webnovel

Swords Of Resistance: Endless War [Indonesia]

Sebuah kisah fantasi di Alam Semesta paralel tentang pertarungan politik dari para Raja dan Penguasa. Dimulai dari peperangan, intrik politik, hingga drama kehidupan. Cerita ini hanya fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, kejadian, dan sebagainya hanyalah kebetulan dan atau terinspirasi dari hal-hal tersebut.

VLADSYARIF · แฟนตาซี
Not enough ratings
99 Chs

Bab 43, Aphrodite Louise Simone Wilhelmina van den Bosch, Part 1

10 Oktober

Dengan melalui operasi sesar, seorang bayi Perempuan bermata biru dan berambut pirang telah lahir ke dunia di sebuah rumah sakit di Kota Bonn. Perempuan itu terllihat bahagia akan kelahiran puteri pertamanya, meskipun selama ini dia kecewa dengan suaminya yang suka main perempuan. Meskipun demikian, dia sangat bahagia akan kelahiran Puteri pertamanya yang bernama Fredericka Louise Reginleif Athena Leonne Wilhelmina von Oranien-Nassau. Nama yang indah untuk seorang bayi perempuan yang cantik. Nama itu diberikan oleh istri pertama suaminya, ketika dia bertamu untuk menemuinya.

Terlahir sebagai seorang ras Wizard, membuat Aphrodite Louise Simone Wilhelmina van den Bosch memiliki kemampuan regenerasi yang cepat, setiap kali tubuhnya mengalami luka, terlebih luka bekas operasi sesarnya sehingga bisa sembuh, dan pulih dengan cepat.

Perempuan Belanda berdarah biru itu segera menghentikan aliran waktu secara tiba-tiba ketika seorang Dokter tengah menggendong Athena. Simone segera berjalan perlahan menuju ke ruang mayat.

Dia membuka satu per satu loker mayat, hingga akhirnya dia menemukan sesosok mayat perempuan yang secara kebetulan memiliki wajah yang mirip dengannya dan memiliki luka bekas tusukan di perutnya.

"Maafkan aku. Akan tetapi, karena secara kebetulan kau memiliki wajah yang mirip denganku. Aku ingin kau menjalankan peranmu sebagai diriku yang telah mati." Perlahan air mata berjatuhan dari kedua mata birunya. "Maafkan aku. Maafkan aku Athena, Elizabeth, Charla, Charlemagne, dan Leopold. Maafkan aku. Maafkan aku."

Simone berjalan perlahan sambil membopong mayat dari seorang perempuan yang secara kebetulan berwajah mirip dengannya. Dia lalu menaruh mayat itu pada kasur di ruangannya dan memakaikan mayat itu dengan pakaiannya.

Dengan mata yang berlinang air mata, Simone mengelus kepala Athena, dan mengecup pipinya. "Selamat tinggal, Athena. Jadilah anak yang baik, yang tidak merepotkan ayahmu. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi ibu yang baik."

Simone mengambil kain dengan bercak darah dan menutupi tubuhnya. Dia segera pergi meninggalkan Rumah Sakit Bonn dan aliran waktu yang sempat terhenti selama beberapa menit kembali berputar dengan normal seperti sediakala.

Para Dokter terlihat kaget ketika mereka menyadari bahwa Aphrodite Louise Simone Wilhelmina van den Bosch sudah tidak bernyawa setelah melahirkan Athena. Tubuhnya terlihat pucat dengan banyaknya darah di perutnya. Mereka segera mengabari Leopold bahwa Athena telah lahir dengan selamat, tetapi istrinya telah meninggal setelah melahirkan.

Hujan turun membasahi Bumi dengan diiringi kilatan petir dengan suara yang begitu menggelegar disertai angin yang kencang. Perempuan berambut panjang berwarna pirang yang dibalut dengan kain putih dengan beberapa bercak darah yang memudar berjalan tak tentu arah. Ekspresi wajahnya menjelaskan bahwa dirinya menanggung sebuah beban yang begitu berat. Karena kelelahan, perempuan itu terjatuh di sebuah tempat yang berada di pinggiran Kota Bonn.

