webnovel

Tamu yang Tak Diharapkan

"Mommy gambar ini bagusnya warna apa?"

Aku mengalihkan pandanganku padanya. Harry menghampiriku sambil membawa buku gambar lengkap dengan pensil warnanya. Belakangan ini Harry gemar menggambar. Gambarnya bahkan lebih bagus dari gambarku. Harry menuruni jiwa seni yang dimiliki Kevin, berbeda denganku. Aku harap anak ke duaku nanti akan lebih menuruni sifatku dari pada sifat Kevin.

"Warna merah sepertinya bagus," kataku.

Harry memperhatikan gambar yang belum diwarnainya. Dahinya berkerut tidak suka, Harry mendongak menatapku. "Mommy tidak pandai memilih warna seperti daddy. Biru saja." Harry mengambil pensil gambarnya yang berwarna biru. Ia duduk di lantai berkayu dan mulai mewarnai gambarnya.

Kalian lihat kan? Harry lebih membanggakan daddynya daripada mommynya. Tapi aku tidak mempermasalahkan hal itu. Anak ke duaku harus membelaku nanti di saat Harry lebih membela Kevin. Ah aku jadi tidak sabar menunggu kehadiran anak ke duaku. Pasti rumah ini akan lebih ramai jika anak ke duaku sudah hadir ke muka bumi ini.

"Lantas mengapa Harry bertanya pada mommy?" tanyaku dengan bibir yang tersenyum.

Harry tidak menghiraukanku. Kupikir ia sedang serius dengan gambarnya yang katanya memiliki nilai seni yang tinggi. Memangnya nilai seni yang tinggi itu seperti apa? Aku masih heran, gambar yang terlihat jelek dijual dengan harga selangit dan gambar yang terlihat bagus dijual dengan harga jalanan bahkan ada yang tidak mau membelinya sama sekali. Jadi katakan, dimana nilai seni itu? Uh kenapa aku jadi memikirkan nilai seni.

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Kevin sore hari tadi meneleponku, dia bilang akan pulang malam. Aku sedikit kecewa dia akan pulang terlambat karena jujur bayi dalam rahimku ingin sekali dibelai oleh tangan daddynya.

"Mom daddy pulangnya masih lama?" Harry menampakkan wajah jengkelnya. Ternyata bukan aku saja yang merindukan Kevin, tapi Harry juga.

Bell rumah berbunyi.

"Itu pasti daddy!" Harry bangkit dari duduknya dan langsung berlari menuju pintu utama.

Aku mengernyit. Tidak biasanya Kevin memencet bel jika ia pulang. Aku pun berjalan mengikuti Harry yang sudah berada di pintu hendak membukanya. Perlahan pintu dibukanya. Yang kutemukan bukan sosok Kevin melainkan...Adam. Astaga! Dari mana ia tahu rumahku di sini? Dan untuk apa dia kemari? Wajahku sedikit memucat. Jantungku berdegup kencang. Aku takut Kevin akan marah jika aku menemui Adam-ralat Adam menemuiku. Apa yang harus kulakukan?

Harry menarik-narik pakaianku, membuyarkan isi pikiranku. Aku menatap Adam dan menyunggingkan senyuman. "Adam?"

"Mommy siapa dia?" tanya Harry, tangannya masih menarik-narik pakaianku.

Aku menoleh pada Harry. "Teman mommy," kemudian kukembali menatap Adam.

"Mommy?" ekspresi Adam terkejut, mulutnya terbuka. Ia menatapku dan Harry bergantian. "anak itu anak tirimu?"

"Mommy, apa itu anak tiri?"

Aku seperti diapit oleh tembok besar. Bayangan Kevin yang marah tempo dulu membuatku takut. Seakan tersadar dengan kekhawatiranku, Adam menjelaskan padaku tujuannya kemari untuk bertemu Kevin. Aku pun mempersilakannya masuk kemudian kutelepon Kevin agar ia segera pulang.

"Paman, apakah paman teman mommy? Kapan paman kenal mommy? Di mana paman kenal dengan mommyku? Paman, mommyku cantik kan seperti bidadari?" beragam pertanyaan keluar dari mulut mungil Harry.

"Harry sayang, Harry belum mengerjakan PR kan? Kerjakan PR-mu dulu," ujarku pada Harry.

