Kediamanan Geonandes
Mobil yang Vian kendarai akhirnya sampai di depan pintu gerbang sederhana rumah orang tuanya. Di sana juga tampak seorang satpam yang membukakan gerbang untuknya, satpam yang dipekerjakan Vian agar orang tuanya lebih aman.
Ckit!
Halaman rumah yang rapi terpampang di depannya saat ini, halaman yang ditumbuhi banyak bunga berwarna-warni hasil tanam sang mama sendiri, kebetulan beliau sangat menyukai bunga. Dan ia memarkirkan mobil di sebelah mobil yang terasa asing baginya, meski demikian ia hanya mengangkat bahu acuh, tidak peduli.
Ya, ia saat ini justru berjalan santai menuju pintu ganda berwarna putih, membukanya dan memasuki rumah dengan langkah pelan. Sunyi sekali, padahal saat ini ia sudah berjalan memasuki ruang tamu biasa mereka kumpul jika ia berkunjung.
Tapi, kenapa tidak ada orang? batin Vian bingung sendiri.
"Mah! Pah! Vian datang!" serunya memanggil kedua orang tuanya yang belum terlihat eksistensinya. "Kemana mereka? Aku datang tapi mereka keluar rumah. Kan sungguh mengesalkan," gerutunya, seraya berjalan menuju anak tangga yang ada di ujung ruang tamu.
Namun, baru saja ia akan melangkah naik ke atas sana, suara dari seorang wanita yang dikenalnya sebagai mama menyahuti dari arah ruang makan, dengan suara ramai pula yang terdengar dari ruangan sana.
Apa apa ini? Aneh sekali, batinnya penasaran.
"Sayang! Kamu sudah datang, wah! Kamu bawa apa itu, kue untuk Mama ya?" sahut sang mama bertanya dengan wajah berbinar senang, ketika melihat ditangannya menenteng sebuah kotak dengan logo toko kue langganan.
"Malam Mah, iya ini untuk Mama. Maih suka dengan kue ini 'kan?" tanya Vian dengan sang mama yang kembali tersenyum lebar.
Ah! Mamanya yang murah senyum sangat berbeda dengan dirinya yang mirip sekali dengan sang papa.
"Tentu masih suka dong, Sayang."
Seketika Vian merasa aneh dengan semua ini. Kenapa tiba-tiba seperti ada yang membisikan, seakan memberitahu jika sesuatu yang mengejutkan akan terjadi sebentar lagi, tidak lama lagi.
"Ramai sekali mah di sana, sepertinya sedang ada tamu di ruang makan?" tanya Vian tanpa basa basi dengan penasaran yang diperlihatkan jelas.
Sedangkan sang mama hanya menjawab pertanyaan dengan senyum lebar berganti senyum ganjil, senyum yang membuatnya terdiam setelah beliau menjawab pertanyaan dengan nada antusias.
"Iya, tamu spesial kita sayang. Kamu pasti tidak akan menduga, jika akhirnya Mama menemukan wanita yang kriterianya sesuai dengan keinginan Mama."
"Apa?"
Bola mata Vian tidak bisa untuk melebar ketika mendengar penuturan semangat sang mama, tapi sayang wanita yang sudah melahirkannya ke dunia tersebut masa bodo dan justru kini menyeretnya ke ruang makan.
Ya, meja makan dengan banyak menu masakan tersaji tepatnya.
Sungguh, Vian tidak tahu jika di rumahnya sedang ada pertemuan dua keluarga di mana itu melibatkan dirinya dan seorang wanita lumayan cantik, yang saat ini sedang duduk berhadapan pula. Sehingga ia bisa leluasa melihat bagaimana paras dan ekspresi yang ditampilkan si wanita.
Sial! Apa aku harus merasakan zaman Siti Nurbaya juga? Tuhan…, batin Vian speechless.
Ia juga tidak tahu ternyata ini yang membuat sang mama saat itu menghubunginya berulang. Sudahnya menyebutkan bahwa ada pertemuan, di mana beliau juga berkata telah menemukan calon istri idaman untuknya.
Oh! Untuk sang mama sih, tepatnya.
Vian lagi-lagi dibuat tidak menyangka, karena berita tentang putusnya dengan kekasi- ah! Maksudnya Nindita akan cepat sampai di telinga sang mama.