Seorang perempuan berambut merah bergelombang yang tengah mengemudikan mobil Mercedes-Benz berwarna hitam metalik dengan kecepatan yang pelan, menembus badai di malam hari yang gelap. Dari kejauhan, dia melihat seorang perempuan yang tengah berjalan tertatih-tatih menembus hujan.

Tubuh perempuan tersebut segera terjatuh di atas gundukan daun yang basah dan seketika membuat Perempuan berambut merah tersebut segera mendekatinya.

Mobil Mercedes-Benz berwarna hitam metalik itu terhenti di dekat tubuh perempuan yang terjatuh tersebut. Perempuan berambut panjang bergelombang dan berwarna merah itu segera mendekatinya dan mengecek keadaan tubuh orang itu. Raut wajah yang semula mengekrspresikan rasa khawatir kini berubah menjadi bahagia ketika mengetahui bahwa Simone masih hidup.

"Syukurlah kau masih hidup," ungkapnya dengan penuh rasa syukur.

Dia segera membopong tubuh Simone dan membawanya ke kursi samping kanan supir dan mengikatkan tubuhnya dengan sabuk pengaman.

"Baiklah, sayang. Kita akan pulang ke rumah dengan keluarga baru kita," ucapnya pada seorang bayi perempuan berkulit putih yang tertidur pada kursi belakang mobilnya.

.

.

Simone terbangun dari tidurnya. Sepasang mata birunya melihat ke sekelilingnya, di mana dia berada di sebuah rumah.

"Akhirnya kau bangun juga," kata seorang perempuan berambut bergelombang berwarna merah kecoklatan yang duduk di sampingnya.

"Di mana aku?" tanya Simone dengan penuh kebingungan.

"Kau berada di Desa Mützenich. Aku menemukanmu di pinggiran jalan dalam keadaan tidak sadarkan diri dan kau telah tidur selama dua hari penuh."

"Apakah kau memiliki gunting atau pisau?" tanya Simone dengan ekspresi wajah yang datar.

"Untuk apa?" Perempuran itu bertanya balik.

"Untuk memotong rambutku," jawab Simone.

"Ambillah gunting itu di meja dan segera mandi untuk menyegarkan tubuh dan pikiranmu. Kamar mandi ada di ruangan paling belakang."

"Terima kasih, Nyonya." Simone berjalan menuju ke arah meja yang ada di dekat pintu kamar dan mengambil gunting. Dia melangkahkan kakinya menuju ke ruangan paling belakang.

Simone melepas seluruh pakaiannya dan membasahi tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari shower. Simone membasuh seluruh tubuhnya dan dia memotong rambutnya yang panjang menjadi pendek sebahu.

"Dengan begini, orang-orang tidak bisa mengenaliku lagi," gumamnya.

"Kalau sudah mandi, segera pergi ke ruang tengah untuk sarapan," kata perempuan berambut bergelombang tersebut.

Simone berjalan keluar dari dalam kamar mandinya dengan tubuh yang dibalut oleh handuk. Dia memasuki kamarnya dan ada kaos lengan panjang berwarna hijau dan celana jeans panjang berwarna biru gelap.

Simone segera keluar dari dalam kamarnya. Dia terlihat sangat sexy. Perempuan berambut pendek berwarna pirang itu segera berjalan menuju ke ruang tengah di mana sang pemilik rumah dan anak perempuannya yang masih berusia satu tahun tengah menunggunya.

"Maafkan aku jika membuatmu menunggu, Nyonya," katanya dengan sedikit membungkukkan badan.

"Tidak masalah," katanya. "Makanan terasa hambar jika aku memakannya sendirian. Temanilah kami sarapan."

"Terima kasih, Nyonya," balas Simone seraya membungkukkan badannya sedikit.

Simone duduk di salah satu kursi dan mereka berdua memanjatkan doa untuk menyantap sarapan yang kaya akan makan-makanan yang bergizi.

"Dari caramu berbicara yang unik, padahal orang di sini tidak berbicara dengan logat khas Den Haag," kata perempuan itu seraya menyuapi anak perempuannya. "Ngomong-ngomong, siapa namamu?"

