webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · ย้อนยุค
เรตติ้งไม่พอ
17 Chs

Bagian 16 | Pada Akhirnya [Flashback]

Selamat membaca! 😊

________________________

Sudah 1 bulan Adibah di rawat di rumah sakit. Dari 1 minggu masuk, wanita itu sudah mulai ada perkembangan. Dan hari ini, Adibah sudah bisa jalan sendiri. Karena biasanya harus pakai kursi roda.

"Bunda mau ke mana?" Tanya Adhwa yang baru saja membuka pintu.

"Bunda mau ke kamar mandi." Jawab Adibah berjalan sambil mendorong pelan tiang infus.

"Harusnya bunda tunggu Adhwa dulu." Kata gadis itu sambil menutup pintu lagi.

"Nggak perlu, bunda udah bisa jalan sendiri." Balasnya saat sudah dekat kamar mandi.

"Tapi kan, tetep harus ada Adhwa bun." Gadis itu menaruh kresek sedang ke atas nakas samping kiri ranjang.

"Udah ah, kamu lama lama bawel banget. Bunda itu udah bisa jalan sendiri." Balas sedikit kesal sambil membuka pintu kamar mandi.

"Adhwa bantuin ya, bun?" Kata Adhwa berjalan mendekati Adibah. Namun wanita itu langsung mencegahnya sebelum masuk kamar mandi.

Alhasil Adhwa hanya menunggu di depan pintu kamar mandi.

"Bentar lagi bunda bisa pulang. Bunda mau Adhwa beliin apa? Sebagai hadiah Adhwa buat bunda." Kata gadis itu sambil menunggu bundanya.

"Bunda nggak minta apa apa. Bunda cuma minta doa aja. Semoga bunda dikasih umur lebih. Itu aja udah buat bunda seneng." Sahut bundanya dari dalam.

Mendengar hal itu langsung membuatnya berkaca kaca. "Bunda beneran nggak pengen apa gitu?"

"Enggak nak, bunda dikasih kesempatan 1 bulan ini sama kamu aja udah sangat berterima kasih sama Allah. Bunda nggak mau yang lain lagi."

Air matanya semakin tak tebendung mendengar lanjutan kalimat bundanya. Membuatnya jatuh setetes ke pipi. Dan langsung dia usap. Karena takut jika ketahuan wanita itu.

Tak lama kemudian, pintu terbuka memunculkan Adibah yang menunduk memperhatikan jalan.

Buru buru Adhwa memasang senyum terbaiknya. "Bunda mau aku kupasin buah?" Gadis itu membantu bundanya berjalan.

"Bunda bisa jalan sendiri." Kata Adibah melepas pegangan putrinya.

Adhwa hanya menghembuskan nafas pelan. Gemas dengan bundanya. "Bunda mau aku kupasin buah apa?" Tanyanya lagi mengikuti dari belakang.

"Pir ada nggak? Bunda lagi pengen buah itu." Kata Adibah saat menaiki ranjang.

"Ada." Adhwa menggeser pelan tiang infus ke sisi kanan ranjang dekat pintu.

"Hari ini, Ali ke sini nggak sama Tante Arini?" Tanya Adibah yang setengah berbaring.

"Ya Adhwa nggak tau bun." Jawab Adhwa berjalan ke nakas.

"Ya kali aja kamu tau."

"Nggak tau bun." Kata Adhwa duduk di kursi menghadap bundanya sambil mengupas buah pir. Yang kebetulan pisaunya ada di rak nakas.

"Bunda mau pesen sama kamu." Kata Adibah menatap lekat sang putri.

"Apa?" Jawabnya tanpa menoleh.

"Jangan pernah berubah ya nak. Tetap selalu jadi Adhwanya bunda." Ucapnya dengan lembut namun tersimpan beribu makna.

"Iya bun. Insya Allah."

"Kamu harus tau bunda sayang banget sama kamu. Bunda akan selalu ada buat kamu. Bunda akan selalu ada di hati kamu."

"Iya bunda. Adhwa tau."

"Tetap jadi anak yang baik." Lanjutnya sambil menerima potongan buah pir dari Adhwa.

"Bunda harus makan buah buahan gini. Biar kesehatan bunda juga bisa terjaga. Jangan makan yang berminyak dulu." Ucap Adhwa dengan tulus sambil menatap bundanya.

