webnovel

Tak Pernah Pergi

Ratna_Andia · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
11 Chs

BAB 2

Ahana duduk di tepi jendela. Dia merenungi takdirnya. Takdir seorang wanita yang bahkan semua wanita di dunia ini menolaknya.

Kiara, putri yang baru di adopsinya selama sebulan, kini terbujur kaku dengan balutan kain putih di tubuh mungilnya dan karangan bunga di atasnya.

Gadis kecil yang di cintainya itu kini tak lagi menemani harinya seperti yang terjadi sebulan terakhir ini. Dia pergi. Meninggalkan sedikit kenangan yang akan selamanya Ahana simpan.

Ahana terisak. Dia menyendiri di dalam kamarnya. Dia bahkan tak tega melihat jenazah bayi tak berdosa yang selalu di gendong dan di peluknya.

Malik, sang suami pun tak mau memaksanya untuk menghadiri upacara pemakaman Kiara. Dia mengerti bahwa istrinya begitu terpukul dengan kematian Kiara.

Hingga Kiara selesai di makamkan, Ahana sama sekali tak beranjak dari tempat duduknya.

"Mah..." Malik masuk ke dalam kamar setelah semua prosesi pemakaman Kiara selesai di lakukan.

"Udah selesai Pah?" tanyanya. Tatapannya kosong.

"Udah Mah." Malik membelai mesra punggung Ahana yang duduk membelakanginya.

"Kita salah apa sih Pah? Aku punya salah apa sama Tuhan hingga Dia menghukumku seperti ini." Ahana meratap.

"Sabar Mah. Ini cobaan kita. Agar kita menjadi manusia yang lebih baik." Malik mencoba menenangkan.

"Oke kalau memang Dia nggak mau ngasih kita anak dari rahim aku sendiri. Oke, aku ikhlas. Tapi kenapa Kiara juga harus di ambil? Bayi itu bahkan tak mengerti apa-apa. Seharusnya Dia tak menjadikan Kiara sebagai penebus dosa-dosa kita kalau kita memang banyak dosa di masa lalu.." Ahana terisak. Kedua tangannya memegang tralis jendela kamarnya. Di genggamnya besi itu kuat-kuat. Seandainya itu adalah ranting pohon, pasti sudah patah.

"Jangan menyalahkan Tuhan Mah. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk hambaNya. Kita saja yang kurang sabar sehingga mengira Tuhan tidak adil. Semua kejadian pasti ada hikmahnya. Mamah yang sabar." Malik menenangkan. Dia seakan tak kuasa melihat keadaan Ahana yang begitu menyedihkan.

"Memang Dia nggak pernah adil sama kita Pah. Tuhan nggak pernah adil. Dia bahkan tak pernah menyayangiku. Dia ambil anak-anak yang akan menjadi anakku. Dia tak pernah memberikanku kesempatan untuk merasakan tumbuhnya seorang bayi di rahimku. Apa itu yang di sebut adil? Sampai kapan aku harus bersabar Pah? Sampai kapan? Apa kurang sabar aku selama sebelas tahun ini? Sebelas tahun bukan waktu yang sebentar Pah. Dan aku nggak pernah minta lebih. Aku hanya minta satu. Satu anak saja sudah cukup buat aku. Nggak perlu banyak-banyak. Tapi nggak di kasih-kasih kan dari dulu sampai sekarang? Kenapa? Apa Tuhan nggak denger doa aku? Atau Tuhan sudah nggak mau peduli sama aku? Atau aku nggak pantes buat jagain seorang anak? Hah?" Ahana tak dapat menahan emosinya. Di tatapnya Malik dengan tatapan tajam. Dia seakan marah dengan permintaan Malik agar dia bersabar.

"Nyebut Mah. Panggil nama Tuhan. Minta maaf kepadaNya. Mamah nggak boleh kayak gini. Tuhan ingin kita semakin dekat denganNya. Selama ini kita jauh darinya. Selama ini kita mungkin tak pernah bersyukur. Karena kita sedang sibuk meminta. Tuhan ingin kita bersyukur. Karena Tuhan akan menambah rizky kepada hambanya yang bersyukur." Malik kembali membelai lembut punggung Ahana.

