webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · History
Not enough ratings
17 Chs

Bagian 15 | Hati [Flashback]

Selamat membaca! 😊

________________________

Hari sudah malam, pukul menunjukkan jam 21.00. Seusai dari rumah sakit menjenguk Tante Adibah tadi, mereka memutuskan untuk pulang. Karena Ali tidak bisa lama lama, pria itu masih memiliki jadwal makan malam dengan cliennya.

Dan saat ini dia sedang berada di Nuraga Coffe dekat kantornya. Yang tentunya ditemani oleh Rafka.

"Terhitung sudah 3 tahun saya tidak bertemu kamu. Ternyata tidak ada yang berubah dari kamu." Ujar pria berumur sama seperti ayahnya Rafka. Dengan di sampingnya seorang wanita berbaju formal.

Sementara Ali hanya diam dan fokus dengan map di tangannya. "Sebenarnya kamu punya potensi untuk menggantikan papamu. Tapi sayang, kamu justru di tempatkan di anak perusahaannya." Ucap pria itu lagi dengan angkuhnya. "Padahal kamu itu cucu kesayangan keluarga Arifansyah."

"Cukup." Ucap Ali dengan tegas. Disertai suara map yang dia letakkan sedikit keras ke atas meja. "Sepertinya pembicaraan kita selesai. Rasa rasanya kurang pantas anda membicarakan masalah orang lain yang notabanenya bukan keluarga." Sarkasnya sambil menatap lurus ke pria di depannya.

Seolah tak terpengaruh, pria itu yang tak lain adalah Adam Malik Ibrahim, hanya tersenyum miring. "Memang sudah sepantasnya Abimanyu yang menggantikan papamu." Balasnya.

Sontak rahang Ali mengeras dan tatapannya berubah tajam. Bahkan kedua tangannya sudah mengepal.

"Eum, sepertinya untuk pembicaraan kali ini sudah cukup. Jika ada yang perlu ditanyakan silahkan hubungi saya." Pungkas Rafka. Dia takut terjadi hal hal yang tidak diinginkan. Apalagi melihat keadaan Ali yang seperti itu.

"Baik pak." Sahut cepat wanita di sebelah Malik. Dan wanita itu sangat mengerti situasinya.

"Kalau gitu terima kasih atas waktunya. Dan terima kasih atas kerja samanya." Ucap Rafka terburu buru sembari membereskan beberapa dokumen dan laptop.

Malik yang terlihat sangat santai tanpa takut bangkit dari duduknya lalu mengulurkan tangan pada pria di hadapannya.

Ali yang masih terbawa emosi segera bangkit dan membalas uluran itu. Dengan menahan emosi yang sudah di puncak, pria itu tetap bersikap profesional.

"Senang bekerja sama dengan anda Pak Muhammad Ali Arifansyah." Ucap Malik dengan senyum kemenangan.

"Saya pun begitu Pak Adam Malik Ibrahim." Balas Ali dengan nada penekanan.

Seusai berjabat tangan akhirnya Rafka dan Ali memutuskan untuk segera pergi.

Selama perjalanan pulang, Ali lebih banyak diam. Yang mengemudi pun juga berganti Rafka. Ali lebih memilih duduk di bangku penumpang dengan pandangan keluar jendela. Rafka yang merasa was was sesekali melirik spion depannya untuk melirik ke belakang.

Hingga tiba di tujuan, Ali segera keluar dari mobil. "Al, nanti kalau nyokap nyariin gimana?" Tanya Rafka begitu kaca mobil turun.

"Bilang aja ada kerjaan harus lembur." Jawab Ali dengan santai.

Rafka kemudian menghembuskan nafas berat. "Yaudah, kalau ada yang dibutuhin telpon."

"Hm." Gumam sepupunya itu.

"Assalamualaikum." Salam Rafka sebelum menutup kaca mobil kembali.

"Waalaikumsalam." Jawab Ali. Kemudian mobil berjalan menjauh, barulah dia melangkah masuk ke gedung tinggi di hadapannya.

