1 BAB 1

Ahana menatap ke luar jendela dengan senyuman yang mengembang. Pikirannya melayang jauh. Semangatnya membara. Dia tak sabar untuk segera menggendong bayi mungil yang sudah di impikannya itu, dan membawanya ke rumahnya.

Begitu banyak perlengkapan bayi yang sudah di persiapkannya. Di tatanya dengan rapi di dalam kamar bercat putih bergambarkan bulan bintang di dindingnya.

Kemudian dia berdiri. Hanya untuk sekedar mengitari kamar dan melihat-lihat dengan teliti apakah masih ada yang perlu dia persiapkan.

Sekali lagi dia tersenyum manis. Di belainya lembut tempat tidur bayi yang ada di tengah kamar tesebut. Tempat tidur bayi berwarna abu muda itu semakin membuatnya berbunga.

Di ambilnya bantal mungil berwarna merah muda di dalam tempat tidur bayi tersebut. Di peluknya dengan lembut dan sesekali di ciuminya.

"Seneng deh akhirnya bisa lihat kamu senyum lagi Mah." suara seseorang membuatnya terpaksa mengakhiri lamunannya.

"Sudah siap Pah?" di lihatnya Malik, suaminya, sudah berpakaian rapi dan bersiap untuk pergi.

"Sudah dong Mah. Mamah udah?" Malik menghampirinya sambil tersenyum penuh arti.

"Sudah Pah. Yuk." dengan senyum sumringah, Ahana menggandeng tangan Malik. Sekali lagi di putarkan bola matanya mengelilingi kamar indah milik calon bayinya itu. Agak lama. Hingga akhirnya mereka berdua pergi. Pergi menjemput kebahagiaan baru yang sudah hampir di depan mata.

**

"Bapak, Ibu. Sebelumnya saya minta maaf. Ada sesuatu yang harus saya sampaikan kepada Bapak dan Ibu sebelum Bapak dan Ibu mengadopsi bayi ini. Sesuatu yang begitu penting." kata Dokter Agni saat kami menemuinya di rumah sakit pagi ini.

Dokter Agni adalah dokter spesialis anak yang sudah kami kenal sejak lama. Kemaren, beliau memberi tahu kami kalau ada seorang bayi yang sudah menjadi yatim piatu sejak hari pertama dia di lahirkan. Ayahnya yang sudah lama meninggal, menyisakan Ibunya yang tengah hamil tua. Sayangnya, Ibunya juga harus pergi meninggalkannya karena perdarahan hebat ketika berjuang untuk melahirkannya.

"Ada apa Dok? Apa ada masalah?" Ahana tampak khawatir.

"Ya Bu. Ada masalah serius yang harus Ibu dan Bapak tahu. Karena Ibu dan Bapak resmi menjadi kedua orang tuanya semenjak Bapak dan Ibu menandatangani formalitasnya tadi." Dokter Agni serius.

"Apa itu Dok?" Ahana berkeringat. Dia tampaknya takut.

"Bayi ini menderita Thalasemia. Kemungkinan besar dia tidak akan bertahan lama. Kalaupun bisa bertahan, dia akan terus membutuhkan transfusi darah di sepanjang usianya. Ibunya juga menderita hal yang sama. Suatu hal yang luar biasa karena dia mampu bertahan hidup hingga usianya dua puluh tahun." jelas Dokter Agni.

"Thalasemia Dok?" Malik tak percaya.

"Iya Pak. Thalasemia adalah penyakit yang menyebabkan jumlah sel darah merah atau hemoglobin di dalam darah kurang dari normal. Jadi oksigen yang di salurkan ke tubuh tidak bisa maksimal. Dia akan terus membutuhkan transfusi darah semasa hidupnya. Itupun kalau dia mampu bertahan. Karena kebanyakan bayi yang menderita Thalasemia tak mampu bertahan lama. Dan dengan transfusi darah pun, penderita thalasemia paling lama bisa hidup hingga usia dua puluh hingga tiga puluh tahun Pak. Meskipun sangat jarang di temukan." Dokter Agni menambahkan.

"Jadi maksud dokter, dia harus tinggal di Rumah Sakit ini? Dan kita nggak bisa bawa dia pulang ke rumah Dok?" Ahana berkaca-kaca.

