Lelaki itu menyebutku Toean Vila.
Lalu istrinya mengikutinya, lalu anaknya mengikuti ibunya, lalu tetangganya mengikuti mereka.
Maka bersoraklah anak-anak kecil memanggil-manggil dengan sebutan itu ketika aku datang ingin menghabiskan sisa liburan panjang.
Aku senang berjalan-jalan di sekitar vila.
Menghirup pagi dari pucuk-pucuk cemara yang berderet rapi di belakang Aglonema.
Merasakan bulu-bulu tangan yang meremang dibelai angin dan mentari menjelang Dhuha.
Aku betah berlama-lama di sini.
Hijau membentang sepanjang mata memandang
Jernih air mengalir dari kaki Lawu nan tinggi menjulang
Paku bumi yang kokoh.
Deretan pinus yang kokoh,
Bambu wulung yang kokoh,
Randu suryan yang kokoh,
POHON UANG YANG LEBIH KOKOH!
TEGAK MENANCAP DI LAHAN-LAHAN!
Sejak bertahun lalu
sejak aku dan si Cina itu dan si Arab itu dan si Bule itu dan si Jawa itu dan si Bugis itu berturut-turut membeli tanah si Rebo lalu si Kemis lalu si Jumadi lalu si Setu lalu si Senen lalu si Loso.
"Hei, tanah siapa itu di samping lapangan?"
"Punya saudara saya, Toean. Kalau mau nanti saya kenalkan."