Yah, pria itu pergi ke kantor dan memutuskan untuk bermalam di sana. Dengan keadaan pikiran yang kacau seperti ini membuatnya tak bisa untuk pulang. Karena nanti dirinya akan mendapat pertanyaan yang bertubi tubi dari mamanya.

***

Keesokan harinya, Ali terbangun dengan keadaan memakai kemeja putih serta celana formalnya. Mengingat semalam dia tidak pulang. Pria itu melirik jam dinding, pukul menunjukkan 08.00. Ali mengusap wajahnya pelan lalu memijat pangkal hidungnya. Semalam dia baru tidur pukul 02.00. Dan setelah subuh tadi dia tidur lagi. Membuat kepalanya benar benar pening.

Tak lama kemudian suara ketukan pintu terdengar. Tubuhnya bangun dan beralih duduk. "Masuk!" Perintahnya.

Pintu terbuka, tampaklah laki laki yang lebih muda darinya. "Pak Ali mau dibuatin sesuatu?" Tanyanya.

"Iya, tolong buatin teh anget. Dan gulanya dikit aja." Pinta Ali sambil memejamkan mata, menyandarkan punggungnya pada sofa.

"Siap pak!" Ucap laki laki itu sebelum menutup pintu kembali.

Magani Cakrawala. Nama yang sangat bagus. Dia seorang Office Boy yang paling pengertian bagi Ali. Laki laki itu yang biasa dipanggil Gani, menjadi karyawan di kantor Ali melaluwi jalur yang tak terduga. Karena dulu, 5 tahun lalu, Ali bertemu Gani karena sebuah kecelakaan. Gani yang baru saja dipecat pekerjaannya tiba tiba saja diserempet mobil. Yang kebetulan Ali berada di tempat kejadian. Pria itu kemudian membantu Gani dan membawanya ke puskesmas terdekat. Lantaran yang menyerempet juga pergi begitu saja.

Akhirnya setiba di lokasi, Gani diobati dengan sesekali bercerita atas ketidakberuntungan nya di hari itu. Sontak Ali cukup prihatin, alhasil pria itu menawarkan pekerjaan pada Gani. Dan tentunya melewati prosedur yang sudah tertera.

Gani yang merasa terkejut sekaligus haru mematung seketika. Namun tak lama kemudian dia mengucapkan terima kasih berulang kali. Dan sejak saat itu Gani bekerja di kantor Ali sampai sekarang.

Semenjak itu juga, Gani bertekad untuk bersungguh-sungguh saat bekerja. Meskipun dia hanya seorang Office Boy. Tapi pekerjaan apapun itu tetap mulia selama tidak bertentangan dengan agama dan hukum.

15 menit kemudian Gani kembali dengn membawa nampan yang di atasnya ada secangkir teh.

Laki laki itu menaruhnya ke atas meja depan Ali. "Ini pak, silahkan di minum." Ujarnya.

"Makasih Gani." Ucap Ali.

"Sama sama pak." Jawab Gani yang berdiri di samping meja.

Ali pun menyesapnya sedikit demi sedikit. Dan Gani masih berdiri di sana sambil memperhatikan pria itu.

Begitu cangkir diletakkan lagi ke atas meja, Gani kembali bersuara. "Bapak mau dibelikan bubur buat sarapan? Saya belikan sekarang."

Pria itu menggeleng pelan. "Nggak Gan, saya mau pulang aja. Sarapan di rumah. Mama saya pasti udah nungguin. Nanti kalau nggak cepet cepet pulang, dikeluarin dari KK ntar."

Gani terkekeh lirih mendengar jawaban bosnya. "Oh ya, Pak Rafka udah datang belum?" Tanya Ali.

"Belum pak." Jawabnya sambil menggeleng.

"Assalamualaikum!" Salam seseorang membuka pintu.

"Waalaikumsalam." Jawab kedua orang itu.

"Al, pulang sono, aku diomelin Tante Arini noh. Nggak bisa tidur semaleman. Mana kerjaan banyak lagi." Gerutu Rafka yang baru saja mendaratkan pantatnya ke sofa samping sepupunya itu.

Bukannya merasa bersalah, Ali justru menyengir serta terkekeh geli. "Malah nyengir lagi." Cibir Rafka.