"Yah mommy," Harry memasang wajah kecewanya, lalu ia melangkah dengan berat menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Adam menyesap teh yang baru saja kusajikan. Tatapannya bisa kuartikan meminta penjelasan padaku mengenai pertanyaannya tadi. Wajah Adam kini terlihat lebih matang, ia memiliki bulu halus di dagunya. Ia memakai baju polo polos dan celana jeans biru kelam. Duh, kenapa aku jadi memperhatikannya?

"Harry dia anakku. Anak kandungku," jelasku. Aku yakin dia akan terkejut.

Adam hampir menyemburkan tehnya. Matanya terbelalak menatapku. Mulutnya kini terbuka lebar. "Tapi...bukan kah kau menikah dengan suamimu sekitar setahun yang lalu?"

Aku pun menjelaskan padanya tentang kejadian sebenarnya. Jantungku seperti ditusuk menerobos setiap menjelaskan kejadian tiap kejadian padanya. Sesekali Adam terlihat kecewa dan juga terkejut. Jika aku berada di posisi Adam, aku lebih memilih untuk tidak mendengar kebenarannya, karena aku tahu rasanya seperti apa. Dia pendengar yang baik, masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah darinya. Aku masih sangat mengenalnya meski pun kami sudah jauh. Mulutku tidak hentinya menjelaskannya. Aku saja yang menjelaskan padanya merasa perih, apalagi dia? Aku tidak tega tapi inilah kesempatan agar dia dapat mencari hati yang baru, aku tidak ingin dia masih terjebak ke cinta yang salah seperti yang telah ia lakukan. Oh betapa aku berharap Kevin datang dengan wajah lembutnya. Secepatnya.

Mulutku terkatup rapat. Selesai. Adam diam. Mungkin ia sedang menyeimbangi dirinya atau mengendalikan dirinya? Sementara ia diam, hatiku masih bertanya-tanya untuk apa dia menemui Kevin? Apakah ada hal yang penting? Mengapa firasatku tidak enak jika mereka berdua bertemu? Pasti nanti mereka saling bersitatap dengan tatapan membunuh.

Aku memainkan jari-jariku. Mulutku masih terkatup, bingung apa yang harus kukatakan karena Adam sudah hampir 10 menit diam memandang teh miliknya yang tinggal setengah gelas lagi. Omong-omong bagaimana kehidupannya setelah kejadian di bandara itu? Apa ia masih minum? Aku harap tidak.

"Aku senang kau menemukan rumahmu yang sebenarnya," katanya pada akhirnya. Dia tersenyum sedih.

"Ya," jawabku. Sepatah kata itu memberatkan tenggorokanku. Aku mengerti rumah apa yang ia bicarakan dan aku mengerti suaranya penuh dengan lubang luka. Perasaan bersalah pun menjalar. Untuk pria sebaiknya aku tidak rela memberikan luka lebih dalam lagi, dia kelewat baik. Selama hidupnya dia tidak pernah bermain dengan cinta. Hanya saja cinta tanpa sengaja mempermainkan perasaannya yang terlalu lembut untuk disakiti.

"Berapa usia kehamilanmu?" tanya Adam selang beberapa waktu. Ia memandangi perutku yang membuncit.

Dengan spontan aku mengelus perutku dengan gerakan melingkar. "4 bulan," jawabku dengan senyum mengembang. Tanpa sadar aku menunjukkan kebahagian kehamilanku padanya. Seharusnya aku bisa menahan diri untuk menjaga perasaannya.

"Kautahu, aku masih sulit percaya dengan apa yang kau alami."

Maksud dari ucapannya adalah tentang kecelakaan pesawat dan ingatanku yang hilang. Jangankan dia, aku saja terkadang masih tidak percaya. Masa laluku terlalu rumit untuk diceritakan ulang.

"Lupakan itu. Bagaimana kabarmu? Apa saja kegiatanmu akhir-akhir ini? Apa kau sudah naik jabatan?" ejekku berusaha sebisa mungkin untuk mencairkan suasana yang canggung di antara kami.

"Pertanyaan mana yang harus kujawab dulu? Kau bertanya cukup banyak, persis seperti anakmu tadi." Adam menatapku lembut.