"Aku nggak butuh rizky Pah. Kita sudah cukup banyak uang. Aku udah nggak mau lagi. Aku cuma mau anak. Anak Pah. Entah itu anak yang lahir dari rahimku, ataukah seorang bayi adopsi. Aku nggak peduli. Aku hanya ingin mempunyai seorang anak. Titik." Ahana tampak semakin tegang.

"Rizky tak selalu soal harta Mah. Rizky bisa berupa banyak hal. Anak juga masuk di dalamnya. Tuhan pasti akan menyiapkan yang terbaik untuk hambanya yang bersabar." Malik kembali menenangkan.

"Terserah apa katamu Pah. Tapi aku sudah nggak mau percaya sama Tuhan lagi. Aku sudah muak seperti ini. Terus menerus bersabar dan tak ada hasilnya." Ahana terus melawan.

"Mamah nggak boleh gitu Mah." kata Malik.

"Terserah Pah, terserah. Aku sudah malas dengan semuanya. Aku bahkan ingin pergi bersama Kiara. Agar aku bisa bertemu dengan Tuhan dan meminta penjelasannya." Ahana berdiri. Dia berjalan menuju ke arah meja lampu. Di bukanya laci di meja tersebut. Dia mencari sesuatu.

"Mamah mau ngapain? Mah! Jangan konyol Mah." Malik berusah menghentikan Ahana. Dia tahu kalau Ahana sedang mencari obat tidurnya. Untung saja Malik sudah mengambil dan menyembunyikannya. Malik tak mau mengambil resiko dengan membiarkan Ahana menyimpan obat tidur tersebut. Pasalnya berkali-kali dia pernah mencoba melakukan percobaan bunuh diri dengan meminum obat itu. Bahkan dia sempat kritis dan masuk ke ruang ICU saat terakhir kali melakukannya.

"Di mana obat tidurku Pah? Di mana? Jangan kamu berani menghalangiku Pah. Aku ingin mati. Aku sudah nggak mau hidup lagi. Biarkan aku mati Pah." Ahana melihat ke arah Malik. Tampaknya dia tahu bahwa Malik yang sudah menyembunyikan obat tidurnya.

"Jangankan mati Mah, kamu terluka sedikit saja aku merasa tak tahan melihatnya. Aku sudah membuang obat tidur kamu itu. Aku nggak mau kamu mati. Jangan bodoh Mah." Malik mencoba menenangkan Ahana yang tampak begitu marah.

"Ya. Memang aku bodoh. Aku tak sepandai dirimu. Aku tolol. Aku tak mengerti apa-apa. Aku tak sehebat dirimu. Aku tak bisa melakukan semua hal sebaik dirimu. Jadi apa gunanya aku hidup jika aku sama sekali tak bisa memberi manfaat kepadamu!" Ahana berteriak sekencangnya. Dia benar-benar tampak depresi. Di hempaskannya tangan Malik, yang sedari tadi memegang pundaknya, dengan kasar.

"Udah Mah. Hentikan Mah. Maafin aku kalau aku salah ngomong. Tapi udah ya. Jangan kayak gini. Mah." Malik memegang tangan Ahana. Berharap Ahana mau berhenti. Namun tampaknya dia tak berhasil. Ahana tetap bersikeras. Dia mencari di setiap sudut tempat di kamarnya dengan hati yang tampaknya sudah begitu lelah.

Malik masih berusaha menghentikan Ahana. Di peluknya tubuh istri tercintanya tersebut dengan sekuat tenaga. Ahana memberontak. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan Malik. Namun dia tak kuasa. Tubuh Malik yang tinggi besar dan kekar tak mampu ia lawan.

"Sudah Mah. Sudah. Kita sabar ya Mah. Jangan kayak gini. Kita coba lagi. Berusaha dan berdoa lagi. Tuhan pasti akan kabulkan doa-doa kita. Di saat yang tepat." Malik tak mampu menahan air matanya. Hatinya rapuh melihat ratapan dan kemarahan Ahana. Dia mengerti. Dia juga merasakan hal yang sama dengan apa yang Ahana rasakan. Bahkan mungkin lebih pedih. Namun dia harus tetap berdiri tegap untuk sang istri. Sang istri yang begitu membutuhkannya. Sang istri yang bahkan mungkin sudah tiada jika dia tak ada di sampingnya. Sang istri yang harus di jaganya. Sampai dia menutup mata.

***