VJ Invenity Tbk
Ke esokan harinya
Hari sudah siang, Vian kembali ke kantor setelah selesai menghadiri pertemuan dengan salah satu partner bisnis bersama Endra. Kembalinya mereka ke perusahaan bersamaan dengan jam makan siang, keduanya juga bisa melihat di persimpangan banyak sekali pegawai yang berlalu-lalang, sepertinya hendak pergi ke kafetaria untuk kembali mengisi tenaga.
Ting!
Sama-sama memasuki lift ketika terbuka, keduanya kembali berdiri bersisihan dengan suasana sunyi. Vian sendiri sebenarnya tidak terlalu banyak berbicara dan syukurlah kali ini Endra sedang dalam mode silence, jika tidak sudah dipastikan ia akan dipaksa menanggapi apapun obrolan si asisten cerewet.
Vain sampai bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang Bos di sini. Ia atau Endra yang seenaknya, meski kalau kerja selalu benar?
Ting!
Pintu lift yang terbuka membuat keduanya kembali keluar, berjalan ke arah di mana ruangan Vian berada dengan Endra yang setia mengekor di belakang.
Drt~Drt~Drt
Merogoh saku celana, ketika merasakan getaran pada gawai yang disimpan di sana Vian sedikit mengernyit dan seketika menelan saliva saat menemukan nama sang mama sebagai pemanggil.
Seketika perasaannya tidak enak dan ia pun memutuskan untuk tidak menerima, ini demi keselematan serta ketenangnya karena setelah ini masih banyak yang harus diselesaikan.
Bukannya ia ingin menjadi anak durhaka, tapi meladeni wanita yang sudah melahirkannya ke dunia tersebut tidak cukup hanya berbagi kabar dan kata 'halo' seperti beberapa hari yang lalu.
Aku akan menghubungi Mama, nanti, jika aku ingat, janji Vian dalam hati.
Kembali ia memasukkan gawai ke dalam saku celana dan Endra yang kebetulan memperhatikan sampai dibuat mengernyit, kemudian bertanya dengan rasa penasaran yang tinggi.
"Siapa itu Vian? Apakah itu mantan terindah?" tanyanya nyinyir seperti biasa, ingin rasanya Vian membanting dan melempar sang asisten keluar jendela saat ini juga. Namun untunglah, ia masih bisa sabar dalam menghadapi asisten sekaligus sahabat rasa saudara ini.
"Mama."
Alhasil, ia menyahuti singkat, teramat singkat, tapi untungnya Endra mengangguk mengerti dan tidak bertanya. Hingga akhirnya keduanya pun berpisah dan masuk ke ruangan masing-masing, kembali mengerjakan sisa pekerjaan.
Blam!
Sampai di ruangannya, Vian segera duduk nyaman dan mulai memeriksa pekerjaan. Namun, disaat ia sedang fokus dengan layar laptop, gawai yang kini diletakkan di meja kembali bergetar dan ia tahu jika itu pasti sang mama, yang tidak akan mudah menyerah jika sudah memiliki maksud tersembunyi.
Huft ...
Kembali ia mengabaikan, fokus dan mencoba untuk mengindahkan panggilan yang berulang kali diterima. Ia tahu dan yakin, jika setelah ini akan ada banyak rentetan pertanyaan tentang alasan mengapa ia mengabaikan panggilan.
"Mah, maafkan aku. Pekerjaan tidak bisa ditunda dan harus segera di selesaikan, setelah ini aku akan menghubungimu, janji."
Vian bergumam meminta maaf, berharap angin akan menyampaikan perminta maafan yang pastinya hanya akan sia-sia. Sebab apa? Sebab angin tidak mungkin bisa mengabulkan apa yang diminta olehnya.
Selanjutnya tidak ada lagi getaran tanda panggilan masuk dan ia cukup menghela napas lega. Setidaknya, ia bisa konsentrasi menyelasaikan pekerjaan, tanpa harus menanggung beban pikiran akibat panggilan itu.
Tidak lama kemudian, akhirnya Vian menyelesaikan sisa tugasnya yang menumpuk. Nah! Itu artinya inilah saatnya ia memenuhi janji yaitu menghubungi sang mama, bila perlu merayu hingga ia mendapat pengampunan dari mama tercinta.
Jari panjang dengan lincah menggulirkan layar, mengetuk tombol panggil pada kontak mama tercinta dan menunggu dengan sabar panggilannya tersambung.
Tut! Tut! Tut!
Klik!
[Ya Tuhan Vian, kenapa baru menghubungi Mama sih, Sayang. Tahu tidak, Mama sudah kesal karena kamu tidak kunjung menerima sambungan dari Mama. Kamu ini.]