"Emang, masalahnya serius banget ya, pak?" Tanya hati hati Gani.

Sontak Rafka menoleh. "Bukan serius lagi Gan. Ribet dah, pokoknya. Pala lo bisa pecah kalau tau." Dan Gani hanya manggut manggut.

"Oh ya, bikinin saya minuman ya. Yang seger seger gitu." Pinta Rafka.

"Oke pak, siap!" Jawab Gani dengan tangan posisi hormat. Setelah itu dia pergi keluar membuat sesuai permintaan Rafka.

Dan suasana menjadi hening setelah kepergian Gani. Sampai dari salah satunya bersuara. "Kurang kurangin deh Al. Mending kamu tetep pulang aja kalau lagi emosi begitu. Kasihan Tante Arini, selalu kepikiran tiap kali kamu nggak pulang. Walaupun udah tau kamunya ke mana." Tutur Rafka dengan tenang.

"Kalau aku pulang, yang ada mama makin nanya yang lain lain. Dan itu bikin pikiran aku nggak karuan, mas."

"Ya pasti itu. Namanya juga orang tua pasti peduli sama anaknya." Jelas Rafka dengan pelan. "Tinggal kamunya aja. Pinter pinter jawab pertanyaan Tante Arini sama menstabilkan emosi. Dan, aku yakin kok kamu bisa Al." Sambungnya meyakinkan.

Ali melirik sepupunya itu sekilas. Kemudian menghembuskan nafas berat. Seusai itu suasana kembali hening. Keduanya sama sama tak berniat untuk bersuara.

Ali menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata. Sedangkan Rafka beranjak melihat berkas berkas yang ada di meja kerja sepupunya itu.

***

Sebuah mobil memasuki halaman rumah dan terpakir. Setelah itu keluar seorang pria berkemeja putih dengan jas di tangannya.

Kakinya melangkah menaiki anak tangga kemudian membuka pintu kayu yang menjulang tinggi. Ketika sudah di dalam dia mengucap salam sembari melepas sepatunya. Kemudian menaiki anak tangga lagi, dan samar samar mendengar jawaban salam. Begitu sampai di atas, dia menemukan dua pasang suami istri duduk di ruang tamu.

Kemudian kakinya beralih melangkah ke arah kiri, tepatnya di dapur. Di sana dia menemukan sosok yang dia cari. Dengan senyum lebar dia berjalan yakin. Meski rasanya seperti senam jantung.

"Mama." Panggilnya.

Namun sosok wanita yang membelakangi di hadapannya diam dan sibuk mencuci piring.

Langkah Ali semakin mendekat. Hingga tepat di belakang wanita itu, Ali langsung memeluknya tanpa berpikir lagi.

"Maaf mama sayangku. Ali bener bener lupa mau kabarin mama. Kan, kerjaan Ali banyak banget ma. Jadi kemarin itu, Ali nggak bisa pulang." Rayu pria itu seraya memajukan wajahnya melirik sang mama.

"Bohong. Nggak usah bohong sama mama. Rafka udah ngaku sama mama." Omel Arini.

Sontak Ali menghembuskan nafas pelan. "Sudah kuduga." Ucapnya dalam hati.

"Mama tuh nggak habis pikir sama kamu." Ucap Arini begitu menyelesaikan pekerjaannya. Tubuhnya berputar melepas pelukan putranya. Ali pun mundur selangkah. "Mama udah berulangkali bilang, nggak ada lagi acara kabur kabur an." Sambungnya dengan tegas. "Kamu mau mama masuk rumah sakit lagi?"

Mata Ali langsung membulat. "No!" Kepalanya menggeleng beberapa kali.

"Terus kenapa kemarin nggak pulang?" Tanya wanita itu sembari menyilangkan tangannya di dada.

"Anu." Ali menunduk dengan kedua tangan bertaut di belakang tubuhnya.

"Anu apa?"

"Itu, yaa itu." Untuk kali ini Ali tidak bisa melawan lagi. Posisinya sama persis seperti seorang anak yang dimarahi karena ketahuan bolos sekolah.

"Yang jelas ngomongnya."

"Kan, Mas Rafka udah cerita." Jawabnya pelan.

