Selepas pertemuannya dengan Lian Hua, Yuan segera memutuskan untuk kembali lagi ke paviliun miliknya. Ia tidak mau jika kedua kasimnya terkena masalah karena ia kabur dari acara jamuan yang diadakan raja. Kecemasannya menjadi kenyataan ketika ia sampai di ujung lorong paviliunnya. Tubuhnya gemetar ketika melihat kasim Huo dan kasim Hong sedang di cambuk oleh dua prajurit milik permaisuri.
"BERHENTI!" serunya berteriak marah pada dua prajurit yang segera berhenti dan menyingkir menjauh.
"Apa yang kalian lakukan?!" Yuan menatap marah pada dua prajurit yang hanya diam menunduk ketakutan.
Zhu Yian yang berdiri tak jauh dari sana, berjalan mendekat. Wajah merah padamnya menatap Yuan dengan marah. "Ini semua karena mereka tidak mampu menjaga Anda, putra mahkota." Menyadari keberadaan permaisuri Zhu, Yuan segera membungkuk memberi salam.
"Mohon lepaskan mereka, ibunda!" Yuan berlutut dan memohon, menyadari siapa yang kini berdiri dihadapannya. Satu kalimat permohonan yang dia katakan, tidak akan mengubah keputusan ibunya begitu saja. Apalagi ia telah melanggar perintah yang sudah ibunya berikan. Tentunya, permaisuri Zhu tidak akan melepaskan dia dan kedua kasimnya begitu saja.
Zhu Yian menggertakkan giginya, marah. "Mereka sudah tidak bisa menjagamu, jadi mereka tidak lagi berguna!" ujar Zhu Yian dengan sorot mata tajam. Ia kembali memberi perintah untuk mencambuk dua kasim tersebut.
Yuan meremas jemarinya, menahan perasaan sesak mendengar erangan kesakitan kedua kasimnya. Dia menutup kedua matanya saat jeritan kasim Huo dan kasim Hong menusuk pendengarannya. Dia tidak tahan.
"Saya berjanji tidak akan pergi diam-diam lagi, ibunda! Tolong lepaskan mereka!" Yuan berseru, masih menekuk kedua lututnya dan membungkuk dalam. Dia tidak ingin kedua kasim yang tidak bersalah itu terluka karena kecerobohannya.
Zhu Yian menipiskan bibirnya melihat keteguhan Yuan.
"Kau berani berlutut kepadaku hanya karena dua kasim rendahan ini?!" Zhu Yian berujar dingin. Nada suaranya terdengar menakutkan.
"Ampun ibunda! Mereka tidak bersalah, ibunda. Mohon lepaskan mereka!" Yuan berujar lemah. "Ini adalah kesalahan saya. Mohon lepaskan mereka." Yuan tidak akan menyerah, pilihan yang dia lakukan sudah membahayakan nyawa kedua kasimnya, dia harus bertanggung jawab akibat kecerobohannya.
Zhu Yian mendecih pelan. Kedua tangannya terkepal erat, menahan kemarahan yang sudah dipuncak kepalanya. Dia begitu benci melihat Yuan yang lebih memperdulikan nasib kedua kasimnya, dibandingkan posisinya sebagai putra mahkota kerajaan Yang Han.
"Apa kau akan menjadi raja dengan hati yang penuh kasih seperti ini?" Zhu Yian mengatupkan rahangnya, berjalan mendekati Yuan yang masih berlutut. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya, hingga wajahnya dekat dengan telinga Yuan. "Ibunda tidak mendidikmu untuk menjadi orang yang lemah, putra mahkota Yuan!" bisiknya dengan suara rendah yang menusuk.
Yuan terdiam, hatinya bergetar mendengar setiap kalimat Zhu Yian. Namun, dia tidak akan gentar sedikitpun mendengar nada penuh ancaman dari ibunya.
"Saya akan menuruti semua yang ibunda minta, jadi lepaskan mereka!" Yuan meremas jemarinya dengan kuat. Dadanya di hinggapi perasaan sesak. "Saya mohon ibunda!"
Zhu Yian menipiskan bibirnya. Ia berpaling pada dua prajurit disana, memberi isyarat untuk melepaskan kasim Huo dan kasim Hong.
"Ku harap kau menepati janjimu putra mahkota," Zhu Yian melirik dua kasim tersebut, "atau aku akan menghukum semua abdimu!" Lanjut Zhu Yian menekan setiap kata pada kalimatnya penuh peringatan.