Aku menggidikan bahu, otot pipiku terangkat ke atas. "Mana saja, yang penting kau menjawab semuanya."

"Aku baik-baik saja, tidak ada kesibukkan yang berarti dan aku sudah resign dari kantor."

Jawabannya membuat mataku melotot dan mulutku terbuka lebar. Resign? Bertahun-tahun Adam bekerja di perusahaan itu dari nol hingga ke titik kesuksesannya dan Adam malah memutuskan untuk resign dari kantornya? Telingaku tidak sedang tuli kan? Maksudku, perusahaan itu bagaikan hidup kedua Adam. Karena dari situlah Adam meniti karirnya, ditambah lagi dia bisa dikatakan karyawan emas bagi perusahaan itu. Terkecuali alasan resignnya ia mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih tinggi posisinya, itu tidak akan menjadi masalah besar. Hanya saja bukan kah posisi Adam di kantor dia bekerja adalah posisi tertinggi kedua?

"Kenapa?"

"Aku mulai tidak nyaman."

"Tapi kau memiliki gaji yang sangat besar," sanggahku.

"Kenyamanan nomor satu dalam hidupku. Mempunyai uang terlalu banyak akan membuatku gila karena aku menghabisinya seorang diri. Terkecuali aku mempunyai seorang istri."

"Kalau begitu kau harus cari pendamping hidup. Usiamu sudah sangat matang untuk menikah." aku langsung menutup mulutku. Bodoh.

"Tidak semudah itu. Perasaanku masih tertinggal. Kau tahu, mengubah perasaan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu hingga aku suatu saat nanti siap untuk membuka hatiku pada wanita lain. Entah butuh waktu berapa lama untuk semua itu," terangnya. "Lagi pula aku cukup menikmati kesendirianku sekarang ini."

Ucapannya seperti api yang menjalar ke hatiku. Aku merasa ia sedang menyalahkanku atas apa yang terjadi.

"Jangan menyalahkan dirimu. Ini memang sudah takdir, bukan?" lanjutnya lagi menjawab perasaanku yang tak terucap.

"Takdir yang membuat posisiku serba salah. Maafkan aku," kataku lemah.

"Well, lambat laun perasaan ini akan terbawa oleh angin."

Artinya pergi perlahan bersama angin yang membawanya.

Sosok yang kutunggu sedari tadi akhirnya datang. Bibirku membuat sebuah garis lengkung ke atas saat menyambutnya. Kutatap ekspresinya, Kevin tersenyum padaku namun tidak pada Adam. Aku mohon jangan ada perang dingin di antara mereka. Berdamai lebih baik, bukan?

"Luna, bisa kau temani Harry saja?" pinta Kevin.

Bukan itu maksudnya, melainkan 'Luna pergilah. Ini urusan antara pria. Jangan mencampurinya.'

Aku pun menurut. Lagi pula, jika aku bergabung dengan mereka berdua akan terasa canggung.

Aku menaiki anak tangga perlahan, siapa tahu telingaku bisa menangkap pembicaraan mereka. Sayangnya mereka belum mulai bicara, seakan menunggu kepergianku dulu.

Aku melihat Harry tertidur di meja belajarnya sembari tangannya menggenggam pensil. Perlahan tanganku menjauhkan pensilnya, kemudian kugendong dia ke tempat tidurnya. Tidurnya sangat lelap, ia bagaikan sedang bermimpi indah di bawah alam sadarnya. Kevin kecilku, gumamku.

*****

Kevin sedari tadi hanya diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya terlihat murung. Sebenarnya apa yang Adam katakan pada Kevin hingga membuatnya jadi diam seperti ini?

"Kevin, biasanya kau melakukan sesuatu sebelum aku benar-benar terlelap," kataku, memecahkan lamunannya.

Kevin menoleh padaku lalu tersenyum kecil. Tersirat dari matanya ia sedang mengkhawatirkan sesuatu? "Apa?"

Aku menghela napas panjang. Kevin melupakannya? Sungguh? "Apa kau melupakan Niallku?" nadaku meninggi karena kesal, lalu aku menarik selimutku dan membelakanginya. Bisa-bisanya dia melupakan hal terpenting.

Kevin bergerak mendekat. Ia mendekapku dari belakang dan berbisik, "aku tidak mungkin melupakan si mungil," kemudian tangannya bergerak melingkar mengusap perutku.

