webnovel

MELEPASKAN 3

" Aku ingin kita pisah!" kata Evan mantap.

" Apa? Kamu bergurau'kan? Aku nggak sedang ultah dan ini bukan April Mop! Aku nggak suka gurauan kamu!" kata Dania dengan dada sesak lalu masuk ke dalam shower box.

" Aku nggak bergurau! Ayo bercerai dan aku akan rawat Ai!" kata Evan yang berdiri di dekat shower.

Dania menulikan telinganya dan tetap mandi di bawah siraman air shower tanpa sedikitpun mendengarkan perkataan Evan. Evan tahu jika Dania enggan bahkan mungkin tidak mau mendengarnya, oleh karena itu dia duduk di atas closet dan menatap ke arah shower dengan perasaan sabar. Dania sesekali melirik ke arah luar shower dimana Evan sedang duduk menunggu dirinya. Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepala dan hatinya. Dia tidak ingin bertemu apalagi berbicara dengan Evan saat ini, karena dia tidak mau Evan mengulang kembali permintaannya untuk berpisah. Sudah beberapa menit bahkan hampir sejam Dania di dalam shower, Evan mulai kehilangan kesabarannya. Dia kemudian berdiri dan membuka pintu shower, dilihatnya Dania berdiri dengan tubuh bergetar dan sedikit membiru akibat guyuran air shower.

" Apa kamu ingin mati?" tanya Evan dan Dania bergeming.

" Ok! Baguslah, itu lebih baik!" kata Evan lagi tidak sungguh-sungguh.

Pria itu berjalan meninggalkan Dania yang gemetar kedinginan.

" Kamu...begi...tu...senang...ka...lo...aku...ma...ti?" tanya Dania terbata akibat rasa dingin yang memenuhi aliran darahnya.

" Kau yang menginginkannya! Bukan aku!" kata Evan kesal lalu keluar dari kamar mandi.

Dania meraih handuk lalu membungkus tubuhnya dengan handuk tersebut.

" Hatchiii...hatchii!" Dania bersin-bersin akibat tubuhnya yang diguyur air dingin.

Sialan lo Van! Gue nggak akan pernah ngelepas lo! Lo akan tahu apa yang akan gue lakukan! batin Dania. Evan yang duduk di kursi balkon kamarnya masuk ke dalam untuk melihat Dania, tapi yang diharap tidak terlihat. Evan membuka handle pintu kamar mandi dan melihat ke dalam, matanya membulat sempurna saat dilihatnya Dania tergolek di dalam bathtub dengan darah menetes di pergelangan tangannya.

" Dania!" teriak Evan lalu dia meraih handuk dan membebatkannya ke pergelangan Dania.

Dengan cepat diangkatnya tubuh Dania setelah membenarkan bathrobenya.

" Pak Ujangggg! Siapkan mobil!" teriak Evan yang sudah hampir sampai tangga bawah.

Ujang yang mendengar teriakan Evan berlari masuk dan terkejut melihat majikannya membopong istrinya dengan darah yang mengotori pakaian mereka.

" Tuan?"

" Cepat!" bentak Evan pada Ujang yang tertegun melihat keadaan itu.

" Iy...iya, Tuan!" sahut Ujang lalu membuka pintu depan dan pergi ke garasi.

" Papaaaaaa!" teriak Shakira memanggil papanya yang melintasi ruang tengah.

Evan menghiraukan panggilan Shakira karena dia tidak ingin terlambat membawa Dania. Evan berdiri sambil sesekali melihat ke arah Dania. Kain di pergelangan tangan itu telah berwarna merah akibat darah yang keluar dari nadi Dania.

" Kita ke rumah sakit Ernes, Pak!" kata Evan yang masuk ke dalam mobil setelah memasukkan Dania ke dalam mobil.

" Baik, Tuan!" jawab Ujang memutar bagian depan mobil lalu masuk ke dalam bagian kemudi.

Mobil melaju dengan lambat dan perlahan cepat saat memasuki jalan raya.

" Cepat sedikit, Pak!" kata Evan setelah beberapa saat dengan wajah khawatir.

" Iya, Tuan!" sahut Ujang lalu menginjak pedal gas untuk menambah kecepatan mobil.

Mobil Range Rover hitam itu melesat dengan cepat menuju ke rumah sakit milik sahabat Evan.