Sementara Adibah tersenyum lembut. Rasanya terharu melihat perhatian putrinya seperti ini. Meski ada sedikit rasa nyeri ketika melihat Adhwa menangis karena kondisinya tak menentu. Untuk sekarang memang kata dokter sudah membaik. Tapi tidak ada yang tau bagaimana nanti.

"Nanti kalau misalkan bunda udah boleh pulang, kamu harus mau turutin kata bunda." Kedua tangannya menggenggam tangan Adhwa. "Jangan jadi pribadi yang terlalu tertutup. Sekali sekali kamu juga butuh untuk terbuka. Banyakin interaksi sama orang. Nggak baik kayak gitu terus. Sesekali keluar rumah. Jangan cuma mau ke rumah Myra aja. Atau ke indomart. Kita itu makhluk sosial sayang." Nasihatnya dengan kasih sayang.

"Iya bunda." Gadis itu tersenyum manis.

"Bunda takut nggak bisa jagain kamu terus." Adhwa terkejut mendengarnya. Dia langsung berubah cemberut.

"Apa sih bunda. Jangan ngomong yang aneh aneh." Protesnya.

Sementara dari Adibah tak ada sahutan. Wanita hanya tersenyum tipis. Sembari makan buah, Adibah terus memandang putrinya yang masih menggerutu. Sesekali terkekeh karena ekspresinya yang menggemaskan.

Momen seperti ini akan sangat dia nikmati, karena belum tentu nanti dia bisa melihatnya lagi.

***

Hari sudah sore, tepat jam 15.30. Ali bersiap akan ke rumah sakit untuk menjenguk Adibah. Awalnya akan berangkat bersama Arini. Tapi diurungkan karena Lena yang habis terjatuh. Membuat pria itu harus berangkat sendiri. Tadinya dia juga menolak tapi Arini memaksanya. Alhasil Ali sekarang sudah berada di dalam mobil dengan Arini yang berdiri di samping mobil.

"Kalau udah sampai kabarin mama. Jangan lupa juga minta nomornya Adhwa. Nggak mau tau."

"Ya kalau inget ma."

"Harus inget. Nanti bakal mama telepon kamu." Paksa Arini yang membuat pria itu menghembuskan nafas pasrah.

"Yaudah, Ali berangkat. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Jawab Arini.

Kemudian mobil melaju pergi. Wanita masuk ke dalam rumah tidak lupa menutup gerbang.

Sementara di rumah sakit, Adibah sedang duduk tenang di bangku tunggu depan kamarnya. Sambil menatap jendela samping kanannya, sesekali menunduk untuk membaca buku yang di pangkuannya.

Sore ini rasanya begitu tenang. Dan entah kenapa beberapa hari ini hatinya terasa damai. Tak ada lagi rasa gelisah seperti biasa. Mungkin hanya rasa khawatir akan putrinya.

"Assalamualaikum." Salam seseorang yang membuat Adibah langsung menoleh ke kiri.

"Waalaikumsalam." Jawabnya tersenyum hangat. "Duduk Al." Lanjutnya sambil menepuk bangku kosong di sebelahnya.

Pria itu duduk setelah mencium tangan Adibah. "Mama titip pesan, maaf nggak bisa jenguk tante. Karena Lena habis jatuh dari tangga." Ali menoleh ke Adibah.

Wanita itu tersenyum hangat. "Iya, nggak pa pa. Terus Lenanya sekarang gimana?"

Ali tersenyum. Dia mengambil paper bag berukuran sedang yang dibawanya, lalu memberikannya pada Adibah. "Udah nggak papa kok tante. Ini ada titipan dari mama."

"Apa ini?" Adibah menerima itu dan membawanya ke pangkuan setelah memindahkan buku ke samping.

"Kata mama, hadiah buat tante."

Wanita diam sejenak menatap paper bag di depannya. Menebak apa yang ada di dalamnya.

"Dibuka aja tante." Kata Ali saat mengetahui itu.

Dengan rasa penasaran, Adibah segera membukanya. Bibirnya tak henti tersenyum saat menemukan sebuah kotak berwarna biru serta pita kecil di ujung atasnya. Saat dibuka, senyumnya semakin lebar. Hatinya tersenyuh ketika tau apa isinya. Sebuah celemek motif kotak-kotak berwarna abu-abu. Serta kantung di bagian tengah. Kemudian terdapat namanya di bagian dada.