"Tapi mama pengen tau, kenapa kamu nggak pulang dan milih buat tidur di kantor."

Ali tak langsung menjawab. Pria itu bergumam dan terlihat berpikir. "Ali nggak mau bikin mama kepikiran." Ucapnya seraya menahan sesak di dada. Dia merasa seperti tertimbun batu ketika teringat kejadian semalam. Lebih tepatnya kalimat yang Malik ucapkan.

"Justru kalau kamu nggak pulang, mama malah makin kepikiran." Ucap Arini dengan lembut. Wanita itu mendekat lalu merangkul kedua bahu putranya dengan sayang. "Mama nggak mau kamu kenapa-kenapa. Yang mama punya sekarang cuma kamu sama Lena. Mama nggak mau kehilangan kalian lagi." Sambungnya.

"Mama nggak akan kehilangan siapapun lagi. Ali akan selalu sama mama begitupun Lena." Pria itu membalas pelukan sang mama.

Adegan itu tentunya tak luput dari perhatian Bara dan juga Farida. Sepasang suami istri itu tersenyum lembut. "Papa harap, semua bisa kembali baik baik saja." Kalimat Bara membuat istrinya menoleh. "Aamiin." Balas Farida.

Farida tentu tau apa maksud dari kalimat suaminya. Karena dia pun juga menginginkan hal yang sama.

***

Setelah adegan permintaan maaf di dapur tadi, Ali pergi ke kamar untuk membersihkan diri. Setibanya di kamar, dia duduk di tepi kasur. Melepas jam tangan serta kaos kaki. Kemudian bangkit dan pergi ke kamar mandi.

Tak lama, dia keluar dari kamar mandi dengan keadaan segar juga rambut yang basah. Kemudian pintu terbuka secara tiba tiba disertai kemunculan seorang gadis dengan senyuman lebar. Membuat Ali otomatis menoleh.

"Hola!" Serunya sambil mengedipkan mata beberapa kali.

"Bisa nggak sih, kalau masuk itu ketuk pintu dulu?" Geram pria itu.

"Maaf. Hehe." Tubuh gadis itu masuk sepenuhnya. Lalu mendekati Ali yang masih di dekat pintu kamar mandi.

Ali yang sedang mengecek ponsel yang terletak di nakas samping kiri menyipitkan mata pada gerak gerik gadis itu.

Lena, adik tersayangnya itu masih memberikan senyuman termanis mendekati sang kakak dengan kedua tangan bertaut di belakang tubuhnya.

"Apa nih? Senyum senyum. Mencurigakan."

Lena semakin mendekat dengan sedikit pincang. Sedangkan Ali menatapnya dengan alis terangkat sebelah.

"Mas Ali ku yang ganteng..." Ucap gadis itu dengan manis nan lembut.

"Tuh kan, bener kan. Pasti ada sesuatu nih." Ali mundur sedikit saat gadis itu maju dan memamerkan wajah polosnya.

"Udah deh, mukanya nggak usah dipolos polosin." Ucap sang kakak.

"Iiihh, kan aku emang masih polos." Lena memanyunkan bibirnya.

"Bermotif kamu tuh." Balas Ali.

"Hahayy. Polkadot dong."

"Udah ah, mau apa? Nggak usah sok manis deh."

"Ituu... Pinjem laptopnya. Laptopku kan masih disekolahin."

"Itu kakimu kenapa?" Tanya Ali saat menyadarinya.

Lena otomatis menunduk, menatap kakinya sekilas. "Anu. Kemarin malam habis jatuh dari tangga."

"Kebanyakan tingkah sih." Cibir pria itu.

"Ih, bukannya didoain cepet sembuh, malah disukurin." Ucap Lena dengan cemberut.

"Kan emang begitu kenyataannya." Pria itu kemudian berjalan ke kiri. Menaruh ponselnya telebih dahulu sebelum mengambil laptopnya di dalam tas kerja yang terletak di atas nakas.

Lena yang melihat itu segera menengadahkan kedua tangan sambil tersenyum manis. Bermaksud menerima laptopnya. Tapi ternyata pria itu berbalik masuk ke kamar mandi. Lena mengerutkan kening bingung. Namun saat Ali muncul lagi, ternyata hanya mengembalikan handuk.