Hening. Hanya deru nafasnya yang bisa kurasakan di kulitku. Kubalikkan posisi tidurku menghadapnya. Matanya terpejam, namun aku tahu ia masih tersadar.

"Apa yang Adam bicarakan?"

Perlahan ia membuka matanya. Bola matanya menatapku lembut. "Urusan pria. Wanita tidak boleh tahu."

Benarkah? Apa tadi mereka akrab atau memberi tatapan saling membunuh? Demi apa pun, aku penasaran apa yang mereka bicarakan. Firasatku pembicaraan mereka sangat penting. Tapi memaksa Kevin untuk memberitahuku cukuplah sulit. Ia termasuk pandai dalam mengalihkan perhatianku dan dalam sekejap aku melupakan hal itu.

"Luna, besok kita akan menghadiri acara peresmian pembukaan hotel baru milik temanku. Aku sudah membelikan gaun hamil untukmu."

Dengar, ia sedang mengalihkan perhatianku bukan? Ck pintar sekali. "Gaun pestaku sudah banyak. Untuk apa kau beli yang baru?"

"Tapi gaun-gaunmu itu khusus untuk wanita langsing yang-"

"Apa kau ingin bilang bahwa aku gemuk?" teriakku kesal.

Kevin menyeringai jahil. "Sedikit."

"Kalau begitu ajak saja sekretarismu itu!"

Tanpa kuduga, tiba-tiba saja bibir Kevin sudah berada di bibirku. Dia memagut bibirku pelan namun dalam. Lidahnya keluar menjilati bibirku lalu bergerak masuk ke celah mulutku, menjelajahinya. Sesuatu yang basah dan kenyal merajai mulutku, rasanya bercampur hingga membuatku menginginkan lebih. Kurasakan tangannya meremas bagian payudaraku, kemudian ia menarik lengan gaun tidurku sampai payudaraku setengah terekpos. Ciuman kami dilepasnya. Ia menatapku.

"Kevin, aku masih kesal padamu!"

"Aku suka menggodamu," ujarnya kemudian ia mengecup bibirku. "Luna, aku menginginkannya tapi aku takut akan melukai bayi di kandunganmu," suaranya serak.

"Astaga Kevin! Dokter bilang tidak apa, asal kau pelan melakukannya," aku menyeringai bodoh. Sial, kekesalanku hilang begitu saja saat ia bilang menginginkan hal itu. Aku juga sebenarnya dari kemarin-kemarin menginginkannya tapi Kevin sok jual mahal padaku, padahal tiap malam aku menggodanya dengan pakaianku yang sangat menggoda imannya. Dan di saat aku sedang tidak menggodanya, ia malah menginginkannya.

"Katakan jika kau merasa sakit." Tanpa membuang banyak waktu, tangan Kevin dengan cekatan menyingkirkan gaun tidurku. Kini hanya ada celana dalamku yang kupakai. Aku tidak memakai bra. Kulingkarkan tanganku di lehernya. Cumbuan panas pun terjadi di antara kami. Aku merasa kulitku terbakar saat bibir Kevin menjelajahi setiap inci tubuhku. Rasanya nikmat dan juga panas. Desahan demi desahan terus keluar dari mulutku saat bagian sensitifku tersentuh oleh bibirnya yang menggairahkan.

*****

Seharusnya yang jadi pusat perhatian dalam acara ini adalah pemilik perusahaannya, namun itu tidak terjadi. Lampu flash sedari tadi tidak berhenti menyilaukan mata, mengambil gambar anakku. Anakku yang jadi pusat perhatian dalam acara peresmian ini. Para tamu undangan juga tidak berhenti memandangi Harry penuh dengan kekaguman. Aku menggandeng Harry masuk ke lobby hotel hingga wartawan tidak bisa menyoroti kami lagi terutama Harry.

Seperti yang sudah Kevin katakan, ia telah membelikanku gaun baru. Gaun hitam satin yang memukau. Aku tidak peduli merk apa yang membaluti tubuhku ini. Yang pasti harganya bukan main dan harganya itu mampu membuat tubuhku terlihat elok. Gaunku berlengan pendek memamerkan setengah punggungku yang bagian bawahnya dihiasi renda transparan. Sedangkan Kevin, ia memakai setelan jas abu-abu kelam dengan kemeja hitam. Kevin selalu terlihat tampan memakai apa pun, apa lagi jika dalam keadaan telanjang.