Simone menghentikan kegiatan makannya, "Namaku Louise Estia van der Linden dan dipanggil dengan sebutan Estia." Simone memperkenalkan dengan nama samarannya.

"Namaku adalah Juliette Rosenbluth dan kau telah membohongiku!" tegas Juliette.

Simone segera menundukkan wajahnya. Dia terlihat ketakutan karena telah berbohong kepada orang asing yang telah menolongnya dan akhirnya dia memilih diam seribu bahasa.

"Sebenarnya aku tidak marah kepadamu. Aku yakin kau berbohong untuk menyamarkan identitasmu. Kau tidak ingin identitasmu yang sebenarnya diketahui. Aku bisa memakluminya," katanya. "Sepertinya kau habis melahirkan lewat operasi sesar dan karena kau terlahir sebagai seorang Wizard, kau memiliki kemampuan regenerasi yang cepat sehingga lukamu tersamarkan."

Simone berusaha untuk menanangkan dirinya, meskipun dia terlihat sangat ketakutan.

"Suamiku telah meninggal karena sakit," ungkap Juliette. "Rumah ini beserta toko roti, adalah warisan yang tersisa dari suamiku. Aku sama sepertimu, sama-sama kesepian."

Simone berusaha menenangkan dirinya dengan mengatur nafasnya dengan baik. "Namaku adalah Aphrodite Louise Simone Wilhelmina van den Bosch. Aku adalah anak perempuan dari Johannes Hendrik van den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Aku tidak seperti ayahku dan ketiga adikku. Aku seorang Perawat yang juga menjalani hidup sebagai seorang aktifis lesbian. Aku tidak suka laki-laki, khususnya ayahku yang selalu memaksakan kehendak anaknya. Aku sangat membenci ayahku," ungkap Simone. "Aku kabur dari Rumah Sakit setelah melahirkan anak perempuanku. Meskipun aku telah bersuami, akan tetapi aku merasa bahwa hubungan kami cukup sampai di sini. Aku kecewa dengan suamiku yang sering bermain perempuan. Aku harap dia kembali ke jalan yang benar."

"Jadi kau adalah Istri dari Letnan Kolonel Frederick Joseph Ludwig Sigismund Leopold Wilhelm von Oranien-Nassau," kata Juliette.

"Sekarang sudah bukan lagi karena aku sudah mengajukan perceraian secara lisan dengannya dua hari sebelum Athena lahir," balas Simone dengan tatapan mata yang terlihat sendu. "Aku tidka tahan akan sikap playboynya dan juga aku sadar bahwa dia lebih mencintai istri pertamanya yang hidup secara rahasia di Limburg, daripada diriku. Meskipun perjalanan cinta mereka sangatlah keras."

Juliette merasa iba dan kasihan akan kisah cinta antara Simone dengan Leopold. Padahal di depan umum, mereka berdua terlihat sebagai pasangan yang sempurna.

"Sepertinya kita menjalani kehidupan yang sama-sama kerasnya, walaupun di tempat yang berbeda. Kita adalah Janda muda yang tersingkir dari kejamnya dunia," ujar Juliette seraya memeluk Simone. "Kau bisa hidup di sini. Anggap saja aku ini adalah kakakmu dan Violet Rosenbluth adalah anakmu. Kalau kau kembali ke Belanda, mungkin sangatlah berbahaya. Tinggallah dengan kami dan aku akan melindungimu."

Simone segera membalas pelukan dari Juliette, "Terima kasih banyak."

Simone mengusap kepala seorang Bayi yang rambutnya berwarna pirang kecokletan tersebut, "Anak yang lucu."

"Dia adalah buah hatiku. Namanya Vivi," balas Juliette.

.

.

Simone sedang duduk sambil membaca buku di depan rumah sambil menyusui Violet yang tengah tertidur dalam pangkuannya, sementara Juliette sedang memanggang roti di dapurnya.

"Kau sangat sekali menyukai cerita detektif, khususnya Agatha Christie," kata Simone yang tengah membaca Novel "Murder On Orient Express."

"Dia adalah Ratu Kriminal dan aku sangat menyukai karyanya." Juliette sambil mengeluarkan roti yang sudah matang dari dalam oven. "Padahal kalian berdua terlihat bahagia, kenapa kau kabur? Apa kau tidak kasian dengan Anakmu?"