" Suster! Tolong istri saya!" panggil Evan begitu mobilnya berhenti di UGD dan ujang membuka pintu mobilnya. Evan yang tadinya berlari masuk memanggil perawat, langsung keluar dan mengangkat tubuh lemah Dania dari dalam mobil. Seorang perawat pria mendorong brankar dan seorang perawat wanita memegang pergelangan tangan Dania. Setelah ditidurkan diatas brankar, perawat pria itu mendorong cepat ke arah ruang IGD.

" Silahkan mendaftar ke loket pendaftaran, Pak!" kata perawat itu.

Evan hanya mengangguk lalu berjalan meninggalkan tempat itu untuk mendaftarkan Dania. Setelah selesai, dia kembali ke sana dan duduk di kursi tunggu. Beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari dalam IGD.

" Keluarga Ibu Dania?" tanya dokter itu sambil membawa sebuah map yang berisikan data Dania.

" Ya! Saya..."

" Anda...suaminya?"

" Iya!"

" Saya Dokter Ali! Dokter jaga disini!"

" Bagaimana keadaannya?" tanya Evan.

" Istri anda baik! Anda datang tepat pada waktunya! Kali ini! Karena saya khawatir hal seperti ini akan kembali datang dikemudian hari!" tutur Ali.

" Maksud dokter?" tanya Evan.

" Istri anda dalam keadaan stress atau depresi! Saya sarankan pada istri anda agar datang ke seorang psikiater!" kata Ali lagi. Evan menganggukkan kepalanya, dia merasa bingung dengan keadaan ini. Disatu sisi dia harus segera memutuskan pernikahannya dengan Dania, tapi disisi lain dia kasihan pada Dania yang depresi akibat dirinya.

" Apa dia harus bermalam disini?" tanya Evan.

" Ya! Kita periksa lagi perkembangannya besok!" kata Ali.

" Ok! Apa Ernes ada?" tanya Evan.

Ali terlihat sedikit terkejut mendengar pertanyaan Evan.

" Dia sahabat saya!" kata Evan seakan tahu isi pikiran Ali.

" Oo...sahabat! Beliau sedang di luar kota!" jawab Ali dengan santun.

" Jika seperti itu, saya akan konsultasikan semua dengan Dokter Ernes!" kata Evan.

" Tidak perlu, Pak! Saya saja sudah cukup! Anda pasti tahu seberapa sibuknya beliau! Urusan kecil seperti ini tidak perlu melibatkan beliau!" kata Ali cepat.

" Apa anda menyembunyikan sesuatu?" tanya Evan penuh selidik.

" Apa maksud anda?" tanya Ali sedikit gugup.

" Kenapa anda berusaha menghalang-halangi saya bertemu sahabat saya?" tanya Evan lagi.

" Ahhh, itu hanya perasaan anda saja, Pak Evan! Saya hanya khawatir kalo...beliau menganggap saya tidak becus begitu!" kata Ali lagi.

" Tidak becus bagaimana?" tanya Evan balik.

" Yaaaa....tidak becus menangani kasus kecil seperti ini! Karir saya resikonya, Pak!" kata Ali dengan terbata.

" Anda anggap kasus ini kecil? Ini percobaan bunuh diri, lho, Dok! Apa hal ini kecil?" tanya Evan yang sudah mulai emosi.

" Yaaaa...tapi kan Bu Dania tidak apa-apa!" jawab Ali dengan tertawa.

" Tapi kenapa dia harus menginap jika dia tidak apa-apa?" tanya Evan curiga.

" Ini hanya prosedur, Pak! Jika ada kasus seperti ini kita memang harus meminta pasien untuk menginap walau hanya semalam!" kata Ali santai.

" Ok! Saya akan ikuti semua saran Dokter! Saya tidak akan meminta bantuan Ernes, karena saya tidak mau terjadi apa-apa pada keluarga dokter!" kata Evan.

" Trima kasih, Pak Evan! Sekarang bapak bisa mengikuti perawat ini untuk pergi ke kamar Bu Dania!" kata Ali.

" Silahkan, Pak!" ajak perawat wanita itu dengan sopan.

Evan menatap Ali yang tersenyum ke arahnya lalu mengikuti langkah perawat itu. Mereka berbelok ke kanan dan berjalan sejauh kira-kira 100 m.

" Silahkan, Pak! Saya permisi!" kata perawat itu.

" Trima kasih!" kata Evan mengangguk.

Evan menghela nafas panjang lalu memutar handle pintu. Dia mendorong pintu tersebut dan melihat ke dalam. Diatas brankar terbaring tubuh Dania dengan cairan infus dan pergelangan tangan yang telah di perban. Evan duduk di samping brankar dan menarik kursi itu agar bisa mendekati Dania.