Perlahan air matanya keluar dari sudut mata. Kemudian meraih sebuah bingkai foto yang juga ada di kotak itu. Menggenggamnya dengan kedua tangan lalu memandang foto itu dengan penuh rasa rindu. Dua remaja yang tertawa bahagia dengan memakai seragam SMP. Serta kedua wajah mereka yang berlumuran tepung.

Dia usap foto itu dengan senyum haru. "Tante rindu kebersamaan ini. Sudah sangat lama tante nggak lihat tawa ini. Mama kamu satu-satunya orang yang selalu berada di samping tante. Dia sahabat yang sangat baik." Senyumnya begitu tulus. Tatapannya juga tak lepas sedikitpun dari foto itu.

Ali yang sedari tadi memperhatikan ikut tersentuh. "Terima kasih juga, karena tante sudah menjadi sahabat yang sangat baik untuk mama." Ucapnya dengan tulus.

Kemudian suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Tampak Adhwa dengan celana kulot hitam serta long hoodie berwarna pink. Kemudian pashmina pink yang menutupi kepalanya.

Gadis itu langsung terlihat canggung saat tau ada tamu bundanya datang. "Em, Adhwa mau—keluar dulu ya?" Padahal niat awalnya ingin mengajak Adibah masuk kamar.

"Mau ke mana?" Tanya sang bunda.

"Mau—jajan."

Kening Adibah mengerut, sepertinya dia tau Adhwa sedang beralasan. "Ndak usah. Masa ada tamu ditinggal." Adibah bangkit dengan pelan sambil membawa hadiahnya dan juga bukunya.

Ali dengan sigap membantu mendorongkan tiang infus begitu tau wanita itu akan masuk ke kamarnya. Sedangkan Adhwa hanya bisa pasrah dan membukakan pintu untuk sang bunda.

***

Suasana tidak seramai biasanya, karena hanya ada mereka bertiga. Apalagi yang aktif berbicara hanya Adibah dan tentunya Ali. Pria itu duduk di kursi samping tempat tidur Adibah. Sedangkan Adhwa jangan ditanya, gadis itu duduk diam di sofa sambil menonton tv. Serta kue bolu yang ada di tangannya.

"Nak, ada tamu kok malah asik nonton tv sendiri." Tegur Adibah.

Mendapat teguran, Adhwa langsung mematikan tv. Tapi dia tidak berhenti di situ, gadis itu mencari kegiatan lain. Dia mengambil ponselnya di atas meja.

"TV mati, handphone yang nyala." Sindir Adibah.

"Ndak pa pa tante. Ini juga udah malem. Ali mau pamit pulang." Sahut pria itu melihat sekilas jam tangannya. Dia diam-diam tersenyum melihat tingkah gadis itu.

"Tuh kan, Alinya sampai mau pulang loh." Omel wanita itu.

Adhwa langsung meletakkan ponselnya lagi. Kali ini dia menurut. Mungkin juga karena pria itu sudah akan pulang.

"Maaf ya..tante jadi nggak enak." Ujarnya pada Ali.

Pria itu tersenyum hangat. "Ndak pa pa tante."

"Yaudah kalau gitu, kamu hati-hati di jalan."

"Iya, makasih tante." Pria itu bangkit dan mencium tangan Adibah. Kemudian menatap Adhwa sebentar bermaksud pamit. Gadis itu paham dan langsung menganggukkan kepala seraya melirik sekilas.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Jawab keduanya sebelum akhirnya Ali keluar dari ruangan.

Adibah kemudian langsung manatap serius putrinya. Adhwa yang ditatap tak berani membalas. Gadis itu menunduk dalam tak berniat memulai pembicaraan. Karena pasti tak akan ada ujungnya. Apalagi tadi pagi dia baru saja mendapatkan nasihat.

Jadi kini dia hanya bisa mendengar tanpa bisa memberi pembelaan.

Lalu tepat jam 20.30, Arya, Safiya dan kedua sahabat Adhwa datang bersamaan. Mereka berkumpul di sofa mendengarkan cerita Adibah tentang kedatangan Ali tadi sore. Sementara Adhwa yang duduk di kursi samping bundanya merasa terpojok dan terintimidasi.

Apalagi Arya yang berbicara panjang lebar. Membuat Adhwa hanya bisa pasrah. Karena kali ini dia sedang tidak berminat untuk berdebat dengan sepupunya itu.

"Mau pakai bahasa apa lagi sih, dek. Kita capek loh, negurnya. Hargai orang dikit dong. Toh Ali juga nggak reguiin kamu." Omel Arya.

