebagai pemuda yang ceria dan bebas. Mungkin, dia menyembunyikan semua itu dibalik senyumannya.

"Jika ada hitam, pasti ada putih, putra mahkota. Seseorang yang dikenal sangat baik pun bisa berubah seiring waktu. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana roda kehidupan ini akan berputar selanjutnya." Guan mengukir senyum tulus. Kalimat itulah yang sering diucapkan oleh ayahnya. "Tapi, hamba rasa, pilihan apapun yang kelak anda ambil, hamba percaya itu adalah pilihan terbaik yang putra mahkota pertimbangkan. Tentunya, itu juga demi kebaikan semua orang. Tidak ada pilihan tanpa resiko, putra mahkota."

Yuan terdiam memikirkan perkataan Guan, membenarkannya dalam hati. Seseorang bisa berubah seiring waktu. Mungkin, ada beberapa hal yang akan membuatnya berubah dimasa depan.

Untuk beberapa saat, hening merengkuh keduanya, hanya suara desauan angin sesekali terdengar mengisi celah kosong diantara mereka. Hingga akhirnya Yuan mencoba kembali mencairkan suasana yang dirasanya mendadak beku. Dia tidak menyukai terjebak dalam suasana semacam ini.

"Kau tak pernah menceritakan padaku tentang Lian Hua, adikmu itu seperti matahari kecil." Yuan tersenyum tanpa disadari, pandangannya tak sedikitpun berpaling dari Lian Hua yang sedang tersenyum lebar sembari mengikat bunga krisan dengan bermacam warna menjadi satu. Gadis itu seperti matahari kecil yang memberikan cahaya pada orang disekitarnya dengan tingkahnya yang ceria dan hangat.

"Saya hanya berusaha melindungi dia, putra mahkota," jelas Guan dengan pandangan menerawang jauh. Dia beralih memandang Lian Hua yang tak jauh dari mereka. Senyuman Lian Hua memang selalu bisa membuatnya luluh. Guan bahkan tidak akan pernah rela jika adiknya itu terluka sedikitpun. Bahkan beberapa kali Guan menjadikan dirinya sebagai tameng dan menggantikan Lian Hua setiap kali adiknya melakukan kesalahan ataupun melanggar aturan ayahnya.

Kening Yuan berkerut samar, tidak mengerti maksud pemuda disampingnya. "Kenapa? Apa kau berpikir jika aku akan menyakitinya?" Yuan bertanya tak mengerti, ada nada tersinggung dalam kalimatnya.

Guan menggeleng dengan cepat. "Hamba tidak berani, putra mahkota!" ujar Guan dengan nada tenang yang tertata. "Bukan itu maksud hamba. Ham hanya takut jika suatu hari nanti Lian Hua akan terluka," kata Guan berusaha menjelaskan, takut menyinggung perasaan Yuan.

"Apa kau percaya jika aku berkata akan melindunginya?" Yuan menatap hamparan bunga krisan putih di tepi danau. Perasaannya menjadi tidak menentu saat ini dan ia tidak tahu penyebabnya.

Untuk sesaat hening kembali menyelimuti mereka dan Yuan tak menyukai keheningan semacam ini.

"Jika putra mahkota berjanji bersedia mengorbankan apapun untuk melindunginya, saya mempercayai Anda," ujar Guan memandang lurus ke depan.

Lian Hua yang selesai mengikat semua bunga yang sudah ia kumpulkan, melempar senyuman ke arah dua pemuda tersebut, yang segera di balas dengan lambaian tangan oleh keduanya. Lian Hua kembali melanjutkan kegiatannya, gadis remaja itu memasukkan semua bunganya dan menatanya di dalam keranjangnya.

"Lian Hua adalah gadis yang kuat dan cerdas, hamba tidak bisa membiarkannya terluka, putra mahkota." Guan sudah bersumpah pada dirinya jika ia akan menggunakan hidupnya untuk melindungi Lian Hua. Sumpah yang tidak akan bisa dia langgar begitu saja.