Zhu Yian mengibaskan ujung gaunnya kemudian melangkah pergi, meninggalkan Yuan yang masih berlutut di tempatnya dengan kedua bahu merosot lemas. Yuan tahu, ancaman ibunya tidak pernah main-main. Dan dua hari ke depan, Yuan benar-benar akan terkurung di dalam paviliunnya.
****
Lian Hua menunggu di balik tembok istana dengan cemas. Sesekali kepalanya melongok ke sela-sela kecil yang ada di hadapannya dengan tidak sabar. Sedangkan Guan yang ikut menemani, sesekali memperhatikan sekitarnya dengan waspada.
"Dia tidak akan datang, sebaiknya kita pergi saja," ujar Guan mulai tak sabar setelah mereka menunggu hampir satu jam ditempat itu.
"Tunggu sebentar, kak. Dia berkata jika aku harus menunggunya disini. Dia sudah berjanji akan datang." Lian Hua bersikeras. Ia terus melongok ke balik tembok dengan gelisah. Guan menghela napas menyerah dengan sikap adik perempuannya tersebut.
Sampai akhirnya, mereka mendengar suara dari balik tembok. Lian Hua dan Lian Guan menoleh, mereka terkejut mendapati pemuda yang semenjak tadi mereka tunggu sudah muncul tengah berusaha memanjat tembok.
"Yun, cepatlah!" bisik Lian Hua sembari melambaikan tangannya. Meminta pemuda tersebut untuk bergegas sebelum pengawal yang berjaga memergoki mereka.
Lian Guan tertegun menyadari siapa pemuda yang semenjak kemarin dibicarakan oleh adik perempuannya, yang tak lain adalah putra mahkota Yuan.
Yuan meloncat dan mendarat dengan mudah tanpa terluka. Ia melempar senyum lebar pada Guan yang memandangnya tanpa berkedip. Keduanya memang saling mengenal, karena Guan adalah guru privatnya.
"Akhirnya aku bisa bebas," lirih Yuan dengan senyum puas. Terkurung selama tiga hari di dalam istana adalah hal yang paling mengerikan untuknya.
"Lian Hua..." Guan masih tertegun ditempatnya dengan tatapan tidak lepas dari Yuan. Dia segera membungkuk memberi salam pada Yuan tanpa disadari oleh Lian Hua.
Yuan segera menggelengkan kepalanya dengan tatapan memohon, meminta pada Guan untuk merahasiakan identitas dirinya pada Lian Hua. Guan hanya bisa mengangguk menuruti perintah sang putra mahkota secara diam-diam.
"Baik, ayo pergi sebelum para penjaga melihat kita," kata Lian Hua berjalan mendahului mereka.
Yuan mendekati Guan dan berbisik tepat ditelinga pemuda itu.
"Kau harus merahasiakan ini, mengerti?" pintanya dengan kedipan jenaka.
Guan menelan ludahnya dengan gugup. Kenapa dia tidak bisa menebak jika pemuda yang dibicarakan adiknya tempo hari adalah pangeran Yuan. Guan benar-benar merutuki dalam hati karena mengikuti keinginan Lian Hua.
"Ba-baik, putra mahkota." Guan akhirnya mengangguk patuh.
Sepanjang perjalanan Guan hanya berjalan dengan canggung karena keberadaan Yuan diantara mereka. Dia ingin sekali mengatakan pada Lian Hua bahwa pemuda yang saat ini sedang bersama mereka adalah sang putra mahkota kerajaan Yang Han. Namun, tatapan Yuan seakan mencoba untuk membungkamnya. Dan lagi-lagi kalimat yang sudah diujung lidah itu harus ia telan kembali dengan susah payah.
Lian Hua terlihat begitu akrab dengan Yuan, yang semakin membuat Guan terlihat tak tenang. Dia takut jika ayahnya mengetahui hal ini. Lian Hua pasti akan dihukum.
Menyadari Guan yang hanya diam disepanjang perjalanan mereka, Lian Hua berpaling pada pemuda itu.
"Kakak, ada apa denganmu? Kenapa kau diam saja?" Lian Hua menegurnya yang membuat Guan tersadar.
Yuan tersenyum memperhatikannya. Dia tahu apa yang membuat Guan terlihat gelisah dan gugup seperti itu.
"Itu..itu karena aku merasa sedikit tak enak badan," jawabnya beralasan, menutupi kegugupannya karena tatapan Yuan.
Lian Hua mengerutkan kening mendengar jawaban aneh kakak lelakinya. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh kening Guan. "Kurasa kau baik-baik saja saat kita berangkat tadi, kenapa sekarang kau mendadak tak enak badan?" ujar Lian Hua tak mengerti.