"Cakep loh dia, Wa. Udah tinggi, ganteng, baik, apa lagi dompetnya. Cocok bangetlah itu." Imbuh Myra yang sedang menikmati terang bulan dari sepasang suami istri itu.

"Emang dianya mau sama kamu?" Cibir Galih.

"Ya—nggak mungkin sih."

"Menyendiri juga ada batas waktunya kali, Wa." Tegur Galih yang merasa kasihan karena Adhwa selalu berada di situasi ini.

"Dengerin tuh. Ngapain nungguin orang nggak jelas masih hidup atau enggak." Sarkas Arya tanpa ragu. Adhwa yang mendengarnya merasa tersinggung.

"7 tahun juga nggak sebentar mas." Balas Adhwa setenang mungkin.

"7 tahun kalau ujung-ujungnya nyakitin buat apa?" Sarkas Arya tanpa ragu. Membuat Adhwa tersentak.

"Ya emangnya Adhwa bakal tau akhirnya gini?" Ketus Adhwa.

"Karena itu, kamunya jangan terlalu berlarut dong."

"Udah, ah. Pembicaraan cukup sampai di sini." Adhwa bangkit dari kursi.

"Mau ke mana lagi?" Tanya Arya mencegahnya pergi.

"Mau keluar." Jawabnya.

"Enggak. Kamu tetap di sini. Kamu nggak bisa terus menghindar, sayang." Sahut Adibah, membuat Adhwa berhenti. Dan dia memalingkan wajah dari bundanya. "Bunda ngerti kamu butuh waktu. Tapi mau sampai kapan? Umur nggak ada yang tau. Selagi bunda masih ada, biarkan bunda melihat kamu bahagia."

"Adhwa bahagia sama bunda." Dia menoleh ke Adibah. "Adhwa nggak butuh yang lain." Tanpa sadar kalimat itu membuat hati Adibah tersayat. Wanita itu merasa pilu dengan keadaan putrinya.

"Sayang..." Adibah meraih tangan putrinya. Menariknya duduk kembali. "Bunda sayang sama kamu. Begitupun dengan ayah. Ayah sangat menyayangimu. Bunda ingat ayah pernah bilang, kalau ayah pengen banget lihat putrinya bahagia. Lihat putrinya ada yang jagain setelah ayah nggak ada." Wanita itu menatap lembut putrinya. "Kalau memang belum siap, baiklah. Bunda menyerah. Tapi tolong, untuk bersosialisasi sama orang-orang. Menutup diri terlalu berlebihan itu juga nggak baik."

Adhwa menunduk diam. "Maaf bun.." Lirihnya. "Adhwa belum siap denger mereka ngungkit kejadian 2 tahun lalu." Dia berusaha menahan air matanya keluar.

"Jika itu yang kamu takutkan, buktikan ke mereka kalau kamu gadis yang kuat. Jangan justru bersikap seperti ini."

"Adhwa juga masih merasa bersalah sama ayah bun. Adhwa udah buat ayah kecewa. Ayah pasti marah sama Adhwa." Ucapnya dengan suara serak. Air mata yang sebelumnya tertahan akhirnya keluar begitu saja.

Adhwa menutup matanya dengan tangan kiri. Berusaha untuk menahan tapi nyatanya tak bisa. Isakkannya semakin keras saat Adibah mendekat dan menariknya dalam pelukan.

Yang lain juga ikut merasa sedih. Teringat peristiwa pilu yang muncul secara berurutan. Dari yang awalnya begitu bahagia sampai berujung duka.

Peristiwa yang memilukan masih teringat jelas sampai sekarang. Sebuah pernikahan yang gagal dan berakhir duka. Yang dari awal dipaksakan akhirnya menjadi boomerang untuk Adhwa dan keluarga tentunya. Bahkan gadis itu sampai kehilangan seseorang yang begitu berharga. Restu Bagaskoro, terkena serangan jantung pada saat kejadian. Dan dinyatakan meninggal dunia ketika sampai di rumah sakit.

Peristiwa itu juga yang menjadi salah satu alasan Adhwa jadi menutup diri.

***

Keesokan harinya Adibah maupun yang lain tidak membahas kejadian semalam. Seolah tak terjadi apa-apa mereka bercanda seperti biasa. Tapi tak dipungkiri Adhwa sesekali melamun.