"Itu hanya akting saja dan Leopold sangat pintar berakting. Dia tahu di mana harus memainkan perannya. Dan untuk anakku." Raut wajah Simone terlihat sendu dan sedih, "Dia akan baik-baik saja dan akan menjadi anak yang baik," balas Simone dengan senyum yang dipaksakan seraya tangan kirinya membelai lembut kepala Violet yang tengah tertidur pulas.

"Baiklah, aku percaya bahwa naluri seorang Ibu sangatlah kuat dan tajam. Apakah aku salah, Estia?" tanya Juliette yang tengah menyusun roti-roti yang telah matang pada sebuah rak. Simone terlihat agak canggung ketika Juliette memanggilnya dengan nama samarannya. "Karena kau hidup dengan identitas barumu, maka aku akan memanggilmu dengan nama Estia," ujar Juliette. "Kau akan terbiasa dengan nama barumu karena kita adalah Keluarga."

"Terima kasih atas kebaikanmu, Nyonya Juliete."

"Panggil aku, Juliete, karena usiaku baru dua puluh tiga tahun."

"Aku baru berusia dua puluh satu tahun."

Mereka berdua sempat terdiam dan saling menatap dengan begitu canggung dan tawa pecah di antara mereka berdua.

"Bersamamu aku merasa seperti memiliki seorang Adik," kata Juliette. Dia tertawa karena dia merasa ada orang baik yang senasib dengan dirinya.

"Aku merasa memiliki seorang kakak perempuan yang sangat penyayang," ungkap Simone dengan ekspresi senang namun terlihat malu-malu.

"Aku adalah seorang yatim-piatu yang tidak pernah tahu siapa ayah dan ibuku. Sejak kecil aku hidup di panti asuhan di Bonn." Juliete berjalan menghampiri Simone dengan wajah yang berlinang air mata dan dia memeluk Simone dari belakang.

"Kau dan Vivi tidaklah sendirian, ada aku yang akan menemani kalian berdua. Meskipun kita baru bertemu, tetapi aku merasa bahwa kita telah hidup lama layaknya sebuah kisah romantis di masa lalu. Bagiku, kau, dan Violet adalah keluargaku yang begitu berharga," ungkap Simone seraya membelai lembut rambut merah bergelombang milik Juliette..

"Terima kasih, Estia," kata Juliette memberi sebuah kecupan singkat pada pipi Simone.

.

.

Dengan dibantu Simone, Juliette menutup toko rotinya pada pukul sepuluh malam waktu setempat dan mematikan lampu ruangannya.

"Padahal kau tak perlu repot-repot untuk membantuku, Estia," ujar Juliette. "Aku sudah terbiasa sendirian melakukannya."

"Aku baik-baik saja dan karena aku menumpang di rumahmu, sudah sewajarnya aku membantumu," balas Simone. "Aku bukanlah seorang parasit."

Juliette tersenyum mendengar kalimat yang dilontarkan olehnya dan dia mencium singkat bibir Simone sehingga membuat perempuan berambut pirang, bermata biru, dan berbadan tinggi setinggi seratus tujuh puluh centimeter itu terkejut.

"Kau tahu, aku langsung jatuh cinta kepadamu dalam pandangan pertama," ujar Juliette dengan senyuman jahilnya. "Karena kau seorang lesbian, aku rasa tidak ada salahnya bagi kita menjalin hubungan terlarang ini."

Juliette mendekatkan wajahnya pada wajah Simone dan tangan kanannya membelai lembut pipinya. Sementara tangan kirinya merangkul pinggang Simone.

"Aku mencintaimu, Estia," kata Juliette.

Juliette menutup kedua matanya dan mencium bibir Simone dengan penuh cinta. Ciuman Juliette terasa begitu hangat dan lembut, tidak seperti Leopold yang selalu menciumnya dengan penuh nafsu, dan kasar. Selain itu bagi Simone, sudah lama dia tidak berciuman dengan sesama Perempuan.

Baginya ini adalah hari terindah dalam hidupnya. Dalam hatinya Simone berkata, "Aku juga mencintaimu, Juli."