Gadis itu kembali tersenyum, siap menerima laptopnya. Namun kembali dibingungkan karena Ali tidak segera memberikannya. Pria itu mengambil ponselnya tadi lalu memasukkannya ke saku celana.

"Kamu mau turun atau di atas aja?" Tanya pria itu.

"Maunya sih turun. Tapi buku buku aku masih ada di kamar."

"Yaudah. Mas tungguin di depan pintu kamar." Pria itu segera keluar kamar dengan diikuti Lena yang masih tidak mengerti maksud kakaknya.

Setelah keduanya keluar. Ali menyuruh adiknya itu mengambil buku buku yang dibutuhkan sekaligus tas. Sedangkan dia berdiri di depan pintu kamar Lena dengan laptop yang masih ditangannya.

Beberapa menit kemudian, Lena keluar kamar. "Udah. Terus ngapain?" Ucapnya sambil menutup pintu kembali.

"Pegang nih, laptopnya." Ali memberikan laptopnya.

Gadis itu menerimanya, namun langsung terkejut saat kakaknya berjongkok membelakanginya dan siap menggendong. "Naik gih." Ucap kakaknya.

Sontak Lena tersenyum manis serta terharu. "So sweet banget sih, masku yang baik hati ini." Puji Lena sembari naik ke punggung Ali.

Tapi sebelum itu dia memasukkan semua barang barang ke dalam tas. "Seneng deh, punya kakak kayak gini." Pujinya lagi.

"Preet. Katanya mas itu kulkas. Galak, nggak seru. Monoton." Ketus sang kakak yang berdiri kemudian membenarkan posisi Lena.

"Enggak kok. Itu cuman abal abal aja. Ungkapan kalau Lena lagi kesel sama mas." Balas Lena dengan tulus.

"Ooh, jadi kalau lagi nggak kesel langsung puji puji." Kata Ali sambil berjalan menuju tangga.

"Iih, sebel deh. Nggak gitu juga mas..." Lena mulai kesal dengan obrolan itu.

Sontak Ali terkekeh pelan melihat adiknya itu kesal. "Nanti kalau ada yang deketin kamu, bilang ya sama mas." Ucapnya tiba tiba.

"Kok tiba tiba ngomongin itu?" Tanya Lena ketika menuruni anak tangga.

"Ya nggak pa pa. Tiba tiba mas kepikiran itu aja."

Lena manggut manggut. "Iya. Pasti Lena bakal cerita sama mas. Mas juga harus cerita kalau udah dapet calon istri. Eh—udah dapet sih."

"Siapa?" Kening Ali berkerut.

"Mbak Adhwa."

"Kata siapa?"

"Kata ku. Lagian nggak pa pa juga sih. Mbak Adhwa kan manis, baik juga. Orangnya juga kayaknya tulus. Jadi ya, oke oke aja."

"Emang udah pernah ketemu? Kok bisa menyimpulkan itu?"

"Belum sih, tapi dari omongan mama sama Mas Rafka aku udah bisa ngerasain."

Mendengar ucapan adiknya, Ali diam diam tersenyum. Karena mungkin pria itu juga merasakannya. Adhwa memang berbeda, entah mengapa. Bahkan hanya kepada gadis itu Ali bisa tersenyum lembut ke perempuan yang baru dikenal. Aneh sih, tapi entah kenapa Ali sangat tidak merasa keberatan akan hal itu.

"Yeee, malah senyum senyum." Kata Lena saat melirik sang kakak. "Pasti lagi kebayang Mbak Adhwa ya?" Godanya.

Sontak Ali menggeleng cepat karena ketahuan. "Enggak."

"Halah, ngaku aja. Nggak usah gengsi. Cowok mah, kebanyakan gengsi." Cibir Lena.

Sementara Ali diam tak membalas. Dia juga sudah kehabisan alasan untuk mengelak.

"Eh, Tom and Jerry nya akur." Celetuk Farida yang sedang duduk bersebelahan dengan putrinya. Dia tersenyum manis saat melihat kedua cucunya berdamai seperti sekarang.