"Kau bisa memegang kata-kataku Lian Guan," bisik Yuan dengan nada tegas.

****

Siang itu para pangeran sedang berlatih memanah di area panahan, kecuali sang putra mahkota yang tidak ada disana. Tak ada yang menanyakan kemana perihal keberadaan Yuan, karena adik-adiknya itu sudah pasti tahu kemana putra mahkota Yang Han itu pergi.

"Putra mahkota masih belum kembali?" Jinsu bertanya pada Qian yang sedang mempersiapkan anak panah dan busurnya.

Sementara Jian dan Yunzu sudah mulai bersiap untuk menarik busur dan panahnya.

"Kenapa kau tidak mengeceknya sendiri?" sahut Qian sedikit acuh.

Jinsu mendengus pelan mendengar jawaban Qian. Pangeran keempat itu memang terkadang bertingkah menyebalkan. Jinsu yang melihat semua pangeran sudah bersiap dengan busur dan anak panahnya, ia pun segera memasang anak panahnya dengan benar pada busur ditangannya.

"Kali ini aku yang akan menang. Panahku pasti tepat sasaran." Jian yang berdiri disampingnya, dengan penuh percaya diri mulai hendak melepaskan anak panahnya.

Jinsu yang mendengar kalimat Jian terkekeh pelan. "Kau memegang busur saja belum benar," ejek Jinsu.

Jian yang mendengar ejekan itu menurunkan busurnya, beralih menatap Jinsu dengan tatapan sebal.

"Hei bocah! Panggil aku 'kakak', aku ini lebih tua darimu!" Jian menggeram dengan kesal. Dia seakan sudah melupakan keinginannya untuk memanah karena perkataan pangeran bungsu yang hanya berbeda usia tiga bulan lebih muda darinya.

Yunzu yang berdiri tak jauh dari keduanya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah dua adiknya. Jian maupun Jinsu pasti akan terlibat pertengkaran setiap kali mereka di pertemukan. Dua pangeran itu sudah seperti kucing dan tikus, selalu bertengkar jika bertemu.

"Kalian berdua lebih cocok dalam merayu perempuan. Berperang bukan keahlian kalian," sahut Yuan yang baru saja datang. "Dengan wajah tampan kalian berdua, itu akan bisa lebih mudah mengelabuhi musuh."

Keempat pangeran membalikkan tubuhnya. Qian tersenyum mengangguk, membenarkan ucapan sang putra mahkota.

Jian memang memiliki wajah yang tampan sekaligus cantik di waktu yang bersamaan, sementara Jinsu memiliki wajah tampan yang tak terkalahkan.

"Benar, aku masih ingat saat Jian menyamar sebagai gisaeng di rumah bordil. Aku nyaris tak mengenalinya jika tidak karena suaranya yang jantan."

Seketika tawa keempat pangeran disana pecah dengan keras. Membuat wajah Jian memerah.

"Kakak, kenapa kau sama sekali tidak membelaku?" protes Jian dengan wajah memberengut kesal pada Yuan.

Yuan mengangkat kedua bahunya tak acuh. Ia mengambil anak panah dan busur dari tempatnya, kemudian bergabung dengan Yunzu ditepi area.

"Aku baru saja mendengar dari Yang Mulia, Jian akan segera ditunangkan dengan putri perdana menteri Shin."

Jian maupun pangeran yang lain terkejut mendengar ucapan Qian. Mereka semua berpaling ke arah pangeran keempat, menatap pemuda itu dengan penuh pertanyaan dan keingintahuan.

"Kak, apa kau serius dengan ucapanmu? Aku masih tiga belas tahun, bagaimana mungkin raja akan menikahkanku lebih dulu dibandingkan putra mahkota?" gerutu Jian tak terima dengan apa yang baru saja didengarnya dari Qian. Dia melirik ke arah Yuan yang menyibukkan dirinya dengan busur dan panahnya.