Dan kalian tahu apa yang Harry pakai saat ini? Jas biru kelam dengan kemeja berwarna merah maroon beserta dasinya yang senada. Harry juga memakai pantopel yang khusus dibuatkan untuknya. Penampilannya bak orang dewasa. Harry benar-benar menuruni ketampanan Kevin, karena itulah dia jadi pusat perhatian di acara peresmian ini. Tadinya aku sempat tidak setuju Harry memakai pakaian ala orang dewasa, tapi Harry dan Kevin menentangku keras. Setiap kaki kami melangkah, tak sediikit teman Kevin terutama wanita yang ingin meminta foto bersama Harry.

"Daddy rasanya Harry ingin jadi model saja agar banyak diciumi para wanita seperti tadi," paparnya sambil menyeringai.

Tau apa anakku tentang wanita? Demi Tuhan, Harry masih kecil. Darimana ia tahu mengenai wanita? Aku tidak pernah mengajarkannya seperti itu, sungguh.

"Tanpa kau jadi model saja, sudah banyak yang mengagumimu jagoan kecil," puji Kevin.

"Apa aku setampan itu ya dad hingga semua kamera mengambil foto Harry?" tanyanya polos.

Aku menggeleng. Rasa percaya anak dan daddynya kini menyatu membuat orang yang berada di dekat kami tergelak. Jujur saja aku masih tidak percaya dengan pakaian yang Harry kenakan. Jika umur Harry yang masih kecil ini sudah sangat terlihat tampan, bagaimana nanti jika dia beranjak dewasa? Bisa-bisa aku tergila-gila pada Harry bukan Kevin lagi.

Liam, pemilik hotel baru menghampiri kami. Aku ingat dia, dia pernah datang ke pesta pernikahanku. Kukira Liam hanya memiliki perusahaan yang mengurus salah satu sosial media yang ia ciptakan, ternyata hotel juga menjadi ruang lingkup kekuasaannya. Aku merasa orang-orang yang berada di lingkungan Kevin adalah orang-orang cerdas dan itu membuatku merasa bahwa aku paling bodoh di antara mereka.

"Terima kasih telah bersedia hadir ke acara peresmian hotelku," sambut Liam sambil menjabat tangan Kevin kemudian bergantian menjabat tanganku. "Tapi jujur, aku merasa sedikit kesal karena anakmu yang menjadi pusat perhatian di hotelku," lanjut Liam, tertawa kecil.

"Jangan salahkan Harry paman. Harry hanya menerima ketampanan lebih yang Tuhan berikan pada Harry." Harry memamerkan gigi-giginya yang sudah tumbuh.

Liam tergelak. Ia mensejajarkan tingginya dengan Harry. "Ternyata kau dengan daddymu tidak jauh berbeda," ujarnya seraya bangkit dari posisinya.

"Ini belum seberapa, di rumah mereka seperti kembar," ucapanku keluar begitu saja dari mulutku.

Liam mengalihkan pandangannya padaku dengan senyum, "Kalau begitu kau harus ekstra bersabar. Aku tahu seberapa menyebalkan suamimu," cibirnya. Tidak lama kemudian, ada seseorang yang memanggil Liam. Liam pun permisi meninggalkan kami menikmati hidangan yang tersedia.

Harry meminta daddynya mengantarkannya ke toilet. Ia bilang kebelet karena tadi banyak orang yang menawarkan minum pada Harry. God, Harry-ku pangeran di pesta ini.

Aku menunggu mereka sambil berdiri memperhatikan orang-orang yang berada di pesta ini. Tidak perlu kujelaskan seperti apa tamu yang datang, karena kuyakin kalian tahu. Artis hollywood, perdana menteri dan sejajarannya datang dalam acara ini. Kurasakan seseorang memegang punggungku dari belakang, refleks aku berbalik untuk melihat siapa pemilik tangan itu.

"Luna!" serunya histeris.

Beberapa detik aku terdiam mencoba mengingat-ngigat siapa pria yang berada di depanku ini. Saat aku menyadarinya mulutku menganga. Suatu kebetulan kah ini?