Lalu Adibah yang diizinkan pulang tapi tetap dalam pengawasan dokter. Itu membuat Adhwa serta yang lain lega dan bersyukur.

Tidak lupa Arini yang diberitahu Ambar langsung ingin datang ke rumah. Arini yang begitu semangat ingin mengadakan acara makan bersama.

Adibah langsung terkekeh ketika mendengarnya dari telepon. Arini bahkan mengajaknya bicara cukup lama.

Sementara Adhwa sedang melatih dirinya sendiri untuk bisa keluar dari dunianya. Dia mulai ikut bergabung ketika beberapa tetangga dekat datang untuk menjenguk Adibah. Gadis itu juga sesekali menyahut obrolan mereka.

Adhwa berusaha untuk meyakinkan diri bahwa, semua ada masanya. Sekarang masanya dia untuk menjauh dari sesuatu yang dari awal bukan miliknya.

Semua hal tentang 'Dia' bukan lagi untuk diingat. Bukan lagi untuk dinanti atau diharapkan. 'Dia' yang memilih untuk pergi dan seharusnya Adhwa juga harus beranjak ke arah lain.

Dengan sekuat hati Adhwa membuang segala kenangan itu. Dan semoga Adhwa mampu melewatinya.

Malam hari tepat pukul 20.15, Adhwa sedang duduk di bangku kayu panjang dengan es teh di depannya. Menatap jalanan yang cukup ramai. Serta suara pengunjung warung yang dia datangi sekarang.

Adhwa sedang menunggu makanannya datang. Malam ini dia ingin makan di warung favoritnya. Yang biasanya dia datangi bersama bunda dan ayahnya. Setiap malam minggu mereka bertiga akan makan di warung itu. Warung sambelan yang selalu ramai dan jarang sepi.

Gadis itu datang karena merindukan sang ayah. Dia rindu ketika Restu memarahinya karena pakai sambal terlalu banyak. Dia juga rindu saat ayahnya selalu tidak protes ketika meminta jajanan lain setelah makan di warung.

Adhwa selalu merindukan momen hangat itu. Adhwa rindu semua hal bersama ayahnya. Sangat...

"Ayah...Adhwa kangen.." Ucapnya lirih sambil memejamkan mata. Menahan sekuat tenaga agar air matanya tidak keluar.

"Hei. Makan nggak ngajak-ngajak." Ucap seseorang tiba-tiba. Adhwa tersentak dan langsung menoleh ke sumber suara. "Aku ke rumah kamu. Tapi ternyata di sini." Myra duduk di bangku seberangnya.

Adhwa melihat ke kiri, karena Myra tidak datang sendiri. Ada Galih yang duduk di samping Myra, lalu sebelahnya ada Ali. Tatapannya beralih ke orang sebelahnya, ada Safiya, kemudian Arya terakhir Reza.

Gadis itu terdiam cukup lama. Masih kaget dengan kedatangan mereka. Padahal awalnya tadi ingin menikmati momen bersama kenangan ayahnya.

"Nggak usah kaget gitu. Kita ke sini juga mau makan. Kan belum pernah makan bareng." Celetuk Galih.

"Biasa aja dek, nggak usah kayak ngelihat hantu gitu." Tambah Arya.

Adhwa lantas menatap Myra. "Ngapain?"

"Ya makan, Wa. Ini kan warung makan." Jawab Myra seadanya. Tapi Adhwa tidak semudah itu percaya. "Ngobrolnya dilanjut nanti. Sekarang mau pesen makan dulu." Sahabatnya itu beralih ke yang lain untuk menanyakan apa yang ingin di pesan.

Sementara Adhwa sibuk dengan pemikirannya sendiri. Berpikir keras apa yang mereka rencanakan. Tak mungkin tiba-tiba mereka datang ramai-ramai begini.

Setelah beberapa saat, pesanan mereka sudah datang semua. Mereka makan dengan santai sambil bertanya kesibukan masing-masing. Seperti Arya yang membahas pekerjaan dengan Ali, Reza dan juga Galih.

Ditengah kesibukan mereka, ponsel Adhwa berbunyi. Panggilan dengan nomor tak dikenal. Gadis itu mengerutkan kening melihat nomor yang tertera. Lantas memanggil Myra. "Myra, angkat gih." Dia menyerahkan ponselnya ke Myra.

"Itu kan handphone kamu."

"Nggak mau ah, nomor nggak dikenal."