"Pernikahan keluarga kerajaan tidak memandang umur Jian. Pernikahan yang dibuat hanya untuk kepentingan politik, kau tidak perlu berlebihan menyingkapinya." Yuan berujar dengan santainya. Pemuda itu menarik busurnya, memfokuskan pandangannya pada papan sasaran di depan sana, kemudian melepaskan anak panahnya.

SLAAP!!!

Anak panah yang dilepas Yuan tepat mengenai titik merah pada papan sasaran.

Jian yang mendengar kata-kata kakaknya itu, membuang busur dan anak panahnya begitu saja, berjalan dengan kesal menghampiri Yuan.

"Kenapa kakak berkata seperti itu? Aku tidak akan menikah dengan perempuan yang tidak aku cintai!" sungut Jian dengan kesal. "Aku akan mengatakan hal ini pada Yang Mulia! Aku tidak ingin pernikahanku terjadi karena kepentingan politik!"

Setelah mengatakan hal itu, Jian berbalik dan berjalan pergi dengan hati dongkol. Meninggalkan keempat pangeran di belakangnya dengan tatapan penuh keheranan.

"Benarkah yang kau katakan tadi itu, Qian?" tanya Yunzu pada adik satu ibunya. Melihat senyum tipis yang sedari tadi di tahan oleh Qian, membuat Yunzu merasa sedikit curiga dengan adiknya itu.

Qian tak bisa menahan senyumannya untuk tidak mengembang sempurna. Dia meletakkan busur dan anak panahnya ke tempatnya, menatap ketiga pangeran disana yang sedang memandanginya dengan tatapan menuntut.

"Aku hanya tidak sengaja mendengar percakapan perdana menteri Shin dengan Yang Mulia, dia berharap bisa menjodohkan putrinya dengan salah satu dari kita," ujarnya dengan nada yang tenang dan biasa.

Mendengar penjelasan itu, ketiga pangeran mendelik tak percaya, kecuali Yuan tentu saja. Dia sudah bisa membaca bahwa yang dikatakan Qian hanyalah untuk menggoda adiknya.

"Jadi, itu artinya belum tentu Jian yang dijodohkan dengan putri perdana menteri Shin." Jinsu yang lebih muda menyimpulkan sembari menganggukkan kepalanya.

Yunzu menepuk pundak Jinsu. "Dan itu artinya, bisa saja putri dari perdana menteri Shin itu dijodohkan denganmu, Jinsu. Karena diantara kami, kau yang lebih cocok dengannya." Yunzu memandang pangeran paling bungsu itu dengan senyum penuh arti.

Kalimat Yunzu membuat Jinsu memberengut. "Kakak, berhentilah menggodaku!" seru Jinsu dengan kesal.

Ketiga pangeran tertawa keras karena mereka berhasil menggoda dua pangeran bungsu.

****

Zhu Yian berjalan menyusuri lorong dengan beberapa pelayan di belakangnya. Gaun panjangnya bergemirisik setiap kali dia melangkah. Beberapa pengawal ataupun pelayan yang berpapasan dengannya akan berhenti dan membungkuk hormat.

Wajah cantik Zhu Yian melengkungkan senyum ketika dia beserta rombongannya melewati taman Istana Timur. Pandangannya tertuju pada perempuan yang kini sedang berjalan ke arahnya bersama salah seorang pelayan setianya.

"Selir Zhen, tumben sekali keluar dari kediaman anda." Zhu Yian menyapa dengan nada ramah yang dibuat-buat.

Zhen menghentikan langkahnya. Wanita itu menyunggingkan senyum tipis. "Udara musim semi bagus untuk kesehatan, permaisuri. Saya juga merasa bosan jika seharian penuh hanya tinggal di paviliun tanpa melakukan apapun." Zhen menyahut dengan nada tenang dan sopan.