Yuan terkekeh pelan melihat kebingungan Guan untuk menjawab pertanyaan Lian Hua. Dia masih tak menyangka jika Guan adalah kakak dari gadis yang ditemuinya beberapa waktu lalu.
Guan menepis tangan Lian Hua dari dahinya, pemuda itu berdecak gusar.
"Mana kutahu, apa aku harus memberitahumu terlebih dahulu jika aku akan sakit?" Guan menggerutu kesal.
Lian Hua berpaling pada Yuan.
"Maafkan kakakku. Dia memang terkadang bertingkah aneh."
Guan melotot mendengar ucapan Lian Hua, ia berusaha menahan diri untuk tidak berteriak protes pada adik kesayangannya tersebut. Yuan terbahak melihat tingkah kakak beradik itu.
"Kau tidak perlu segugup itu," ujar Yuan dengan nada santai. Ia mendekati Guan dan merangkul bahunya. "Jangan sampai adikmu itu tahu siapa aku atau kepalamu yang akan menjadi jaminannya," bisik Yuan dengan nada jenaka. Namun mampu membuat Guan menegang.
"Jadi, bersantailah." Yuan menepuk pundak Guan pelan. Dia berjalan untuk menyusul langkah Lian Hua yang sudah jauh di depan. Gadis remaja itu sibuk memilih manisan di salah satu pedagang.
Yuan tersenyum begitu lebar dan Guan menyadari itu. Kali ini, Yuan merasa usahanya untuk keluar diam-diam tidak akan menimbulkan masalah. Permaisuri Zhu Yian sedang sibuk dengan urusan kerajaan. Jadi, Yuan yakin jika ibunya itu tidak akan berkunjung ke paviliunnya dalam waktu dekat.
Untuk menyelinap keluar pun bukan hal yang mudah bagi Yuan. Dia harus keluar melalui jendela kamarnya dan mengendap melewati pengawalan ketat. Yuan menarik napas lega menyadari dia tidak ketahuan. Dan semoga saja para pelayan dan kasim tidak ada yang menyadari kepergiannya.
****
Niang mendengus menatap pelayan yang bersujud dengan tubuh gemetar didepannya. Gadis remaja itu baru saja akan kembali berteriak marah pada sang pelayan yang tidak sengaja menumpahkan teh pada rok gaunnya ketika Han Yunzu datang bersama Han Jian.
"Ada apa ini?" tanya Yunzu dengan sikap tenang. Ditatapnya adik bungsunya itu untuk meminta jawaban.
"Pelayan ini berani menumpahkan teh ke rokku kak," adu Niang dengan kesal, menunjuk pelayan yang masih bersujud dilantai. Ia memperlihatkan ujung rok gaunnya yang basah karena terkena air teh yang tidak sengaja ditumpahkan pelayan istana tersebut.
"Ampun pangeran, hamba tidak sengaja. Hamba tersandung. Mohon tuan putri berwelas asih!" Pelayan itu melakukan kowtow, tubuhnya bergetar karena takut.
Yunzu yang melihat pelayan itu bergetar ketakutan, menghela napas. "Dayang Chun akan membantumu berganti pakaian, jangan membuat masalah ini menjadi besar." Kalimat itu disambut gerutuan kesal dari Niang. "Dan kau," katanya pada pelayan tersebut. "Bereskan sisa tumpahan teh ini. Aku tidak mau ada yang tersisa," ujar Yunzu dengan suara tenang yang mengagumkan.
Niang melotot pada kakak ke-tiganya. "Dia harus dihukum karena berani mengotori bajuku!" ujar Niang dengan marah. Tak terima dengan keputusan kakak ke-tiganya.
Jian menggelengkan kepala melihat tingkah adik satu ayahnya itu. "Dia sudah minta maaf dan itu tidak sengaja," sahut Jian dengan nada biasa. "Perangaimu itu membuat para dayangmu akan kabur," olok Jian.
Niang semakin kesal dengan kata-kata Jian. Pangeran kelima itu tidak memperdulikan delikan menegur dari Yunzu.
"Kalian selalu menyebalkan!" dengus Niang kesal. Ia menjinjing gaunnya dan berbalik pergi diikuti empat dayang dibelakangnya.
"Terima kasih pangeran," ucap pelayan tadi penuh terimakasih. Karena pertolongan kedua pangeran itu, dia terselamatkan dari amukan putri Niang.