"Ya nggak enaklah nek, berantem tapi lawannya lagi sakit kakinya. Ntar dikira nggak suportif." Kata Ali ketika menurunkan Lena ke sofa.

"Preet, gengsi dia nek. Mau ngakuin kalau emang sebenarnya itu Mas Ali sayang banget sama aku. Jadi ya, nggak tega gitu." Sahut Lena.

"Ih, PD banget kamu." Cibir pria itu seraya berlalu ke dapur untuk mengambil minum.

"Harus itu." Balas Lena yang mulai membuka tasnya.

"Kalau terlalu tinggi ya jangan. Ntar jatuh, sakit." Pria itu meneguk air pada botol yang pegangnya.

"Nggak pa pa jatuh, nanti bisa berdiri lagi."

"Baru juga akur, udah ribut lagi." Farida menatap keduanya secara bergantian.

Yang ada di dapur hanya terkekeh pelan, sedangkan yang satunya tertawa renyah. "Ya begitu konsepnya nek. Sekali akur, sekali ribut. Kalau nggak gitu, bukan Lena dan Ali namanya."

"Masalah gini aja, pinter jawabnya." Sindir Farida.

Sontak Lena menunduk sambil menyengir karena sindiran sang nenek.

"Oh ya, tadi ada yang telepon mama loh Len." Celetuk Arini yang duduk di belakang gadis itu. Sebab, posisi Lena duduk di bawah, tepat di atas karpet. Dengan buku buku dan juga laptop di hadapannya.

"Telepon dari siapa ma?" Tanya cepat Ali. Pria itu langsung menuju ruang tamu. Duduk di sebelah kanan mamanya.

"Namanya, Bian kalau nggak salah."

"Muhammad Dirga Biantara." Sahut Lena sambil membaca buku yang dia pegang.

"Siapa tuh?" Tanya Ali penasaran.

"Temen kuliah." Jawabnya singkat.

"Beneran?" Alis Ali sudah terangkat sebelah, pertanda Lena harus hati hati berkata. Ditambah lagi nada bicaranya yang mengintimidasi. "Kok sampai telepon mama? Tau nomor mama dari mana? Kamu yang ngasih tau?" Lanjutnya bertubi tubi.

"Apa sih? Mana ada aku ngasih nomor mama ke sembarang orang." Jawab Lena tak terima tanpa berbalik.

"Lah terus, kok bisa telepon ke nomor mama, hayoo?"

"Ya mana aku tau mas. Mungkin aja dari Dira, atau Jeje kalau nggak Manda. Bisa juga Agam and the geng."

"Temen kamu banyak banget sih."

"Yaiyalah. Emangnya Mas Ali, nggak punya temen." Ejek Lena.

"Punyalah." Balas Ali tak terima.

"Cuma satu."

"Ya nggak pa pa. Nggak perlu punya banyak temen. Cukup satu aja tapi setia."

"Temen temen ku juga setia."

"Kalau setia ya nggak ngasih nomor mama temennya ke sembarang orang."

"Itu nggak bisa dijadiin patokan."

"Bisalah. Sesuatu hal itu berawal dari yang kecil dulu." Ali semakin gencar berdebat dengan adiknya.

Sementara Lena sudah mulai terbawa emosi. "Ya nggak bisa! Nggak semua hal harus disamain."

"Ih, kamu tuh jahil banget sih." Kata Arini sambil menepuk cukup keras paha putranya. Membuat pria itu sedikit meringis.

"Udah Len, tahan emosi. Mas mu itu emang suka nguji kesabaran." Ucap Bara yang sedari tadi tak bersuara.

Ali otomatis tersenyum menang karena berhasil menjahili adiknya. "Kalau bukan karena menghormati yang lebih TUA. Udah aku timpuk sama buku." Gerutu sang adik.

"Dih. Tua nya nggak usah ada penekanan bisa nggak?"

"Nggak!" Sewot Lena.

"Ih, kan aku nanyanya baik baik."

"Nggak. Pokoknya nanti aku bakal cerita ke Mas Abi sama papa biar kerjaan Mas Ali di banyakin!"