Zhu Yian menarik sudut bibirnya ke atas. Dia mengayunkan kakinya satu langkah lebih dekat dengan Zhen, menatap wanita di depannya dengan tajam. Senyuman yang tadinya terlihat ramah, kini seketika memudar, tergantikan dengan seringai tipis. Tentunya, akan membuat siapapun yang melihatnya, menyadari bahwa wanita yang dia hadapi bukan lawan yang mudah.

"Kau boleh saja berkeliaran di sekitar istana ini. Tapi, ingat!" Zhu Yian berbisik dengan nada tajam. Membuat pelayan yang berdiri di belakang Zhen menunduk takut. "Jangan pernah berani merangkak naik ataupun mencari perhatian pada Yang Mulia." Zhu Yian menjauhkan dirinya setelah mengatakan hal tersebut. "Kau lebih tahu akibat apa yang akan kau hadapi jika melanggarnya."

Wajah selir Zhen tidak berubah sedikitpun. Wanita itu menarik kedua sudut bibirnya sedikit. Dia sama sekali tidak merasa takut ataupun gentar dengan nada ancaman Zhu Yian. Ia lebih tahu dari siapapun, seperti apa seorang Zhu Yian yang dikenalnya.

"Anda tidak perlu khawatir," ujarnya dengan nada yang tenang tertata. "Saya tahu posisi saya saat ini," lanjut Zhen dengan suara ya g tak menyiratkan emosi apapun.

"Bagus." Zhu Yian tersenyum sembari mengangkat dagunya tinggi, dia berjalan melewati Zhen dan pelayannya begitu saja.

Pelayan yang berdiri dibelakangnya sedikit menunduk memberi salam. Setelah memastikan Zhu Yian sudah berjalan jauh dari mereka. Pelayan itu berucap dengan nada sedikit kesal. "Selir Zhen, kenapa anda selalu membiarkan dia merendahkan anda?"

Zhen tak langsung menjawab, wanita itu menatap hamparan bunga krisan yang bermekaran di sekitar taman Istana Barat dengan perasaan tak tentu.

"Sudah lama aku tidak ke taman ini," ujarnya mengalihkan pembicaraan. "Semenjak selir Xian diturunkan dari posisinya sebagai permaisuri dan diusir dari istana, aku hampir tidak pernah datang kemari, padahal taman ini dekat dengan istana para selir." Mendengar hal itu, Cia menundukkan wajahnya dengan sedih.

Istana Timur atau Istana Mawar adalah tempat kediaman permaisuri, sementara para selir ditempatkan oleh raja di Istana bagian Utara atau Istana Anggrek, sedangkan para pangeran dan putri raja, ditempatkan di Istana Barat atau Istana Teratai. Dan kediaman raja sendiri adalah Istana Dalam atau Harem. Dimana disana ditempatkan puluhan pelayan, kasim, dan juga prajurit yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan istana yang lain.

"Itu sudah berlalu, selir Zhen. Anda harus memikirkan diri anda sendiri supaya permaisuri tidak mengintimidasi anda terus-menerus." Cia kembali mengingatkan.

Zhen menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum getir.

"Jika aku melawannya, maka posisi Jinsu berada dalam bahaya, Cia."

Cia terdiam sejenak, memikirkan kata-kata sang tuan. Zhu Yian memang tidak akan segan-segan menyingkirkan siapapun yang berusaha menghalangi jalannya, bahkan jika itu para pangeran sekalipun, Zhu Yian tidak akan berpikir dua kali.

"Aku hanya tidak ingin kehilangan putraku seperti selir Xian."

Cia tercekat saat mendengar hal itu. Dia menatap punggung sang tuan yang sudah berjalan lebih dulu dengan pandangan sedih.

*****

Yang #dirumahaja pada nunggu update an ini nggak? Wkwkwk

Semoga cerita ini bisa sedikit menghibur teman-teman yang sekarang sedang menjalani semua aktivitasnya dengan #dirumahaja

Cerita ini juga saya gunakan sebagai pengisi hari-hari saya yang sedikit membosankan kkkk

Salam Sayang

-RYN-