Pangeran Yunzu mengangguk pelan. Keduanya kemudian kembali berjalan menyusuri lorong panjang istana. Beberapa penjaga berdiri di sepanjang koridor, mereka membungkuk hormat ketika keduanya berjalan melewati mereka.
"Kak, apa kau sudah mendengar tentang rencana perjodohan untuk putra mahkota?" tanya Jian memecah keheningan diantara mereka.
"Darimana kau tahu itu?" tanya Yunzu dengan satu alis terangkat ke atas. "Kau menguping?" tebaknya ketika melihat senyum di wajah Jian.
"Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan Ibunda dengan raja ketika aku pergi ke Istana Teratai," ujar Jian mencoba membela diri.
"Tapi, bukan berarti kau boleh menguping pembicaraan mereka. Jika raja dan permaisuri mengetahuinya, kau pasti terkena masalah." Yunzu menatap pepohonan persik di taman istana dengan pandangan menerawang. Setiap kali musim semi datang, suasana di Taman Istana Barat akan terlihat sangat menarik karena bunga persik yang ditanam disetiap sudut taman, sedang bermekaran.
Jian bergidik membayangkan apa yang Yunzu katakan. Kakak ke-tiganya benar, dia akan terkena masalah jika raja ataupun permaisuri tahu. "Karena itu, jangan sampai kakak membocorkan hal ini. Rahasiakan hal ini jika-"
"Apanya yang harus dirahasiakan?"
Jian mendelik tajam pada pemuda yang sedang berjalan menghampiri mereka. Senyum lebar pemuda itu membuat Jian memalingkan muka.
"Apa sekarang kalian berani merahasiakan sesuatu dariku?" tanya Jinsu dengan nada protes.
Dia menatap Jian dan Yunzu bergantian. Kakak ketiganya itu hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli, sedangkan Jian terlihat memasang wajah dingin andalannya karena kedatangan Jinsu membuat percakapannya dengan Yunzu terhenti.
"Kau masih terlalu kecil untuk mengetahui rahasia ini," ujar Jian membuat Jinsu melotot sebal.
"Bagaimana denganmu? Usia kita hanya terpaut tiga bulan. Yang artinya kau hanya tiga bulan lebih tua di atasku dan berarti kita masih seumuran." Jinsu balas memasang wajah galaknya ketika Jian melotot tak terima dengan kalimatnya.
"Berani sekali kau bersikap tidak sopan pada kakakmu. Kemari, aku akan memberi pelajaran padamu!" Jian hendak meraih hanfu Jinsu ketika pemuda itu dengan cepat bersembunyi dibelakang punggung Yunzu, meminta perlindungan pada kakak ke-tiganya.
"Kakak ke-tiga, tolong aku," ujarnya dengan nada memelas pada Yunzu. Ia menarik hanfu Yunzu dan berusaha menyembunyikan tubuhnya di belakang Yunzu.
Pangeran ke-tiga kerajaan Yang Han itu menghela napas melihat tingkah kedua adiknya. Jinsu dan Jian memang selalu bertengkar setiap kali mereka bertemu. Kedua pangeran ini pasti akan selalu membuat masalah jika keduanya disatukan. Kepala Yunzu mendadak pusing dengan tingkah kedua adiknya.
"Berhentilah bersikap seperti anak kecil!" tegur sebuah suara dibelakang Jian.
Yunzu melempar tatapan terima kasih pada pangeran ke-empat, karena berhasil menghentikan tingkah ajaib kedua adiknya.
Mata Jian berbinar senang karena mendapati Qian bergabung bersama mereka. Dia ingin mencari sekutu yang pas untuk melawan Jinsu.
"Darimana saja kau ini, kak? Lihat, Jinsu bahkan sudah berani mengejekku," adu Jian pada pangeran ke-empat. "Dan kakak ke-tiga hanya melihat saja." Jian mengabaikan tatapan protes dari Yunzu padanya.
Sedangkan Jinsu mengapit lengan Yunzu dan melempar ejekan pada Jian.
"Lihat kak! Dia kembali mengejekku. Kemari kau!" Qian menarik hanfu Jian dari belakang ketika adiknya itu hendak berlari untuk menggapai Jinsu.
"Kalian berhenti! Atau aku akan mengadukan hal ini pada raja!" ancaman Yunzu berhasil membuat keduanya terdiam. Bukan karena ancaman kakak ke-tiganya, melainkan wajah dingin yang ditunjukkan Yunzu. Keduanya memilih menyimpan kekesalan masing-masing dibandingkan harus melihat wajah dingin Yunzu lebih lama lagi.
****