"Untuk saat ini, kondisinya stabil Bu. Tapi saya tidak bisa memastikan bagaimana ke depannya. Kalau Ibu dan Bapak bersikeras membawanya pulang, ada prosedur dan alat yang harus bapak sediakan dan taati untuk membantunya tetap stabil di rumah nanti. Itupun Bapak dan Ibu harus menyewa tenaga kesehatan yang sudah terlatih untuk membantu Bapak dan Ibu merawat bayi ini nanti. Karena kondisinya sewaktu-waktu bisa drop. Bisa fatal kalau dia telat mendapatkan penanganan pertama Pak, Bu." kata Dokter Agni lagi.

"Prosedur dan peralatannya apa saja itu Dok? Kami siap melakukan apapun. Apapun yang terjadi, kami terima Dok. Kami tetap mau mengadopsinya. Dan sudah menjadi tanggung jawab kami untuk membantunya berjuang." kata Malik.

"Untuk prosedur dan peralatannya, nanti pasti saya jelaskan. Tapi sekarang Bapak dan Ibu ikut saya dulu untuk melihat bayinya. Bayinya sendirian saat ini. Saya harus melihat kondisinya setiap satu jam sekali. Tak ada yang menunggui. Semenjak tahu kalau bayi ini akan di adopsi, keluarganya bergegas pulang untuk mengurus pemakaman Ibunya." ajak Dokter Agni.

"Iya Dok." Ahana bergegas berdiri. Di genggamnya tangan Malik dengan perasaan tak karuan. Antara sakit dan bahagia.

Sebelas tahun usia pernikahannya dengan Malik, namun dia belum mendapat kepercayaan dari Yang Kuasa untuk memiliki anak. Begitu banyak jalan yang sudah mereka tempuh, namun belum ada satu pun yang berhasil.

Bukan hanya usaha untuk memiliki anak kandung saja yang penuh dengan rintangan. Demi memiliki anak adopsi pun, mereka harus banyak menerima kenyataan yang tak menyenangkan.

Pernah waktu itu, Ahana berniat mengadopsi anak dari sepupunya yang berumur sekitar lima tahun. Namun tak bertahan lama. Anak itu terus menangis meminta untuk kembali ke orang tua kandungnya. Ahana mencoba mempertahankan anak itu dengan terus memberinya kasih sayang yang berlimpah. Dia yakin kalau suatu saat anak itu akan terbiasa hidup bersamanya. Namun, karena terus menangis, anak itu menjadi stress, tidak mau makan dan tidur, hingga akhirnya jatuh sakit. Ahana yang tak tega melihatnya, menyerah dan mengembalikannya kepada orang tua kandungnya.

Bukan hanya itu. Dia sempat meminta anak dari tetangganya yang masih di dalam kandungan. Banyak yang sudah dia lakukan untuk membuat Ibu dan bayi itu sehat sampai menjelang melahirkan. Semua biaya selama kehamilan, dia tanggung, termasuk biaya untuk makan makanan yang bergizi dan periksa ke dokter spesialis. Namun lagi-lagi hal itu tak berhasil. Bayi itu meninggal di dalam kandungan sebelum di lahirkan.

Ahana dan Malik yang saat itu sedang ingin membeli perlengkapan bayi, segera kembali. Mereka lantas memberikan uang yang akan mereka gunakan untuk membeli perlengkapan bayi tersebut, kepada keluarga bayi untuk biaya pemakamannya.

Dan ini yang ketiga kalinya. Kepahitan lagi yang harus mereka telan. Namun bagaimanapun juga, bayi itu sudah menjadi tanggung jawab mereka. Bayi ini masih hidup. Mau tak mau mereka harus tetap merawatnya. Dan tampaknya bagaimanapun kondisi bayi itu, Malik dan Ahana tak keberatan. Meskipun mungkin hanya sebentar, mereka akan sangat bahagia karena sudah memiliki kesempatan untuk menjadi orang tua seperti yang mereka mimpikan selama ini. Mereka berjanji akan melakukan apapun untuk membuat bayi mereka bahagia. Walau mungkin harus mengorbankan segalanya, mereka tak peduli.

Ahana semakin erat menggenggam tangan Malik saat mereka sudah tiba di ruang PICU. Air matanya tak terbendung melihat bayi mungil yang tak berdosa harus terbaring tak berdaya dengan rasa sakit yang di deritanya. Bayi itu bahkan tak membuka matanya. Entah sedang terlelap, ataukah sedang menahan rasa sakitnya. Ahana menatapnya dengan penuh rasa cinta dan juga perasaan iba.

***

avataravatar
Next chapter