Segera rentetan kalimat memborbadir telinga Vian yang seketika itu juga menghela napas diam-diam. Sunguh, suara cetar sang mama yang terdengar kesal, berhasil membuat telinganya berdenging seketika.
"Maaf, Mah. Aku baru selesai meeting, jadi tidak bisa menerima panggilan dan saat ini baru free," jelas Vian terpaksa berbohong, setidaknya mama akan diam jika alasan yang diberikannya masuk akal.
Iya dong, tidak mungkin juga mengatakan jika ia malas menerima panggilan, mau disambit?
[Baiklah Mama maafin. Jadi, apakah sekarang kamu sedang tidak sibuk, Vian?]
"Hn, seperti itu lah. Ada apa, Mah?" jawab Vian kemudian bertanya seraya memutar-mutar kursi yang sedang diduduki.
[Datanglah ke rumah. Bukankah sudah lama kamu tidak mengunjungi rumah, heum?]
Benar juga, aku sudah lumayan lama tidak main ke sana, batin Vian sambil mengangguki.
"Hn, tentu. Nanti malam aku akan berkunjung ke sana, okay. Aku janji Mah," sahutnya mengiyakan dan suara sahutan antusias menyambut janji membuatnya ikut tersenyum, meski tipis.
Dari kemarin sebenarnya sang mama meminta dikunjungi, tapi baru ini pula ia benar-benar memiliki waktu untuk mengiyakan. Ah! Seketika Vian merasa seperti anak durhaka.
[Serius ya Sayang? Baiklah kalau begitu, Mama akan menyiapkan makanan kesukaanmu. Sampai jumpa nanti malam sayang!]
"Hn, sampai jumpa, Mah ," sahutnya singkat kemudian kembali meletakan gawai di samping laptop.
Hembusan napas keluar begitu saja dari hidungnya yang mancung. Sebenarnya, ia seperti memiliki firasat buruk, tapi ia pun tidak tahu apa dan semoga ini hanya pikiran negatif saja.
Beberapa jam kemudian ....
Waktu sudah menunjukan pukul lima sore, pekerjaan Vian pun telah selesai dan saatnya pulang untuk nantinya bersiap ke rumah orang tuanya. Sebelum meninggalkan ruang kerja, ia menyempatkan diri untuk memesan sebuah kue toko langganan, kue kesukaan sang mama jika ia berkunjung ke rumah.
Setelah memastikan jika pesanannya tersedia serta diterima pula, barulah ia keluar dari ruangan dan berpapasan dengan Endra yang keluar dari dalam ruangannya.
"Jadi kamu ke rumah Tante?" tanya Endra, yang sudah mengenal mama Vian dan menganggap sang tante seperti ibu sendiri.
"Hmm, tentu saja. Aku tidak ingin digantung dan dicap sebagai anak durhaka, jika tidak memenuhi perintah Mama, Er," jawab Vian panjang lebar, sedangkan Endra sendiri seketika bergidik saat mengingat bagaimana galaknya mama Vian, apalagi jika sahabatnya membantah.
Ya, maka siap-siap saja mendapatkan neraka dunia.
"Semoga selamat sampai tujuan dan dilindungi ya, Vian. Hati-hati di jalan," wanti Endra seraya menepuk berulang pundak Bosnya yang selalu malang dalam hal percintaan, untung saja ia jomblo.
"Sialan kamu, Er. Itu doa selamat atau doa meledekku sih? Wajahmu sangat mencurigakan kalau itu benar doa meminta selamat," sewot Vian, ia tentu saja curiga dengan nada yang digunakan Endra. Seakan mengatakan maksud tersirat, diperparah dengan tepukan di bahunya yang cukup membuat nyeri seketika.
"Ya elah, Vian. Itu lagi nyemangatin kamu loh, curigaan aja kamu mah," tukas Endra mengelak, meski kini sudut bibirnya tampak berkedut seakan ingin tertawa.
"Ck, terserah kamu aja," sahut Vian dan kemudian keduanya pun sama-sama memasuki lift.
Pantas saja banyak yang menyangka jika keduanya pasangan dalam artian. Jelas sekali, karena Vian sadar, ia dan Endra selalu bersama di setiap kesempatan, mau sekalipun itu libur dari urusan kantor.
Namun tenang saja, kalian jangan khawatir karena Vian seratus persen pria normal dan suka dengan dada montok dan sama sekali tidak belok.
Padahal kalau dipikir 'kan wajar, jika Vian dan Endra selalu tampak bersama karena keduanya adalah sahabat, bahkan dari lama.
Ah! Gosip memang mengerikan, batin Vian sebal sendiri.
Bersambung