"Ya tinggal jawab aja Adhwa. Orangnya juga nggak kelihatan, nggak bakal bisa culik kamu." Ucap Myra melanjutkan makannya.

"Kata siapa?" Beo Adhwa. "Orang kalau mau niat jahat, pasti punya segala cara." Gadis itu menarik kembali ponselnya.

"Itu pikiran kamu yang suudzon." Sahut sahabatnya itu.

"Yaudah aku matiin ya." Baru ingin menggeser tombol merah, Arya menyela.

"Sini-sini, biar mas yang jawab." Adhwa langsung mendekatkan ponselnya ke Arya. "Loadspeaker." Tambahnya.

Sebenarnya situasi ini sudah sering terjadi. Adhwa selalu meminta orang untuk menjawab panggilan dari nomor tak dikenal. Karena pernah dia menjawab, tapi ternyata orang iseng dan terkadang orang yang tiba-tiba mengajak kenalan. Itu membuat dia risih sekaligus takut. Makanya sekarang dia meminta orang di sekitarnya untuk menjawab atau tidak dia akan mematikan saja tanpa mencari tahu.

Kemudian Adhwa menggeser tombol hijau dan menekan tombol speaker sesuai perintah Arya. Karena kedua tangan pria itu sibuk memegang kerupuk dan ayam.

"Assalamualaikum, siapa ya?" Salam Arya.

Setelah beberapa detik, tak ada sahutan. Pria berkaos putih itu pun berucap kembali. Tapi kembali tak ada yang menjawab. Kemudian panggilan terputus.

Adhwa menarik ponselnya lagi. Melihat daftar riwayat panggilan. Keningnya berkerut karena baru menyadari jika ada 2 nomor tak dikenal menelepon sebelumnya.

"Sebelum ini udah ada yang telepon 2 nomor berbeda. Tapi nggak aku angkat dua-duanya." Gumamnya sambil melihat 2 nomor yang tertera.

"Dari salah satunya udah ada yang kamu kirim pesan nggak?" Tanya Safiya.

Adhwa menggeleng. "Enggak. Takut." Jawabnya dengan polos.

"Mungkin nawarin kartu kredit." Celetuk Galih yang menyesap es tehnya.

"Kalau kartu kredit atau semacamnya nomornya beda." Sahut pemilik ponsel.

"Lagian nomor kamu kok bisa kesebar gitu." Kata Myra setelah menghabiskan makanannya.

"Ya mana aku tahu."

Sedetik kemudian panggilan masuk lagi dari nomor yang sama. "Eh, telepon lagi."

"Coba kamu jawab deh, mungkin aja tadi dimatiin karena dikira bukan nomor kamu." Usul Myra.

Adhwa sedikit ragu tapi akhirnya menuruti, meski harus menahan takut. "Assalamualaikum. Siapa ya?"

Suara Adhwa cukup pelan, namun tetap terdengar jelas. Gadis itu menunggu jawaban, namun tak kunjung mendengar suara sedikitpun.

"Assalamualaikum, maaf ada perlu apa ya?" Adhwa memberanikan diri untuk berkata lagi, tapi tak ada jawaban lagi. Sampai saat ingin memutuskan panggilan, terdengar suara yang sangat dikenalnya.

Suara yang membuatnya tertegun. Begitu juga tubuhnya yang mendadak mematung. Kemudian kedua tangannya yang mulai berkeringat dingin. Dia merasa waktu seolah berhenti saat itu juga.

Reaksi itu tentunya membuat yang lain khawatir saat melihatnya. Terutama Myra yang tepat di depan Adhwa. "Wa, kenapa?" Tanyanya menatap lekat gadis itu.

Adhwa diam tak merespon. "Adhwa, siapa yang telepon?" Tanya Myra lagi. Dan Adhwa masih saja diam.

Sampai Safiya ikut memanggil Adhwa. "Dek." Wanita itu memegang tangan Adhwa yang berada di pangkuan.

"Ha?" Gadis itu akhirnya tersadar dan menoleh ke kiri dengan sorot mata yang gelisah.

"Kamu kenapa? Siapa yang telepon?" Tanya Safiya dengan lembut.

"E—itu—nggak tau. Tadi kayak denger suara orang berantem, jadi kaget." Kegelisahan Adhwa terlihat begitu jelas. Tapi gadis itu berusaha untuk tetap tenang.

"Yakin?" Safiya sedikit curiga dengan ucapan Adhwa. Karena tidak sesuai dengan reaksi tubuh gadis itu.