Deg!

Suasana mendadak hening dalam sekejap. Lebih tepat tegang. Terutama raut wajah Ali yang berubah datar dan dingin. Lena yang menyadari keheningan itu itu menegang. Dia berulang kali menepuk pelan bibirnya karena mengucap kalimat itu. Seraya berkata bodoh dalam hati.

"Ali ke kamar dulu. Tadi lupa kalau ada kerjaan dikit." Ucap pria itu sesantai mungkin. Padahal hatinya sudah bergemuruh. Dadanya juga terasa sesak. Dan itu selalu terjadi ketika kata 'Papa' terucap. Serta apapun yang berhubungan dengan keluarga Arifansyah.

"Iya." Sahut sang mama tersenyum kaku. Karena masih terbawa suasana.

Selepas Ali pergi dan naik ke lantai atas, barulah mereka bersuara. Namun dengan volume pelan.

"Maaf, Lena kelepasan." Gadia itu merasa bersalah karena membuat suasana menjadi tegang. Lebih lagi membuat kakaknya itu langsung membisu.

"Nggak pa pa. Lain kali hati hati ya, sayang." Arini mengusap pelan kepala putrinya.

Wanita itu tak tega setiap kali Lena merasa bersalah saat mengatakan kata yang tak diinginkan. Sejujurnya dia juga merasa 'Lelah'. Tapi dia juga tak mau menambah masalah. Dia ingin keluarganya tetap baik baik saja, meski nyatanya tidak baik baik saja.

Dia sadar, jika keadaan sekarang tidak bisa bertahan lama. Cepat atau lambat puncak dari semuanya akan terjadi. Arini hanya perlu mempersiapkan diri untuk mengatasinya. Dan mencari tau apa yang harus dia lakukan nanti.

***

Setelah apa yang dia dengar di ruang tamu tadi, Ali duduk termenung di atas sofa balkon. Menikmati langit biru yang memanjakan mata. Juga suara suara orang yang beraktivitas. Begitu pun suara motor yang lewat.

Meski keadaan cukup ramai, tapi baginya terasa sepi. Setiap harinya tetap sama, tak berbeda. Bahkan yang ada, beberapa kondisi membuatnya menjadi seseorang yang jahat. Mungkin juga dari awal dia memang sudah egois. Tapi dia juga tidak mau berpura pura baik baik saja dan menerima semuanya dengan mudah.

Semua yang dia lakukan bukan keinginannya sendiri, tapi keadaan yang membuatnya seperti ini.

"Al." Panggil seseorang disertai ketukan pintu.

Pria itu tersadar begitu mendengarnya. Kemudian beranjak dari sofa dan berjalan ke arah suara.

"Ya ma?" Tanyanya saat pintu sudah terbuka.

"Kamu tadi udah sarapan belum? Mama tadi lupa mau nanya itu."

"Belum sih, ma. Nanti Ali turun kalau mau makan." Jawabnya dengan senyum tipis.

Arini tersenyum maklum. Dia tidak bisa terlalu membujuk Ali. Karena tau perasaan anaknya saat ini. "Yaudah, mama ke bawah ya." Ucapnya mengusap sayang kepala Ali. "Jangan mikirin hal yang berat berat. Maaf bikin kamu nggak nyaman." Pesannya sebelum akhirnya berlalu pergi.

Sementara Ali berdiri di ambang pintu sambil menatap kepergian mamanya. Ada rasa bersalah yang hinggap di hatinya. Tapi lidahnya kelu ketika ingin membalas kata maaf dari mamanya. Yang akhirnya dia hanya bisa berkata dalam hati, "Seharusnya Ali yang minta maaf ma. Bukan mama ataupun Lena."

Situasi seperti inilah yang terkadang ingin menyerah dan membuang semua egonya. Tapi rasanya begitu berat. Bayang bayang masa lalu selalu menghantui dia. Membuat dia kembali berpihak pada keegoisan itu.

Andaikan..

Lagi lagi kata itu yang terucap. Padahal yang seharusnya dia lakukan itu pulang, bukan justru mencari pengakuan bahwa dia sedang tidak baik baik saja.