Terkutuklah wahai Endra dan mulut baunya. Teman kurang ajar, bisa-bisanya memberitahukan tentang masalah ini kepada mama.
Ya, benar sekali, tepatnya seorang mama yang khawatir akan nasib sang putra dengan segera mencari kandidat seorang calon istri, setelah mendapat informasi mengenai putusnya sang putra dengan seorang wanita dari Endra.
Jika seperti ini, aku bisa apa. Membantah pun percuma, aku terlalu menyayangi Mama dan aku tidak ingin menjadi anak durhaka, batin Vian melihat suasana dan orang-orang di sekitar dengan tatapan bosan.
Di ujung meja makan ada sang papa, yang berbincang dengan seorang om-om, Vian rasa pria itu papa si wanita sebab wajah keduanya hampir sama. Lalu, mamanya sendiri sedang asik dengan tante yang berpenampilan modis. Obrolan mereka terdengar seru sekali, berbanding balik dengan Vian dan si wanita yang sama-sama hanya diam, si wanita yang katanya calon istrinya.
Benar sekali, berbeda dengan pasangan orang tua yang sibuk mengobrol dimana banyak pula pembahasan yang dibicarakan. Dua pasangan yang dijodohkan justru saling melihat kiri-kanan, memperhatikan kedua orang tua masing-masing dengan ekspresi tak terbaca.
Bahkan, calon pasangan itu juga diam tanpa ada niat untuk saling tegur atau memulai percakapan. Err.... Sebenarnya ini karena kedua orang tua mereka bilang, agar Vian dan si wanita bisa berkenalan tanpa perantara.
Apa maksudnya itu?
Tiba-tiba terdengar suara teguran dari sang mama, membuat Vian yang awalnya sibuk dengan makanan penutup segera melihat ke arah mama tercinta dengan tatapan mencoba biasa.
Perasaanku tidak enak, batinnya sambil menelan buah susah payah.
"Vian, kenapa Theresa tidak diajak berbincang. Mulailah pendekatan, kalian 'kan sebentar lagi akan melaksanakan pernikahan. Bagaimana sih," ujar sang mama—Abeliana dengan ekspresi wajah tidak terbantahkan.
Tatapan mata yang dilayangkan untuk Vian sungguh membuatnya ingin mengubur diri sendiri sekarang juga. Apa lagi ini, apakah ia harus benar-benar menikah dalam waktu singkat, padahal jelas ia baru saja bertemu dengan si calon istri yang dijodohkan.
Oh, sungguh mama kejam.
Ck! Nasibku sial sekali, batin Vian berusaha untuk tetap biasa.
"Hmm, iya Mah," sahutnya dengan nada dibuat senatural mungkin.
Dari pada diawasi saat berbincang, lebih baik ia membawa si wanita ke tempat lainnya, agar lebih leluasa pula saat nanti berbincang.
Vian pun mengalihkan tatapan ke arah wanita bernama Theresa. Kebetulan wanita itu juga sedang melihat ke arahnya, saat ia kena teguran dari sang mama.
Mamanya sungguh sesuatu dan Vian hanya bisa menerima itu, tidak bisa membantah tepatnya.
"Theresa."
Vian hanya memanggil nama dan menatap dengan makna yang untunglah dimengerti oleh Theresa. Sehingga keduanya pun sama-sama mengangguk dan berdiri, dengan si wanita yang mengekor berjalan di belakang anak si empu hunian.
Keduanya jalan dengan jarak beberapa langkah, tapi Vian tidak perduli dengan itu. Baginya, terserah mau seperti apa penilaian si wanita kepadanya. Karena apa? Karena yang penting, ia hanya ingin terhindar dari tatapan dan juga rentetan kalimat yang ujungnya pasti memojokkan dari sang mama.
Tuhan, semoga ini tidak seburuk yang kupikirkan, batin Vian meminta.
Teras depan adalah pilihannya saat ini, ia mengajak duduk di kursi saling bersisihan dan sialnya membuat suasana semakin awkward karena keterdiamannya ketika sama-sama saling menatap.
Apakah memang aku laki-laki yang tidak mudah memulai pembahasan atau sekadar basa-basi? sampai-sampai menciptakan suasana santai pun tidak bisa, lanjut Vian masih dalam hati.
"Emm…. Viandra 'kan?"
Ah! Untung saja.
Bersambung