Adhwa mengangguk ragu. "Iya."

Mendengar pernyataan Adhwa, Arya tak langsung percaya. Pria itu yakin jika Adhwa menyembunyikan sesuatu.

Tak hanya Arya, Myra serta Galih juga berpikir sama. Keduanya tak percaya dengan apa yang diucapkan Adhwa.

""Yaudah kalau gitu, habis ini kita pulang aja. Udah jam 21.30 juga." Putus Safiya.

Mereka kemudian menyelesaikan makannya. Sementara Ali yang sedari tadi memperhatikan interaksi mereka tak sengaja bertemu tatap dengan Adhwa. Hanya berselang beberapa detik, namun Ali dapat melihat perasaan luka dari tatapan itu.

"Gue yakin 100% bentar lagi bakal ada perubahan besar." Bisik Reza memerhatikan sahabatnya itu.

Mendengarnya, Ali menoleh. "Maksud lo apa?"

"Lihat aja ntar." Singkat Reza menyudahi makan. Pria itu meminum es tehnya tanpa menjelaskan apa yang di katakan.

Sedangkan Ali tak ambil pusing. Dia lebih memilih menyelesaikan makan. Namun anehnya terganggu dengan tatapan gadis itu. Seolah sekarang dirinya mudah terpengaruh oleh orang lain. Padahal sebelumnya dia tidak pernah peduli dengan masalah orang lain.

Pria itu lantas menatap Reza lekat dan berbicara dalam hati, "Mungkinkah ini yang Reza maksud?"

***

Malam semakin larut, waktu sudah menunjukkan jam 23.00. Tapi rasa kantuk sama sekali tidak Adhwa rasakan. Dia berbaring dan masih terjaga menatap langit-langit atap. Pikirannya melayang mengenai kejadian tadi. Suara itu mengingatkannya pada seseorang. Suara yang begitu dia kenal.

Namun dia tidak yakin sepenuhnya, karena mungkin saja suara itu hanya mirip. Lagi pula jika memang benar orang itu, kenapa tidak menemuinya langsung? Kenapa harus telepon? Orang itu juga tahu alamat pakdenya.

Kepala Adhwa semakin pusing memikirkannya. Dia memilih memiringkan tubuhnya menghadap Adibah. Menatap wajah tenang bundanya. Adhwa merasa lega ketika bundanya keluar dari rumah sakit. Walaupun masih ada kekhawatiran karena Adibah belum sepenuhnya sembuh.

Adhwa merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal sepenting itu. Padahal setiap hari dia bersama bundanya.

Gadis itu menatap sendu Adibah. Bibirnya tersenyum tipis mengingat betapa bahagianya mereka dulu saat masih bersama Alm. Restu. Tidur bertiga dalam satu ranjang adalah kebiasaan mereka ketika malam minggu. Bercerita tentang apapun sampai ketiganya tertidur.

Adhwa sangat rindu, sangat. Di saat-saat seperti ini rasanya ingin sekali dia kembali ke masa itu. Masa sebelum dia kehilangan ayah tercintanya. Masa dimana dia tidak dikecewakan oleh seseorang. Dan masa disaat dia hanya memikirkan ayah bundanya saja.

Kenangan itu masih tergambar jelas di ingatannya. Bagaimana dia selalu mengandalkan ayahnya, selalu merasa nyaman sekaligus aman bersama ayahnya. Adhwa ingin sekali memeluknya, menceritakan semua yang dia rasakan. Lalu merasakan usapan lembut dikepalanya, tepukan halus di pundaknya. Suara yang selalu menenangkannya. Adhwa ingin sekali merasakan itu sekarang. Dia sangat membutuhkannya.

"Ayah..." Panggilnya dalam hati. Perlahan matanya mulai memanas. Air matanya pun tak terbendung lagi. Dia membekap mulutnya sendiri agar Adibah tidak sampai mendengar. Menahan tangis dengan sekuat tenaga. Serta mengatur nafasnya agar kembali tenang.

Sekarang dia dilanda rasa bimbang. Dan pada akhirnya dia harus memilih, ingin mencari tahu tentang suara itu ataukah mengabaikannya dan menganggap itu hanya sebuah kebetulan saja.

Keputusan ada ditangannya. Mau bagaimana pun ini bukan hanya tentang hidupnya sendiri. Tapi juga menyangkut orang-orang di sekitarnya.