"Aldrich!" teriakku tidak percaya. Aku tidak peduli dengan orang-orang yang mulai menatapku. Aku hanya terlalu terkejut bertemu Aldrich di sini.

Aldrich langsung memberi pelukan padaku dan secepat kilat melepaskannya. Ia menatapku dari bawah sampai ke atas. "Wow Luna kau bertambah cantik. Aku menyesal memutuskanmu," guraunya.

Aldrich. Dia adalah temanku sejak SMP sekaligus pacarku semasa SMA. Dan sekarang tentu saja kami sudah menjadi mantan. Tapi aku tidak ingat kapan kami pernah putus.

"Kau bertambah jelek," ejekku lalu menjulurkan lidah. "Bagaimana kau bisa di sini?"

"Jelek dalam artian luar biasa tampan," katanya genit. "Ini hotel kakakku."

Mulutku kembali menganga. Liam adalah kakaknya? Mengapa dunia ini begitu sempit?

"Kau bersama siapa kemari?" tanyanya bersemangat.

"Aku." suara itu tiba-tiba datang di antara kami.

Kevin menghampiri kami. Ia memasang wajah tanpa ekspresinya. Tunggu...di mana Harry?

"Kevin." Aldrich memeluk Kevin dengan gaya pria.

Aku menyipitkan mataku. Aldrich mengenal Kevin? Sejak kapan? Apa aku tahu ini tapi karena ingatanku hilang jadinya aku tidak tahu? Tapi bagian terpentingnya adalah apa Kevin tahu bahwa aku dan Aldrich dulu mempunyai hubungan?

"Aku menyesal membiarkanmu menikah dengan mantanku," ujarnya seperti membangga-banggakan bahwa aku pernah menjadi salah satu mantannya. Aldrich tidak pernah berubah. Sifat kanak-kanakannya masih melekat pada dirinya.

"Itu saat aku SMA, Al. Berhentilah mengungkit bahwa aku mantanmu. Masih banyak mantan lain yang bisa kau sebut," sindirku sambil tersenyum geli.

Aldrich terkekeh. "Kau terlalu peduli pada mantan-mantanku."

"Aku cukup terkejut Luna mengingat mantannya," sela Kevin. Suaranya tanpa irama. Datar.

"Tuan Aldrich, Anda di tunggu oleh Tuan Liam," ucap pelayan hotel.

Aldrich mengangguk pada pelayan itu. "Sepertinya aku harus pergi. Senang bertemu dengan kalian berdua. Aku akan mengunjungi kalian kalau sempat."

Aku menatap punggung Aldrich yang menjauh lalu kutatap Kevin. Mulutnya membuat sebuah garis lurus.

"Bagus. Kau mengingat Aldrich dengan amat baik tapi kau tidak mengingatku," ujar Kevin dingin.

Ucapannya membuat hatiku tersentak sekaligus perih. "Maafkan aku," kataku lemah.

"Seberapa ingat kau dengan dirinya di bandingkan denganku dulu?" kata-katanya begitu tajam sampai menerobos ke jantungku.

Tidak kah dia mengerti diriku? Maksudku, sebagian ingatanku hilang dua tahun sebelum kecelakaan pesawat itu. Aku tidak dapat mengingat dua tahun sebelum itu. Aku juga tidak ingin memoriku hilang tentangnya. Itu membuatku sedih. Aku ingin merasakan saat aku hamil dulu, dan semua tentang Kevin saat-saat sebelum kecelakaan pesawat itu. Aku diam seribu bahasa menahan bendungan air mataku. Perkataannya yang singkat itu mampu membuat air mataku ingin pecah dengan hati yang terluka.

"Di mana Harry?" tanyaku pelan dengan bibir yang hampir bergemetar. Aku mencoba mengalihkannya.

"Zak," jawabnya singkat padat dan jelas. "Jawab pertanyaanku tadi Luna. Seberapa ingat kau dengannya di bandingkan denganku?" paksanya.

"Aku tidak percaya kau akan bertanya hal seperti itu padaku," jawabku lemah, masih menahan buliran air mata. Aku tidak ingin menangis di depan umum. "Aku rasa aku ingin pulang saja."

Kevin mencengkram lenganku kuat. Ia menggertakkan giginya. "Jawab pertanyaanku dulu," geramnya.